Sang pencerah pengetahuan dari timur suhrawardi dan filsafat Iluminasi

BOOK ID

سرشناسه:ضیائی ، حسین ، ‫1323 -

Ziai, Hossein

عنوان قراردادی:معرفت و اشراق در اندیشه سهروردی . اندونزیایی

حکمة الاشراق. شرح

عنوان و نام پدیدآور: ‫ Sang pencerah pengetahuan dari timur suhrawardi dan filsafat Iluminasi[Book] ‫‫ / Hossein Ziai‫ ; penterjemah : Afif Muhammad, Munir A. Muin.

مشخصات نشر: ‫ Qom‫ : pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa ‫ , 2014 ‫ = 1393.

مشخصات ظاهری: ‫296ص.

فروست: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ ‫؛ پ1393/275/182 .، نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ ‫؛ 21.

شابک: ‫‫ 978-964-195-053-0

وضعیت فهرست نویسی:فیپا

یادداشت: اندونزیایی.

یادداشت: ‫عنوان اصلی : The knowledge and illumination: a study of Suhrawardi's Hekmat al - ishraq c 1990

موضوع:سهروردی، یحیی بن جبش، 549؟ - 587. حکمة الاشراق . شرح

موضوع:فلسفه اسلامی

موضوع:اشراق (فلسفه)

شناسه افزوده:افیف، محمد، مترجم

شناسه افزوده:Muhammad، Afif

شناسه افزوده:مونیر، المعین، مترجم

شناسه افزوده:Munir، A. Muin

شناسه افزوده:سهروردی، یحیی بن جبش، 549؟ - 587. حکمة الاشراق . شرح

رده بندی کنگره: ‫ BBR746 ‫ /ض 9م6049519 1393

رده بندی دیویی: ‫ 189/1

شماره کتابشناسی ملی:3649508

P: 1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

P: 2

Sang Pencerah Pengetahuan dari Timur

Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi

Hossein Ziai

penerjemah:

Prof. Dr. Afif Muhammad, M. A.

Dr. Munir A. Muin, M. A.

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

P: 3

Sang Pencerah Pengetahuan dari Timur Suhrawardi dan Filsafat

Iluminasi

penulis: Hossein Ziai

penerjemah: Prof. Dr. Afif Muhammad, M. A., Dr. Munir A. Muin, M. A.

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-053-0

معرفت و اشراق در اندیشه سهروردی

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه واله

تیراژ: 300

قیمت: 140000 ریال

مؤلف: حسین ضیایی

مترجم: محمد افیف، المعین مونیر

چاپ اول: 1393 ش /2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

P: 4

Pedoman Transliterasi Arab

P: 5

Pedoman Transliterasi Persia

P: 6

halam persembuhan pennlis

untuk dad ali dan mahasti aku tak ada mendengar ada bahasa yang lebih indah selain bahasa cinta

P: 7

P: 8

Daftar Isi

Pedoman Transliterasi Arab-vii

Pedoman Transliterasi Persia—viii

Halaman Persembahan Penulis—ix

Pengantar Redaksi—1

Ucapan Terima Kasih—7

PENDAHULUAN-9

Catatan—14

BAB 1

Filsafat Iluminasi-17

1. BAGAIMANA MENDEFINISIKAN FILSAFAT

ILUMINASI?–17

KARYA-KARYA SUHRAWARDI TENTANG FILSAFAT

ILUMINASI–19

2.1. Empat Karya Penting—19

2.2. Posisi Al-Lamahāt dan Karya-karya Lainnya-21

2.3. Karakter Keempat Karya Penting—24

2.4. Periode Penulisan Karya-karya Penting: Ihwal

Kehidupan Suhrawardi—25

2.5. Abu Al-Barakat Al-Baghdadi dan Filsafat

Iluminasi—29

3. KARYA-KARYA PENTING YANG DIKAJI—30

3.1. At-Talwīhāt-30

3.2. Al-Muqāwamāt-34

P: 9

3.3. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt —35

3.4. Hikmah Al-Isyrāq —42

4. KESIMPULAN-53

Catatan-56

BAB 2

LOGIKA DALAM Filsafat Iluminasi-67

1. PENDAHULUAN-67

2. PANDANGAN SUHRAWARDI TENTANG LOGIKA-68

2.1. Bahasan Logika dalam At-Talwīhāt—68

2.2. Logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt—71

2.3. Posisi Logika dalam Hikmah Al-Isyrāg—75

3. SINOPSIS STRUKTUR LOGIKA SUHRAWARD-79

3.1. Struktur Logika dalam At-Talwīhāt—80

3.2. Struktur Logika dalam Al-Masyāri' wa Al-

Muthārahāt—85

3.3. Struktur dan Lingkup Logika dalam Hikmah Al-

Isyrāq-87

4. PENILAIAN—103

Catatan—106

BAB 3

TEORI DEFINISI ILUMINASI:

METODE DAN PENGETAHUAN FORMAL—119

1. ISTILAH DEFINISI—119

1.1. Pembagian Logika dan Definisi Iluminasi—120

1.2. Tipologi Definisi—123

2. DEFINISI DAN METODOLOGI FILSAFAT—124

2.1. Metodologi Definisi dan Posisinya dalam

P: 10

Metafisika—126

2.2. Dua Pendekatan dalam Menghampiri Definisi: Plato

dan Aristoteles —129

2.3. Metode Definisi Plato—131

2.4. Metode Definisi Aristoteles—135

3. TEORI DEFINISI SUHRAWARDI: BAGIAN PERTAMA

SIKLUS-140

3.1. At-Talwīhāt-143

3.2. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt—149

4. TEORI DEFINISI ILUMINASI—162

4.1. Rumusan Teori Definisi Iluminasi—171

Catatan-178

BAB 4

PENGETAHUAN, ILUMINASI, DAN KOSMOLOGI—197

1. MUNGKINKAH MENGETAHUI? PENILAIAN SUHRAWARDI

ATAS PANDANGAN PERIPATETIK—197

1.1. Dasar Ontologis Ketidakpastian Epistemologi

Peripatetik—199

2. KONSEPSI (TASHAWWUR] DAN PENILAIAN (TASHDĪQ]:

PEMBAGIAN EPISTEMOLOGI PERTAMA—205

2.1. Keberatan-keberatan Suhrawardi Atas Kaum

Peripatetik—205

2.2 Pembagian Pengetahuan Menurut Kaum

Iluminasionis—208

3. PENGETAHUAN MELALUI ILUMINASI—213

3.1. Kritik Suhrawardi Atas Pandangan Peripatetik

Ihwal Pengetahuan sebagai Kesatuan dengan Akal

aktif-213

P: 11

3.2. Visi Mimpi Suhrawardi Berjumpa Aristoteles—215

3.3. Pandangan Iluminasi Tentang Pengetahuan Diri—217

3.4. Kesadaran Diri dan Iluminasi-220

3.5. Epistemologi Iluminasi: Proses Intuisi dan Iluminasi

Visi—224

4. ILUMINASI DAN EMANASI—231

5. WUJUD DAN CAHAYA—237

5.1. Wujud dan Berbagai Determinan Utamanya—237

5.2. Wujud dan Kosmologi—239

Catatan-243

APENDIKS A-261

Catatan—267

APENDIKS B-269

APENDIKS C—275

SENARAI RUJUKAN—279

INDEKS—287

Biografi Penulis— 295

Buku-Buku Sadra Press yang Telah Terbit

P: 12

Pengantar Redaksi

Syaikh al-Isyraq (Sang Guru Filsafat Iluminasi), begitu filsuf bernama lengkap Syihab al-Din Ibn Habasy Ibn Amirak Ibn Abu al-Futuh al-Suhrawardi ini biasa dikenal. Pendiri salah satu aliran filsafat Islam, madzhab Iluminasi, sebagai penyempurna aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, Peripatetik.

Perjalanan hidup Suhrawardi terbilang singkat, tetapi padat. la terbunuh di usia yang ke-36 lantaran dihukum pancung oleh otoritas yang berkuasa saat itu, Shalah al-Din al-Ayyubi, yang termakan “bisikan" ulama (baca: otoritas oksoteris keagamaan) Suriah bahwa ia telah menyelewengkan ajaran agama. Kendati demikian, ia telah menelurkan banyak karya dan berhasil mengenalkan metode pencapaian kebenaran yang “baru” sebagaimana terlihat dalam karya-karyanya, terutama dalam magnum opusnya “Hikmah al-Isyraq”.

Suhrawardi menjadikan usaha pembersihan hati sebagai pendukung-atau malah fondasi-bagi penalaran diskursif dalam usaha mendapat kebenaran. Dalam pengertian lain, Filsafat Iluminasi yang dibangunnya merupakan perkawinan antara nalar diskursif dan intuisi sehingga dalam pemikiran Suhrawardi, seorang filsuf tidak hanya seorang yang memiliki pengetahuan rasional, tetapi sekaligus menjadi orang suci, orang yang “tercerahkan” dalam sinaran pengetahuan Ilahi.

Sejatinya, istilah isyraq merujuk pada hal ini, pada dunia cahaya (Iluminasi) selain juga pada Timur. Dalam Filsafat Isyraqiyyah (Iluminasi), Timur tidak dipandang selalu secara geografis,

P: 1

tetapi sebagai sumber dan awal cahaya, di mana keduanya erat kaitannya dengan Tuhan, atau Nur al-Anwar (Cahaya Segala Cahaya) dalam istilah Suhrawardi.

Suhrawardi menjadikan pengalaman mistis (yang dihasilkan dari usaha pembersihan hati) sebagai pendukung.

Nilai penting kehidupan Suhrawardi dan pemikirannya telah dikaji oleh beberapa pengkaji, dan di antara yang kompeten dan terkenal dalam hal ini adalah Hossein Ziai. Pemikir yang wafat 24 Agustus 2011 lalu ini dikenal aktif menulis beberapa tema filsafat Islam, terutama tentang Filsafat Iluminasi. Berikut beberapa buku yang sudah ia tulis: Anvāriyyeh (The Realm of Lights); Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi's Hikmah al-Ishrāq; Shahrazūri's Sharh Hikmat al-Ishrāq, on Illuminationist Philosophy; The Book of Radiance; The Philosophy of illumination; The Ball and Polo Stick; Ibn Kammūna's Sharh al-Talwihāt, on Natural Philosophy and Psychology. Nah, buku di tangan Anda sekarang ini adalah salah satu karya terbaik profesor filsafat Islam jebolan Harvard University ini.

Dalam buku ini Anda akan melihat bagaimana Ziai menjelaskan ajaran-ajaran Filsafat Iluminasi terutama dasar- dasar logika dan epistemologinya secara gamblang, tetapi jelas. Agaknya, tanpa sedikitpun menafikan peran intuisi, Ziai ingin lebih menekankan aspek filosofis dari Hikmah al- Isyraq ketimbang aspek mistisnya. Merujuk pada jawaban Suhrawardi ketika ditanya oleh salah satu muridnya tentang karyanya Hikmah al-Isyraq adalah karya filsafat atau mistis, Suhrawardi menjawab bahwa Hikmah al-Isyraq adalah karya filsafat yang didasarkan atas pengalaman mistis. Ya, Hikmah al-Isyraq sebagai sebuah karya filsafat, dan bukan sebagai

P: 2

usaha penemuan Kebenaran yang hendak dikaji oleh Ziai.

Karena sebagaimana nanti dibuktikan oleh penulis, unsur-unsur logika dan epistemologi begitu kental dalam bangunan Filsafat Iluminasi, maka, sebagaimana Ziai tekankan, mengabaikan sepenuhnya hal ini menjamin ketidaksempurnaan analisis dan akan menghasilkan hasil yang tidak memuaskan. Karena itu, boleh dikatakan, karya Ziai ini melengkapi kajian-kajian serius dari peneliti lainnya, seperti Nasr dan Corbin yang banyak mengeksplorasi sisi spiritual-mistis pemikiran Suhrawardi.

Eksplorasi Ziai terhadap aspek filosofis pemikiran Suhrawardi itu dapat dilihat dari tema-tema yang dibahas dalam buku ini. Penulisan buku ini dikelompokkan ke dalam empat bagian utama, yaitu: (1) Filsafat Iluminasi; (2) Logika Dalam Filsafat Iluminasi; (3) Teori Definisi Iluminasi: Metode dan Pengetahuan Formal; (4) Pengetahuan, lluminasi dan Kosmologi.

Bagian pertama menjelaskan tentang bagaimana mengetahui Filsafat Iluminasi Suhrawardi. Dalam bagian ini akan terlihat bagaimana Ziai mencoba memahami Filsafat Iluminasi.

Menurutnya, untuk memahami aliran filsafat ini tidak bisa hanya berpatokan pada salah satu karya Suhrawardi saja, misalnya Hikmah al-Isyraq, sebaliknya perlu melihat beberapa karya Suhrawardi secara utuh. Untuk memperkuat pendapatnya, Ziai mengutip pernyataan Suhrawardi bahwa terdapat kaitan antara empat karyanya: At-Talwīhāt, Al-Muqāwamāt, Al-Masyāri' wa al- Muthārahāt, serta Hikmah al-Isyrāq, di mana setiap karya dari empat karya ini – yang diawali dari At-Talwihāt dan diakhiri oleh Hikmah al-Isyrāq-membimbing pada karya yang lainnya dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Karena itu, mesti dibaca

P: 3

dalam suatu urutan tertentu.

Mungkin pembaca akan bertanya, “Mengapa mesti empat karya ini yang dijadikan pijakan dalam upaya memahami Filsafat iluminasi?” “Bukankah Suhrawardi hanya menjelaskan tentang keterkaitan empat karyanya dan bukan tentang Filsafat Iluminasinya secara keseluruhan terdokumentasikan dalam empat karya di atas?" Ziai tentunya memiliki alasan, tetapi tidak seperti pernyataan eksplisit Suhrawardi tentang keterkaitan empat karyanya, alasan yang diungkapkan di sini cenderung berasal dari hasil analisis Ziai dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan didukung pernyataan implisit Suhrawardi.

Ala kulli hal, Ziai banyak menemukan hal-hal baru dalam kajian ini, termasuk proses dan metode khusus guna memahami empat karya Suhrawardi tersebut.

Bagian kedua menjelaskan tentang Logika Filsafat lluminasi. Dalam pembahasan ini, Ziai memulai dengan menelaah pembahasan logika dalam empat karya tersebut, lalu membandingkannya dengan logika Filsafat Peripatetik, khususnya Logika Peripatetik Ibn Sina dalam karya monumentalnya, Asy- Syifa, kitab yang Ziai anggap paling representatif berkaitan dengan Logika Peripatetik. Ziai boleh dikatakan berhasil dalam menguak poin-poin pembeda antara Logika Peripatetik dan Logika Iluminasi, sekaligus menghadirkan karakteristik struktur logis dari keempat karya penting Suhrawardi.

Bagian ketiga menjelaskan tentang teori Definisi Iluminasi. Tema ini dipilih Ziai mengingat dalam pandangan Suhrawardi, mengetahui definisi termasuk salah satu cara dalam memahami epistemologilluminasi. Sejatinya pembahasan definisi sudah ditelaah sejak masa Socrates, Plato, Aristoteles,

P: 4

serta dilanjutkan oleh filsuf-filsuf Islam. Sampai saat ini pembahasan ini masih dinilai penting, mengingat definisi adalah kerangka konseptual utama dalam ilmu. Ziai pun meyakini hal yang sama. Menurutnya karena problem definisi adalah problem utama dalam pengetahuan, tentu memahami teori definisi Suhrawardi menjadi langkah penting pertama dalam menjawab pertanyaan, “Apakah Filsafat Iluminasi itu?" Pada akhirnya, tulisan dalam bagian ini berusaha menganalisis, apakah teori definisi Suhrawardi benar-benar baru? Atau hanya melengkapi teori definisi dari filsuf-filsuf sebelumnya? Bagian keempat menjelaskan tiga obyek penting dalam Filsafat Iluminasi: pengetahuan, Iluminasi, dan kosmologi.

Secara umum, tulisan dalam bagian ini mengeksplorasi lebih detail bangunan epistemologi Iluminasi, termasuk bagaimana kaitan epistemologi dengan ontologi, pengetahuan diri, emanasi, serta kosmologi.

Pembahasan dalam keseluruhan bukuini menjadi menarik karena penulis berhasil mendialektikakan pemikiran Iluminasi Suhrawardi dengan pemikiran Peripatetik. Mungkin karena sulit untuk berbicara sekaligus memahami Filsafat Iluminasi tanpa menyinggung filsafat Peripatetik. Pasalnya, Filsafat Iluminasi meski dibangun di atas serangan dan kritikan pada Peripatetik, sejatinya juga melengkapi sekaligus memodifikasi Filsafat Peripatetik. Jadi, pembaca juga diuntungkan dengan dapat mengetahui beberapa prinsip-prinsip dan pemikiran Peripatetik.

Namun sayangnya, beberapa penjelasan dalam buku ini ternilai singkat. Hal ini bisa dimafhumi mengingat di awal, penulis sudah menyatakan untuk menjelaskan uraian-uraiannya dengan tidak bertele-tele.

P: 5

Terakhir, sejauh ini karya tentang pemikiran Suhrawardi masih terbilang minim. Mungkin lantaran kompleksitas dan kesulitan dari pemikiran seorang tokoh yang konon telah mengubah hidup seorang Henry Corbin secara intelektual dan spiritual ini. Di Barat, beberapa pengkaji Suhrawardi baru muncul sejak sekitar 1 abad yang lalu, di antaranya Otto Spies, Helmut Ritten, Luis Massignon, serta Henry Corbin yang sangat berjasa dalam mengenalkan Suhrawardi dan pemikirannya pada dunia Barat. Sejalan dengan hal ini, di Indonesia, karya dengan tema yang sama juga masih terhitung sedikit. Atas dasar hal ini, Sadra Press memandang penting untuk menghadirkan suatu karya tentang Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi sebagai bagian dalam khazanah Islam dengan harapan dapat lebih mewarnai kajian filsafat Islam di Indonesia. Selamat membaca!

P: 6

Ucapan Terima Kasih

Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Muhsin S.

Mahdi atas bimbingannya yang tulus dan sungguh-sungguh, dan saya berutang budi kepada Wheeler Mc Intosh Thackston, Jr.

atas berbagai sarannya yang sangat berharga. Saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Divisi Timur Tengah, Perpustakaan Widener Universitas Harvard, dan penghargaan saya kepada Dr. David Partington. Saya juga menyampaikan terima kasih kepada Ms. Chrisine Desjarlis Leuth dan Ms.

Corrie V. Marsh dari Perpustakaan Universitas Brown yang telah menunjukkan kepada saya microfilm sebuah manuskrip yang telah saya coba cari selama beberapa tahun. Saya berterima kasih kepada dua orang mantan mahasiswa saya: Messers Chase Robinson dan Anselm Snodgrass, yang telah membaca bagian- bagian naskah buku ini dan memberikan berbagai komentar yang bermanfaat. Saya ingin berterima kasih kepada Oberlin College atas dukungannya yang saya terima dalam waktu singkat, tetapi menjadi tahun sangat berharga, yang saya habiskan dan lewatkan di sana. Selama tahap-tahap akhir penyelesaian buku ini, saya menerima dukungan dari Senat Akademik Universitas California di Los Angeles, yang kepadanya saya sangat berterima kasih. Saya ingin berterima kasih secara khusus kepada Mr.

Dunning Wilson dari Perpustakaan University Research yang telah mencarikan berbagai microfilm manuskrip yang- tanpanya, Bab 2 dan Bab 3 dari buku ini tidak mungkin bisa diselesaikan. Akhirnya, saya ingin mengambil kesempatan ini

P: 7

untuk berterima kasih kepada Jacob Neusner atas dorongannya yang hangat dan tawarannya untuk menerbitkan karya ini dalam Seri Kajian-kajian Yahudi di Universitas Brown.

P: 8

PENDAHULUAN

Tidak ada lagi tabir di antara Pecinta dan Kekasih.

Akan tetapi, engkau, wahai diri, menjadi hijab antara Hāfizh dan Yang Mahatinggi! (Hafizh dalam Diwan) Pemikiran Filsafat Syihabuddin Suhrawardi belum pernah dikaji secara sistematis. Buku ini adalah sebuah upaya untuk mengisi kekosongan itu. Diharapkan buku ini akan menjadi langkah awal atau pendahuluan untuk suatu kajian dan telaah komprehensif atas berbagai gagasan seorang manusia yang mempunyai pengaruh monumental pada pemikiran filsafat dalam Islam pada umumnya, dan Mistisisme Spekulatif Iran pada khususnya. Di masa ketika Zeitgeist (semangat zaman) sejarah Islam sudah menjadi lebih dari sekadar manifestasi hilangnya spiritualitas ketimbang proses penemuannya kembali, warisan Suhrawardi justru memberikan sebuah metode kajian dan telaah alternatif atas hakikat segala sesuatu. Dari formulasi awalnya di akhir abad ke-12 M, Filsafat Iluminasi telah diadopsi oleh para pemikir yang mempertanyakan atau menggugat Peripatetisme Sinkretis sebagai Filsafat Islam yang asli. Ini menandai babak baru sebuah Filsafat Keagamaan dan mistis dalam Islam yang diformulasikan dengan baik dan melampaui Filsafat Peripatetik dengan memijakkan posisi epistemologi fundamental pada wahyu, inspirasi personal, dan visi mistis. Bahasa kiasan dan simbolisnya pun tampak dan terbukti dalam sekian banyak karya mistis berbahasa Persia dan Arab dalam bentuk prosa dan puisi.

P: 9

Dampak atau pengaruh metodologi baru Suhrawardi, berikut rekonstruksinya atas filsafat yang lebih sejalan dengan corak Platonisme, sangatlah monumental. Dampak atau pengaruh ini, umpamanya, bisa dilihat dari sedikitnya kajian yang menelaah karya filosofis seorang filsuf Yahudi abad ke- 13 M dan ahli logika, Sa'd bin Manshur bin Kammunah, salah seorang komentator besar atas karya-karya logika Suhrawardi, yang diberi judul Al-Jadid fi Al-Hikmah (Filsafat Baru, atau boleh dikata, Novum Organum).

Pemikiran Suhrawardi bukan sebuah teologi, atau teosofi, dan juga bukan sejenis sagesse orientale (hikmah dari Timur), sebagaimana disebut demikian oleh sebuah karya ilmiah kontemporer. Alih-alih, ia justru menggambarkan Filsafat Mistis yang sistematis. Mengabaikan sepenuhnya komponen logika dan epistemologi dalam berbagai karyanya pasti menimbulkan ketidaksempurnaan analisis dan juga tidak memuaskan. Pemikiran Suhrawardi ditandai oleh tidak adanya dogmatisme dengan disposisi dinamis yang memungkinkan adanya perubahan karena subjek berubah. Meskipun mengandung kebijaksanaan, oópia, dalam pengertiannya yang kaku, pada dasarnya ia adalah sebuah filsafat yang bertujuan mengkaji dan menelaah segala sesuatu berikut juga respon-respon yang ditimbulkannya pada diri manusia serta berusaha mengekspresikan secara runtut dan sistematis hasil-hasil dari kajian dan telaahnya.

Kajian dan telaah atas asal-usul dan perkembangan Filsafat Keagamaan dan mistis dalam Islam, dan juga logika dan epistemologi non-Aristotelian, tidak termasuk dalam – dan berada di luar – lingkup bahasan karya ini. Akan tetapi, karya filsuf abad ke-12 M, Hibatullah Abu Al-Barakat Al-Baghdadi

P: 10

yang berjudul Al-Mu'tabar, sebuah ensiklopedi Filsafat Anti- Aristotelian yang penting, akan dikaji dan ditelaah, mengingat dampak atau pengaruh, khususnya pada Suhrawardi dalam rekonstruksi Filsafat Iluminasinya.(1) Baik Al-Baghdadi maupun Suhrawardi sama-sama menegaskan bahwa metodologi konstruktivisme mereka dibangun di atas intuisi primer dari suatu subjek yang mengetahui, yang menangkap langsung seluruh eksistensi, ruang, dan waktu secara keseluruhan sebagai objek tampak yang terbentuk dengan sendirinya secara inheren dan bisa diketahui, membatasi ihwal apa yang disebut sebagai ada dan apa yang disebut sebagai pengetahuan itu. Dampak atau pengaruh konsep-konsep dan metodologi Iluminasi pada filsafat akan ditunjukkan melalui sebuah kajian dan telaah atas sejumlah komentar penting atas karya-karya Suhrawardi yang meliputi berbagai komentar dari Syamsuddin Muhammad Asy- Syahrazuri pada abad ke-13 M,(2) seorang filsuf Iluminasionis, komentar Sa'd bin Manshur bin Kammunah;(3) pada abad ke- 14 M, komentar Quthbuddin Asy-Syirazi;(4) pada abad ke-16 M, komentar Jalaluddin ad-Dawwani;(5) pada abad ke-17 M, komentar Muhammad Syarif Nizhamuddin Al-Harawi;(6) serta komentar filsuf mazhab Isfahan, Shadruddin Asy-Syirazi, yang lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra.(7) Sementara itu, dampak atau pengaruh pemikiran Suhrawardi di Barat, terutama pada perkembangan Mistisisme Yahudi di abad ke-14 M, yang sedang mulai mendapat perhatian,(8) tidak akan dikaji dan ditelaah dalam buku ini.

Fase awal karya ini penuh dengan kesulitan, yang sebagian darinya tampak tidak bisa diatasi. Kerangka rujukan yang mengkaji, menelaah, dan menyajikan pemikiran Suhrawardi

P: 11


1- 1. Lihat Bab 1, sub 2.5 dan seterusnya.
2- 2. Syarh Hikmah Al-Isyrāq (Komentar atas Filsafat Iluminasi) karya Asy-Syahrazuri belum diterbitkan. Saya telah mempersiapkan edisi kritis naskah tulisan pendahuluan. Namun, sebelum diterbitkan, saya akan merujuk dahulu pada catatan folio Istanbul, Saray Ahmad III, MS 3230.
3- 3.Edisi teks dan terjemahan Moshe Perlman atas karya polemik Ibn Kammunah, Tanqih Al-Abhāts li Al-Milal Al-Tsalāts, adalah satu-satunya kajian atas Ibn Kammunah. Lihat, Moshe Perlman, Sa'd b. Manshur Ibn Kammunah's Examination of The Inquiries Into The Three Faiths: A Thirteenth Century Essay in Comparative Religion. (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, teks 1967 dan terjemahan 1971). Ibn Kammunah adalah seorang tokoh penting dalam sejarah filsafat pasca-Ibn Sina. Bab Logika dari karyanya, Syarh At-Talwīhāt (Komentar atas At-Talwihāt Suhrawardi) dicetak di catatan- pinggir karya Suhrawardi, Manthiq At-Talwībāt (Logika dalam At-Talwihāt), yang disunting oleh Ali Akbar Fayyaz, (Tehran: Tehran University Press, 1955), tetapi editornya tidak pernah menyebutkan nama Ibn Kammunah dan menyebutnya hanya sebagai “Komentator" (asy-Syārih). Saya menggunakan, baik cetakan catatan-pinggir tersebut maupun manuskrip At- Talwihāt Berlin, (Berlin, 5062). Ibn Kammunah adalah juga seorang ahli logika penting dalam periode pasca-Ibn Sina. Karyanya berjudul Al-Hikmah Al-Jadidah fi Al-Manthiq- yang mungkin adalah bab logika dari karyanya Al-Jadid fi Al- Hikmah – dan komentarnya atas karya Ibn Sina, Al-Isyārāt wa At-Tanbihāt, yang diberi judul Syarh Al-Ushul wa Al-Jumal min Muhimmah Al-'Ilm wa Al-'Amal, layak dikaji dan ditelaah secara khusus; lihat, monografi singkat Leo Hirschfeld, Sa'd b. Manshur Ibn Kammunah. (Berlin, 1893), hlm. 11-13.
4- 4. Asy-Syirazi, Syarh Hikmah Al-Isyrāq (Komentar atas Filsafat Iluminasi), edisi litografi oleh Ibrahim Thabathaba'i, (Tehran, 1313 H).
5- 5.Ad-Dawwani, Syarh Hayākil An-Nür [Komentar atas Kuil-Kuil Cahaya], (Tehran: Majlis Library, MS 1412).
6- 6.Al-Harawi, Anwāriyyah, disunting dan diberi kata pengantar dan catatan oleh Hossein Ziai, (Tehran: Amir Kabir, 1980). Ini adalah satu-satunya komentar atas karya Suhrawardi dalam bahasa Persia yang diketahui masih ada hingga kini. Al- Harawi, mungkin seorang Sufi dari Tarekat Chistiyyah, dalam komentarnya atas karya Suhrawardi, juga membandingkan prinsip-prinsip epistemologi dan kosmologi Filsafat Iluminasi dengan sistem Filsafat Mistis Avaita India.
7- 7.Ta‘liqāt (Catatan Tambahan atas Hikmah Al-Isyrāq) karya Mulla Sadra dicetak di catatan pinggir karya Asy-Syirazi, Syarh Hikmah Al-Isyrāq.
8- 8.Christian Jambet dalam “Pendahuluan" Shihaboddin Yahya Sohravardi, Le Livre de la Sagesse Orientale, Traduction et Notes par Henry Corbin. (Paris: Veridier, 1986), menegaskan, “Peut-être verrons-nous un signe de la grandeur universelle de Sohravardi en ce que nous apprend M. Paul Fenton, dans de livre quil fait paraitre au moment précis ou cette traduction voit enfin le jour. Rabbi David Maimonide, chef de la communauté juive d'Egypte au XIVe siècle, ecrit “Guide du détachement". Ce livre, écrit P. Fenton, “est tout entire imbibé par la terminologie illuminste de l'école sohravardienne." Que ce descendent direct du grand Maumonide ait choisi la structure même du système du mystique iranien, et voice que l'image que nous devons former des spiritualités et de leur histoire échappe aux lieux communs des orthodoxies," hlm. 74. Lihat juga, Ibid., hlm. 75, Catatan Nomor 85, tempat catatan karya Paul Fenton berikutnya, Deux Traits de Mystique Juive. Lihat juga Paul Fenton, Treatise of The Pool. (London: Octogan Press, 1983).

sudah dipilih dengan hati-hati untuk menghindari pendekatan historis, yang tidak menjadi perhatian utama saya, dan juga pendekatan Quasi Filosofis. Terminologi yang digunakan dalam menyuguhkan pemikiran Suhrawardi pun melahirkan tipe atau jenis kesulitan-kesulitan yang ada dalam setiap upaya menemukan berbagai padanan yang tepat untuk terminologi dari satu konteks konseptual, linguistik, dan historis ke konteks lainnya. Dalam hal ini, pemilihan terminologi makin bertambah sulit karena adanya batasan-batasan dari tradisi Filologis Orientalis Lama, dan pada saat yang sama harus dilakukan usaha untuk menghindari berbagai implikasi analitis dari terminologi Filsafat Modern. Saya berusaha agar uraian saya bisa dipahami dengan jelas, tidak syok ilmiah, dan juga tidak bertele-tele.

Terminologi yang saya gunakan, meskipun lemah di beberapa tempat dan bahkan membingungkan, mencerminkan suatu usaha untuk menggambarkan pemikiran dari seorang pemikir abad ke-12 M dalam kerangka acuan yang bisa dipahami dalam konteks pemikiran dan ekspresi filsafat dewasa ini.

Kajian dan telaah ini diawali dengan menunjukkan bahwa Filsafat Iluminasi Suhrawardi tidak hanya terkandung dalam karyanya yang berjudul Hikmah Al-Isyrāq (Filsafat Iluminasi) saja. Sebaliknya, dijumpai ada empat karya penting lainnya yang membentuk sebuah siklus atau gugus tempat filsafat ini diajarkan dan dikembangkan. Kemudian, saya mencoba menunjukkan bahwa Filsafat Iluminasi berangkat dari suatu serangan dan gempuran atas pandangan Filsafat Peripatetik tentang definisi, yang dimodifikasi dan diperluas oleh Suhrawardi menjadi sebuah teori yang lebih komprehensif pengetahuan, yang menekankan pada pengetahuan diri dan

P: 12

kesadaran diri sebagai dasar bagi semua jenis pengetahuan. Lalu, pandangan pengetahuan seperti ini menjadi dasar bagi suatu kosmologi, yang di dalamnya, esensi-esensi sejati atau wujud hakiki dari segala sesuatu ditampilkan dalam suatu rangkaian monad berkesinambungan yang sadar diri dan kekal diri, yang digambarkan sebagai “cahaya-cahaya", yang bersama-sama membentuk keseluruhan kosmos. Tuhan dari kosmos ini adalah Cahaya dari Segala Cahaya, dari-Nya wujud yang memancarkan cahaya ini pun juga memancarkan cahaya yang menyingkap seluruh eksistensi, dan ketika cahaya tidak ada lagi, yang ada hanyalah dunia privasi atau kesendirian, dunia ketiadaan, dan dunia kegelapan yang di dalamnya bersemayam keburukan atau kejahatan. Menurut epistemologi Iluminasi, pengetahuan diperoleh ketika subjek dan objek hadir dan memanifestasikan diri, yakni saat tidak ada lagi rintangan di antara keduanya. Hanya dengan demikian, subjek yang mengetahui bisa menangkap esensi objek.

P: 13

Catatan:

1. Lihat Bab 1, sub 2.5 dan seterusnya.

2. Syarh Hikmah Al-Isyrāq (Komentar atas Filsafat Iluminasi) karya Asy-Syahrazuri belum diterbitkan. Saya telah mempersiapkan edisi kritis naskah tulisan pendahuluan. Namun, sebelum diterbitkan, saya akan merujuk dahulu pada catatan folio Istanbul, Saray Ahmad III, MS 3230.

Edisi teks dan terjemahan Moshe Perlman atas karya polemik Ibn Kammunah, Tanqih Al-Abhāts li Al-Milal Al-Tsalāts, adalah satu-satunya kajian atas Ibn Kammunah. Lihat, Moshe Perlman, Sa'd b. Manshur Ibn Kammunah's Examination of The Inquiries Into The Three Faiths: A Thirteenth Century Essay in Comparative Religion. (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, teks 1967 dan terjemahan 1971). Ibn Kammunah adalah seorang tokoh penting dalam sejarah filsafat pasca-Ibn Sina. Bab Logika dari karyanya, Syarh At-Talwīhāt (Komentar atas At-Talwihāt Suhrawardi) dicetak di catatan- pinggir karya Suhrawardi, Manthiq At-Talwībāt (Logika dalam At-Talwihāt), yang disunting oleh Ali Akbar Fayyaz, (Tehran:

Tehran University Press, 1955), tetapi editornya tidak pernah menyebutkan nama Ibn Kammunah dan menyebutnya hanya sebagai “Komentator" (asy-Syārih). Saya menggunakan, baik cetakan catatan-pinggir tersebut maupun manuskrip At- Talwihāt Berlin, (Berlin, 5062). Ibn Kammunah adalah juga seorang ahli logika penting dalam periode pasca-Ibn Sina.

Karyanya berjudul Al-Hikmah Al-Jadidah fi Al-Manthiq- yang mungkin adalah bab logika dari karyanya Al-Jadid fi Al- Hikmah – dan komentarnya atas karya Ibn Sina, Al-Isyārāt wa At-Tanbihāt, yang diberi judul Syarh Al-Ushul wa Al-Jumal min Muhimmah Al-'Ilm wa Al-'Amal, layak dikaji dan ditelaah secara khusus; lihat, monografi singkat Leo Hirschfeld, Sa'd b. Manshur Ibn Kammunah. (Berlin, 1893), hlm. 11-13.

4. Asy-Syirazi, Syarh Hikmah Al-Isyrāq (Komentar atas Filsafat

P: 14

Iluminasi), edisi litografi oleh Ibrahim Thabathaba'i, (Tehran, 1313 H).

5.Ad-Dawwani, Syarh Hayākil An-Nür [Komentar atas Kuil-Kuil Cahaya], (Tehran: Majlis Library, MS 1412).

6.Al-Harawi, Anwāriyyah, disunting dan diberi kata pengantar dan catatan oleh Hossein Ziai, (Tehran: Amir Kabir, 1980).

Ini adalah satu-satunya komentar atas karya Suhrawardi dalam bahasa Persia yang diketahui masih ada hingga kini. Al- Harawi, mungkin seorang Sufi dari Tarekat Chistiyyah, dalam komentarnya atas karya Suhrawardi, juga membandingkan prinsip-prinsip epistemologi dan kosmologi Filsafat Iluminasi dengan sistem Filsafat Mistis Avaita India.

7.Ta‘liqāt (Catatan Tambahan atas Hikmah Al-Isyrāq) karya Mulla Sadra dicetak di catatan pinggir karya Asy-Syirazi, Syarh Hikmah Al-Isyrāq.

8.Christian Jambet dalam “Pendahuluan" Shihaboddin Yahya Sohravardi, Le Livre de la Sagesse Orientale, Traduction et Notes par Henry Corbin. (Paris: Veridier, 1986), menegaskan, “Peut-être verrons-nous un signe de la grandeur universelle de Sohravardi en ce que nous apprend M. Paul Fenton, dans de livre quil fait paraitre au moment précis ou cette traduction voit enfin le jour. Rabbi David Maimonide, chef de la communauté juive d'Egypte au XIVe siècle, ecrit “Guide du détachement". Ce livre, écrit P. Fenton, “est tout entire imbibé par la terminologie illuminste de l'école sohravardienne." Que ce descendent direct du grand Maumonide ait choisi la structure même du système du mystique iranien, et voice que l'image que nous devons former des spiritualités et de leur histoire échappe aux lieux communs des orthodoxies," hlm. 74. Lihat juga, Ibid., hlm. 75, Catatan Nomor 85, tempat catatan karya Paul Fenton berikutnya, Deux Traits de Mystique Juive. Lihat juga Paul Fenton, Treatise of The Pool. (London:

Octogan Press, 1983).

P: 15

P: 16

BAB 1: Filsafat Iluminasi

1. BAGAIMANA MENDEFINISIKAN FILSAFAT ILUMINASI?

Sejak kurun awal abad ini, para orientalis dan sejarawan filsafat mencatat bahwa Suhrawardi adalah seorang tokoh penting dalam membangun pemikiran filsafat pasca-Ibn Sina.

Sarjana-sarjana terkemuka seperti Carra de Vaux(1) dan Max Horten(2) telah menulis esai-esai pendek tentang Suhrawardi.

Pada akhir 1920-an, Louis Massignon telah membuat suatu klasifikasi atas karya-karya Suhrawardi.(3)Pada akhir 1930-an, Otto Spies menyunting dan menerjemahkan sejumlah alegori atau tamsil filosofisnya;(4) dan Helmut Ritter membahas aspek- aspek kehidupannya dan membedakannya dari tiga mistikus Muslim atau Sufi yang mempunyai nama yang sama.(5) Memasuki pertengahan 1940-an, edisi teks Henry Corbin atas karya-karya Filsafat Suhrawardi mengobarkan perhatian khusus dalam pemikiran seorang manusia yang secara tradisional dikenal dengan “Guru Filsafat Iluminasi” (Syaikh Al-Isyrāq). (6)Pada tahun- tahun belakangan ini, Seyyed Hossein Nasr telah melakukan sejumlah kajian dan telaah atas dimensi spiritual dan keagamaan dalam ajaran-ajaran Suhrawardi.(7)Akan tetapi, belum ada sebuah usaha serius untuk mengkaji dasar-dasar logika dan epistemologi Filsafat Iluminasi dari sudut pandang filsafat, dan penyebutannya dalam sejumlah halaman Tesis Doktoral Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysics in Persia, masih tetap menjadi paparan umum terbaik tentang pemikiran Filsafat Suhrawardi.(8)

P: 17


1- 1. Lihat Carra de Vaux, “La Philosophie Illuminative d'après Suhrawerdi Meqtoul", Journal Asiatique, Vol. 19 (t.t. : t.p,1902), hlm. 63-64.
2- 2. Lihat Max Horten, Die Philosophies der Erleutung nach Suhrawardi. (Halle, 1912).
3- 3. Lihat Louis Massignon, Recuil de Textes Inédits. (Paris: Paul Gauthner, 1929), hlm. 111-113.
4- 4.Lihat Otto Spies, Three Treatise on Mysticism by Shihabuddin Suhrawardi Maqtul. (Stuttgart: Kohlhammer, 1935).
5- 5.Lihat Helmut Ritter, “Philologika IX: Die vier Suhrawardi", Der Islam, Vol. 24 (t.t. : t.p, 1937), hlm. 270-286; dan Vol. 25 (t.t. :t.p, 1938), hlm. 35-86.
6- 6. Lihat H. Corbin, Suhrawardid'Alep, Fondateur de la Doctrine illuminative. (Paris: t.p, 1939); idem., Les Motifs zoroastriens dans la philosophie de Sohrawardi. (Tehran: t.p, 1946); idem., L'Homme de Lumière dans le soufisme iranien. (Paris: Sisteron, 1971). Lihat khususnya, Prolégomènes Corbin untuk setiap edisi kritis karya-karya Suhrawardi berikut: Opera Metaphysica et Mystica I. (Istanbul: Maarif Matbaasi, 1945); Opera Metaphysica et Mystica II. (Tehran: Institut Franco- Iranien, 1954); Opera Metaphysica et Mystica III. (Tehran: Franco-Iranien, 1970). Lihat juga terjemahan Corbin atas karya-karya Suhrawardi, Archange Eem pourpré, Quinze traités et récits Mystique Traduits du persan et de l'arabe, présentés et annotés par Henry Corbin. (Paris: Fayard, 1976); dan Le Livre de la Sagesse Orientale, Kitab Hikmah Al-Ishrāq, traduction et notes par Henry Corbin, établies et introduit par Christian Jambet. (Paris: Verdier, 1986).
7- 7. Lihat S. H. Nasr, Three Muslim Sages. (Cambridge: Harvard University Press, 1964), Bab 11; idem., Suhrawardi, "A History of Muslim Philosophy", editor M. M. Sharif, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963), Vol. I, hlm. 372-398. Dalam karya rintisannya, Nasr menunjukkan signifikansi religius dari kehidupan dan ajaran-ajaran Suhrawardi, dan juga dimensi religius dalam kosmologinya. Dalam hal ini, lihat, idem., An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. (London, 1978), Bab XII.
8- 8.Lihat Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysics in Persia. (London, 1908), hlm. 121-150. Dalam analisisnya atas Hikmah Al-Isyrāq, Iqbal bersandar hampir seluruhnya pada komentar berbahasa Persia Muhammad Syarif Al-Harawi yang ditemukannya selama masa belajarnya di Berlin di Konigchen Bibliotek (bagian dari Bibliotheca Orientalis Sprengeriana, Spr. 766). Edisi kritis saya atas komentar Al-Harawi, yang berdasarkan manuskrip unik serupa yang ada pada Iqbal, kini sudah terbit. Lihat Anwāriyyah, An 11th-Century A. H. Persian Translation and Commentary on Suhrawardi's Hikmat Al-Ishrāq, yang disunting, diberi kata pengantar, dan catatan oleh Hossein Ziai, (Tehran: Amir Kabir, 1980, edisi kedua 1984).

1.Beberapa sarjana, belakangan ini, terutama Corbin dan Nasr, telah menekankan signifikansi peran Suhrawardi sebagai seorang pembangkit pemikiran Iran Kuno. Kedua penulis ini berkali-kali menunjukkan apa yang mereka anggap sebagai kualitas pemikiran Suhrawardi yang sangat mistis, tetapi tanpa melakukan kajian dan telaah sistematis atas dasar-dasar Filsafat Iluminasi. Karakterisasi umum semacam itu, meskipun berguna, tidak memberi kita suatu pandangan komprehensif tentang Filsafat Iluminasi.

Untuk menilai secara agak rinci peran Suhrawardi dalam perkembangan pemikiran filsafat pasca-Ibn Sina, seseorang harus memaparkan dan menguraikan karakter pemikirannya. Peran Suhrawardi sebagai pemadu “kearifan" Yunani dan Iran dengan prinsip-prinsip, tujuan-tujuan keagamaan, dan mistis tidak bisa ditentukan atau ditetapkan sebelum kita melihat bagaimana ia menangani problem logika, fisika, matematika, serta metafisika? Sekadar mengatakan bahwa Suhrawardi adalah seorang mistikus yang telah ditakdirkan untuk mengagungkan, menghidupkan filsafat dan kearifan Iran Kuno, serta menggambarkannya sebagai seorang arif “perenial”, “bijak", dan “mendalam", tidak berarti sudah menentukan atau menetapkan corak pemikirannya yang sebenarnya, apalagi sekiranya, ia bukan seorang mistikus, teolog, filsuf Sistematis, atau ideolog sejenis Nasionalisme Iran abad pertengahan.

Untuk membicarakan sesuatu yang penting tentang pemikiran Suhrawardi, kita harus menentukan lebih dahulu sifat hakiki dasar-dasar logika dan epistemologi Filsafat Iluminasi.

Hanya dengan berpijak pada analisis sistematis seperti ini, kita bisa menujukkan apakah Suhrawardi adalah seorang mistikus atau

P: 18

filsuf, atau apakah, dan bagian mana dari Filsafat Sistematisnya itu yang berupa pembelaan, penjelasan, atau sistematisasi atas pengalaman-pengalaman mistis sebagai sebuah metode untuk menyingkap realitas? Agar bisa menempuh pendekatan sistematis seperti itu, kita harus menentukan terlebih dahulu karya-karya Suhrawardi yang membahas secara spesifik apa yang disebutnya sebagai Filsafat Iluminasi (Hikmah Al-Isyrāq).

2. KARYA-KARYA SUHRAWARDI TENTANG FILSAFAT ILUMINASI

2.1. Empat Karya Penting

Kita akan mulai dengan mengkaji dan menelaah empat karya utama Filsafat Suhrawardi yang berbahasa Arab: At- Talwībāt, Al-Muqāwamāt, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt,(1) serta Hikmah Al-Isyrāq,(2) untuk menunjukkan bahwa berdasarkan berbagai pernyataan eksplisit Suhrawardi, karya-karya ini adalah sehimpunan karya integral atau utuh, yang di dalamnya ia mengemukakan dalam menulis asal-usul dan perkembangan Filsafat Iluminasi, dari asal-usul analitis dan diskursifnya hingga tujuan pengalaman dan pencerahannya yang digambarkan melalui kiasan dan simbol. Untuk menjawab pertanyaan, “Apakah Filsafat Iluminasi itu?" secara memuaskan, kita tidak bisa membatasi diri dengan hanya mengkaji dan menelaah salah satu dari empat karya ini. Sebaliknya, kita harus mengkaji dan menelaah semuanya sebagai keseluruhan yang koheren.

Hanya kajian dan telaah seperti ini yang memungkinkan kita memaparkan dan menguraikan secara komprehensif Filsafat Iluminasi itu.(3) Berikut ini adalah pernyataan Suhrawardi yang paling

P: 19


1- 9.Hanya bagian-bagian ihwal metafisika dari tiga karya Suhrawardi, yakni At-Talwīhāt, Al-Muqāwamāt, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt (yang masing-masing disebut oleh Suhrawardi sebagai “Ilmu Ketiga Tentang Metafisika" [al-ʻIlm ats-Tsālits fi al-Ilāhiyyāt]) yang sudah disunting dan diterbitkan dalam “Opera Metaphysica et Mystica l", disunting oleh H. Corbin, (Istanbul: Maarif Matbaasi, 1945), selanjutnya disebut Opera
2- 10. Diterbitkan dalam "Opera Metaphysica et Mystica II", disunting oleh H. Corbin, (Tehran: Institut Franco-Iranien, 1952), selanjutnya disebut Opera II.
3- 11. Persoalan ihwal maksud dan tujuan penulis dalam menelaah teks-teks filsafat abad pertengahan adalah suatu hal yang krusial. Khususnya, yang demikian ini disebabkan oleh gaya eliptis eksplisit dari teks-teks semacam itu.

eksplisit tentang keterkaitan keempat karya tersebut, “Buku Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt harus dibaca terlebih dahulu sebelum membaca Hikmah Al-Isyrāq, dan sesudah kajian dan telaah singkat yang disebut At-Talwibāt. "(1) Karena Al-Muqāwamāt dinyatakan sebagai penjelasan tambahan atas At-Talwīhāt,(2) maka siklus atau rangkaian pembacaan dan pengajaran Filsafat Iluminasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut: [1] At- Talwībāt; [2] Al-Muqawamāt; [3] Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt; [4] Hikmah Al-Isyrāq. Karenanya, jelas bahwa karya-karya ini harus dibaca bersama-sama dan dalam urutan tertentu, serta hanya dengan demikian, karya-karya itu membentuk Filsafat Iluminasi. Nah, dengan mengingat berbagai fakta tertentu yang akan segera kita telaah dan kaji, jelas juga bahwa karya-karya utama itu ditulis, diajarkan, dan direvisi dalam kurun waktu tidak lebih dari sepuluh tahun. Ini menunjukkan bahwa gagasan Filsafat Iluminasi, entah secara parsial atau seluruhnya, sudah ada dalam pikiran Suhrawardi ketika menyusun masing-masing karya ini. Sebenarnya, saya ingin menunjukkan bahwa tujuan di balik penyusunan masing-masing karya ini, tak lain dan tak bukan, adalah menyuguhkan Filsafat Iluminasi secara sistematis.

Ini berarti bahwa ketika Suhrawardi menegaskan bahwa At- Talwībāt misalnya, ditulis sesuai dengan "metode Peripatetik", (3) ia bukan karya mandiri atau berdiri sendiri yang ditulis semata- mata sebagai latihan dan penerapan dalam Filsafat Peripatetik, dan juga bukan menggambarkan suatu periode “Peripatetik” dalam kehidupan dan karya-karya Suhrawardi. Alih-alih, ia menunjuk pada kenyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi- dimensi tertentu dari Filsafat Iluminasi sejalan dan selaras dengan ajaran-ajaran Peripatetik, terutama ajaran-ajaran Ibn

P: 20


1- 12. Suhrawardi, Opera I, hlm. 194.
2- 13. Suhrawardi, Opera I, hlm. 124. Struktur “penjelasan tambahan" bagi At-Talwīhāt ini berkaitan dengan struktur At-Talwīhāt, kita hanya akan menelaah struktur At-Talwāhāt, kecuali dalam hal-hal tertentu, yang akan kita sebut dalam catatan kaki.
3- 14. Yakni, 'alā thariq masyā'in. Suhrawardi, Opera II, hlm. 10. Ibid., hlm. 10-11.

Sina yang dijumpai dalam dua karya terkenalnya, yakni Asy- Syifā' dan Al-Isyārāt wa At-Tanbihāt. Menyusun suatu filsafat dalam suatu karya yang meliputi dan mencakup logika, fisika, dan metafisika (dan Filsafat Iluminasi adalah suatu sistem filsafat yang lengkap dalam pengertian ini) berarti bahwa secara umum, Suhrawardi harus bekerja dalam kerangka kerja metodologis dan konseptual tradisi ilmiah dan filosofis yang sudah mapan, yang dalam hal ini dinyatakan secara eksplisit sebagai tradisi Peripatetik, terutama tradisi yang dibangun oleh Ibn Sina (yang sering disebut Suhrawardi di sejumlah tempat dalam teks- teksnya) dan bukan oleh Al-Farabi atau Al-Kindi (yang bahkan tidak pernah disebut-sebut sama sekali).

Filsafat Iluminasi memang menekankan unsur-unsur intuitif tertentu yang melampaui pemikiran diskursif, tetapi ia bukan suatu sistem yang sepenuhnya bertolak belakang dengan, atau berbeda sama sekali dari – Filsafat Peripatetik. Sesungguhnya, Filsafat Peripatetik sebagaimana dikaji dan dipahami Suhrawardi, adalah titik-tolak dan juga komponen yang tak terpisahkan dari metodologi Iluminasi. Hanya dengan membandingkan Filsafat Peripatetik saja seseorang bisa menyadari bagaimana Filsafat Iluminasi bertujuan mengembangkan, dan memperluas pandangan manusia tentang segala sesuatu; kemudian, dalam kerangka itu keberhasilannya dalam mencapai tujuan itu bisa ditentukan.

2.2. Posisi Al-Lamaḥāt dan Karya-karya Lainnya

Karena beberapa alasan, karya Suhrawardi yang berjudul Al-Lamahāt tidak dimasukkan dalam lingkup kajian dan telaah kali ini. Sejak awal, Suhrawardi hanya menyebut Al-Lamahāt satu

P: 21

kali dalam empat karya yang telah disebutkan terdahulu, sementara ada sejumlah penyebutan atau rujuk silang di antara empat karya yang disebut terakhir. Ia juga tidak pernah menyebut-nyebut bahwa Al-Lamahāt adalah bagian dari himpunan karyanya yang mesti dibaca oleh murid Filsafat Iluminasi. Satu-satunya tempat Suhrawardi menyebut Al-Lamahāt ada di dalam bagian “Pendahuluan" Hikmah Al-Isyrāq, tempat ia menunjukkan bahwa di antara karya-karyanya, Al-Lamahāt menempati posisi “di bawah" At-Talwihāt, yang termasuk dalam kelompok karya yang membentuk Filsafat Iluminasi. (1) Dalam bagian “Pendahuluan" Al-Lamahāt, Suhrawardi menyebutnya sebagai suatu karya "yang sangat singkat dan memuat hanya elemen-elemen terpenting dari tiga ilmu (logika, fisika, dan metafisika)". (2) Ternyata, "elemen-elemen terpenting" itu hanya sebuah garis besar atau silabus singkat ihwal topik-topik penting dalam Filsafat Peripatetik, sebagaimana dikemukakan, misalnya dalam karya penting Filsafat Ibn Sina, Asy-Syifā'. Al-Lamahāt menyuguhkan secara sederhana dan tanpa argumentasi prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah utama Filsafat Peripatetik tentang logika, fisika dan metafisika.(3) Sebaliknya, dalam keempat karyanya yang penting, Suhrawardi membicarakan dan membahas – dalam berbagai kadar yang berbeda-prinsip-prinsip dan kaidah- kaidah Peripatetik tertentu yang dipilih dengan hati-hati, baik yang ditolak, atau direvisi, atau akhirnya dirumuskan kembali dalam suatu kerangka Iluminasi baru, dan diungkapkan dengan menggunakan bahasa teknis yang dimodifikasi sesuai dengan uraian tentang Filsafat Iluminasi yang kohesif. Al-Lamahāt tidak mengandung karakteristik-karakteritik seperti itu.(4) Di antara karya-karya lain Suhrawardi, yang di bawah ini -

P: 22


1- 15. Ibid., hlm. 10-11.
2- 16. Suhrawardi, Kitāb Al-Lamahāt, disunting oleh Emile Maalouf, (Beirut: Dar an-Nahar, 1969), hlm. 57. Selanjutnya disebut Al-Lamahāt.
3- 17. E. Maalouf dalam “Pengantar” edisi Al-Lamahāt (hlm. vii) menegaskan bahwa karya ini dianggap sebagai “tonggak dari ikhtisar teori Peripatetik".
4- 18. Suhrawardi memutuskan keinginannya untuk menyusun karya yang menjadi penjelasan topik-topik penting Filsafat Peripatetik, (Al-Lamahāt, hlm. 57). Seperti biasa, dalam semua karyanya, Suhrawardi jarang merujuk pandangan Peripatetik dengan sebutan Al-Masyā'iyyūn, karena ini satu-satunya contoh dalam Al-Lamahāt.

karena berbagai alasan yang akan disebutkan di bawah ini - tidak akan menjadi bagian dari kajian dan telaah atas Filsafat Iluminasi kali ini, tetapi akan dikaji dan ditelaah dalam karya yang akan datang tentang penggunaan kiasan dalam Filsafat Iluminasi.

1. Partawnāmah (Sinar Matahari)(1) adalah sebuah karya berbahasa Persia dan termasuk salah satu karya Suhrawardi yang mandiri. Karya ini dipandang sebagai tonggak Filsafat Iluminasi dalam bahasa Persia. Sengaja tidak saya masukkan karya ini dalam kajian dan telaah sekarang karena analisis atasnya mengandaikan adanya pemahaman tentang apa Filsafat Iluminasi, yang juga menjadi tujuan saya di sini.

Harus disebutkan bahwa Suhrawardi membahas secara rinci subjek fundamental yang mengetahui dan sadar dalam epistemologi. Konsepnya tentang “keakuan” (I-ness, manī) diperluas hingga meliputi dan mencakup “keengkauan" (thou-ness, tū’ī) dan “kediaan" (she/he/it-ness, ū’i).(2) Istilah- istilah yang digeneralisasi ini menunjukkan kesadaran dalam subjek yang mengetahui dan nyata (zhāhir).

2. Hayākil an-Nür (Kuil-Kuil Cahaya), baik yang berbahasa Arab(3) maupun yang berbahasa Persia.(4) Karya ini juga termasuk dalam kategori tonggak Filsafat Iluminasi. Dalam karya ini, Suhrawardi menggunakan penafsiran Al-Qur'an (taʼwil) lebih banyak dibanding dalam karya-karya didaktik penting lainnya. Karena saya berencana mengkaji dan menelaah persoalan penafsiran (ta'wil) dalam metodologi Suhrawardi dengan menggunakan Syarh Hayākil an-Nür karya Jalaluddin Ad-Dawwani pada kesempatan terpisah, maka saya tidak menguraikannya dalam karya ini.

P: 23


1- 19. Diterbitkan dalam Suhrawardi, Opera Metaphysica et Mystica III, disunting oleh H. Corbin dan S. H. Nasr, (Tehran: Institut Franco-Iranien, 1970), selanjutnya disebut Opera III, hlm. 12- 34.
2- 20. Di sini, Suhrawardi menggeneralisasi konsep Huwiyyah (zat atau hakikat) dengan menggunakan konsep istilah Persia ū’i dan memberlakukannya untuk orang pertama dan juga orang kedua. Dengan demikian, manī untuk “keakuan”, tū’i untuk “keengkauan", dan ū'i untuk "kediaan".
3- 21. Suhrawardi, Hayākil an-Nür, disunting oleh Abu Rayyan, (Kairo, 1960).
4- 22. Versi bahasa Persia diterbitkan dalam Opera III, hlm. 54-67.

3. Kisah-Kisah alegoris Arab dan Persia.(1) Sebelas kisah ini menggambarkan ekspresi “puitis" akhir tentang hasil-hasil pengalaman lluminasi (isyrāq). Karya-karya Suhrawardi berjudul Kalimāt at-Tashawwuf (Pepatah Tentang Tasawuf) dan Al-Alwāh Al-Imādi (Lembaran-Lembaran Imādī),(2) meskipun tidak bersifat kiasan, dalam pengertiannya yang kaku harus dimasukkan dalam kategori karya "puitis" dan kiasan, dan tidak termasuk dalam karya-karya sistematis “teoretis" tentang Filsafat Iluminasi.

2.3. Karakter Keempat Karya Penting

Pengelompokan atas empat karya tersebut yang dilakukan di sini, berbeda dari skema Corbin tentang grands traités dogmatiques.(3) Namun, saya ingin melampaui apa yang telah ditegaskan oleh Corbin dan mengemukakan bahwa keempat karya tersebut, ketika dipertimbangkan bersama membentuk sebuah kesatuan utuh berupa usaha yang dilakukan oleh Suhrawardi untuk mengemukakan formulasi baru filsafat secara sistematis. Formulasi baru ini menggunakan suatu bahasa teknis khas, mengaksentuasikan tindakan kreatif intuisi, dan berperan sebagai aksioma utama, tempat pengetahuan jiwa tentang dirinya menjadi dasar dan titik-tolak pengetahuan.

Tujuan Suhrawardi membangun suatu dasar intuisi bagi pembangunan kembali Filsafat Peripatetik adalah tujuan dari masing-masing empat karya tersebut.

Keempat karya itu saling berkaitan satu sama lain dan membentuk keseluruhan yang meliputi siklus yang dimulai dari filsafat diskursif (hikmah Bahtsiyyah)(4) dan berakhir dengan filsafat intuitif (hikmah Dzauqiyyah).(5) Pandangan dasar filsafat ini

P: 24


1- 23. Lihat The Mystical and Visionary Treatise of Suhrawardi, diterjemahkan oleh W. M. Thackston, Jr., (London: Octagon Press, 1982). Terjemahan Thackston termasuk dalam salah terjemahan terbaik atas karya-karya berbahasa Arab dan Persia.
2- 24. Dua risalah itu diterbitkan dalam Si Risalah as Syaikh-i Isyrāq (Tiga Risalah Guru Iluminasi), disunting oleh Najaf-Ali Habibi, (Tehran: t.p, 1977), hlm. 1-121. Saya juga telah merujuk pada kalimat at-Tashawwuf, MS, (Tehran, Majlis Library, Majmūʻah, 3071).
3- 25. Opera I, hlm. xvi.
4- 26. Bagi Suhrawardi, “filsafat diskursif" adalah sikap, metodologi, dan bahasa teknis filsafat, yang sebagian besar, (tetapi tidak semua) diasosiasikan dengan karya-karya Peripatetik Ibn Sina. Istilah-istilah yang digunakan, seperti bahts, al-hikmah al- bahtsiyyah, thariq al-masysyā'īn, dan madzhab Al-masysyā’in, semuanya menunjuk pada filsafat ini dengan prinsip- prinsip tertentu yang tidak disetujuinya. Akan tetapi, yang signifikan bagi Suhrawardi bukan penolakan bahts, melainkan penggabungan bahts yang dirumukan kembali dalam Filsafat lluminasi yang direkonstruksi.
5- 27. Bagi Suhrawardi, "filsafat intuitif" adalah sebuah metode dan titik-tolak untuk rekonstruksi filsafat, dan juga tujuan (yakni, yang ingin dicapai oleh "praktisi") Hikmah Al-Isyrāq yang dipandang sebagai sebuah sistem yang lengkap. Istilah-istilah yang digunakan seperti dzauq, al-hikmah adz-dzauqiyyah, al-'ilm al-hudhūrī, al-'ilm asy-syuhūdi, meski semuanya menunjuk pada “filsafat intuitif," berbeda secara rinci, seperti akan dijelaskan nanti.

berusaha memadukan yang diskursif dan yang intuitif, dijumpai ada dalam masing-masing empat karya ini dalam bentuk yang berbeda, yakni setiap karya ini menyatukan prinsip-prinsip, kaidah- kaidah, metode, serta istilah-istilah teknis filsafat diskursif dengan filsafat intuitif. Akan tetapi, karya pertama dalam lingkup ini, At-Talwihāt, menekankan filsafat diskursif, sementara karya terakhir dalam lingkup ini, Hikmah Al-Isyrāq, menekankan filsafat intuitif. Paduan seperti ini ditemukan hanya dalam empat karya Suhrawardi, kecuali Partawnāmah, Al-Alwāh Al-Imādi, dan Hayākil an-Nür.(1)

2.4. Periode Penulisan Karya-karya Penting: Ihwal Kehidupan Suhrawardi

Sekarang, mari kita kaji dan telaah fakta-fakta historis yang relevan dalam kehidupan Suhrawardi, bukan untuk memberikan biografi kepada pembaca, melainkan untuk menegaskan rentang waktu Suhrawardi menulis karya-karyanya yang penting dan tempat-tempat di mana mengajarkan Filsafat Iluminasi.

Kita hanya mengetahui beberapa tanggal dan rincian peristiwa tertentu dalam kehidupan Suhrawardi. Kita tahu bahwa Suhrawardi dilahirkan di Desa Suhraward di Iran Timur Laut pada 549 H/1155 M, dan dieksekusi atau dihukum mati di Aleppo pada 587 H/1191 M, ini berarti bahwa ia hidup selama 38 tahun Qamariah dan 36 tahun Syamsiah.(2) Kita memperoleh informasi bahwa Suhrawardi datang ke Aleppo pada 579 H/1183 M.(3) Suhrawardi menegaskan bahwa ia merampungkan Hikmah Al-Isyrāq pada 582 H/1186 M.(4) Sementara itu, Syamsuddin Muhammad Asy-Syahrazuri menyatakan dalam Nuzhah Al-Arwāh-nya, bahwa Suhrawardi berumur kira-kira

P: 25


1- 28. Ad-Dawwani menetapkan karya ini sebagai karya bercorak alegoris (marmūzah), yang mengandung rahasia-rahasia kearifan Iluminasi, bentuk kearifan yang dikaruniakan kepada orang pilihan yang dekat dengan Tuhan (Al-Qqirābah Al- Ilāhiyyah), fols. 2r-3v; 82v-84r.
2- 29. Asy-Syahrazuri, Nuzhah al-Arwāh M.S., (Istanbul: Yeni Cami, 908), fols. 233v. Karya Asy-Syahrazuri tentang sejarah filsafat adalah satu-satunya sumber ekstensif dalam uraiannya ihwal riwayat hidup Suhrawardi. Asy-Syahrazuri mungkin memiliki sumber-sumber lisan tentang masalah ini karena kita tidak bisa menempatkan sumber-sumber tertulis lain untuk biografi seperti dilakukan dalam Nuzhah al-Arwāh. Namun, terdapat informasi tambahan tertentu tentang Suhrawardi yang meski tidak ekstensif, bisa menambah pemahaman kita tentang kehidupannya. Kita akan menunjukkan ini saat kita meneruskan kajian ini. Versi terbaru karya Asy-Syahrazuri yang telah dicetak juga ada. Lihat, Asy-Syahrazuri, Nuzhah Al-Arwāh wa Raudhah Al-Afrah fī Tārīkh al-Hukamā' wa Al-Falāsifah, disunting oleh Seyyed Khursid Ahmad, (Hayderabad: Osmania Oriental Publication Bureau, 1976). Terjemahan karya abad ke-16 M berbahasa Persia oleh Maqshud ‘Ali Tabrizi sudah diterbitkan. Lihat Asy-Syahrazuri, Nuzhah Al-Arwāh wa Raudhah Al-Afrah fi Tārīkh al-Hukamā' wa Al-Falāsifah, disunting dan diberi pendahuluan tentang sejarah Filsafat Islam oleh M.T. Danesh- Pajouh dan M.S. Maula'i, (Tehran: t.p, 1986).
3- 30. Fakta ini tidak diperhatikan oleh Corbin dan sarjana-sarjana lainnya. Ini diberikan oleh Ibn Ushaibi'ah, Thabaqat Al- Athibba', disunting oleh A. Muller (Koningsberg: Pr., 1884), hlm. 1-168; dan oleh Yaqut, Irsyad Al-Arib, disunting oleh D. S. Margoliouth, hlm. vi dan 269.
4- 31. Suhrawardi, Opera II, hlm. 258.

30 tahun sewaktu menyelesaikan atau mendekati penyelesaian karyanya yang berjudul Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt (yakni, karya ini diselesaikan pada sekitar 579 H/1183 M).(1) Kita bisa berasumsi bahwa Suhrawardi telah menyelesaikan semua studinya sebelum berangkat ke Aleppo dan mungkin sudah menyelesaikan semua tulisannya sebelum masa itu.

Kita mengenal nama-nama gurunya, tetapi tidak mempunyai informasi yang pasti kapan, atau teks-teks apa, atau bentuk- bentuk karya yang ia pelajari bersama mereka. Sejauh yang kita tahu, guru pertama Suhrawardi adalah Majduddin Al-Jili, yang mengajarinya filsafat dan teologi di Marāgha. Guru Suhrawardi berikutnya adalah Fakhruddin Al-Mardini (w. 594 H/1198 M), yang mengajarinya filsafat di Isfahan atau Mardin,(2) dan mungkin ia adalah gurunya terpenting. Kita tahu bahwa Mardin berada di suatu tempat di Aleppo pada tahun Suhrawardi dieksekusi, yang konon sudah ia ramalkan sebelumnya, (3) tetapi kita tidak tahu apakah ia memainkan peran positif atau negatif dalam intrik yang menjurus pada fitnah dan eksekusi atas Suhrawardi.(4) Penting dicatat bahwa Al-Mardini hidup sezaman dengan sorang anti- Aristotelian, Abu Al-Barakat Al-Baghdadi (w. sesudah 560 H/1164 M), dan murid yang bernama sama Al-Baghdadi, serta musuhnya di Baghdad;(5) berikut ini alasan-alasan lainnya (yang akan kami bahas dalam bagian 2.5 bab ini) yang mungkin menjelaskan mengapa Al-Baghdadi adalah salah seorang dari sejumlah filsuf “sezaman" yang sering disebut-sebut namanya oleh Suhrawardi.

Al-Baghdadi, seperti juga Suhrawardi yang mengikutinya, mengaku bahwa karya utamanya, Al-Mu'tabar, disusun atas dasar "refleksi personal". (6) Kedua filsuf itu mengakui bahwa kepastian-kepastian intuisi sama sahihnya dengan kepastian-

P: 26


1- 32. Asy-Syahrazuri, Nuzhah al-Arwāh, fol. 231r.
2- 33. Yaqut, Irsyād, hlm. vii dan 269.
3- 34. Ibn Abi Ushaibi'ah, Thabaqāt I, hlm. 299-301.
4- 35. Tampaknya Mardini, yang pernah tinggal selama beberapa tahun (587-589 H) di Damaskus, pergi ke Aleppo dan diterima oleh Malik azh-Zhahir. Ibid., hlm. 289-290.
5- 36. Al-Qifthi, Tārīkh al-Hukamā' (terjemahan bahasa Persia abad ke-11 M), disunting oleh Bahman Dara'i, (Tehran: Tehran University Press, 1347 H), hlm. 345.
6- 37. Abu Al-Barakat Al-Baghdadi, Kitāb Al-Mu'tabar. (Haydarabad: t.p, 1357 H.), hlm. I dan 7. Untuk diskusi ihwal posisi “refleksi personal" dan intuisi dalam segenap pandangan Abu Al- Barakat ihwal kedudukan epistemologi pengetahuan personal dan intuitif dalam filsafat. Lihat S. Pines, Nouvelles études sur Awhad az-Zamān Abu Al-Barakat Al-Baghdadi. (Paris: Libraire Durlaches, 1958), hlm. 8,17. Lihat juga bagian 2.5. berikut ini.

kepastian akal dan persepsi indrawi, dan menegaskan bahwa hanya bentuk kepastian terakhir saja yang diterima oleh Filsafat Peripatetik. Akhirnya, kita mengetahui nama guru Suhrawardi yang lain, Zhahir Al-Farsi, yang kepadanya ia belajar Al-Bashā'ir, karya seorang ahli logika terkenal, “Umar bin Sahlan As-Sawi(w.

kira-kira 540 H/1145 M)', yang di kalangan sejumlah kecil filsuf namanya disebut oleh Suhrawardi, terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan rumit tertentu dalam logika.(1) Suhrawardi adalah seorang filsuf muda yang meninggalkan tanah airnya dan pergi ke Suriah pada masa kekacauan dan intrik politik, kemudian masuk ke Aleppo pada 579 H/1183 M, tempat ia mengajar dan bersahabat dengan Pangeran Malik Zhahir Syah, putra Shalahuddin Al-Ayyubi. Lebih jauh, kita tahu tanggal penyusunan dua dari karya-karyanya yang penting. Berdasarkan informasi langka ini, kita berusaha memastikan kemungkinan rentang waktu penulisan karya-karya Suhrawardi yang penting.

Kita tidak tahu dengan pasti kapan Suhrawardi menyelesaikan studi, atau kapan ia mulai mengajar dan menulis, tetapi asumsi-asumsi berikut beralasan untuk dikemukakan.

Suhrawardi mungkin menyelesaikan studinya dengan Al-Jili pada awal umur dua puluh tahunan, dan dengan Al-Mardini pada pertengahan umur dua puluhan. Mari kita asumsikan bahwa sesudah menyelesaikan studinya, ada sebuah periode antara tiga hingga lima tahun, sebelum masa ketika sekelompok murid atau siswa yang sering ia sebut sebagai “saudara" atau “sahabat" mendekat kepadanya. Untuk mereka, yang terus- menerus mendesak dan menuntutnya, ia menulis sebagian besar karyanya. Ini juga berarti bahwa Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya secara lisan sebelum diwujudkan dalam bentuk

P: 27


1- 38. Suhrawardi, Opera I, hlm. 146, 278, dan 352. Menarik untuk dicatat bahwa As-Sawi menulis sebuah komentar atas karya Ibn Sina, Risalah Ath-Thair, dalam bahasa Persia (GAL I, 456. 44), sebuah risalah alegoris yang disusun kembali oleh Suhrawardi, (diterjemahkan dalam The Mystical and Visionary Treatise of Suhrawardi, oleh Thackson, hlm. 21-25). As-Sawi adalah salah seorang pemikir lluminasionis awal dalam Islam.

tulisan. Tidak mungkin karya-karya Suhrawardi yang penting itu ditulis sebelum akhir umur dua puluhan. Paling banter, Suhrawardi punya waktu sepuluh tahun untuk menyusun semua karyanya yang penting, dan mungkin juga, kebanyakan karya lainnya, termasuk kisah-kisah alegoris. Sekarang, sepuluh tahun bukan waktu yang cukup panjang bagi seorang pemikir untuk punya dua masa yang sama sekali berbeda dalam pemikiran yang dikembangkan sepenuhnya, yang satu bercorak Peripatetik dan yang lain bercorak Iluminasi – seperti ditunjukkan oleh beberapa sarjana.(1) Saya sulit mempercayai hipotesis ini, dan kenyataan bahwa Suhrawardi menulis sejumlah sinopsis ajaran- ajaran Peripatetik (yang tanggal-tanggal penyusunannya tidak pasti), tampaknya tidak mendukung hipotesis seperti ini.

Dalam beberapa hal, keempat karya penting Suhrawardi yang dikaji di sini saling merujuk satu sama lain; dan dengan menilai berdasarkan luasnya rujukan silang, karya-karya itu pasti disusun kira-kira pada waktu yang bersamaan, atau setidak- tidaknya direvisi terus-menerus pada saat diajarkan, dengan memperhatikan yang lainnya.(2) Barangkali tahun 582 H/1186 M, tahun yang dinyatakan sebagai masa dirampungkannya Hikmah Al-Isyrāq, adalah tahun ketika sebuah versi sudah ada, tetapi karya ini pasti direvisi menjelang akhir kehidupan Suhrawardi, sebagaimana karya ini diajarkan. Pada 579 H/1183 M, tahun ketika Suhrawardi sudah memasuki Aleppo dan telah menyelesaikan Al- Masyāri' wa Al-Muthārahāt, bisa jadi ia sudah memiliki berbagai “naskah mentah” (atau versi) dari keempat karyanya yang penting, yang ia bahas dan diskusikan selama pertemuan- pertemuan yang diselenggarakan oleh Malik Zhahir Syah.(3)

P: 28


1- 39. Sarjana-sarjana mutakhir dewasa ini juga sudah menerima karya-karya Suhrawardi seperti At-Talwībāt, Al-Muqāwamāt, dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt sebagai karya-karya Peripatetik, yang secara esensial tidak berkaitan dengan Filsafat Iluminasi yang disusun dalam kurun waktu sebelum Suhrawardi mengembangkan berbagai prinsip, kaidah, dan metode lluminasi. Lihat Louis Massignon, Recueil de textes inédits. (Paris: Paul Geuthner, 1929), hlm. 111-113; Carl Brockelman, GAL I, hlm. 437-438, GAL SI, hlm. 481-483; Henry Corbin, “Prolegomènes,” Opera II; Seyyed Hossein Nasr, “Syihabuddin Suhrawardi Maqtul”, A History of Muslim Philosophy, disunting oleh M. M. Syarif, (Weisbaden: Otto Harrasowitz, 1963), hlm. 374; dan juga yang lain-lain yang mengikuti klasifikasi tidak lengkap atas karya-karya Suhrawardi seperti penulis-penulis ini.
2- 40. Lihat, misalnya Suhrawardi, Opera I, hlm. 59, 121, 128, 131, 146, 183, 185, 192, 194, 195, 278, 340, 361, 371, 401, 484, 506. Suhrawardi memandang semua teks penting tersebut saling berkaitan satu sama lain.
3- 41. Yaqut, Irsyad, hlm. vii dan 269.

2.5. Abu Al-Barakat Al-Baghdadi dan Filsafat Iluminasi

Abu Al-Barakat Al-Baghdadi, termasuk di antara sangat sedikit filsuf yang namanya disebut oleh Suhrawardi ketika membahas persoalan-persoalan filsafat tertentu. Di beberapa tempat, ia diidentifikasikan dalam berbagai manuskrip karya- karya Suhrawardi dalam catatan-catatan pinggir ketika menunjuk subjek-subjek yang sedang dibahas dalam teks. Juga, Suhrawardi secara jelas menempatkan posisi Platonis Al-Baghdadi dalam beberapa kesempatan, posisi yang ia lebih menyukainya, dan dalam kaitannya dengan isu-isu kunci filsafat, metodologi Al- Baghdadi bergaung dalam reformulasi atau perumusan kembali prinsip-prinsip filsafat Suhrawardi. Tentang persoalan terpenting dasar filsafat Suhrawardi, dan Al-Baghdadi yang mendahuluinya pun mengambil posisi intuisionis dengan memberikan kepada intuisi utama yang berperan penting dalam bangunan filsafat.

Struktur karya filsafat Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, juga tercermin dalam karya-karya filsafat Suhrawardi. Tampaknya terbukti bagi saya, bahwa Al-Baghdadi harus dianggap sebagai seorang sumber langsung yang penting bagi sejumlah pendekatan non-Peripatetik yang ditempuh Suhrawardi dalam menghampiri persoalan-persoalan filsafat. Metodologi filsafat Ibn Sina, penggunaannya atas istilah teknis, dan tujuan filsafatnya menjadi standar atau tolok ukur yang digunakan dalam mengkaji, menelaah, dan menguraikan lebih jauh Filsafat Arab dan Persia.

Al-Baghdadi dan Suhrawardi melakukan upaya-upaya serius dalam merumuskan kembali beberapa prinsip Filsafat Ibn Sina, sesuatu yang tidak dilakukan oleh filsuf itu dalam bentuk yang sistematis seperti itu. Dalam hal ini, bacaan Suhrawardi atas karya filsafat Al-Baghdadi berjudul Al-Mu'tabar mesti akan dikaji

P: 29

dan ditelaah, karena ia akan membantu menjelaskan bangunan Filsafat Iluminasi.

Berikut ini, saya akan merujuk pada karya Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, ketika menganalisis Filsafat Iluminasi Suhrawardi untuk menunjukkan kaitan antara kedua metodologi itu dan untuk mencatat tema-tema umum mereka yang anti-Ibn Sina.

Saya tidak bermaksud membuat suatu perbandingan yang mendalam. Akan tetapi, Filsafat Iluminasi akhirnya dibedakan dari karya filsafat Al-Baghdadi dalam penggunaan metafora atau kiasannya atas “cahaya" dalam posisi ontologisnya, teori Iluminasinya tentang emanasi, dan teori Epistemologinya tentang pengetahuan dengan kehadiran dan dalam bentuknya yang didefinisikan sebagai filsafat Sistematis non-Peripatetik yang dirancang sebagai sistem lluminasionis yang terpisah. Hal ini tampak jelas dan gamblang manakala Al-Mu'tabar dikaji dan ditelaah dengan maksud untuk memahami karya-karya Filsafat Suhrawardi.

3. KARYA-KARYA PENTING YANG DIKAJI

3.1. At-Talwīhāt

Dalam bagian "Pendahuluan” tentang bab “Ilmu Ketiga" (Al- ‘ilm a-tsālits, yakni metafisika) dalam At-Talwīhāt, Suhrawardi menegaskan, “[Dalam buku ini) aku tidak menaruh perhatian pada ajaran Peripatetik yang sudah terkenal itu; alih-alih, aku akan meninjau dan merevisinya semampuku dan hanya akan menyebutkan inti dalil-dalil (qawāʻid) dari 'Guru Pertama'. (1) Lebih jauh, dalam “Pendahuluan” Hikmah Al-Isyrāq,

P: 30


1- 42. Suhrawardi, Opera I, hlm. 2.

ia menegaskan bahwa At-Talwihāt adalah suatu karya yang disusun sesuai dengan “metode Peripatetik" ('Alā Thariq Al-Masysyā'iyyīn),(1) sementara di akhir At-Talwihāt, ia menegaskan, “Dalam buku ini, aku telah memberikan apa yang memungkinkan seseorang membuang [metode- metode Peripatetik], plus hal-hal yang menakjubkan dan unik. Buku ini memuat kaidah-kaidah ilmu yang telah ditetapkan dengan sangat hati-hati. Di dalamnya, tidak ada ketimpangan, atau ketidaksesuaian, dan juga pikiran yang berserakan. Aku nasihatkan agar engkau tidak mengikutiku secara membuta, dan juga orang lain. Sebab, tolok-ukur sebenarnya dari segala sesuatu adalah demonstrasi .... Beralihlah kepada 'ilmu-ilmu yang dialami’(2) agar engkau menjadi seorang filsuf."(3) Kita bisa menyimpulkan dari berbagai pernyataan, bahwa At- Talwībāt adalah sebuah karya yang di dalamnya menggunakan “metode Peripatetik", Suhrawardi menganalisis berbagai persoalan penting filsafat diskursif dan juga mengemukakan berbagai kesimpulan tertentu atau kebenaran dari sebuah hakikat simbolis – semuanya ini, katanya adalah “rahasia-rahasia" – dan menyuguhkan suatu pandangan filsafat yang menunjuk pada "pengetahuan yang dialami” sebagai jenis pengetahuan tertinggi yang juga menjadi dasar bagi epistemologi. Pengetahuan yang dialami sebagai intuisi ruang dan waktu utama, perlu dijelaskan atau didiskusikan oleh sebab itu, bahts atau filsafat diskursif memang penting dan diperlukan, dan metodologi Peripatetik harus digunakan dalam proses menjelaskan apa intuisi itu. Ini ciri penting dari pandangan Suhrawardi tentang sejarah filsafat, khususnya sejarah filsafat dalam Islam. Pandangan ini, yang

P: 31


1- 43. Suhrawardi, Opera II, hlm. 10. Ada sejumlah contoh dalam keempat karya Suhrawardi di mana ia membahas relevansi “metode Peripatetik” (tharīq al-masysyā'īn) bagi murid Filsafat lluminasi. Semua ini akan kita telaah dalam bab- bab berikutnya. Kebanyakan sarjana gagal melihat bahwa metodologi Iluminasionis tidak menegasikan metodologi Peripatetik; sebaliknya, ia memadukannya sebagai piranti dalam rekonstruksi metafisika. Segera bisa kita pastikan dalam bagian pendahuluan ini, pentingnya metodologi Peripatetik dari pernyataan Suhrawardi di bagian akhir Hikmah Al-Isyrāq, “Sampaikanlah dan ajarkanlah Filsafat Iluminasi hanya kepada mereka yang sudah memahami dan benar-benar kompeten dalam metodologi Peripatetik.” (Opera II, hlm. 258).
2- 44. Yakni Al-'ilm At-Tajarrudi Al-Mitsāli Asy-syuhūdi. Bandingkan R. Arnaldez, El?, s.v. "Ishraq."
3- 45. Suhrawardi, Opera I, hlm. 120-121.

juga dibahas secara rinci dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt dan Hikmah Al-Isyrāq, dikemukakan dalam At-Talwihāt melalui ingatan Suhrawardi tentang sebuah visi mimpi berjumpa Aristoteles, yang memberitahunya dalam mimpi bahwa di antara orang-orang “bijak" (hukamā”) dalam Islam, hanya mistikus atau sufi seperti Abu Yazid Al-Basthami dan Al-Hallaj saja yang sudah mencapai kebersatuan dengan akal aktif; mereka orang-orang bijak sejati karena telah melampaui filsafat diskursif melalui pengalaman pribadinya.(1) Dalam bagian sebelumnya, Suhrawardi memberitahu kita bahwa tipe-tipe pengetahuan tertentu, yang menempati peringkat sama dengan yang diperoleh melalui kebersatuan dengan akal aktif, telah diperoleh oleh para filsuf seperti Aristoteles, Plato, filsuf-filsuf lainnya di zaman kuno, serta juga para mistikus dalam Islam,(2) dan “hakikat-hakikat" (haqā'iq) yang diperoleh semacam itu dikatakan sebagai hasil suatu bentuk pengetahuan intuitif dan dialami.(3) Berkenaan dengan prinsip epistemologi yang sangat penting ini, Suhrawardi mempersilahkan pembaca untuk merujuk pada Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, tempat ia membahas secara luas pengetahuan jiwa tentang segala sesuatu dalam hubungannya dengan pengetahuan diri dan juga berbagai problem epistemologi terkait lainnya. Posisi Suhrawardi berkenaan dengan apakah filsafat itu berikut pandangan-pandangannya, signifikansi epistemologi dari tindakan-tindakan kreatif intuisi, persoalan pengalaman pribadi, dan “rahasia-rahasia" (rumūz), sebagaimana dijelaskan dalam At-Talwībāt, adalah rambu-rambu yang jelas dalam Filsafat Iluminasinya. Di banyak tempat dalam At-Talwihāt, terutama dalam bab tentang visi mimpi dengan Aristoteles, prinsip-prinsip Iluminasi dibahas Suhrawardi dengan panjang lebar, meskipun

P: 32


1- 46. Ibid., hlm. 70-74.
2- 47. Pada dasarnya, ini pandangan tentang “sumber-sumber" Suhrawardi, bukan dalam pengertian historis yang kaku, melainkan dalam pengertian genealogi spiritual. Pandangan ini mempertimbangkan adanya dua cabang dalam genealogi spiritual, yang satu Barat yang meliputi Empedokles, Phythagoras, Plato, dan dalam Islam (masih Barat) yang meliputi Dzūn-Nun al-Mishri dan Sahl bin 'Abdullāh at- Tustarī; dan cabang Timur lain yang meliputi Gayomarth, Faridun, Kay Khusrau, serta dalam Islam (masih Timur) Abū Yazid Basthami, Manshur Al-Hallaj dan al-Kharraqāni. Kedua cabang ini diawali dari Hermes, “Bapak para Filsafat" (wālid al- hukamā') dan berakhir dengan Suhrawardi. Lihat R. Arnaldez, EP, s.v. “Ishrākiyyūn." Harus diperhatikan bahwa setiap filsuf Iluminasionis diberkati dengan suatu “tanda" khas atau kualitas, yang mengingatkan Saipóviov dari Socrates, dan disamakan dengan khvarnah Persia, yang disebut Suhrawardi dengan kiyān kharra atau farra-yi izadi.
3- 48. Opera I, hlm. 58.

dengan menggunakan bahasa teknis non-lluminasi, dan ini adalah sebuah indikasi yang jelas dari tujuannya dalam buku ini:

meletakkan dasar Filsafat Iluminasi dengan mengemukakan “inti" ajaran Filsafat Aristoteles. Ini menunjukkan bahwa karya tersebut tidak bisa dipandang sebagai sebuah karya Peripatetik yang terpisah dari – dan tidak berkaitan dengan – Filsafat Iluminasi.

Dalam bagian “Pendahuluan" Hikmah Al-Isyrāq, Suhrawardi menegaskan dengan jelas bahwa “filsafat diskursiſ" (hikmah Bahtsiyyah) adalah sebuah komponen penting "filsafat intuitif" (hikmah Dzauqiyyah).(1) Lebih jauh, ia menegaskan bahwa hanya kombinasi sempurna dari dua metodologi itu saja yang akan mengarah dan bermuara pada kebijaksanaan atau kearifan sejati (hikmah) – tujuan Filsafat Iluminasi — dan jika di sini, kita membuat identifikasi antara "filsafat diskursif” dan “inti" ajaran Aristoteles, kita menyadari mengapa At-Talwībāt sebagai karya filsafat, dianggap sebagai langkah awal dalam membangun kembali Filsafat Iluminasi. Pada dasarnya, At-Talwībāt adalah bagian “diskursif" dari metodologi Filsafat Iluminasi. Suhrawardi menguraikan bahwa ia memerlukan bagian metodologi Peripatetik untuk digunakan dalam karyanya ini. Akan tetapi, ini hanya satu komponen dari At-Talwībāt, komponen yang paling jelas, dan komponen yang telah mengantarkan sarjana-sarjana dan komentator-komentator berpikir, bahwa karya ini adalah tonggak “baku" ajaran Peripatetik. Komponen At-Talwihāt yang kurang jelas, yang nanti akan dikaji dan ditelaah dengan hati- hati – bisa ditentukan atau ditetapkan dengan memperhatikan bahwa karya ini bukan sekadar suatu paparan “inti" tentang ajaran Aristoteles, tetapi lebih dari itu. Perhatikanlah bagian dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt berikut ini:

P: 33


1- 49. Suhrawardi, Opera II, hlm. 12. Bandingkan Quthbuddin Asy-Syirazi, Syarh Hikmah Al-Isyrāq Komentar atas Filsafat Iluminasi], (Tehran, 1313 A.H.), hlm. 3-4, (selanjutnya disebut Syarh II). Pendahuluan Suhrawardi untuk karya ini sangatlah penting. Jadi, kami suguhkan kepada pembaca terjemahan lengkapnya. Lihat Appendiks A di bagian belakang buku ini.

“Jika seseorang ingin menemukan apa yang penting untuk diketahui sebelum [mempelajari] Hikmah Al- Isyrāq, maka itu ada di dalam buku At-Talwīhāt, tempat aku menyatakan pendapat-pendapatku yang berbeda dari 'guru filsafat diskursif', Aristoteles. "(1)" Diskusi dan pembahasan Suhrawardi tentang "inti" ajaran Aristoteles pun sejalan dan sesuai dengan apa yang telah dirumuskannnya kembali, yakni menjadi ajaran, dan bukan suatu ikhtisar sederhana darinya. Tujuan utama At-Talwihāt adalah menerima suatu metodologi Peripatetik yang telah dirumuskan kembali sebagai komponen penting dari metode Iluminasi, dan mengajarkan hal ini kepada murid-murid Filsafat Iluminasi.

3.2. Al-Mugāwamāt

Dalam banyak hal, apa yang sejauh ini telah saya kemukakan tentang At-Talwīhāt juga berkaitan dengan Al-Muqāwamāt karena penulisnya menyebut karya ini sebagai penjelasan tambahan (addendum, syarh) bagi At-Talwībāt dan secara substansial tidak berbeda, tentu saja bukan dalam tujuan atau struktur utamanya. Akan tetapi, Al-Muqāwamāt sudah selangkah lebih maju dalam menjelaskan doktrin atau ajaran Iluminasi yang lebih spesifik dan komprehensif, serta menggunakan istilah teknis yang lebih tidak baku ketimbang At-Talwīhāt, dan memang, At-Talwīhāt sering disebut-sebut dalam Al-Muqāwamāt, terutama yang menunjukkan bahwa subjek yang sama diuraikan dengan baik di situ.(2) Dalam satu kesempatan, Suhrawardi menyatakan bahwa Al-Muqawamāt sudah sejalan dan sesuai dengan “metode At-Talwīhāt", (3) sehingga Al-Muqāwamāt juga dianggap sebagai sebuah komponen "diskursif" lebih jauh

P: 34


1- 50. Suhrawardi, Opera I, hlm. 484.
2- 51. Ibid., hlm. 128, 146, 183, 188.
3- 52. Yakni Thariq, At-Talwībāt. Ibid., hlm. 188. “Rahasia-Rahasia," atau “metafor-metafor” (ar-rum ūz) dalam Al-Talwāhāt dikatakan harus dipahami hanya dalam kaitannya dengan pembahasan dalam Al-Muqāwamāt.

dari metodologi Iluminasi. Di bagian akhir Al-Muqāwamāt, Suhrawardi menunjukkan kaitannya dengan karya-karyanya yang lain, ketika ia mengantisipasi Hikmah Al-Isyrāq dengan menunjuk kepada Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt sebagai karya yang menguraikan secara rinci ihwal Filsafat Iluminasi, dan lebih jauh memberitahu pembaca bahwa Al-Muqawamāt adalah sebuah karya yang membahas lebih dalam pokok persoalan yang dibicarakan dalam At-Talwihāt.(1) “Memang, saya berpandangan bahwa Al-Muqāwamāt adalah karya yang lebih argumentatif dan lebih maju ketimbang At-Talwībāt."

3.3. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt

Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt adalah karya Suhrawardi yang sangat terkenal sesudah Hikmah Al-Isyrāq. Jika kita menyandingkan gaya yang lebih bagus dari karya yang disebut terakhir ini, maka kita harus menjelaskan bahwa Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt adalah karya Iluminasi terpenting yang mengandung, sebagaimana kita diberitahu oleh Suhrawardi, "analisis rinci" ajarannya. Ini adalah karya yang sengaja disusun lebih panjang daripada Hikmah Al-Isyrāq.(2) Dalam karya ini, Suhrawardi menyusun rincian prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, dan metodologi yang dibahasnya hanya secara singkat dalam Hikmah Al-Isyrāq. Para komentator Hikmah Al-Isyrāq lebih sering merujuk kepada Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt ketimbang karya-karya Suhrawardi lainnya. Jika Hikmah Al-Isyrāq dirancang sebagai suatu pernyataan yang lebih puitis tentang kesatuan pengalaman Iluminasi, maka Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt adalah sebuah analisis filosofis atas pengalaman tersebut yang disusun dengan baik.

P: 35


1- 53. Suhrawardi, Opera I, hlm. 192.
2- 54. Bagian Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt yang sudah diterbitkan (dalam Corbin, Opera I), hanya memuat Al-Qism ats-Tsālits: Fi al-'Ilm al-Ilāhi (Bagian Ketiga: Ihwal Metafisika), yang memuat kurang dari sepertiga dari keseluruhannya dan bahkan lebih banyak dibandingkan dengan keseluruhan Hikmah Al-Isyrāq.

Pernyataan paling eksplisit tentang sifat Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt dikemukakan oleh Suhrawardi dalam bagian "Pendahuluan “Buku ini terdiri dari tiga ilmu [logika, fisika, metafisika).

Aku menyusunnya atas dorongan kalian, saudara- saudaraku. Di dalamnya, aku menguraikan subjek-subjek dan dalil-dalil yang tidak ditemukan dalam karya-karya lain [tentang filsafat]. [Dalil-dalil ini] benar-benar bermanfaat, dan telah diperoleh, dan diperbaiki melalui segenap pengalaman personalku.(1) Namun, aku sama sekali tidak berangkat dari jalan Peripatetik, meskipun dalam karya ini, aku mengutarakan berbagai pendapat yang mengisyaratkan prinsip-prinsip luhur [filsafat] di samping apa yang telah diuraikan oleh para filsuf Peripatetik.

Orang yang tak berprasangka, yang dengan hati-hati telah mempelajari karya-karya Peripatetik akan menemukan bahwa karya ini lengkap, sementara karya-karya lainnya masih mengandung kekurangan. Barang siapa belum memahami ilmu-ilmu Diskursif maka ia tidak akan bisa memahami karyaku yang berjudul Hikmah Al-Isyrāq.

Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt harus dibaca sebelum mengkaji Hikmah Al-Isyrāq, dan sesudah menelaah karya ringkas yang berjudul At-Talwihāt. Di sini, aku tidak menyempurnakan struktur [karya-karya Peripatetik tertentu), juga tidak mendukung dalam beberapa hal, subiek ilmu yang sudah mapanl, tetapi tujuanku lebih jauh dalam karya ini adalah filsafat diskursif, meskipun yang demikian harus melibatkan [bahasan] kaidah- kaidah berbagai ilmu lainnya. Karena itu, ketika murid filsafat diskursif mempelajari metode ini dengan baik.

ja bisa memulainya dengan praktik-praktik asketik vang mencerahkan dengan perintah seorang yang ahli dalam lluminasi (Al-qayyim 'alā Al-Isvrāq),(2) agar sebagian dari prinsip-prinsip dasar lluminasi tampil di hadapannya.

Sesudah [permulaan seperti ini], ia akan berada dalam posisi untuk memahami prinsip-prinsip segala sesuatu [al-asyyā']. Sementara itu, tiga bentuk [ash-shuwar ats- tsalāts) yang disebutkan dalam Hikmah Al-Isyrāq adalah:

P: 36


1- 55. Yakni Mukharrajah Musyahadah min Tasharrufāt. Bandingkan Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, hlm. 1-4.
2- 56. Ada sejumlah rujukan kepada orang yang disebut sebagai Al- Qayyim 'alā Al-Isyrāq dalam karya-karya Suhrawardi. Dalam Hikmah Al-Isyrāq, orang seperti ini disebut qayyim al-kitāb (Opera II, hlm. 258). Suhrawardi menyebut orang itu sebagai al-qayyim bi ‘ilm al-kitab fi ‘ahdinā (Opera II, hlm. 260). Fungsi orang seperti itu, tidak seperti mursyid sufi, harus “menjaga" rahasia-rahasia Filsafat Iluminasi dan membahasnya hanya bersama murid-murid, yang untuk mereka, ia bertindak sebagai pembimbing dan mentor. Quthbuddin Asy-Syirazi menyebut orang seperti ini sebagai “orang yang menyadari rahasia-rahasia (asrār) Filsafat Iluminasi”, (Syarh II, hlm. 561).

[edisi Corbin memberikan tiga sandi](1) titik-tolak filsafat adalah meninggalkan dunia; pertengahannya [ditandai dengan] melihat Cahaya Tuhan (al-anwār al-ilāhiyyah); dan ujungnya tidak berbatas. Aku namakan buku ini Al- Masyāri' wa Al-Muthārahāt."(2) Kita mencatat dari “Pendahuluan" ini bahwa Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt bukanlah satu-satunya karya yang disusun sesuai dengan metodologi Peripatetik. Seperti Hikmah Al-Isyrāq, karya ini juga berpijak pada “refleksi personal" Suhrawardi. Ia bukan sekadar sebuah karya yang di dalamnya kelemahan-kelemahan ajaran Peripatetik dikemukakan, melainkan juga sebuah karya yang mengantarkan pembaca kepada suatu pembahasan yang mendalam tentang apa Filsafat lluminasi itu. Sebagaimana ditegaskan oleh Suhrawardi, struktur karya tersebut juga berbeda dari karya-karya Peripatetik standar.

Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt memuat sejumlah rujukan pada Hikmah Al-Isyrāq dan pada berbagai karakteristik yang “menakjubkan", “simbolis”, “metaforis", serta “iluminasionis" dari karya yang disebut terakhir ini. (3) Dalam beberapa hal, dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, Suhrawardi menyebut Hikmah Al-Isyrāq-nya sebagai karya di mana bisa ditemukan “kunci” bagi “rahasia-rahasia" ajarannya. (4) Juga, ada berbagai indikasi yang menunjukkan bahwa ketika menyusun Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, Suhrawardi telah menempatkan batasan- batasan tertentu atas dirinya. Semua ini jelas menunjukkan bahwa suatu versi yang sempurna dari kedua karya ini sudah ada secara bersamaan, “Sementara itu, apa yang kuyakini berkenaan dengan persoalan ini sudah disebutkan dalam karyaku yang

P: 37


1- 57. Sandi-sandi itu tidak digambarkan di sini. Lihat Opera I, hlm. 124 catatan pada baris 12.
2- 58. Suhrawardi, Opera I, hlm. 194-195.
3- 59. Lihat, misalnya, Ibid., hlm. 361, 401.
4- 60. Ibid., hlm. 505.

berjudul Hikmah Al-Isyrāq. Aku tidak dapat menyebutnya secara eksplisit di sini [dalam Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt] karena tujuanku dalam buku ini adalah [membahas] analisis diskursif dengan cara sedemikian rupa agar tidak terlalu jauh tersesat atau menyimpang dari pendekatan Peripatetik."(1) Ada sejumlah karakteristik dalam Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt yang menunjukkan pentingnya karya ini sebagai sebuah karya yang tak terpisahkan dalam mempelajari Filsafat Iluminasi. Pertama, sebagaimana diketahui, ada sejumlah rujukan dalam Hikmah Al-Isyrāq. Kedua, karya penting ini mengandung kajian yang kaku dan rinci atas sistem Filsafat Suhrawardi yang tidak ditemukan sedemikian rincinya dalam Hikmah Al-Isyrāq.

Contoh untuk itu, ketika Suhrawardi membahas konsep bahasa dan komposisi simbolis sebagai satu-satunya sarana untuk menuliskan pengetahuan yang dialami, dan ketika ia membahas semantik “bahasa Iluminasi" (lisan Al-Isyrāq).(2) Suhrawardi sangat menekankan pentingnya menggunakan bahasa dengan tepat dan benar dalam filsafat, tetapi ia tidak pernah menguraikan subjek "bahasa Iluminasi" dalam Hikmah Al-Isyrāq, seperti dilakukannya dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Pembaca diharapkan sudah mengetahui karya yang disebut terakhir ini, karena rincian-rincian tentang posisi bahasa dalam membangun kembali metafisika benar-benar dikaji dan ditelaah.

Filsafat Iluminasi menggunakan suatu bahasa khas, seperangkat istilah teknis tertentu, dan menekankan penggunaan bentuk ekspresi simbolis yang berpijak pada, dalam rentang luas dan dalam prinsip- citra cahaya dan kegelapan. Simbolisme cahaya digunakan untuk membatasi wujud dan batas-batas

P: 38


1- 61. Ibid., hlm.483.
2- 62. Ibid., hlm. 494.

wujud, bentuk dan materi Tuhan, hal-hal terpikirkan yang primer maupun yang sekunder, intelek, jiwa, hakikat individu, serta beragam tingkatan intensitas pengalaman mistis. Singkat kata, penggunaan simbol-simbol adalah ciri integral dari bangunan Filsafat Iluminasi, dan bentuk ekspresi simbolis ini juga menjadi ciri utama Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Dalam karya ini, bentuk simbolis selalu disuguhkan dalam suatu kerangka Filsafat Peripatetik berikut terminologi teknisnya untuk mengajari pembaca tentang bahasa baru yang digunakan. Sekarang, jelas bahwa Filsafat Peripatetik Diskursif menggunakan sebuah bahasa yang telah digunakan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan kira-kira sudah dibakukan di masa Suhrawardi. Akan tetapi, dengan memperhatikan penggunaan "bahasa Iluminasi" oleh Suhrawardi, mesti diajukan pertanyaan berikut ini, “Seberapa jauh sistem Filsafat Baru Suhrawardi menjadi ekspresi simbolis dan penggunaan khusus suatu bahasa?" Pertanyaan seperti ini mengantarkan kita untuk mengkaji dan menelaah sistem Iluminasi dalam kaitannya dengan Peripatetik guna melihat, bagaimana dua bentuk itu berkaitan dan akhirnya menunjukkan berbagai perbedaan esensial di antara keduanya? Begitu dua “bahasa" itu sudah diidentifikasi, seperti pernah ditunjukkan oleh para komentator Filsafat Iluminasi, kita menyadari bahwa: [1] hingga saat ini ada suatu hubungan tak kasat mata di antara dua sistem itu; [2] “bahasa Iluminasi" adalah sebuah mode yang penting untuk membangun dan mengekspresikan Filsafat Iluminasi; dan [3] diskusi atau pembahasan apa pun ihwal konsep “Iluminasi", yang menegaskan pengalaman sebagai dasar epistemologi, memerlukan bahasa untuk mengekspresikan “pengalaman" dalam suatu cara analisis yang tidak menghilangkan ihwal

P: 39

makna pengalaman tersebut.

Sebagaimana akan kita lihat nanti, ini prinsip dasar Iluminasi, yakni mengetahui sesuatu berarti memperoleh “pengalaman" tentangnya, sama dengan intuisi primer tentang batasan-batasan sesuatu. Pengetahuan tentang sesuatu yang dialami dan dianalisis hanya menimbulkan akibat pada penangkapan intuitif yang menyeluruh dan langsung tentang apa sebenarnya sesuatu itu. Apakah ada sesuatu? Kita mungkin bertanya pada titik ini, dalam “pengalaman" suatu subjek yang mengharuskan, apa yang diperoleh oleh subjek itu melalui suatu bahasa simbolis yang disusun secara khusus? Jawaban atas pertanyaan ini akan dikaji dan ditelaah dari berbagai sudut pandang, tetapi sudah jelas, bahkan pada titik awal ini, bahwa “bahasa Iluminasi" Suhrawardi adalah upaya yang dilakukannya untuk menggunakan suatu bahasa khusus yang digunakan untuk menggambarkan “pengalaman" Iluminasi. Juga sama- sama jelas dan gamblang bahwa penafsiran simbolisme Iluminasi dan implikasi-implikasinya merupakan aspek-aspek utama kontroversi seperti apa Filsafat Iluminasi itu. Harus dicamkan dan diingat bahwa simbolisme bangunan Filsafat Iluminasi dikembangkan secara rinci oleh Suhrawardi dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, dan dengan demikian, karya ini tidak dapat dilepaskan dari upaya kita dalam memahami Filsafat Iluminasi.

Ada sisi “lisan" yang sangat penting bagi ajaran-ajaran Suhrawardi, suatu ajaran yang telah diuraikan secara lebih bebas, tanpa terbatas, dan tidak terkendala oleh kata yang tertulis dengan bahasa simbolis Filsafat Iluminasi. Ajaran-ajaran “lisan" itu pasti terbatas pada lingkaran murid-murid atau sahabat- sahabat dekat Suhrawardi.(1) Kesimpulan saya ini diperkuat oleh

P: 40


1- 63. Kami simpulkan dari berbagai sebutan dalam semua karya Suhrawardi dengan “saudara-saudaraku" (ikhwānī), “sahabat- sahabat kami” (ashhābunā), dan sebagainya. Lihat, misalnya Suhrawardi, Opera II, hlm. 10, 257-260.

penyebutan Suhrawardi kepada seseorang yang “ahli dalam Iluminasi", yang bisa disamakan dengan guru sufi atau mursyid, berikut sejumlah pernyataannya yang kurang lebih mengatakan bahwa Filsafat Iluminasi tidak bisa didiskusikan atau dibahas dengan semua orang, dan tentu saja tidak juga dengan mereka yang berada di luar lingkaran terbatas itu. Ajaran lisan Filsafat Iluminasi yang ditujukan kepada sekelompok sahabat menjadi sarana untuk menyelami simbol dan sekaligus mengungkap makna yang dimaksudkannya. Diskusi atau pembahasan apa pun tentang pengalaman Iluminasi itu, menurut Suhrawardi, tidak bisa dibatasi pada bentuk ungkapan biasa dan analisis diskursif murni. Simbol-simbol (tanda-tanda dan rahasia-rahasia) harus digunakan. Simbol (termasuk metafora, dan alegori atau kiasan) memiliki karakter sedemikian rupa sehingga akan mengundang datangnya respons dalam jiwa dan dalam pikiran subjek, yang mengungkapkan pengalaman yang - betapa pun juga, tetap bersifat personal dan hanya bisa dikomunikasikan sepenuhnya dalam lingkaran terbatas sahabat-sahabat dekat. Di dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, kita menemukan pernyataan eksplisit tentang hal ini sebagai berikut:

“Misteri besar dan luhur yang dicakup oleh ungkapan simbolis [dan metaforis] dari buku karyaku berjudul Hikmah Al-Isyrāq hanya bisa kutujukan kepada sahabat- sahabatku, kaum Iluminasionis (Ashhābunā Al- Isyrāqiyyūn)."(1) Kemudian, para “sahabat lluminasionis", yang juga disebut oleh Suhrawardi sebagai “saudara", yang membentuk lingkaran “persaudaraan abstraksi” (ikhwān at-tajrid),(2) sudah punya akses pada tingkat pemahaman Filsafat Iluminasi yang

P: 41


1- 64. Suhrawardi, Opera I, hlm. 334.
2- 65. Ikhwān at-Tajrid adalah kelompok yang meliputi Suhrawardi dan murid-muridnya langsung, tetapi juga melampaui mereka sehingga mencakup para filsuf dan mistikus sebelumnya. Inilah sebuah persaudaraan spiritual yang tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Lihat, Suhrawardi, Opera I, hlm. 74, 95, 103, serta 506.

tidak terkandung dalam buku-buku ini. Tingkat iluminasi semacam itu adalah tingkat di mana Suhrawardi telah menyampaikan wacana- wacananya semasa ia masih hidup, dan mungkin dilanjutkan oleh orang yang "ahli dalam Iluminasi" sesudah ia meninggal dunia. Hanya pada titik ini kita menyadari bahwa karya-karya Suhrawardi, seperti At-Talwihāt dan Al-Muqāwamāt (yang sering disebut dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt) – yang mengandung “metode Peripatetik” – juga dimaksudkan untuk menunjukkan kelemahan metode itu, sebagaimana kita ketahui dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt.(1) Kemudian, pesannya menjadi jelas: metode "Peripatetik" dan bahasa biasa pun gagal menyampaikan esensi “pengetahuan" yang menjadi dasar epistemologi Iluminasi.

3.4. Hikmah Al-Isyrāq

Karya Suhrawardi yang paling terkenal adalah Hikmah Al- Isyrāq. Ini adalah karya terakhir dari empat karya yang dikaji dan ditelaah di sini, karya yang di dalamnya, prinsip-prinsip Filsafat Iluminasi disuguhkan secara sistematis, meskipun terkadang sangat singkat dalam bentuk yang indah dan sempurna. Inilah karya yang disebut-sebut oleh Suhrawardi sebagai pemuat pengertian intuitifnya tentang dasar filsafat dan juga karya yang secara sistematis merumuskan hasil-hasil yang diperoleh dari segenap pengalaman mistis Suhrawardi dan menggabungkannya dalam membangun kembali filsafat. Karya ini memuat formulasi terakhir sistem baru Suhrawardi dengan jelas dan dalam suatu bentuk simbolis, yang rincian-rinciannya sudah dikemukakan dalam ketiga karya yang telah disebutkan. Malahan, karya ini juga memuat metodologi, kaidah-kaidah, dan prinsip-prinsip filsafat

P: 42


1- 66. Suhrawardi, Opera I, hlm. 334.

diskursif dan Iluminasi. Paduan filsafat diskursiſ (Al-Hikmah Al-Bahtsiyyah) dan filsafat intuitif (Al-Hikmah Adz-Dzauqiyyah) yang harmonis dan sempurna adalah tujuan dan tanda khas Filsafat Iluminasi.

Hanya At-Talwihāt dan Al-Lamahāt saja yang dirujuk oleh Suhrawardi dalam Hikmah Al-Isyrāq. (1) Dalam karyanya berjudul Syarh Hikmah Al-Isyrāq, Quthbuddin Asy-Syirazi menegaskan bahwa ini menunjukkan bahwa Suhrawardi sudah mulai menulis, tetapi belum merampungkan karya-karyanya yang lain sebelum menyusun Hikmah Al-Isyrāq.(2) Seperti telah saya kemukakan sebelumnya, Suhrawardi pasti sudah menulis atau merevisi karya- karya pentingnya secara bersamaan. Dalam Hikmah Al-Isyrāq, Suhrawardi tidak menyebut Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt secara khusus, tetapi signifikansi karya ini sudah diketahui.(3) Akan tetapi, Quthbuddin yakin dalam pernyataannya, “Aku telah menyusun At-Talwīhāt dan kemudian Al-Lamahāt, dan yang lain- lainnya dengan mengikuti metode Peripatetik,"(4) maka yang dimaksud oleh Suhrawardi dengan "yang lain-lainnya" adalah Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt dan Al-Muqāwamāt.(5) Dengan memperhatikan apa yang telah saya kemukakan sebelumnya, saya tidak sependapat dengan pandangan ini. Dengan menyebut-nyebut At-Talwāhāt, pada dasarnya Suhrawardi telah merujuk pada Al-Muqāwamāt karena kita tahu bahwa karya yang disebut terakhir ini adalah penjelas bagi karya yang disebut terdahulu. Seperti juga telah saya tunjukkan, Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt bukan sebuah karya yang sengaja disusun hanya menurut “metode Peripatetik”. Mengingat berbagai pernyataan Suhrawardi yang berulang-ulang menjelaskan ihwal pentingnya Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt bagi suatu pemahaman yang

P: 43


1- 67. Suhrawardi, Opera II, hlm. 11.
2- 68. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 15.
3- 69. Suhrawardi, Opera I, hlm. 361, 401, 484, serta 488.
4- 70. Suhrawardi, Opera II, hlm. 11.
5- 71. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 15.

benar tentang Filsafat Iluminasi, kita tidak bisa menempatkan karya tersebut dalam kategori yang sama dengan Al-Lamahāt, dan dengan demikian, menyisihkannya, serta memandangnya sebagai tidak relevan untuk mempelajari Filsafat Iluminasi. Dengan tidak menyebut-nyebut Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt di dalam bagian “Pendahuluan" Hikmah Al-Isyrāq, Suhrawardi barangkali ingin menunjukkan apa yang sudah jelas bagi sahabat- sahabatnya bahwa karya tersebut tidak harus dimasukkan ke dalam karya-karya yang disusun sebagai ikhtisar atau ringkasan didaktik Filsafat Iluminasi. Karya semisal Risalah fī I'tiqād Al- Hukamā' (Ajaran-Ajaran Para Filsuf), lebih tepat untuk pernyataan Suhrawardi “dan yang lain-lainnya” di dalam bagian itu, karena dirancang secara lebih tepat sebagai ikhtisar ringkas doktrin atau ajaran Peripatetik, dan secara sangat jelas berada dalam bentuk ekspresi Peripatetik.

Bila kita kaji dan telaah Hikmah Al-Isyrāq, akan jelas bahwa karya ini adalah puncak tujuan Filsafat Suhrawardi:

sebuah rekonstruksi filsafat yang sistematis. la memulainya dengan At-Talwihāt, menyempurnakannya lebih jauh dalam Al-Muqawamāt, dan merumuskannya secara menyeluruh dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, serta Hikmah Al-Isyrāq hanya bisa dipahami dengan memandangnya sebagai bagian dari rangkaian rekonstruksi filsafat yang secara hati-hati disusun oleh Suhrawardi dalam keempat karyanya yang penting, meskipun ini adalah karya terpenting dalam rangkaian itu. Karya tersebut dipandang oleh Suhrawardi sebagai yang terbaik dalam “Pendahuluan"-nya, yang sekarang akan kita kaji dan telaah.

“Pendahuluan" Hikmah Al-Isyrāq menguraikan tiga subjek yang mendasari rekonstruksi Filsafat Iluminasi dan juga

P: 44

mengemukakan segenap tujuan penulisnya. Subjek pertama, menguraikan dan memaparkan alasan-alasan Suhrawardi dalam menyusun karya ini dan kelompok orang yang menjadi tujuan buku ini. Subjek kedua, membahas persoalan metodologi.

Subjek ketiga, menguraikan sejarah filsafat dan juga tempat Filsafat Iluminasi dan kedudukan para filsuf yang “bijak" dalam sejarah ini. Mari kita selidiki ketiga subjek yang dipersoalkan tersebut.

3.4.1. Alasan-Alasan Suhrawardi Menyusun Hikmah Al-Isyrāg Seperti kebanyakan karya-karya Suhrawardi lainnya, Hikmah Al-Isyrāq sebenarnya ditulis atas dasar permintaan yang terus-menerus dari sejumlah sahabat dan muridnya.

Seperti telah kita ketahui, implikasi dari pernyataan seperti ini adalah pokok bahasan karya-karya Suhrawardi, mungkin sudah diajarkan secara lisan kepada kelompok sahabatnya sebelum diwujudkan dalam bentuk tulisan. Pada gilirannya, hal ini mengesankan bahwa dalam konteks wacana lisan yang telah diberikan oleh Suhrawardi, para murid berkesempatan ikut serta dalam pembahasan ajaran-ajaran utama Filsafat Iluminasi dan tujuan terdalam simbolisme yang digunakan dalam karya- karya tertulisnya. Penggambaran simbolis ajaran Iluminasi adalah suatu komponen integral dari metode Suhrawardi, seperti ia tunjukkan dalam berbagai kesempatan, yakni dalam bagian keempat “Pendahuluan” Hikmah Al-Isyrāq. Menurut Suhrawardi, kita juga harus mencamkan dan memperhatikan "kesulitan-kesulitan" dalam menuliskan dasar-dasar Filsafat Iluminasi. “Kesulitan-kesulitan" seperti ini barangkali disebabkan oleh berbagai komplikasi inheren yang dijumpai dalam menulis

P: 45

ihwal unsur kualitatif dari pengalaman yang - dalam bentuk ungkapan lisan, disaksikan oleh “kehadiran” (hudhūr) guru yang sudah mengalaminya. Akan tetapi, memang ada cukup banyak indikasi dalam berbagai tulisannya yang – bila dikaji dan ditelaah dengan cermat, memungkinkan kita menyelami makna simbol-simbol yang dimaksudkan. Maka, hal ini akan mengantarkan kita dalam membangun pandangan tentang apa Filsafat Iluminasi Suhrawardi itu. Di sana-sini, makna-makna bahasa metafora yang dimaksudkan, dikaji, dan ditelaah terlebih dahulu oleh Suhrawardi sebagai contoh, dan selanjutnya oleh para komentatornya.

Ada sebuah pernyataan tidak lazim atau tidak biasa dikemukakan oleh Suhrawardi di awal “Pendahuluan" Hikmah Al-Isyrāq, dan pernyataan seperti ini tidak pernah diulangi oleh Suhrawardi di tempat lain dalam berbagai karyanya. Pernyataan ini bisa ditafsirkan dalam dua cara yang berbeda. Pernyataan tersebut adalah:

“Jika bukan karena keharusan memenuhi kewajiban, suatu pesan yang telah muncul, dan suatu kewajiban yang sudah diberikan dari suatu tempat yang, bila tidak ditaati – akan mengantarkan ke jalan yang sesat, maka aku tidak akan pernah merasa berwajiban melangkah maju lebih jauh dan secara terbuka mengungkap Filsafat lluminasi."(1) Penafsiran pertama atas pernyataan ini, salah satunya dikemukakan oleh komentator Quthbuddin Asy-Syirazi, bahwa "sumber" dari perintah yang diberikan itu adalah Tuhan.(2) Cara kedua, menafsirkan pernyataan itu adalah menganggap sumber perintah yang diberikan itu berasal dari bumi, yang bisa jadi

P: 46


1- 72. Suhrawardi, Opera II, hlm. 10.
2- 73. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 13. Lihat juga, Asy-Syahrazuri, Syarh, fol. 19 r.

ditetapkan seorang pangeran atau raja. Mungkin saja, ada motif politik untuk menyusun sebuah karya. Kita tahu bahwa pada 579 H/1183 M, Suhrawardi pergi ke Aleppo, di mana Hikmah Al-Isyrāq ditulis pada 582 H/1186 M, dan bahwa terjalin hubungan baik antara Malik Zhahir Syah Al-Ayyubi dan Suhrawardi. Oleh karenanya, mungkin saja bahwa perintah menulis Hikmah Al- Isyrāq itu diberikan oleh Malik Zhahir Syah kepada Suhrawardi, agaknya sesudah ia mendengar ceramah Suhrawardi tentang Filsafat Iluminasi. Kita tahu bahwa Suhrawardi dibunuh atas hasutan beberapa ulama di sekitar Malik Muda, yang meyakinkan ayahnya, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi bahwa Suhrawardi sudah merusak dan menyelewengkan syariat Islam.(1) Akan tetapi, ada alasan-alasan politis yang lebih khusus dalam intrik itu.

Adakah hubungan antara penyusunan terbuka dan penerbitan Hikmah Al-Isyrāq, yang tampaknya Suhrawardi dengan berat hati mengalah pada intrik politik yang mengantarkannya pada kematian? Jika memang demikian, lantas apa? Bukan tidak mungkin, dan juga bukan tanpa preseden bahwa seorang filsuf ingin memengaruhi seorang penguasa yang sudah punya hubungan baik dengan dirinya. Bagaimanapun juga abad ke- 11 M dan ke-12 M, telah menyaksikan sekian banyak intrik politik dari kaum penganut aliran kebatinan, mistikus, dan lain sebagainya yang punya kecenderungan filosofis dan motivasi politik. Barangkali, Hikmah Al-Isyrāq sudah dipandang sebagai “konstitusi” bagi “masyarakat” baru yang dipimpin oleh Malik Zhahir Syah yang terdidik secara filosofis dengan bantuan filsuf Suhrawardi, yang akan berperan sebagai kekuatan spiritual di belakang istana. Melaluinya sang raja telah mengakses “kearifan" tidak terhingga yang berpijak pada pengalaman dan

P: 47


1- 74. Ibn Syaddad dalam Biografi Shalāhuddin menyebut Suhrawardi sebagai “Suhrawardi Muda" dan juga “sufi". Ia menegaskan bahwa raja sudah diperingatkan tentang pengaruh penyelewengan filsuf atas Hukum Tuhan (syari'ah). Lihat Ibn Syaddad, An-Nawādir as- Sulthāniyyah, hlm. 10 dan 59.

pengetahuan iluminasi filsuf bijak di istananya. Desain atau rancangan semisal itu, seperti telah saya katakan, bukan tanpa preseden. Barangkali ini agaknya yang menjadi alasan kuat intrik istana sebenarnya yang akhirnya menyebabkan eksekusi atas Suhrawardi. Alasan seperti ini akan melibatkan reaksi-reaksi atas desain atau rancangan yang dilancarkan oleh Suhrawardi, yakni membentuk tatanan baru (sekurang-kurangnya) di Aleppo, dan mendapat sambutan, mengingat fakta bahwa tidak ada seorang sejarawan filsafat pun bisa mengemukakan alasan yang kuat ihwal kematian Suhrawardi, kecuali penjelasan yang samar- samar bahwa para ulama fiqih di Aleppo menganggap ajaran- ajaran Suhrawardi sebagai bid'ah.(1) 3.4.2. Metodologi Hikmah Al-Isyrāg Berbagai pernyatan pendek dan tepat yang dikemukakan oleh Suhrawardi dalam “Pendahuluan" Hikmah Al-Isyrāq menggambarkan teori umum Filsafat Iluminasi, khususnya posisi intuisi dan pengalaman sebagai dasar epistemologi. Di antara semua karya Suhrawardi, hanya "Pendahuluan" dari dua karyanya saja, yakni, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt dan Hikmah Al- Isyrāq - yang memuat berbagai pernyataan khusus ihwal metodologi Filsafat Iluminasi. Dalam “Pendahuluan" Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, Suhrawardi menunjukkan bahwa buku itu mengandung paparan ihwal hasil-hasil pengalaman personal dan intuisinya, serta lebih jauh menegaskan pandangannya tentang bagaimana pengetahuan diperoleh? Prinsip-prinsip ini dibentuk sebagai hasil dari suatu proses yang terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, ditandai oleh aktivitas yang mesti dilakukan sang filsuf: ia harus

P: 48


1- 75. Asy-Syahrazuri menuturkan bahwa para Ulama fiqih menuduh Suhrawardi mengaku sebagai seorang nabi. Asy-Syahrazuri, Nuzhah al-Arwāh, fol. 232v.

“meninggalkan dunia". Tahap kedua, ditandai oleh pengalaman- pengalaman tertentu: sang filsuf mencapai visi “Cahaya Tuhan" (An-Nur Al-Ilāhī). Tahap ketiga, ditandai dengan diperolehnya pengetahuan yang tidak terbatas dan tidak terikat, yakni pengetahuan lluminasi (al-'ilm Al-Isyrāqi). Uraian Suhrawardi tentang persoalan metodologi yang sama dalam “Pendahuluan" Hikmah Al-Isyrāq ini lebih jelas dan lebih rinci, tetapi pada dasarnya sama dengan uraian yang dikemukakan dalam Al- Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Filsafat Iluminasi terdiri atas tiga tahap berkenaan dengan persoalan pengetahuan, bagaimana membuat persiapan untuk mengalaminya, menerimanya melalui iluminasi, dan menyusunnya dalam suatu pandangan yang sistematik tentangnya, seperti dalam karya sebelumnya, plus tahap tambahan yang terdiri atas proses mengungkapkan hasil-hasil pengalaman Iluminasi dan mencarinya dalam bentuk tulisan. Karena kita mengkaji tahap-tahap yang disebutkan secara lebih rinci, kita pun mengamati bahwa, tahap pertama adalah aktivitas yang dengannya sang filsuf mempersiapkan dirinya bagi pengetahuan Iluminasi, suatu jalan hidup tertentu yang harus ia tempuh untuk sampai pada kesiapan menerima “pengalaman".

Tahap kedua, adalah tahap Iluminasi. Tahap ketiga, adalah tahap konstruksi. Tahap terakhir ini menggambarkan, secara simbolis setiap kali diperlukan, dalam bentuk tulisan struktur yang telah dibangun selama tahap ketiga. Mari kita kaji dan telaah tahap-tahap tersebut.

Awal tahap pertama, dimulai dengan aktivitas-aktivitas, seperti mengasingkan diri selama empat puluh hari, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri untuk menerima inspirasi dan ilham.(1) Aktivitas-aktivitas seperti ini termasuk

P: 49


1- 76. Suhrawardi, Opera II, hlm. 248.

dalam kategori praktik-praktik asketisisme dan mistis, meskipun tidak sama persis dengan segenap keadaan spiritual (ahwāl) dan berbagai kedudukan spiritual (maqāmāt) yang ditetapkan di jalan mistis, atau tarekat sufi, sebagaimana dikenal dalam karya-karya mistis yang diketahui Suhrawardi. Melalui aktivitas- aktivitas ini, sang filsuf, dengan kekuatan intuitifnya, yang di dalam dirinya, seperti dikatakan oleh Suhrawardi kepada kita, bersemayam seberkas “Cahaya Tuhan” (Al-Bāriq Al-llāhī) – bisa menerima realitas keberadaannya dan mengakui kebenaran intuisinya melalui "ilham" dan "penyingkapan spiritual" (musyāhadah wa mukāsyafah). Karena itu, tahap pertama ini terdiri atas: [1] suatu aktivitas; [2] suatu kondisi (yang ditemui seseorang, karena kita tahu bahwa setiap orang punya intuisi dan dalam diri setiap orang ada bagian tertentu cahaya Tuhan); dan [3] ilham pribadi.

Tahap pertama, mengantarkan pada tahap kedua, dan Cahaya Tuhan masuk ke dalam wujud manusia. Cahaya ini berbentuk serangkaian "cahaya penyingkapan" (al-anwār as- sānihah) dan melalui cahaya-cahaya ini diperoleh pengetahuan yang berperan sebagai dasar dari pengetahuan hakiki (al-'ulūm al-haqiqiyyah).

Tahap ketiga, adalah tahap pembangunan suatu ilmu yang benar (al-'ilm ash-shahih). Selama tahap ini sang filsuf menggunakan analisis diskursif. Pengalaman pun diuji, dan sistem pembuktian yang digunakan adalah demonstrasi (burhān) atau pembuktian Posterior Analytics Aristoteles.(1) Kepastian serupa yang diperoleh oleh gerakan dari data indrawi (observasi dan formasi konsep) ke demonstrasi yang berpijak pada nalar, yang juga menjadi dasar pengetahuan ilmiah diskursif, bisa diperoleh

P: 50


1- 77. Yakni, al-'ulüm al-haqiqiyyah la yusta'mal fiha illā al-burhān. Bandingkan Suhrawardi, Opera II, hlm. 4046.

manakala data visioner yang mendasari Filsafat Iluminasi juga “dibuktikan". Ini dilakukan lewat suatu analisis diskursif yang ditujukan untuk membuktikan pengalaman dan membangun suatu sistem di mana pengalaman itu bisa didudukkan dan validitasnya siap dideduksi, meskipun pengalaman itu sudah berakhir.

Tahap keempat, adalah menurunkan Filsafat Iluminasi dalam bentuk tulisan. Tahap keempat dan tahap ketiga yang telah disebutkan sebelumnya, adalah unsur-unsur Filsafat lluminasi yang bisa kita akses. Sang pengamal, yakni murid di jalan Iluminasi harus menempuh dua tahap pertama melalui pengalaman. Murid-murid tersebut bergabung bersama Suhrawardi dalam berbagai khalwat atau pengasingan dirinya dan akan mengalami “kehadiran" pengalaman mereka, entah secara individual atau sebagai bagian dari sebuah kelompok.

Mungkin, Suhrawardi sudah (kita berasumsi demikian berdasarkan berbagai indikasi dalam teks-teks karyanya) mendiskusikan segenap visinya dengan murid-muridnya;(1) jalan personal, “kehadiran"-nya, akan berperan sebagai saksi atas visi-visi seperti itu, dan berbagai manifestasi fisik, fenomena yang diamati, yang diasosiasikan dengan pengalaman visioner dan digambarkan dalam Hikmah Al-Isyrāq,(2) akan disaksikan oleh mereka yang hadir. Apa yang harus kita akses adalah teks-teks yang dibilang sebagai gambaran-gambaran simbolis ihwal fenomena pengalaman visioner, dan kita harus menentukan apa yang disimbolkannya.

3.4.3. Pandangan Suhrawardi Ihwal Sejarah Filsafat Dalam tahun-tahun belakangan ini, sudah banyak ditulis ihwal pandangan Suhrawardi tentang filsafat, dan biasanya penekanan diberikan pada perannya sebagai pembangkit bentuk

P: 51


1- 78. Suhrawardi telah menyusun sejumlah kisah mistis, visioner, dan alegoris. Setiap kisah ditujukan kepada murid-murid dan sahabat-sahabatnya. Belakangan ini terbit sebuah terjemahan bahasa Inggris dari kisah-kisah tersebut, yang sebagian besar darinya berbahasa Persia (tidak seperti karya-karyanya yang lebih teoretis, yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab) – oleh W. M. Thackston, Jr., Mystical and Visionary Treatise of Suhrawardi. (London: Octagon Press, 1984).
2- 79. Ada lima belas tahap visioner yang digambarkan oleh Suhrawardi, dan setiap tahap digambarkan sebagai “cahaya" yang berhubungan dengan pengalaman yang diawali dengan “seberkas cahaya" bagi para pemula (ahl al-bidāyah), dan makin meningkat intensitasnya saat pengalaman visioner sang murid mengalami kemajuan. Tahap kelima belas, digambarkan sebagai seberkas cahaya kuat yang bisa merobek bagian badan yang berkaitan. Lihat Opera II, hlm. 252-254.

tertentu "kearifan” Iran yang dirancang dengan simbol Pahlevi, atau Fahlavānī, dan Kiyāni. Satu aspek penting pandangannya tentang filsafat adalah sikapnya terhadap Aristoteles dan filsafat diskursif. Dalam “Pendahuluan” Hikmah Al-Isyrāg, Suhrawardi menegaskan secara tegas dan jelas bahwa filsuf yang sempurna adalah memadukan kemampuan intuitif dengan metodologi Diskursif. Suhrawardi meyakini bahwa Filsafat Iluminasinya adalah suatu kombinasi yang sempurna seperti itu.

Plato diakui sebagai guru filsafat intuitif, dan ia disebut- sebut sebagai bagian dari tradisi panjang yang menggabungkan cabang Yunani Mesir dengan cabang Iran, yang keduanya bersumber dari Hermes, “Bapak para Filsuf". Sementara itu, Aristoteles diakui sebagai bapak filsafat diskursif. Melalui Filsafat lluminasinya, Suhrawardi menganggap dirinya sebagai pemadu yang sempurna dari kedua bentuk filsafat itu. Dalam pandangannya, peran filsuf dalam sejarah adalah sebagai orang “bijak" yang memadukan pengetahuan intuitif dengan metodologi Diskursifyang disebutnya sebagai filsuf Berketuhanan (Al-Hakim Al- Muta'allih) yang memiliki “kearifan" khusus. Orang bijak seperti ini harus dianggap sebagai pemimpin (imām) masyarakat, entah itu kepemimpinan aktual dan temporal maupun kepemimpinan esoteris dan spiritual. Kearifan atau kebijaksanaan, dalam pengertian ini adalah apa yang membedakan pemerintah yang baik dari pemerintah yang zalim dan korup. Dengan demikian, ajaran Aristoteles dan Filsafat Peripatetik pada umumnya, harus tidak dipandang sebagai suatu sistem filsafat yang jelas- jelas terpisah dari Filsafat Iluminasi dan juga harus tidak dianggap sebagai bentuk tertentu filsafat yang diyakini Suhrawardi di masa mudanya, atau hanya dijumpai dalam sejumlah karyanya.

P: 52

Kombinasi filsafat diskursif (hikmah Bahtsiyyah) dan filsafat intuitif (hikmah Dzauqiyyah) – kombinasi yang disebut sebagai filsafat Ilahiah (hikmah Muta'allihah) - adalah apa yang membedakan Filsafat Iluminasi dari teosofi maupun Mistisisme Quasi Filosofis.(1)

4. KESIMPULAN

Suhrawardi telah menulis empat karya filsafat yang penting. Dalam setiap karya itu, ia menguraikan persoalan filsafat dalam bentuk yang sempurna, dan setiap karya membimbing pada karya yang lain. Dijumpai ada pernyataan-pernyataan eksplisit yang diberikan Suhrawardi, bahwa keempat karya itu saling berkaitan satu sama lain dan harus dibaca dalam suatu urutan tertentu. Setiap karya itu punya penekanan khas pada istilah, dan ada berbagai indikasi tertentu bahwa Suhrawardi membuat tinjauan atas keempat karyanya ketika ia menulis setiap karya itu, juga ada indikasi-indikasi lainnya bahwa tengah dikembangkan seperangkat istilah yang melengkapi kerangka konseptual karya-karyanya. Sudah kita tunjukkan bahwa berdasarkan berbagai pernyataan eksplisit Suhrawardi, keempat karya itu berkaitan satu sama lain dan membentuk sebuah kesatuan yang utuh.

Corak atau sifat hubungan yang rumit di antara keempat karya itu memerlukan suatu analisis atas proses pemikiran yang diawali dengan At-Talwāhāt dan berpuncak pada Hikmah Al-Isyrāq.

Sejauh ini, kita sudah mengkaji dan menelaah hubungan antara keempat karya itu berdasarkan berbagai pernyataan Suhrawardi.

Tugas kita berikutnya adalah mengkaji dan menelaah kandungan karya-karya itu. Tugas ini tidak mudah. Kita berhadapan

P: 53


1- 80. Sejumlah kategori orang bijak dijelaskan, ini dilakukan dengan meningkatkan kemahiran dalam filsafat Ilahi (Tawaghghul fi At-Ta'alluh) dan kemahiran dalam filsafat diskursif (Tawaghghul fi Al-Bahts) sebagai kualitas-kualitas yang dipadukan dalam diri seseorang (atau tidak) hingga mencapai tingkatan sempurna atau kurang sempurna (kategori-kategori aktual berjumlah sepuluh). Lihat, Al-Harawi, Anwāriyyah, hlm. 12-14.

dengan persoalan yang “proses"-nya tidak begitu mulus. Ini bukan sebuah proses yang bisa dilihat untuk mengawali – dengan paparan sederhana pandangan Aristoteles, doktrin atau ajaran dalam At-Talwihāt, yang diikuti dengan menitikberatkan beberapa persoalan yang belum diuraikan secara memadai oleh Aristoteles atau diabaikannya, dan akhirnya berujung pada teori baru, berbeda, lengkap, serta koheren yang dikemukakan di dalam Hikmah Al-Isyrāq. Sesungguhnya, proses itu berliku-liku, terkadang berbelit-belit, dan sangat sering mengandaikan bahwa beberapa hasil penting yang dikemukakan dalam Hikmah Al-Isyrāq adalah kesimpulan-kesimpulan dari karya “sebelumnya", atau bahwa semuanya itu hanya bisa dipahami dalam hal perkembangan mode pemikiran dari At-Talwīhāt melalui Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt. Apa yang menimbulkan kesulitan ini adalah gaya dan terminologi Suhrawardi, yang kadang-kadang dikhususkan dalam buku tertentu, tetapi pada saat yang lain, berlaku bagi keempat karya tersebut. Perubahan nyata dalam gaya seperti itu disebabkan – sebagian- oleh eksperimen Suhrawardi dengan gaya dan analisis filsafat. Ia mengkaji dan menelaah gagasan dalam karya sebelumnya dalam suatu kerangka konseptual, metodologi, dan metafisika Peripatetik yang sudah mapan dengan menggunakan seperangkat terminologi teknis “baku", tetapi dengan beberapa perubahan penting, dan kemudian menelaah suatu gagasan, bahkan gagasan yang sama, dengan cara lluminasionis, dengan mencoba menangkap esensi pengalaman, “keakuan" eksistensi manusia, dalam segenap kata dan simbol.

Demikian halnya dalam At-Talwihāt, yang dianggap sebagai sebuah karya yang sepenuhnya bercorak Aristotelian. Sebab, dalam karya ini pun tidak ditemukan metode yang jelas untuk

P: 54

mendekati persoalan-persoalan itu. Seringkali tanpa peringatan, sebuah gagasan baru dilempar dan dikaji atau ditelaah dari tempat yang menguntungkan ajaran Iluminasionis.

Semua ini berarti, kita harus sering membaca kembali keempat karya tersebut untuk memahami kesatuan pemikiran yang mendasarinya. Kita harus mempunyai hasil akhir dari analisis Suhrawardi seperti dikemukakan dalam Hikmah Al-Isyrāq yang ada di depan kita untuk sepenuhnya memahami sebuah karya “sebelumnya", yang pada gilirannya harus dikaji dan ditelaah dengan cermat bila kita ingin memahami konstruksi akhirnya. Ini menuntut kita untuk mengkaji dan menelaah karya-karya filsafat penting dari dua sudut pandang. Kita harus mengkaji dan menelaah setiap karyanya secara terpisah untuk menentukan kesatuan pemikirannya dan cara menangani berbagai persoalan filsafat, kemudian kita harus mengkaji dan menelaah karya- karya itu secara keseluruhan dengan memandangnya sebagai sebuah kesatuan yang sebenarnya untuk menemukan kembali pemikiran Suhrawardi yang utuh. Sesudah melakukan kajian dan telaah ganda seperti ini, baru kita bisa menyuguhkan paparan dan uraian yang koheren tentang Filsafat Iluminasi.

P: 55

Catatan:

1. Lihat Carra de Vaux, “La Philosophie Illuminative d'après Suhrawerdi Meqtoul", Journal Asiatique, Vol. 19 (t.t. : t.p, 1902), hlm. 63-64.

2. Lihat Max Horten, Die Philosophies der Erleutung nach Suhrawardi. (Halle, 1912).

3. Lihat Louis Massignon, Recuil de Textes Inédits. (Paris: Paul Gauthner, 1929), hlm. 111-113.

Lihat Otto Spies, Three Treatise on Mysticism by Shihabuddin Suhrawardi Maqtul. (Stuttgart: Kohlhammer, 1935).

Lihat Helmut Ritter, “Philologika IX: Die vier Suhrawardi", Der Islam, Vol. 24 (t.t. : t.p, 1937), hlm. 270-286; dan Vol. 25 (t.t.

:t.p, 1938), hlm. 35-86.

6. Lihat H. Corbin, Suhrawardid'Alep, Fondateur de la Doctrine illuminative. (Paris: t.p, 1939); idem., Les Motifs zoroastriens dans la philosophie de Sohrawardi. (Tehran: t.p, 1946); idem., L'Homme de Lumière dans le soufisme iranien. (Paris:

Sisteron, 1971). Lihat khususnya, Prolégomènes Corbin untuk setiap edisi kritis karya-karya Suhrawardi berikut: Opera Metaphysica et Mystica I. (Istanbul: Maarif Matbaasi, 1945); Opera Metaphysica et Mystica II. (Tehran: Institut Franco- Iranien, 1954); Opera Metaphysica et Mystica III. (Tehran:

Franco-Iranien, 1970). Lihat juga terjemahan Corbin atas karya-karya Suhrawardi, Archange Eem pourpré, Quinze traités et récits Mystique Traduits du persan et de l'arabe, présentés et annotés par Henry Corbin. (Paris: Fayard, 1976); dan Le Livre de la Sagesse Orientale, Kitab Hikmah Al-Ishrāq, traduction et notes par Henry Corbin, établies et introduit par Christian Jambet. (Paris: Verdier, 1986).

7. Lihat S. H. Nasr, Three Muslim Sages. (Cambridge: Harvard University Press, 1964), Bab 11; idem., Suhrawardi, "A History of Muslim Philosophy", editor M. M. Sharif, (Wisbaden:

Otto Harrassowitz, 1963), Vol. I, hlm. 372-398. Dalam karya 56 Hossein Ziai

P: 56

8.rintisannya, Nasr menunjukkan signifikansi religius dari kehidupan dan ajaran-ajaran Suhrawardi, dan juga dimensi religius dalam kosmologinya. Dalam hal ini, lihat, idem., An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. (London, 1978), Bab XII.

Lihat Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysics in Persia. (London, 1908), hlm. 121-150. Dalam analisisnya atas Hikmah Al-Isyrāq, Iqbal bersandar hampir seluruhnya pada komentar berbahasa Persia Muhammad Syarif Al-Harawi yang ditemukannya selama masa belajarnya di Berlin di Konigchen Bibliotek (bagian dari Bibliotheca Orientalis Sprengeriana, Spr. 766). Edisi kritis saya atas komentar Al-Harawi, yang berdasarkan manuskrip unik serupa yang ada pada Iqbal, kini sudah terbit. Lihat Anwāriyyah, An 11th-Century A. H.

Persian Translation and Commentary on Suhrawardi's Hikmat Al-Ishrāq, yang disunting, diberi kata pengantar, dan catatan oleh Hossein Ziai, (Tehran: Amir Kabir, 1980, edisi kedua 1984).

Hanya bagian-bagian ihwal metafisika dari tiga karya Suhrawardi, yakni At-Talwīhāt, Al-Muqāwamāt, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt (yang masing-masing disebut oleh Suhrawardi sebagai “Ilmu Ketiga Tentang Metafisika" [al-ʻIlm ats-Tsālits fi al-Ilāhiyyāt]) yang sudah disunting dan diterbitkan dalam “Opera Metaphysica et Mystica l", disunting oleh H. Corbin, (Istanbul: Maarif Matbaasi, 1945), selanjutnya disebut Opera 9.

10. Diterbitkan dalam "Opera Metaphysica et Mystica II", disunting oleh H. Corbin, (Tehran: Institut Franco-Iranien, 1952), selanjutnya disebut Opera II.

11. Persoalan ihwal maksud dan tujuan penulis dalam menelaah teks-teks filsafat abad pertengahan adalah suatu hal yang krusial.

Khususnya, yang demikian ini disebabkan oleh gaya eliptis eksplisit dari teks-teks semacam itu.

P: 57

12. Suhrawardi, Opera I, hlm. 194.

13. Suhrawardi, Opera I, hlm. 124. Struktur “penjelasan tambahan" bagi At-Talwīhāt ini berkaitan dengan struktur At-Talwīhāt, kita hanya akan menelaah struktur At-Talwāhāt, kecuali dalam hal-hal tertentu, yang akan kita sebut dalam catatan kaki.

14. Yakni, 'alā thariq masyā'in. Suhrawardi, Opera II, hlm. 10.

Ibid., hlm. 10-11.

15. Ibid., hlm. 10-11.

16. Suhrawardi, Kitāb Al-Lamahāt, disunting oleh Emile Maalouf, (Beirut: Dar an-Nahar, 1969), hlm. 57. Selanjutnya disebut Al-Lamahāt.

17. E. Maalouf dalam “Pengantar” edisi Al-Lamahāt (hlm. vii) menegaskan bahwa karya ini dianggap sebagai “tonggak dari ikhtisar teori Peripatetik".

18. Suhrawardi memutuskan keinginannya untuk menyusun karya yang menjadi penjelasan topik-topik penting Filsafat Peripatetik, (Al-Lamahāt, hlm. 57). Seperti biasa, dalam semua karyanya, Suhrawardi jarang merujuk pandangan Peripatetik dengan sebutan Al-Masyā'iyyūn, karena ini satu-satunya contoh dalam Al-Lamahāt.

19. Diterbitkan dalam Suhrawardi, Opera Metaphysica et Mystica III, disunting oleh H. Corbin dan S. H. Nasr, (Tehran: Institut Franco-Iranien, 1970), selanjutnya disebut Opera III, hlm. 12- 34.

20. Di sini, Suhrawardi menggeneralisasi konsep Huwiyyah (zat atau hakikat) dengan menggunakan konsep istilah Persia ū’i dan memberlakukannya untuk orang pertama dan juga orang kedua. Dengan demikian, manī untuk “keakuan”, tū’i untuk “keengkauan", dan ū'i untuk "kediaan".

21. Suhrawardi, Hayākil an-Nür, disunting oleh Abu Rayyan, (Kairo, 1960).

22. Versi bahasa Persia diterbitkan dalam Opera III, hlm. 54-67.

P: 58

23. Lihat The Mystical and Visionary Treatise of Suhrawardi, diterjemahkan oleh W. M. Thackston, Jr., (London: Octagon Press, 1982). Terjemahan Thackston termasuk dalam salah terjemahan terbaik atas karya-karya berbahasa Arab dan Persia.

24. Dua risalah itu diterbitkan dalam Si Risalah as Syaikh-i Isyrāq (Tiga Risalah Guru Iluminasi), disunting oleh Najaf-Ali Habibi, (Tehran: t.p, 1977), hlm. 1-121. Saya juga telah merujuk pada kalimat at-Tashawwuf, MS, (Tehran, Majlis Library, Majmūʻah, 3071).

25. Opera I, hlm. xvi.

26. Bagi Suhrawardi, “filsafat diskursif" adalah sikap, metodologi, dan bahasa teknis filsafat, yang sebagian besar, (tetapi tidak semua) diasosiasikan dengan karya-karya Peripatetik Ibn Sina.

Istilah-istilah yang digunakan, seperti bahts, al-hikmah al- bahtsiyyah, thariq al-masysyā'īn, dan madzhab Al-masysyā’in, semuanya menunjuk pada filsafat ini dengan prinsip- prinsip tertentu yang tidak disetujuinya. Akan tetapi, yang signifikan bagi Suhrawardi bukan penolakan bahts, melainkan penggabungan bahts yang dirumukan kembali dalam Filsafat lluminasi yang direkonstruksi.

27. Bagi Suhrawardi, "filsafat intuitif" adalah sebuah metode dan titik-tolak untuk rekonstruksi filsafat, dan juga tujuan (yakni, yang ingin dicapai oleh "praktisi") Hikmah Al-Isyrāq yang dipandang sebagai sebuah sistem yang lengkap. Istilah-istilah yang digunakan seperti dzauq, al-hikmah adz-dzauqiyyah, al-'ilm al-hudhūrī, al-'ilm asy-syuhūdi, meski semuanya menunjuk pada “filsafat intuitif," berbeda secara rinci, seperti akan dijelaskan nanti.

28. Ad-Dawwani menetapkan karya ini sebagai karya bercorak alegoris (marmūzah), yang mengandung rahasia-rahasia kearifan Iluminasi, bentuk kearifan yang dikaruniakan kepada orang pilihan yang dekat dengan Tuhan (Al-Qqirābah Al- Ilāhiyyah), fols. 2r-3v; 82v-84r.

P: 59

29. Asy-Syahrazuri, Nuzhah al-Arwāh M.S., (Istanbul: Yeni Cami, 908), fols. 233v. Karya Asy-Syahrazuri tentang sejarah filsafat adalah satu-satunya sumber ekstensif dalam uraiannya ihwal riwayat hidup Suhrawardi. Asy-Syahrazuri mungkin memiliki sumber-sumber lisan tentang masalah ini karena kita tidak bisa menempatkan sumber-sumber tertulis lain untuk biografi seperti dilakukan dalam Nuzhah al-Arwāh. Namun, terdapat informasi tambahan tertentu tentang Suhrawardi yang meski tidak ekstensif, bisa menambah pemahaman kita tentang kehidupannya. Kita akan menunjukkan ini saat kita meneruskan kajian ini. Versi terbaru karya Asy-Syahrazuri yang telah dicetak juga ada. Lihat, Asy-Syahrazuri, Nuzhah Al-Arwāh wa Raudhah Al-Afrah fī Tārīkh al-Hukamā' wa Al-Falāsifah, disunting oleh Seyyed Khursid Ahmad, (Hayderabad: Osmania Oriental Publication Bureau, 1976). Terjemahan karya abad ke-16 M berbahasa Persia oleh Maqshud ‘Ali Tabrizi sudah diterbitkan.

Lihat Asy-Syahrazuri, Nuzhah Al-Arwāh wa Raudhah Al-Afrah fi Tārīkh al-Hukamā' wa Al-Falāsifah, disunting dan diberi pendahuluan tentang sejarah Filsafat Islam oleh M.T. Danesh- Pajouh dan M.S. Maula'i, (Tehran: t.p, 1986).

30. Fakta ini tidak diperhatikan oleh Corbin dan sarjana-sarjana lainnya. Ini diberikan oleh Ibn Ushaibi'ah, Thabaqat Al- Athibba', disunting oleh A. Muller (Koningsberg: Pr., 1884), hlm. 1-168; dan oleh Yaqut, Irsyad Al-Arib, disunting oleh D.

S. Margoliouth, hlm. vi dan 269.

31. Suhrawardi, Opera II, hlm. 258.

32. Asy-Syahrazuri, Nuzhah al-Arwāh, fol. 231r.

33. Yaqut, Irsyād, hlm. vii dan 269.

34. Ibn Abi Ushaibi'ah, Thabaqāt I, hlm. 299-301.

35. Tampaknya Mardini, yang pernah tinggal selama beberapa tahun (587-589 H) di Damaskus, pergi ke Aleppo dan diterima oleh Malik azh-Zhahir. Ibid., hlm. 289-290.

36. Al-Qifthi, Tārīkh al-Hukamā' (terjemahan bahasa Persia abad

P: 60

ke-11 M), disunting oleh Bahman Dara'i, (Tehran: Tehran University Press, 1347 H), hlm. 345.

37. Abu Al-Barakat Al-Baghdadi, Kitāb Al-Mu'tabar. (Haydarabad:

t.p, 1357 H.), hlm. I dan 7. Untuk diskusi ihwal posisi “refleksi personal" dan intuisi dalam segenap pandangan Abu Al- Barakat ihwal kedudukan epistemologi pengetahuan personal dan intuitif dalam filsafat. Lihat S. Pines, Nouvelles études sur Awhad az-Zamān Abu Al-Barakat Al-Baghdadi. (Paris: Libraire Durlaches, 1958), hlm. 8,17. Lihat juga bagian 2.5. berikut ini.

38. Suhrawardi, Opera I, hlm. 146, 278, dan 352. Menarik untuk dicatat bahwa As-Sawi menulis sebuah komentar atas karya Ibn Sina, Risalah Ath-Thair, dalam bahasa Persia (GAL I, 456. 44), sebuah risalah alegoris yang disusun kembali oleh Suhrawardi, (diterjemahkan dalam The Mystical and Visionary Treatise of Suhrawardi, oleh Thackson, hlm. 21-25). As-Sawi adalah salah seorang pemikir lluminasionis awal dalam Islam.

39. Sarjana-sarjana mutakhir dewasa ini juga sudah menerima karya-karya Suhrawardi seperti At-Talwībāt, Al-Muqāwamāt, dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt sebagai karya-karya Peripatetik, yang secara esensial tidak berkaitan dengan Filsafat Iluminasi yang disusun dalam kurun waktu sebelum Suhrawardi mengembangkan berbagai prinsip, kaidah, dan metode lluminasi. Lihat Louis Massignon, Recueil de textes inédits. (Paris: Paul Geuthner, 1929), hlm. 111-113; Carl Brockelman, GAL I, hlm. 437-438, GAL SI, hlm. 481-483; Henry Corbin, “Prolegomènes,” Opera II; Seyyed Hossein Nasr, “Syihabuddin Suhrawardi Maqtul”, A History of Muslim Philosophy, disunting oleh M. M. Syarif, (Weisbaden: Otto Harrasowitz, 1963), hlm. 374; dan juga yang lain-lain yang mengikuti klasifikasi tidak lengkap atas karya-karya Suhrawardi seperti penulis-penulis ini.

40. Lihat, misalnya Suhrawardi, Opera I, hlm. 59, 121, 128, 131,

P: 61

146, 183, 185, 192, 194, 195, 278, 340, 361, 371, 401, 484, 506. Suhrawardi memandang semua teks penting tersebut saling berkaitan satu sama lain.

41. Yaqut, Irsyad, hlm. vii dan 269.

42. Suhrawardi, Opera I, hlm. 2.

43. Suhrawardi, Opera II, hlm. 10. Ada sejumlah contoh dalam keempat karya Suhrawardi di mana ia membahas relevansi “metode Peripatetik” (tharīq al-masysyā'īn) bagi murid Filsafat lluminasi. Semua ini akan kita telaah dalam bab- bab berikutnya. Kebanyakan sarjana gagal melihat bahwa metodologi Iluminasionis tidak menegasikan metodologi Peripatetik; sebaliknya, ia memadukannya sebagai piranti dalam rekonstruksi metafisika. Segera bisa kita pastikan dalam bagian pendahuluan ini, pentingnya metodologi Peripatetik dari pernyataan Suhrawardi di bagian akhir Hikmah Al-Isyrāq, “Sampaikanlah dan ajarkanlah Filsafat Iluminasi hanya kepada mereka yang sudah memahami dan benar-benar kompeten dalam metodologi Peripatetik.” (Opera II, hlm. 258).

44. Yakni Al-'ilm At-Tajarrudi Al-Mitsāli Asy-syuhūdi. Bandingkan R. Arnaldez, El?, s.v. "Ishraq." 45. Suhrawardi, Opera I, hlm. 120-121.

46. Ibid., hlm. 70-74.

47. Pada dasarnya, ini pandangan tentang “sumber-sumber" Suhrawardi, bukan dalam pengertian historis yang kaku, melainkan dalam pengertian genealogi spiritual. Pandangan ini mempertimbangkan adanya dua cabang dalam genealogi spiritual, yang satu Barat yang meliputi Empedokles, Phythagoras, Plato, dan dalam Islam (masih Barat) yang meliputi Dzūn-Nun al-Mishri dan Sahl bin 'Abdullāh at- Tustarī; dan cabang Timur lain yang meliputi Gayomarth, Faridun, Kay Khusrau, serta dalam Islam (masih Timur) Abū Yazid Basthami, Manshur Al-Hallaj dan al-Kharraqāni. Kedua cabang ini diawali dari Hermes, “Bapak para Filsafat" (wālid al-

P: 62

hukamā') dan berakhir dengan Suhrawardi. Lihat R. Arnaldez, EP, s.v. “Ishrākiyyūn." Harus diperhatikan bahwa setiap filsuf Iluminasionis diberkati dengan suatu “tanda" khas atau kualitas, yang mengingatkan Saipóviov dari Socrates, dan disamakan dengan khvarnah Persia, yang disebut Suhrawardi dengan kiyān kharra atau farra-yi izadi.

48. Opera I, hlm. 58.

49. Suhrawardi, Opera II, hlm. 12. Bandingkan Quthbuddin Asy-Syirazi, Syarh Hikmah Al-Isyrāq Komentar atas Filsafat Iluminasi], (Tehran, 1313 A.H.), hlm. 3-4, (selanjutnya disebut Syarh II). Pendahuluan Suhrawardi untuk karya ini sangatlah penting. Jadi, kami suguhkan kepada pembaca terjemahan lengkapnya. Lihat Appendiks A di bagian belakang buku ini.

50. Suhrawardi, Opera I, hlm. 484.

51. Ibid., hlm. 128, 146, 183, 188.

52. Yakni Thariq, At-Talwībāt. Ibid., hlm. 188. “Rahasia-Rahasia," atau “metafor-metafor” (ar-rum ūz) dalam Al-Talwāhāt dikatakan harus dipahami hanya dalam kaitannya dengan pembahasan dalam Al-Muqāwamāt.

53. Suhrawardi, Opera I, hlm. 192.

54. Bagian Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt yang sudah diterbitkan (dalam Corbin, Opera I), hanya memuat Al-Qism ats-Tsālits: Fi al-'Ilm al-Ilāhi (Bagian Ketiga: Ihwal Metafisika), yang memuat kurang dari sepertiga dari keseluruhannya dan bahkan lebih banyak dibandingkan dengan keseluruhan Hikmah Al-Isyrāq.

55. Yakni Mukharrajah Musyahadah min Tasharrufāt. Bandingkan Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, hlm. 1-4.

56. Ada sejumlah rujukan kepada orang yang disebut sebagai Al- Qayyim 'alā Al-Isyrāq dalam karya-karya Suhrawardi. Dalam Hikmah Al-Isyrāq, orang seperti ini disebut qayyim al-kitāb (Opera II, hlm. 258). Suhrawardi menyebut orang itu sebagai al-qayyim bi ‘ilm al-kitab fi ‘ahdinā (Opera II, hlm. 260). Fungsi orang seperti itu, tidak seperti mursyid sufi, harus “menjaga"

P: 63

rahasia-rahasia Filsafat Iluminasi dan membahasnya hanya bersama murid-murid, yang untuk mereka, ia bertindak sebagai pembimbing dan mentor. Quthbuddin Asy-Syirazi menyebut orang seperti ini sebagai “orang yang menyadari rahasia-rahasia (asrār) Filsafat Iluminasi”, (Syarh II, hlm. 561).

57. Sandi-sandi itu tidak digambarkan di sini. Lihat Opera I, hlm.

124 catatan pada baris 12.

58. Suhrawardi, Opera I, hlm. 194-195.

59. Lihat, misalnya, Ibid., hlm. 361, 401.

60. Ibid., hlm. 505.

61. Ibid., hlm.483.

62. Ibid., hlm. 494.

63. Kami simpulkan dari berbagai sebutan dalam semua karya Suhrawardi dengan “saudara-saudaraku" (ikhwānī), “sahabat- sahabat kami” (ashhābunā), dan sebagainya. Lihat, misalnya Suhrawardi, Opera II, hlm. 10, 257-260.

64. Suhrawardi, Opera I, hlm. 334.

65. Ikhwān at-Tajrid adalah kelompok yang meliputi Suhrawardi dan murid-muridnya langsung, tetapi juga melampaui mereka sehingga mencakup para filsuf dan mistikus sebelumnya.

Inilah sebuah persaudaraan spiritual yang tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Lihat, Suhrawardi, Opera I, hlm. 74, 95, 103, serta 506.

66. Suhrawardi, Opera I, hlm. 334.

67. Suhrawardi, Opera II, hlm. 11.

68. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 15.

69. Suhrawardi, Opera I, hlm. 361, 401, 484, serta 488.

70. Suhrawardi, Opera II, hlm. 11.

71. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 15.

72. Suhrawardi, Opera II, hlm. 10.

73. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 13. Lihat juga, Asy-Syahrazuri, Syarh, fol. 19 r.

74. Ibn Syaddad dalam Biografi Shalāhuddin menyebut Suhrawardi

P: 64

sebagai “Suhrawardi Muda" dan juga “sufi". Ia menegaskan bahwa raja sudah diperingatkan tentang pengaruh penyelewengan filsuf atas Hukum Tuhan (syari'ah). Lihat Ibn Syaddad, An-Nawādir as- Sulthāniyyah, hlm. 10 dan 59.

75. Asy-Syahrazuri menuturkan bahwa para Ulama fiqih menuduh Suhrawardi mengaku sebagai seorang nabi. Asy-Syahrazuri, Nuzhah al-Arwāh, fol. 232v.

76. Suhrawardi, Opera II, hlm. 248.

77. Yakni, al-'ulüm al-haqiqiyyah la yusta'mal fiha illā al-burhān.

Bandingkan Suhrawardi, Opera II, hlm. 4046.

78. Suhrawardi telah menyusun sejumlah kisah mistis, visioner, dan alegoris. Setiap kisah ditujukan kepada murid-murid dan sahabat-sahabatnya. Belakangan ini terbit sebuah terjemahan bahasa Inggris dari kisah-kisah tersebut, yang sebagian besar darinya berbahasa Persia (tidak seperti karya-karyanya yang lebih teoretis, yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab) – oleh W. M. Thackston, Jr., Mystical and Visionary Treatise of Suhrawardi. (London: Octagon Press, 1984).

79. Ada lima belas tahap visioner yang digambarkan oleh Suhrawardi, dan setiap tahap digambarkan sebagai “cahaya" yang berhubungan dengan pengalaman yang diawali dengan “seberkas cahaya" bagi para pemula (ahl al-bidāyah), dan makin meningkat intensitasnya saat pengalaman visioner sang murid mengalami kemajuan. Tahap kelima belas, digambarkan sebagai seberkas cahaya kuat yang bisa merobek bagian badan yang berkaitan. Lihat Opera II, hlm. 252-254.

80. Sejumlah kategori orang bijak dijelaskan, ini dilakukan dengan meningkatkan kemahiran dalam filsafat Ilahi (Tawaghghul fi At-Ta'alluh) dan kemahiran dalam filsafat diskursif (Tawaghghul fi Al-Bahts) sebagai kualitas-kualitas yang dipadukan dalam diri seseorang (atau tidak) hingga mencapai tingkatan sempurna atau kurang sempurna (kategori-kategori aktual berjumlah sepuluh).

Lihat, Al-Harawi, Anwāriyyah, hlm. 12-14.

Hossein Ziai 65 )

P: 65

P: 66

BAB 2: LOGIKA DALAM FILSAFAT ILUMINASI

1. PENDAHULUAN

Tujuan kami dalam bab ini adalah mengkaji dan menelaah, perlunya logika Suhrawardi dan bagaimana hubungan logika itu dengan Filsafat Iluminasi? Untuk melakukan hal ini, kami akan memetakan wilayah-wilayah dan persoalan-persoalan logika yang, menurut Suhrawardi – punya hubungan erat dengan perumusannya kembali atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah filsafat. Terlebih dahulu, kami akan mengkaji dan menelaah uraian eksplisit Suhrawardi tentang hakikat dan cakupan logika dalam At-Talwihāt,(1)Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt,(2) dan Hikmah Al-Isyrāq. Kemudian, kami akan menyajikan kepada pembaca sinopsis logika Suhrawardi dan membandingkannya dengan logika Peripatetik. (3)Dengan membandingkan struktur logika Suhrawardi yang menyeluruh seperti itu, diharapkan pembaca memperoleh sebuah pemahaman yang luas dan mendalam tentang karya-karyanya. Karena itu, uraian paling sistematis tentang Logika Sinkretisme Peripatetik yang ada pada Suhrawardi adalah Logika Ibn Sina dalam karya filosofis utamanya, Asy- Syifā', yang disebut-sebut dalam banyak kesempatan, maka karya ini, sebagian besar – akan berperan sebagai basis perbandingan kita dalam hal ini. Inilah problem-problem logika yang telah dikaji, ditelaah, dan dirumuskan kembali oleh

P: 67


1- 1. Suhrawardi, Manthiq At-Talwāhāt, disunting oleh A. A. Fayyaz, (Tehran: Tehran University Press, 1334/1955) (selanjutnya disebut At-Talwīhāt: Manthiq).
2- 2.Logika dan fisika Suhrawardi dalam Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt (belum diterbitkan). Saya menggunakan karya MS berikut, tertanggal 707 H: Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, MS Leiden Or. 365 (selanjutnya disebut Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt).
3- 3.Penekanan khusus akan ditempatkan pada logika Sinkretisme Peripatetik, yakni logika mazhab Peripatetik setelah Theoprastus dan pada mazhab Megaric Stois. Untuk bahasan tentang logika Sinkretisme Peripatetik. Lihat, I. M. Bochenski, Ancient Formal Logic. (Amsterdam: North-Hollan, 1951), hlm. 9-13; William and Martha Kneale, The Development of Logic. (Oxford: Oxford University Press, Clarendon Press, 1968), hlm. 101-117; dan untuk bahasan tentang transmisi logika Megaric Stoic ke dunia Islam. Lihat, Fehmi Jadaane, L'influence du Stoicism sur la Pensee Musulmane. (Beirut: Dar al-Masyriq, 1968), hlm. 43-98.

Suhrawardi dalam skema logika dan epistemologi Iluminasi yang didefinisikan dengan baik. Pembaca yang menganggap bab ini terlalu teknis atau kering bisa dengan aman beranjak ke bagian penilaian menyeluruh atas logika Suhrawardi di akhir Bab ini, dan melanjutkan ke Bab berikutnya, di mana posisi definisi epistemologi di dalam Filsafat Iluminasi dibahas secara rinci.

2. PANDANGAN SURAHWARDI TENTANG LOGIKA

2.1. Bahasan Logika dalam At-Talwīhāt

Di bagian pendahuluan At-Talwāhāt yang berjudul Talwāhāt Pertama: Tentang Tujuan Logika(1), Suhrawardi mengemukakan suatu pandangan logika yang mirip dengan pandangan yang dikemukakan Ibn Sina dalam Asy-Syifā': Al-Madkhal, 1, 4.

Dalam paragraf pertama bagian ini, Suhrawardi memulai kajian logikanya dengan membagi pengetahuan yang terkenal ke dalam konsepsi (tashawwur), dan penilaian (tashdiq), serta menyatakan bahwa: [1] konsepsi adalah penangkapan bentuk sesuatu (shūrah asy-syai') dalam pikiran; dan [2] penilaian adalah penetapan hukum (hukm) – positif (pengukuhan) atau negatif (penafian) – atas suatu konsepsi.(2) Masing-masing jenis pengetahuan ini dibagi lagi menjadi pengetahuan bawaan (fithri) dan pengetahuan perolehan (ghair fithrī). Ini berarti ada empat bagian epistemologi: konsepsi bawaan, konsepsi perolehan, penilaian bawaan, serta penilaian perolehan. Pembagian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ibn Sina dalam Asy-Syifā':

Al-Madkhal, 1, 3; Namun, Suhrawardi menekankan pembedaan antara pengetahuan bawaan dengan pengetahuan perolehan, dan menggunakan istilah fithri untuk bawaan. (3)Pembagian ini perlu dicamkan dan diperhatikan karena kita nanti akan

P: 68


1- 4. At-Talwībāt: Manthiq, hlm. 1-3.
2- 5. Pandangan tentang konsepsi dan penilaian semacam itu sesuai dengan pandangan Al-Baghdadi dan As-Sawi. Lihat, Al- Baghdadi, Al-Mu'tabar, I, hlm. 34-37; As-Sawi, At-Tabshirah, disunting oleh M. T. Danesh-Pajouh dalam Tabshīrah va Dū Risālah-yi Digar Dar Manthiq. (Tehran: Tehran University Press, 1958), hlm. 4. Penilaian yang sama juga diberikan oleh Suhrawardi dalam Al-Lamahāt. (hlm. 58-59). Teori konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq) mempunyai kedudukan penting dalam Filsafat Persia dan Arab abad pertengahan. Terdapat pandangan yang berbeda berdasarkan asal-usul Yunaninya. Harry A. Wolfson menganggap asal- usul “konsepsi" adalah vónos, Aristoteles atau pavtaoía λογική Stoic dan menganggap penilaian adalah Iogos λόγος ÁTrogavtikós Aristoteles (de Int. 1728) atau áfíwu. Stoic (Harry A. Wolfson, Studies in the History of Philosophy and Religion, disunting oleh Isadore Twersky dan George H. Williams (Cambridge: Harvard University Press, 1973), hlm. 478-490. Sohail Afnan dan A. M. Goichon menganggap “penilaian" sebagai terjemahan langsung vónois. Lebih jauh, Afnan membandingkan “konsepsi" dengan tepi javtaoís Stoic. Lihat, S. Afnan, Philosophical Lexicon in Persian and Arabic, hlm. 143, 154-155; A. M. Goichon, Lexique de Langue Philosophie d'Ibn Sina: Supplement, hlm. 15. Lihat juga Jaddne, L'influence du Stoicisme, hlm. 106-113.
3- 6.Bisa jadi terdapat perbandingan yang dibuat oleh Al-Baghdadi, yang juga membedakan antara pengetahuan bawaan dan pengetahuan perolehan yang digabungkan dalam epistemologi pengetahuan yang “ jelas” (Al-Mu'tabar, 1, 40-46), tetapi istilah yang digunakan oleh Al-Baghdadi untuk bawaan adalah Al- gharīzi. Istilah yang sama juga digunakan oleh As-Sawi, (At- Tabshīrah, hlm. 31).

berhadapan dengan signifikansi yang ditekankan Suhrawardi pada pengetahuan bawaan, ketika ia membangun pembagian itu dalam epistemologi Iluminasi dalam jawaban sistematisnya atas pertanyaan, “Bagaimana ilmu dibangun?" dan "Apakah langkah pertama dalam proses memperoleh pengetahuan?" Sesudah melihat perbedaan antara pengetahuan bawaan dan pengetahuan perolehan, Suhrawardi membahas proses untuk memperoleh pengetahuan dalam pikiran. Ia menyebut proses ini “kognitasi" atau "pemikiran" (fikr). Perbedaan pengetahuan yang diperoleh melalui proses yang disebut “pemikiran" dengan pengetahuan yang diperoleh melalui perangkat lain ('amr ākhar) adalah salah satu persoalan metodologis terpenting dalam Filsafat Iluminasi, seperti terbukti dalam pernyataan Suhrawardi, "Pertama kali, aku tidak memperoleh (Filsafat Iluminasi) ini dengan pemikiran (fikr), tetapi melalui sesuatu yang lain."(1) Pemikiran atau kognitasi adalah sebagai proses yang didefinisikan di bagian At-Talwīhāt, hanya diterapkan pada aktivitas pikiran saat mengabstraksi pengetahuan yang berdasarkan data tertentu, dari konsepsi ſtashawwur] ke penilaian [tashdiq). Jenis pengetahuan ini mesti dibuktikan, sementara pengetahuan bawaan diberi status apriori (dianggap sebagai bagian dari pikiran atau mental yang mendahului setiap aktivitas abstraksi atau proses pemikiran dan tanpa ekstensi temporal), dianggap independen dari data indrawi ataupun data lainnya, serta terbukti dengan sendirinya, yakni keapaannya itulah buktinya. Ketika proses “pemikiran" digunakan untuk memperoleh sesuatu yang tidak diketahui

P: 69


1- 7.Lam yuhshal (ya'ni hikmah Al-Isyrāq) li awwalin bi al-fikr, bal kāna hushūluhu bin ‘amrin ākhar, (Suhrawardi, Opera II, hlm. 10). Inilah salah satu pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, dan para komentatornya memberikan catatan tentang hal ini. Syamsuddin Muhammad Asy-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (“amr ākhar) sebagai visi (musyāhadah) dan ilham pribadi (mukāsyafah), (Syarh Hikmah Al-Isyrāq, fol. 11v.); Quthbuddin Asy-Syirazi menganggap hal yang sama sebagai ilham dan ituisi (dzauq atau rasa) personal khas para filsuf Iluminasi, (Syarh II, hlm. 16); dan Muhammad Syarif Nizhamuddin Al-Harawi menilainya sebagai "inspirasi" (ilhām), ilham, dan intuisi personal (Anwāriyyah, hlm. 6). Dalam bentuk yang sama, penulisan karya penting Filsafat Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, disebut Pines “sebagai buku yang dibangun melalui refleksi personal". Lihat, Shlomo Pines, “Studies in Abu Al-Barakat Al-Baghdadi's Poetics and Metaphysics", dalam Scripta Hierosolymitana, Vol. VI, Studies in Philosophy, disunting oleh S. H. Bergman, (Jerussalem: Magness Press, The Hebrew University, 1960), hlm. 120-198. (Pernyataan Pines yang dikutip tadi ada di hlm. 123).

sebelum proses ini terjadi, maka sesuatu lain yang diketahui sebelum pengetahuan itu diperoleh pasti dihasilkan untuk menentukan validitasnya. Menentukan validitas kesimpulan akan bisa mengawal masyarakat dari kekacauan (harj), demikian kata Suhrawardi kepada kita. Yang mengawal proses pemikiran melawan kesalahan adalah “alat" (ālah) yang digunakan pikiran untuk membuat keputusan-keputusan. Dalam berbagai karya- tulis logika Peripatetik, seperti Asy-Syifā', alat ini disebut “ilmu logika" ('Ilm Al-Manthiq). Suhrawardi juga mengakui pentingnya alat ini dalam rekonstruksi Iluminasionisnya atas filsafat. Akan tetapi, yang khas dari pandangan Filsafat Iluminasi tentang posisi logika adalah logika dianggap subordinat dari kemampuan potensial jiwa untuk diberi inspirasi oleh roh Ilahi, yang melahirkan “konfirmasi" (al-aid) dalam wujud individu, yang betul-betul mengawal manusia dari berbagai penilaian dan kesimpulan palsu. Pada dasarnya, kearifan ini diperoleh melalui iluminasi atau pencerahan (isyrāq) dan dikawal sebagian dengan menggunakan logika. Karenanya dalam pandangan ini, intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang diketahui sebelum adanya penelitian logis dan berperan sebagai dasar elaborasi penelitian lebih jauh, dan selanjutnya berperan sebagai langkah- langkah pertama dalam membangun ilmu yang sahih atau benar (al-'ilm ash-shahih).

Suhrawardi mengakhiri bagian pendahuluannya tentang logika At-Talwībāt dengan menyatakan bahwa alat yang digunakan dalam metodologi ilmu (thariq al-'ulūm), tersusun dari proposisi penjelas (al-qaul ash-sharih) dan bukti (al-hujjah).(1) Yang ia maksudkan dengan “proposisi penjelas” adalah apa saja yang menghubungkan konsepsi tentang sesuatu dengan idea

P: 70


1- 8. Suhrawardi, At-Talwīhāt: Manthiq, hlm. 3.

(mitsāl) tentang sesuatu itu dalam pikiran. Inilah proses yang berperan menjelaskan sesuatu itu, entah berupa hasil akhir dari sebuah definisi (al-hadd) sesuatu itu, atau pernyataan lain, atau juga proposisi yang berperan menjelaskan sesuatu itu. Lalu, yang dimaksudkan oleh Suhrawardi dengan “bukti", adalah apa saja yang menghubungkan penilaian (tashdiq) yang diberikan pikiran ihwal apa sesuatu itu dengan bukti yang dibangun tentang sesuatu itu, entah berdasarkan demonstrasi (burhan) maupun jenis “bukti" lainnya apa pun, semisal visi atau intuisi.

Bagi Suhrawardi, perangkat logika yang paling penting adalah berbagai bukti dan proposisi penjelas, seperti akan kita lihat nanti, pembagian ini meliputi logika.(1) Bila dibandingkan dengan karya Ibn Sina (Asy-Syifā':

Al-Madkhal, 1-4), pandangan Suhrawardi tentang logika: [1] menekankan pembagian pengetahuan ke dalam pengetahuan bawaan dan pengetahuan perolehan, dengan logika dipandang sebagai alat yang hanya bisa diterapkan pada pengetahuan jenis kedua; [2] menegaskan bahwa intuisi, ilham personal, dan inspirasi pada dasarnya ada sebelum bukti-bukti yang dibangun dengan metode-metode formal; dan [3] membagi logika menjadi berbagai proposisi penjelas dan bukti-bukti. Pembagian ini merefleksikan struktur logika “baru" Suhrawardi yang berbeda dari struktur tradisional Organon Ibn Sina.

2.2. Logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt

Dalam dua bagian pertama Bab Satu tentang logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt yang berjudul Jalan Pertama:

Tentang Al-Madkhal,(2) Suhrawardi menyuguhi pembaca dengan suatu pandangan umum tentang logika, yang dalam kajian dan

P: 71


1- 9. As-Sawi membuat pembedaan ganda yang sama dan menggunakan istilah yang sama, (At-Tabshirah, hlm. 4-5).
2- 10. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 1r.

telaah pertama, tidak tampak berbeda dari pandangan yang dikemukakan dalam At-Talwihāt. Akan tetapi, bila kita mengkaji dan menelaah karya ini secara lebih teliti, kita akan menyadari bahwa Suhrawardi di sini berasumsi, bahwa pembaca sudah akrab dengan logika (yang tidak dilakukannya dalam At- Talwihāt); kemudian, ia menyanggah Filsafat Peripatetik dalam hal prinsip-prinsip logika yang sangat mendasar, sambil menawarkan alternatif-alternatif Iluminasi pada sejumlah persoalan yang betul-betul formal. Ia juga membahas secara rinci persoalan ihwal, apakah logika adalah bagian dari filsafat atau hanya bagian dari pengetahuan saja, atau sebuah disiplin yang berdiri sendiri? Berbagai analisis atas problem-problem logika dalam dua bagian ini lebih canggih ketimbang yang ada dalam At-Talwīhāt. Tidak seperti logika dalam At-Talwihāt, tempat Suhrawardi memperkenalkan subjek itu, logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, ia mengasumsikan adanya keakraban dengannya dan sudah mendalami persoalan itu, "Sejauh ini engkau telah belajar dari buku-buku bahwa apa pun yang dikaji dan ditelaah, entah konsepsi (tashawwur) maupun penilaian (tashdiq), dan bahwa proposisi-proposisi penjelas berhubungan dengan keduanya. (Engkau telah mempelajari) bahwa bukti adalah sebuah deduksi logis (nazhar manthiqi) yang didasarkan pada dua (atau lebih) penghubung (yakni, proposisi-proposis penjelas); juga istilah-istilah tunggal yang membentuk proposisi-proposisi penjelas itu, dan kerangka silogisme."(1) Selanjutnya Suhrawardi menyatakan bahwa logika adalah spekulasi yang berpijak pada materi (māddah) dan bentuk (shūrah) dari dua hal yang berhubungan. Lalu, ia melangkah lebih

P: 72


1- 11. Ibid., fol. 2v.

jauh dari yang sudah dilakukannya dalam At-Talwihāt dengan menolak berbagai definisi Peripatetik tentang gagasan-gagasan logis ihwal konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq), "Ketahuilah bahwa pernyataan orang (Ibn Sina) bahwa 'konsepsi (tashawwur] terjadi ketika pikiran memperoleh bentuk dari hal-hal yang ditunjukkan oleh ujaran tunggal" adalah keliru'. "(1) Dengan tidak menyetujui pandangan Filsafat Peripatetik ihwal pembagian mendasar dalam logika secara demikian, Suhrawardi pun menentukan pendiriannya dalam karya utama logikanya, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, yang tidak sejalan dengan Filsafat Peripatetik dalam berbagai problem dasar logika.

Pada titik ini, alasan-alasan yang dikemukakan Suhrawardi untuk tidak menyetujui pendapat Filsafat Peripatetik perihal konsepsi (tashawwur) berpijak pada pandangan semantik yang tidak mengakui kemungkinan korespondensi satu persatu antara makna (al-ma'nā) sesuatu, sesuatu itu, dan ujaran (al-lafzh) yang menunjukkannya, baik ujaran tunggal (basith) maupun ujaran majemuk (murakkab).(2) Lalu, Suhrawardi menyanggah pandangan Peripatetik tentang penilaian (tashdiq), "Tidak benar mendefinisikan penilaian (tashdiq) sebagai penilaian berkenaan dengan dua hal, dengan menilai bahwa sesuatu itu adalah yang lain atau bukan yang lain karena bentuk penilaian [tashdiq] ini hanya bisa diterapkan pada proposisi predikatif (al-qadhiyyah al- hamliyyah), dan tidak pada proposisi-proposisi bersyarat (al-qadhiyyah asy-syarthiyyah). "'(3) Sesudah menentukan pendiriannya tentang logika dalam

P: 73


1- 12. Ibid., bandingkan Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Madkhal, 1, 3.
2- 13. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 1r.
3- 14. Ibid., fol. 2r.

Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, Suhrawardi mulai membahas ihwal, apakah logika adalah “bagian" dari ilmu atau langkah persiapan menuju kajian ilmu? Pertama, ia membedakan gagasan tentang ilmu sebagai keseluruhan” (majma' al-'ulūm) dan “ilmu mutlak" (al-'ilm al-muthlaq), serta berpendapat bahwa logika mesti dipandang sebagai bagian dari seluruh pengetahuan, sebuah perangkat yang harus dan mesti digunakan dalam berpikir, tetapi bukan bagian dari ilmu mutlak. Argumen- argumen Suhrawardi lalu terpusat pada diskusi atau bahasan ihwal, apakah logika dapat dianggap bagian dari filsafat atau tidak? Sejak awal, ia menegaskan bahwa perbedaan pendapat mengenai persoalan ini disebabkan oleh berbagai implikasi yang berbeda dari istilah teknis yang digunakan. Namun, bagi Suhrawardi yang penting adalah logika tidak boleh dianggap sebagai bagian dari filsafat, karena tidak mengurusi hal-hal yang berada di luar (fī al-a'yān). Dalam pengertian ini, logika tidak dapat diterapkan pada hal-hal yang berada di luar pikiran, yakni materi logika dianggap sebagai entitas maya atau tak nyata. (1) Argumen-argumen Suhrawardi di sini mengingatkan pada pendiriannya yang tidak mau memasukkan matematika ke dalam filsafat karena dalam pandangannya, matematika juga berurusan dengan subjek-subjek tak nyata (mauhūm). Posisi filosofis ini adalah sebuah komponen penting dalam Filsafat Iluminasi. (2) Akan tetapi, sementara Suhrawardi tidak dapat melepaskan bahasan matematika dalam filsafatnya secara terpisah, ia tidak bisa melepaskan logika karena signifikansinya sebagai alat yang bisa mengawal agar terhindar dari kesalahan. Hanya saja, meski Suhrawardi tidak memiliki “buku" khusus tentang matematika, ia betul-betul memanfaatkan kaidah-kaidah matematika formal

P: 74


1- 15. Para filsuf Persia belakangan menyebutnya “wujud logis" (wujūd-i manthiqi). Lihat, Mehdi Haeri Yazdi, Hiram-i Hasti (Piramida Wujud), (Tehran, 1980), hlm. 21; Jalaluddin Ashtiyani, Hasti, (Masyhad. 1379 H), hlm. 4.
2- 16. Posisi realis Filsafat Iluminasi menjadi bahan banyak kontroversi dalam komentar-komentar atas Hikmah Al-Isyrāq. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 35:8, dan 36: 9. Lihat, Shadruddin Asy-Syirazi “Mulla Sadra,” Ta‘liqāt, Ibid., catatan pinggir.

secara luas yang berperan sebagai tujuan-tujuan konstruktivis yang dilakukannya.

Suhrawardi mengakhiri bagian pendahuluannya ihwal logika dengan mengulas lagi pandangannya tentang definisi logika. Ia menyatakan bahwa logika adalah tindak spekulatif (shināʻah nazhariyyah) yang berurusan dengan konsepsi (tashawwur), penilaian (tashdiq), kerangka silogisme, serta berbagai pemahaman yang bersifat sekunder; bahwa logika adalah disiplin aksiomatik (shinā'ah qānūniyyah) yang mengawal pikiran manusia agar terhindar dari kesalahan dalam berpikir.

Caranya membahas logika adalah membekali pembaca dengan seperangkat kaidah formal. Suhrawardi adalah seorang pengguna pragmatis logika dan bukan seorang ahli logika teoretis. Meski, ia menunjukkan pemahamannya yang luar biasa mendalam tentang seluk-beluk persoalan logika formal, tujuannya dalam menggunakan logika sebagai alat dalam filsafat tidak sama dengan tujuan ahli logika formal. Ia berargumen bahwa kaum Peripatetik terjatuh dalam kesalahan dengan terlalu banyak mencurahkan perhatian pada rincian-rincian formal dan tambah berlipat lagi kesalahan mereka. Lanjutnya, karena pada akhirnya ketika mereka tiba pada isu-isu penting filsafat, mereka pun tidak membahasnya dengan cukup rinci.(1)

2.3. Posisi Logika dalam Hikmah Al-Isyrāg

Tidak seperti bagian-bagian dalam logika At-Talwihāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, Suhrawardi tidak mengawali Hikmah Al-Isyrāq dengan menyuguhi pembaca suatu pengantar logika (sebagaimana biasa dilakukan dalam karya-karya Peripatetik) dan juga tidak membahas logika dengan cara yang

P: 75


1- 17. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 102v.

biasa. Uraian dan paparannya tentang logika dalam buku ini agaknya khas dan baru. Tujuannya di sini adalah membekali pembaca dengan sejumlah kaidah logika yang dianggapnya cukup untuk memahami Filsafat Iluminasi. Ia tidak bermaksud berperan sebagai guru logika di sini. Karenanya, bahasan logika dalam Hikmah Al-Isyrāq sangat singkat dan dirumuskan dalam seperangkat kaidah (dhawābith) yang disajikan di bagian pertama (al-qism al-awwal) buku ini dengan judul Tentang Kaidah-Kaidah Berpikir.(1) Hakikat logika yang dirumuskan dalam Hikmah Al-Isyrāq ditunjukkan Suhrawardi, “Berkenaan dengan alat yang terkenal untuk mengawal dan melindungi pemikiran dari kesalahan. Di sini, kami sajikan sekadar uraian ringkas dengan meletakkan seperangkat kaidah yang berjumlah sedikit, tetapi amat bermanfaat bagi pengkaji Iluminasi. Barang siapa membutuhkan kajian secara rinci ilmu ini sebagai alat, hendaklah ia merujuk karya-karya yang lengkap tentang subjek ini."(2) Suhrawardi tidak puas dengan hanya menyatakan pandangannya kepada pembaca bahwa bahasan logika mestinya singkat dan berguna bagi filsafat, tetapi lagi-lagi ia menyerang kaum Peripatetik karena terlibat terlalu jauh dalam logika, “Kaum Peripatetik tidak perlu merambah terlalu jauh ke dalam logika; orang bisa melepaskan bahasannya yang panjang dengan mempelajari apa yang telah kulakukan."(3) Bahkan dalam bidang logika yang betul-betul dihadapi Suhrawardi sekalipun, ada beberapa topik yang dianggapnya tidak relevan dan tidak berhubungan dengan Filsafat Iluminasi.

Karena itu, Suhrawardi seakan-akan ragu untuk melepaskan

P: 76


1- 18. Suhrawardi, Opera II, hlm. 14-105. Tampak bahwa Suhrawardi menggunakan istilah “kaidah" (dhabith) sebagai ekstensi dari istilah “hukum” (qānūn) yang lebih diterapkan dalam logika. Lihat, As-Sawi, At-Tabshirah, hlm. 129-131; dan Ibn Sina, Al-Isyārāt wa Al-Tanbihāt, disunting oleh Mahmud Syahabi, (Tehran: Tehran University Press, 1339/1960), hlm. 1, "Tentang Kaidah-kaidah Berpikir", Suhrawardi yang termuat dalam bagian pertama Hikmah Al-Isyrāq, meliputi kaidah- kaidah yang menyingkap tidak hanya logika formal, melainkan Logika dalam Filsafat Iluminasi juga sanggahan-sanggahan sofistik, psikologi, dan fisika. Pandangan “yang diperluas” tentang kaidah-kaidah berpikir penting ini termasuk di antara sifat-sifat khas metodologi dan struktur Filsafat Iluminasi.
2- 19. Suhrawardi, Opera II, hlm. 13.
3- 20. Ibid., hlm. 31.

logika formal secara keseluruhan dan ingin meyakinkan tidak perlunya terlibat dalam seluk-beluk persoalan logika formal, maka pembacanya pun sadar ihwal penguasaan Suhrawardi dalam subjek ini, “Kami menyebut konversi silogisme (al-‘aks), negasi (at-tanāqudh), dan lain-lain hanya untuk memperkenalkan apa semuanya itu, karena kami tidak membutuhkannya dalam kajian selanjutnya."(1) Memang benar bahwa Suhrawardi punya pandangan pragmatis tentang logika dan hanya tertarik menyuguhi pembacanya dengan seperangkat kaidah sesingkat mungkin, yang dapat menunjukkan kegunaannya. Meskipun begitu, terlepas dari yang dikatakannya, ada beberapa bidang tertentu logika di mana Suhrawardi secara saksama dan rinci berseberangan dengan kaum Peripatetik. Suhrawardi berusaha membuktikan kekeliruan mereka dan merumuskan pandangan alternatifnya. Pertama, Suhrawardi menekankan berbagai problem berkenaan dengan “sanggahan-sanggahan Sofistik (al- Mughālathah)". Ia menegaskan alasannya, “Kami sudah mengemukakan sekadar ikhtisar ringkas tentang logika dalam buku ini (Hikmah Al- Isyrāq), dengan mengandalkan karya-karya yang disusun dalam bidang logika ini. Kebanyakan karya yang kami kaji berkaitan dengan 'sanggahan-sanggahan sufistik' untuk memberikan peringatan kepada murid karena ia cenderung akan lebih banyak menemukan sekian kekeliruan dan kesalahan ketimbang kebenaran dalam bukti-bukti dari berbagai macam orang."(2) Topik-topik khusus logika yang membuat Suhrawardi

P: 77


1- 21. lbid., hlm. 33.
2- 22. Ibid., hlm. 56, 57.

berseberangan dengan kaum Peripatetik diberi judul-judul khas, seperti Dalil Iluminasi (Qāʻidah Isyrāqiyyah), Kearifan Iluminasi (Hikmah Isyrāqiyyah), dan Klarifikasi Iluminasi (Daqiqah Isyrāqiyyah). Topik-topik ini meliputi: problem definisi, reduksi semua proposisi menjadi satu bentuk khusus proposisi modal yang berulang-ulang, teori andaian atau anggapan, negasi dan kuantifikasi dalam negasi, serta reduksi kerangka silogisme kedua dan ketiga menjadi kerangka pertama. Topik-topik ini juga memuat problem-problem logika paling penting, sebagaimana dikembangkan oleh Suhrawardi dalam Filsafat Iluminasinya.

Semuanya berpijak pada prinsip-prinsip yang berbeda dari standar logika Aristoteles waktu itu, dan layak dikaji atau ditelaah secara cermat bukan hanya dari perspektif Filsafat Iluminasinya, melainkan juga dari sudut pandang luas sejarah logika. Topik paling penting dari semuanya itu adalah definisi.

Suhrawardi tidak hanya berusaha memunculkan kaidah formal yang mengatur definisi yang berbeda dari yang digunakan kaum Peripatetik, tetapi bahasan definisinya juga merupakan komponen dasar dari teori Iluminasinya tentang pengetahuan.

Kritik Suhrawardi atas kaidah-kaidah formal definisi Peripatetik dan penggunaannya dalam ilmu adalah perbedaan paling substansial di antara logikanya, logika mereka, dan menunjukkan pandangan yang secara esensial berbeda tentang dasar-dasar logika dan epistemologi filsafat. Kami akan membahas secara ekstensif problem definisi ini dalam bab-bab mendatang. Topik- topik lain yang disebutkan di atas lebih berkenaan dengan modifikasi kaidah-kaidah formal logika dan kurang memberikan signifikansi metodologis langsung kepada rekonstruksi Filsafat Iluminasi.

P: 78

3. SINOPSIS STRUKTUR LOGIKA SUHRAWARDI

Point

Sejak awal kajian dan telaah kita atas logika Suhrawardi, kita amati bahwa struktur logikanya berbeda dari struktur logika Peripatetik yang diturunkan dari sembilan buku tradisional, Organon. Tujuan kita di sini adalah menunjukkan perbedaan ini.

Diharapkan dengan melanjutkan kajian, kita bisa memastikan alasan-alasan Suhrawardi menyusun kembali struktur yang ada dan menunjukkan berbagai karakteristik penting dari struktur “baru” juga.

Sembilan buku yang membentuk Organon muncul dalam karya Ibn Sina, Asy-Syifā', dalam urutan berikut ini:

Pendahuluan (Al-Madkhal), Kategori-kategori (Al-Ma'qūlāt), Tentang Interpretasi (Fi Al-'Ibārah), Qiyas (Al-Qiyās), Bukti (Al- Burhān), Topik-Topik (Al-Jadal), Sanggahan-Sanggahan Sofistik (Al-Mughalathāt), Retorika (Al-Khithābah), serta Puisi (Asy- Syi'r). Perbedaan urutan yang paling nyata antara Organon dan Struktur Karya-karya Logika Suhrawardi adalah tidak adanya buku Al-Maʻqūlāt dalam karya Suhrawardi. Barangkali, alasan untuk hal ini adalah Suhrawardi menganggap kategori-kategori itu sebagai bagian dari materi fisika atau metafisika, dan konon ini bersesuaian dengan teori kategori-kategori dari aliran Stoa.(1) Juga, tidak ada buku tersendiri tentang Al-Jadal, Al-Khithābah dan Asy-Syi's. Sekalipun demikian, Suhrawardi mengkaji dan menelaah pokok bahasannya meski sangat ringkas, dan hanya sebagai lampiran singkat bagi bahasan tentang problem- problem logika yang berkaitan dengan Al-Qiyās.

Karakteristik umum kedua karya logika Suhrawardi adalah perbedaan yang tampak di antara struktur masing-masing dalam jumlah bab, bagian, dan “buku-buku". Akan tetapi, ada maksud

P: 79


1- 23. Lihat Bochenski, Ancient Formal Logic, hlm. 87.

dibaliknya yang melatari penggunaan logika dalam setiap karya dan ada sejumlah problem logika yang dibahas secara konsisten dalam seluruh karya utamanya. Perbedaannya hanya terletak pada penekanan dan ruang lingkupnya saja. Perbedaan yang jelas, didefinisikan dan dirumuskan dengan baik mengenai problem-problem khusus dalam logika Peripatetik dikemukakan dalam Hikmah Al-Isyrāq, sementara rincian lengkapnya hanya dilakukan dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Sekarang, mari kita kaji struktur masing-masing karya ini.

3.1. Struktur Logika dalam At-Talwīhāt

Logika dalam At-Talwīhāt dibagi menjadi enam bab, yang masing-masing disebut “Observasi” (Marshad). Bab kesatu berjudul Tentang Al-Madkhal dan memuat sepuluh bagian yang masing-masing disebut "Intimasi" (Talwih). Bab ini hampir menyerupai karya Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Madkhal.(1) Bab kedua berjudul Tentang Proposisi-Proposisi Penjelas dan menjadi bab terpendek dalam buku ini, memuat hanya tiga bagian.(2) Dalam bab ini, Suhrawardi membahas definisi (hadd), deskripsi (rasm), dan kaidah-kaidah yang mengaturnya.

Subjek-subjek ini biasanya dipandang sebagai bagian dari materi Al-Burhān (misalnya, Asy-Syifā': Tentang Demonstrasi IV, terutama hlm. 2-7); Al-Jadal (misalnya, Asy-Syifā': Al-Jadal, V). Oleh karenanya, tempat yang digunakan Suhrawardi untuk membahas problem-problem ini tidak sama dengan struktur tradisional Organon kaum Peripatetik. Alasan-alasan perubahan susunan struktur tradisional ini cukup penting, konsisten dengan apa yang ditekankan oleh Suhrawardi berkenaan dengan reduksi seluruh logika menjadi proposisi-proposisi penjelas,

P: 80


1- 24. At-Talwihāt: Manthiq, hlm. 1, 1-13. Bab ini juga mengandung bahasan tentang “tujuan logika" (ghardh Al-Manthiq).
2- 25. Ibid., hlm. 14-16. Lihat juga, Ibn Kammunah, Syarh At- Talwīhāt, Ibid., hlm. 15, catatan 3, 11; 16.

yang mencakup definisi, deskripsi, dan bukti-bukti. Ini meliputi lebih banyak pokok bahasan ketimbang yang ada dalam Al- Burhān. Karena itu, definisi dan deskripsi pun masuk dalam teori Semantik Suhrawardi dan termuat dalam teorinya tentang bukti.(1) Preseden terpenting, memasukkan bahasan definisi dan deskripsi ke dalam semantik dan bukan dalam materi logika ditemukan dalam karya ‘Umar bin Sahlan As-Sawiyang berjudul At-Tabshirah dan juga karya Abu Al-Barakat Al-Baghdadi yang berjudul Al-Mu'tabar. Sikap "baru" terhadap pokok-bahasan dan struktur logika ini diikuti dengan setia oleh Suhrawardi dalam seluruh karyanya tentang logika dan menjadi ciri khas logika Iluminasi.

Bab ketiga berjudul Tentang Komposisi Enunsiatif (Fi at- Tarkib Al-Khabari), memuat empat bagian, dan satu kaidah (dhābith).(2) Bab ini merupakan uraian ringkas dan pilihan dari Fi Al-ʻlbārah (misalnya, Asy-Syifā': Fi Al-'Ibārah I, terutama hlm. 6-10). Salah satu aspek terpenting dalam bab ini adalah penggunaan istilah Arab dan Persia oleh Suhrawardi ketika membahas kaidah-kaidah logika yang digeneralisasikan.(3) Bab keempat berjudul Tentang Modalitas dalam Proposisi- Proposisi (Fi Jihāt Al-Qadhāyā) yang memuat lima bagian. Pokok bahasan dalam bab ini, terdiri dari problem-problem pilihan dari Fi Al-'Ibārah (bagian 3-5, sama dengan Asy-Syifā': Al-Qiyās 1, hlm. 4). Bab ini juga terlihat meninggalkan struktur tradisional Organon. Suhrawardi memberikan penekanan khusus pada proposisi-proposisi modalitas (bagian 1-7), dan membahas problem-problem yang berhubungan dengan proposisi- proposisi seperti kontradiksi (At-Tanāqudh, bagian 4), serta konversi proposisi (Al-'aks, bagian 5) di bab yang sama.

P: 81


1- 26. Teori Suhrawardi tentang bukti disebut hujjah, meliputi topik-topik yang diambil dari logika dan epistemologi, juga dari psikologi. “Keseluruhan" hubungan antara sesuatu yang diketahui (objek) dan yang mengetahui (subjek) adalah yang menentukan bukti dari apa yang disimpulkan.
2- 27. At-Talwīhāt: Manthiq, hlm. 17-27.
3- 28. Misalnya, Ibid., hlm. 25-26. Lihat juga, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwībāt, Ibid., hlm. 66, catatan 2-3.

Bab kelima berjudul Tentang Komposisi Bukti-Bukti (Fi Tarkib Al-Hujaj) dan terdiri atas tiga bagian yang masing-masing disebut “pijakan" (mathla“).(1) Bagian pertama, memuat sepuluh bagian, merupakan uraian singkat dan pilihan dari Al-Qiyās.

Perbedaannya, terletak pada bahasan Suhrawardi tentang topik-topik khusus yang berhubungan dengan premis-premis dan metode-metode, seperti induksi (al-istiqrā'),(2) analogi (at-tamtsil), entimem (qiyās adh-dhamir),(3) serta pembagian (al-qismah) yang dibahas dalam sub bagian dua dan tiga. Dalam bagian dua, Suhrawardi juga menyebutkan jenis inferensi atau kesimpulan khusus yang disebutnya sebagai “firāsat” (firāsah).(4) Dengan membagi Al-Qiyās tradisional menjadi tiga bagian seperti itu, Suhrawardi membedakan kaidah-kaidah formal yang mengatur silogisme (Bagian I, bandingkan Asy-Syifā': Al-Qiyās, I, hlm. 1-19); metode-metode induktif yang digunakan untuk memperoleh materi (māddah) silogisme (Bagian 2, bandingkan Asy-Syifā': al-Qiyās, IX, hlm. 20-22), dan logika material yang disebutnya sebagai “proposisi-proposisi yang merupakan materi silogisme” (Bagian 3, bandingkan Asy-Syifā': Al-Qiyās, IX; Al-Burhān, II, hlm. 3 dan 9), yang satu sama lain dengan gaya baru. Pembagian baru ini tampaknya milik Suhrawardi, yang juga memungkinkannya membahas dialektika, retorika, dan puisi secara sangat singkat sebagai bagian khusus dari logika materiel.

Dalam At-Talwihāt: Manthiq V, hlm. 3, yakni komponen logika materiel Al-Qiyās, Suhrawardi membedakan tujuh kelompok premis yang berfungsi sebagai materi silogisme. (5) Kelompok pertama, terdiri dari enam premis: premis-premis utama (al-awwaliyāt), premis-premis teramati (al-musyāhadāt),

P: 82


1- 29. At-Talwihāt: Manthiq, hlm. 46-73. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwihāt, Ibid., hlm. 47, catatan 2-4.
2- 30. At-Talwīhāt: Manthiq, hlm. 66-67. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwāhāt, Ibid., hlm. 66, catatan 1-3.
3- 31. Entimem didefinisikan sebagai silogisme yang terma mayornya sudah dihilangkan, seperti “manusia adalah hewan, dengan demikian, ia berjasad", At-Talwihāt: Manthiq, hlm. 68.
4- 32. Kesimpulan ini sebagai bentuk khas pandangan tentang wujud, berkaiatan dengan disposisi alami subjek (khulq), (At-Talwihāt: Manthiq, hlm. 69), adalah mungkin bahwa firāsah dan hads merupakan varian-varian dari áyxívoía Aristoteles yang dapat diterjemahkan dengan sifat “cepat mengerti", (misalnya, Eth Nie. 114266: An. Post. 89b10), mempunyai pengertian “kehati- hatian", dan juga “pandangan". Yang penting adalah konsep- konsep semisal pandangan, kehati-hatian, dan sebagainya, semuanya berkaitan dengan bentuk khusus inferensi yang subjeknya mungkin sampai pada kesimpulan tanpa melalui langkah-langkah inferensi. Bentuk inferensi ini kadang-kadang terbentuk berdasarkan konsepsi terma minor.
5- 33. At-Talwīhāt: Manthiq, hlm. 69-73.

premis-premis empiris (al-mujarrabāt), premis-premis intuitif (al-hadsiyyāt), premis-premis berulang (al-mutawātirāt), serta premis-premis yang tersirat dalam konsepsi sesuatu. “Hanya premis-premis ini yang mesti diterima," kata Suhrawardi.

Sebab, hanya premis-premis itu saja yang melahirkan keyakinan (al-yaqin) dalam konstruksi ilmu-ilmu hakiki (al-'ulüm al- haqiqiyyah). Kelompok premis kedua disebut premis-premis yang diakui (al-masyhūrāt); kelompok ketiga disebut premis- premis khayal (al-wahmiyyāt); kelompok keempat disebut premis-premis yang diambil (al-ma’khūdzāt), yang memuat premis-premis yang diterima (al-maqbūlāt) dan premis- premis yang ditetapkan (at-taqrīrāt); kelompok kelima disebut premis-premis yang dianggap benar (al-mazhnūnāt); kelompok keenam disebut premis-premis yang hanya tampak benar (al- musyabbahāt). (1) Setelah membahas premis-premis tersebut secara rinci, Suhrawardi kemudian mendefinisikan dialektika, retorika, dan puisi sebagai jenis-jenis argumen yang menggunakan bentuk- bentuk silogisme, tetapi dengan premis-premis jenis khusus yang berfungsi sebagai materinya. Menurutnya, “materi" argumen- argumen dialektis terdiri dari premis-premis yang ditentukan dan atau premis-premis yang dapat diterima; sedangkan “materi" argumen-argumen puitis terdiri dari premis-premis khayal. (2) Bab keenam berjudul Tentang Demonstrasi, Syarat-Syaratnya, Hubungannya dengan Definisi, Sanggahan-Sanggahan Sufistik, dan Kaidah-Kaidah, terdiri dari enam bagian.(3) Empat bagian pertama terdiri dari uraian singkat dan terpilah dari Al-Burhān.

Topik-topik yang dibahas hanya: persoalan-persoalan (al- mathālib, bagian 1, 7; III, 3);(4) berbagai demonstrasi “mengapa" dan asertoris (burhān lima wa anna, bagian 2; bandingkan Asy-

P: 83


1- 34. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwihāt, Ibid., hlm. 72, catatan 1-3.
2- 35. Lihat, Ibn Kammunah, Ibid., hlm. 73, catatan 1-3.
3- 36. At-Talwihāt: Manthiq, hlm. 76-93.
4- 37. Ibid., hlm. 76. Suatu pembedaan dilakukan antara "jika sederhana" (hāl al-basīth) dan "jika majemuk" (hāl al- murakkab).

Syifā': Al-Burhān, I, 7; III, 3); (1) pembagian dan syarat-syarat ilmu (bagian 3; bandingkan Asy-Syifā': Al-Burhān, I, II, hlm. 6-9);(2) dan hubungan antara demostrasi dan definisi (bagian 4; cf.

Asy-Syifā': Al-Burhān, IV, hlm. 2-7);(3) bagian kelima, berkenaan dengan kesalahan-kesalahan sofistik dalam silogisme, baik formal maupun materiel, dan memuat suatu uraian sederhana ihwal beberapa problem sanggahan Sofistik (bandingkan Asy- Syifā': Al-Mughālathāt, I, 2; II, 3-6). (4) Bagian keenam, berjudul Tentang Aneka Kaidah, bukanlah bagian dari struktur tradisional Al-Burhān, juga bukan bagian dari Al-Mughālathāt, melainkan lampiran untuk logika dalam At-Talwīhāt di mana Suhrawardi membahas sembilan kaidah yang berhubungan dengan problem-problem khusus logika. Di bagian ini, pendekatan non-Peripatetik sangat jelas, dan pembedaan penting yang dibuat oleh Suhrawardi antara apa yang disebut “Kaidah-kaidah Arasy" (Adh-Dhawābith Al-'Arsyiyyah) dan “Kaidah-kaidah Lembaran" (Adh-Dhawābith Al-Lauhiyyah). Dalam komentarnya atas At-Talwīhāt, Ibn Kammunah mengatakan bahwa barangkali "Kaidah-Kaidah Arasy" merujuk pada apa yang diperoleh oleh Suhrawardi melalui spekulasi personal, sementara “Kaidah- Kaidah Lembaran" merujuk pada apa yang dipelajari Suhrawardi dari buku-buku.(5) Pembedaan ini penting dan digunakan juga dalam fisika dan metafisika At-Talwīhāt. Secara umum, “Kaidah- Kaidah Arasy" membahas topik-topik yang sangat penting bagi Filsafat Iluminasi, dan di bagian logika dalam At-Talwihāt ini, “Kaidah-Kaidah" Suhrawardi terdiri dari topik-topik yang tidak sejalan dengan kaum Peripatetik. Kaidah-kaidah itu adalah sebagai berikut: Kaidah 1, tentang makna umum (atau yang universal); Kaidah 2, yang universal itu hanya memiliki wujūd

P: 84


1- 38. Ibid., hlm. 75. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwihāt, Ibid., hlm. 74, catatan 1.
2- 39. At-Talwāhāt: Manthiq, hlm. 75-80.
3- 40. Ibid., hlm. 80-83.
4- 41. Ibid., hlm. 83-87. Lihat Ibn Kammunah, Syarh At-Talwāhāt, Ibid., hlm. 83, catatan 1-5; 85, catatan 1, 3; 86, catatan 1; 87, catatan 1-4.
5- 42. Ibid., hlm. 88, catatan 1: Hātān al-lafzhatān, a'ni al-'arsyi wa al-lauhi, qad ista'mala humā fi 'iddat mawādzi' min hādzā al-kitāb wa lam yubayyin murādahu minhumā, wa la'allā murāduhu bi al-'arsyi al-bahts al-ladzī hashalahu bin nazharihi, wa bi al-lauhi mā akhadzahu min al-kutub.

dalam pikiran; Kaidah 3, tentang berbagai modalitas;(1) Kaidah 4, tentang hubungan antara dua bagian yang sama dari satu hal dalam kuantitas; Kaidah 5, tentang kemustahilan dua hal menjadi satu, kecuali melalui koneksi (ittishāl) dan pemaduan (imtizāj); Kaidah 6, tentang hubungan satu hal dengan berbagai hal (al-laulawiyyah);(2) Kaidah 7, tentang anggapan-anggapan dasar; Kaidah 8, tentang penjelasan bahwa sesuatu yang tidak ada adalah ketiadaan (“adami); serta Kaidah 9: tentang hubungan sebab akibat antara dua hal.(3)

3.2. Struktur Logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt

Logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt menampilkan uraian paling ekstensif Suhrawardi tentang logika. Strukturnya sedikit berbeda dari struktur logika dalam At-Talwihāt, dan materi yang dikemukakan dan dianalisis pun lebih maju dan rinci. Di dalamnya, ada sembilan bab (sama dengan enam bab logika dalam At-Talwīhāt) yang masing-masing disebut jalan (masyra').

Bab pertama, berjudul Tentang Al-Madkhal dan terdiri dari 16 bagian (fushūl). Secara kasar, bab ini bisa disamakan dengan Asy-Syifā': Al-Madkhal, dan secara struktural sama persis dengan bab pertama logika dalam At-Talwihāt. Hanya saja, penekanan yang lebih besar diletakkan pada bahasan tentang kuiditas (al- māhiyyah) yang dilakukan dalam tiga bagian (6, 7, 4), sesuai dengan dua bagian dalam Asy-Syifā'; Al-Madkhal, I: 5, 7.

Bab kedua, berjudul Tentang Proposisi-Proposisi Penjelas dan terdiri dari 12 bagian. Bab ini bisa disamakan dengan bab kedua logika dalam Al-Talwīhāt, dengan tambahan beberapa bagian berikut: bagian 3, tentang penggunaan istilah-istilah

P: 85


1- 43. Dalam kaidah ini Suhrawardi menegaskan bahwa modalitas- modalitas wajib (wājib), mungkin ( mumkin), mustahil (mumtani“), serta masih mungkin (muhtamal) – catatan tambahan bagi yang mungkin - semuanya adalah wajib, jika membentuk bagian predikat (mahmūl). Gagasan tentang modalitas yang berulang-ulang ini sepenuhnya dikembangkan dalam logika Hikmah Al-Isyrāq, yang Suhrawardi anggap proposisi tunggal, selalu wajib (adh-dharūriyyah al-battah), sebagai bentuk tempat semua proposisi dapat direduksi ke dalamnya.
2- 44. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwihāt, Ibid., hlm. 91, catatan 3.
3- 45. Ibid., hlm. 88-93.

teknis dalam logika; bagian 4, ihwal bantahan Suhrawardi atas istilah “konsep” (al-mafhūm) dan "yang dinamai" (al- musammā) yang digunakan oleh Ibn Sina; bagian 7, tentang kritik atas definisi Peripatetik tentang manusia sebagai hewan rasional; bagian 10, berisi uraian Suhrawardi ihwal definisi jiwa; dan bagian 11, membahas penggunaan logis definisi melalui analogi (ta'rif bi at-tamtsil).

Bab ketiga, berjudul Tentang Komposisi Enunsiatif, terdiri dari sembilan bagian. Bab ini bisa disamakan dengan bab ketiga logika dalam At-Talwihāt. Namun, dalam bagian pertama, Suhrawardi membahas perbedaan antara wujud nyata (wujud ‘aini), wujud ideal, atau wujud mental (wujūd dzihni) secara rinci. Ia tidak menguraikan subjek-subjek ini dalam logika dalam At-Talwīhāt, dan tidak punya padanan dalam Asy-Syifā' karya Ibn Sina. Ini adalah sebuah contoh bagian dalam logika yang menggambarkan metode Iluminasi dalam membahas problem- problem ontologis tertentu dalam konteks logika.

Tiga bab berikutnya (5, 6, 7) bisa disamakan dengan bab kelima logika dalam At-Talwīhāt. Masalah-masalah dalam ketiga bagian, diuraikan secara lebih rinci dan masing-masing diberi sebuah bab terpisah. Kita melihat bahwa bab kelima, berjudul Tentang Komposisi Bukti Kedua, terdiri dari 20 bagian, dan bisa disamakan dengan bagian pertama dari karya sebelumnya; bab keenam, berjudul Tentang Kelompok Hal-Hal yang Kita Perlukan:

Hal-Hal Dialektis dan Sebagainya, terdiri dari enam bab, dan bersesuaian dengan bagian kedua; dan bab ketujuh, berjudul Tentang Kelompok Proposisi, bersesuaian dengan bagian ketiga.

Bab delapan, berjudul Tentang Demonstrasi, terdiri dari 16 bab. Bab ini sedikit berbeda dari empat bagian pertama bab

P: 86

Logika dalam Filsafat Iluminasi keenam logika dalam At-Talwihāt, dan strukturnya lebih dekat dengan Al-Burhān.

Bab kesembilan, berjudul Tentang Sanggahan-Sanggahan Sofistik, sebuah bab pendek yang bisa disamakan dengan bagian kelima bab keenam logika dalam At-Talwīhāt.

Akhirnya, tidak ada sesuatu pun dalam logika dalam Al- Masyāri' wa Al-Muthārahāt yang bisa disamakan dengan bab keenam logika dalam At-Talwihāt.

3.3. Struktur dan Lingkup Logika dalam Hikmah Al-Isyrāg

Ada perbedaan-perbedaan struktural penting antara logika dalam Hikmah Al-Isyrāq dengan bagian logika dalam At-Talwihāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Dalam dua karya yang disebut terakhir ini, logika menduduki bagian (kitāb) pertama dari keseluruhan tiga bagian (kitāb) yang ada dalam masing-masing karya. Logika disuguhkan dalam Bagian Satu, Hikmah Al-Isyrāq, tempat problem-problem fisika dan metafisika pilihan juga dibahas. Bagian Satu (Al-Qism Al-Awwal), diberi judul Tentang Kaidah-kaidah Pemikiran,(1) dan Bagian Dua (Al-Qism Ats-Tsāni), diberi judul Tentang Cahaya-Cahaya Ilahiah, Cahaya dari Segala Cahaya, dan Prinsip-prinsip dan Tingkatan-Tingkatan Wujud.(2) Dalam Bagian Satu, Kaidah-kaidah Pemikiran, mencakup bahasan ihwal logika, fisika, dan juga metafisika. Dalam Bagian Dua, kita menemukan rekonstruksi epistemologi dan ontologi yang didefinisikan dengan baik dalam istilah-istilah iluminasi.

Akan tetapi, meski terdapat berbagai perbedaan struktural penting antara Hikmah Al-Isyrāq dan dua karya penting lainnya, kandungannya tetap sama dan hanya berbeda dalam hal penekanan dan terminologi.

P: 87


1- 46. Yakni, Fi Dhawābith Al-fikr. Suhrawardi, Opera II, hlm. 14-105.
2- 47. Yakni, Fial-anwār al-llāhiwa nūr al-anwār wa mabādi' al-wujud wa tartibihā. Ibid., hlm. 106-257.

Dari berbagai pernyataan Suhrawardi, kita sudah mengetahui bahwa logika dalam At-Talwihāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt lebih akhir tingkatannya, meskipun secara kronologis lebih dahulu ketimbang Hikmah Al-Isyrāq. Kita juga tahu bahwa ringkasan dan gaya penyuguhan logika dalam Hikmah Al-Isyrāq menunjukkan bahwa Suhrawardi beranggapan para pembaca sudah akrab dengan karya-karyanya yang lain. Sarjana- sarjana kontemporer, terutama H. Corbin dan S. H. Nasr, telah mengabaikan kajian tentang logika dalam Hikmah Al-Isyrāq.

Kita akan lihat dalam kajian atas Bagian Pertama, bahwa telaah menyeluruh atas logika Iluminasi sesungguhnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam usaha memahami tujuan Filsafat Suhrawardi.

Bagian Satu, Hikmah Al-Isyrāq dibagi ke dalam tiga bab, yang masing-masing disebut "risalah" (maqālah). Bab ketiga kemudian dibagi ke dalam tiga bagian. Dua bab pertama plus dua bagian pertama bab ketiga, membahas logika yang semuanya merupakan separuh dari bagian satu buku ini.

Bab Satu, berjudul Tentang Segala Sesuatu yang Diketahui dan Membuat Segala Sesuatu Diketahui, terdiri dari tujuh bagian, yang masing-masing disebut Kaidah (dhābith).(1) Suhrawardi menggunakan istilah “Kaidah" untuk judul-judul bagian ini yang mengungkapkan tujuannya untuk menyuguhkan kepada pembaca seperangkat kaidah atau formula ringkas dan berguna yang berkaitan dengan topik-topik penting logika, tanpa banyak mambahas signifikansi logika atau analisis ihwal bagaimana semuanya itu dirumuskan. Ia hanya menegaskan sebuah prinsip atau problem logika, dan beranggapan bahwa pembaca sudah akrab dengan segenap rinciannya, seperti dikemukakan dalam

P: 88


1- 48. Ibid., hlm. 14-21.

logikanya dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt.(1) Beralasan kiranya untuk berasumsi, bahwa masing-masing kaidah yang ada dalam Bagian Satu, Hikmah Al-Isyrāq telah dipilih dengan cermat karena penggunaannya dalam rekonstruksi Filsafat Iluminasi.

Kaidah Pertama, dalam bab satu membahas problem- problem semantik dalam kaitannya dengan dalil (dalālah) makna (al-ma'nā) sesuatu (asy-syai”) oleh ungkapan (al-lafzh).(2) Tiga bentuk dalil itu disebut: [1] dalil maksud (dalālah al- qashd), di mana ada korespondensi satu sama lain antara ungkapan dan makna; [2] dalil implikasi (dalālah al-hitha'), di mana ada korespondensi sebagian antara ungkapan dan makna; dan [3] dalil seiring (dalālah at-tathafful), di mana ungkapan melambangkan satu atau banyak, – tetapi tidak semua, sifat dasar (lawăzim) dari sesuatu. Kaidah ini adalah padanan bab I, 2 logika dalam At-Talwībāt dan bab 1, 3 logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Akan tetapi, dalam Hikmah Al-Isyrāq, istilah- istilah yang berbeda digunakan lebih sering ketimbang dalam Al- Masyāri' wa Al-Muthārahāt, di mana digunakan tiga istilah yang lebih baku – dalil korespondensi (dalālah al-muthābaqah), dalil implikasi (dalālah at-tadhammum), dan dalil seiring (dalālah al- iltizām). (3) Dalam Kaidah Kedua bab satu, Suhrawardi membahas secara khusus hubungan antara konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq). Istilah-istilah “konsepsi” dan “penilaian" sebenarnya tidak digunakan oleh Suhrawardi, tetapi sang komentator, Quthbuddin Asy-Syirazi, menyebutnya demikian. (4) Dalam bagian pertama bab satu At-Talwihāt, Suhrawardi menilai konsepsi sebagai “memperoleh bentuk sesuatu

P: 89


1- 49. Contoh lain tempat istilah “kaidah" digunakan adalah dalam bab keenam logika dalam At-Talwāhāt (yang seperti, kita catat, berfungsi sebagai apendiks) yang di dalamnya sembilan kaidah berkaitan dengan problem-problem logika diberikan, begitu juga diskusi tentang problem-problem yang biasanya dibahas dalam fisika.
2- 50. Jika skema semantik Artistoteles yang eksplisit lebih sederhana – “kata-kata tertulis adalah simbol dari kata-kata yang diucapkan, yakni simbol pengalaman-pengalaman mental dan pengalaman-pengalaman mental adalah simbol sesuatu", Bochenski, Ancient Formal Logic, (hlm. 29) – maka kaum Stoic mengembangkan semantik ke dalam sistem yang kompleks melalui teori mereka tentang lɛktóv dan subjek-subjek terkait. Semantik Stoic barangkali berfungsi sebagai asal-usul semantik dan semiotik logika Arab dan Persia yang telah berkembang. Untuk analisis rinci tentang teori /ɛktóv Stoic, lihat Benson Mates, Stoic Logic. (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1961), hlm. 11-27; W. and M. Kneale, The Development of Logic, hlm. 138-158; dan Bochensjki, Ancient Formal Logic, hlm. 82-86. Perbandingan berikut, mungkin dapat membantu memahami skema semantik Suhrawardi. Denotasi, yakni objek eksternal (TvYXávov) harus dilaksanakan dengan sesuatu (asy-syai'); tanda (pwví atau onuaíwov) harus disamakan dengan ungkapan (al-lafzh); dan penanda (1ɛktóv) harus disamakan dengan makna (al-ma'nā). Ibrahim Madkour dalam “Pendahuluan" karya Ibn Sina, Asy-Syifa': Al-Madkhal. hlm. 62, menganggap teori lektov Stoic sebagai asal-usul ilmu makna (“ilm dalālah al-lafzh) dalam Islam.
3- 51. Suhrawardi, Opera II, hlm. 14-15. Bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 36: 13; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, I, 8; Suhrawardi, Al-Lamahāt, hlm. 59, di mana dalil-dalil yang berbeda dibahas secara rinci. Lihat juga, Asy-Syahrazuri, Syarh, fol. 14r.
4- 52. Asy-Syirazi, Syarh II, 38: 13. Penamaan "pengetahuan Iluminasi" (al-'ilm Al-Isyrāq) oleh komentator diterapkan pada jenis pengetahuan tanpa menerapkan pembedaan antara konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq). Pengetahuan ihwal Tuhan dan hal-hal utama yang bisa dipikirkan adalah contoh jenis pengetahuan ini, di mana hanya “kehadiran" (hudhūr) objek yang bisa mengimplikasikan pengetahuan tentangnya oleh subjek yang mengetahui.

(shūrah asy-syai') dalam pikiran", sebuah ide Peripatetik yang ditolaknya dalam bagian pertama dari bab satu Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Di sini, (Hikmah Al-Isyrāq: Bagian Satu, I, 2), Suhrawardi mengemukakan, tanpa banyak analisis, sebuah pandangan yang berbeda, yang mesti dipandang sebagai komponen fundamental dalam prinsip-prinsip Iluminasi berkenaan dengan dasar pengetahuan. Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (pemikiran), atau persepsi (idrāk), tentang sesuatu yang tidak ada (Asy-syai' al-ghā'ib) terjadi ketika ide (mitsāl) tentang realitas (haqiqah) sesuatu itu diperoleh. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa ketika ide diperoleh, maka kesan atau pengaruh (atsar) pun muncul dalam wujud seseorang yang memahami yang memantulkan keadaan pengetahuan yang dicapainya.(1) Beberapa baris dari bagian ini punya implikasi yang besar bagi pemahaman kita tentang teori pengetahuan Iluminasi. Pembedaan yang dilakukan Suhrawardi antara sesuatu yang tidak ada (asy-syai' al-ghā'ib) dan sesuatu yang ada, yakni sesuatu berjasad yang menjadi bagian dari data indrawi, sangat penting dalam Filsafat Iluminasi. Suhrawardi setuju dengan formula Peripatetik yang menegaskan bahwa konsepsi adalah diperolehnya bentuk sesuatu dalam pikiran – selama sesuatu itu berjasad dan bisa diserap oleh indra. Ia tidak puas dengan formula Peripatetik manakala sesuatu yang diserap itu tidak berjasad dan bukan menjadi bagian dari data indrawi. Dalam kasus semacam itu, posisi Iluminasi dinyatakan sebagai pengetahuan yang berdasarkan hubungan (idhāfah), yang diperoleh dalam pikiran antara “realitas” (haqiqah) sesuatu dengan sesuatu itu.

Bagi Suhrawardi, ini berarti bahwa bentuk dan ide dari hal-hal indrawi adalah sama, tetapi tidak demikian halnya dalam kasus

P: 90


1- 53. Quthbuddin Asy-Syirazi menganggap masalah konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq) sebagai “ilmu baru" yang membahas kehadiran sesuatu yang dipahami (al-mudrak) pada diri yang memahami (al-mudrik), (Syarh II, hlm. 38: 13-39: 2). Asy-Syirazi selanjutnya, menekankan pentingnya persoalan epistemologi ini bagian Filsafat Iluminasi dan menunjuk pada pembedaan antara pengetahuan formal (al-'ilm ash-shūrī) dan pengetahuan Iluminasi dengan kehadiran (al-'ilm al-hudhūrī). Harus dicatat bahwa persoalan ini diperdebatkan panjang lebar oleh Mulla Sadra dalam Ta‘liqāt. (Syarh II, hlm. 39-42 dan catatan pinggir) yang tidak sependapat dengan posisi epistemologi Iluminasi.

hal-hal non-indrawi, di mana idea tentang sesuatu adalah apa yang dihubungkan dengan persepsinya dan, karenanya, lebih dahulu secara epistemologi. Dalam sisa bagian ini (Kaidah Kedua), Suhrawardi membahas problem-problem semantik yang berkaitan dengan uraian sebelumnya tentang hubungan antara pengetahuan, persepsi, dan “idea" (mitsāl) tentang hal-hal non- indrawi. Dengan cara baru, ia menegaskan bahwa makna (al- ma'nā) yang tampak bagi seseorang adalah makna universal (al-ma‘nā al-'āmm) dan ungkapan yang melambangkannya (al- lafzh al-'āmm); atau makna tertentu (al-ma'nā asy-syākhish) dan ungkapan yang melambangkan suatu nama tertentu (al-lafzh asy- syākhish).(1) Pokok bahasan Kaidah ini berkaitan dengan problem yang diuraikan dalam At-Talwīhāt: Manthiq, I, 1, 3, 4 dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, 1, 1, 4, 5, 7. Hanya saja, harus dicatat bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam bagian Hikmah Al-Isyrāq ini berbeda dari sitilah-istilah dalam dua karya lainnya.

Dalam Kaidah Ketiga, Suhrawardi membahas realitas (haqiqah) sesuatu. Realitas ini yang disamakan dengan istilah baku Peripatetik, kuiditas (māhiyyah), oleh Asy-Syirazi, (2) dikatakan sebagai bersifat sederhana (basīth) atau tidak sederhana (ghair basith), yakni majemuk. Maka, sesuatu punya realitas yang berkaitan dengannya, yakni ke-apa-ada-an-nya (what-it-is) atau kuiditasnya, yang bisa menandai makna yang berkaitan dengan keseluruhan sesuatu sebagaimana adanya (as it is), atau hanya sebagiannya saja. (3) “Realitas" atau ke-apa-an sesuatu sebagaimana adanya (inti sesuatu) ini pun memiliki aksiden-aksiden yang “terpisah" (al--awāridh al-mufāraqah), atau aksiden-aksiden yang mengiringi (al-'awāridh al-lāzimah),

P: 91


1- 54. Suhrawardi, Opera II, hlm. 15. Istilah-istilah yang digunakan Suhrawardi di sini bukan istilah-istilah Peripatetik. Penyamaan dengan istilah-istilah teori Stoic tentang lɛKTÓV harus dilakukan. Makna universal (al-ma'nā al-'ām) bisa dihubungkan dengan kata benda umum (KoivÝ TOIÓTIS) Stoic; nama kelompok (al-lafzh al-'ām) sama dengan kata Tt poonyopíai Stoic; makna partikular (al-ma‘nā asy-syākhish) sama dengan kata benda individu idéa tolótoc); dan nama pokok (al-lafzh asy-syākhish) sama dengan nama pokok (óvóuata) Stoic.
2- 55. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 45: 2-3; Kull haqiqah, ay mahiyyah sawa' kānat fī al-a'yān au fī al-adzhān.
3- 56. Keteguhan Suhrawardi menggunakan haqiqah sebagai ganti mahiyyah sesuai dengan posisinya yang “realis" yang menyamakan ke-apa-an sesuatu dengan realitasnya, yakni haqiqah dianggap sebagai sesuatu sebagaimana adanya. Bandingkan λεκτόν (αυτοτελές) Stoic yang sempurna dan DEKTÓv (ÉMITÉS) defisien, lihat Mates, Stoic Logic, hlm. 16. Lihat juga, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 45: 3.

yang berkaitan dengannya.(1) Hanya sebagian saja dari bagian ini yang bisa disamakan dengan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt:

Manthiq, I, 16.(2) Dalam Kaidah Keempat, Suhrawardi selanjutnya membahas ke-apa-an sesuatu yang disebutnya sebagai realitas. (3) Dikatakan, baik aksiden-aksiden yang terpisah maupun aksiden-aksiden yang mengiringi pun hadir belakangan ketimbang “realitas" dari sesuatu, yang harus dipandang sebagaimana adanya, keseluruhan dalam dirinya, bila ingin didapatkan pengetahuan tentangnya. Kemudian, sesuatu yang nyata mempunyai berbagai kesesuaian khusus yang dinisbatkan kepadanya,(4) dan kesesuaian khusus itu disebut sebagai yang esensial (adz-dzātī). Yang aksidental (al-‘aradhi) terpisah dari – atau mengiringi – realitas sesuatu, dan dipandang hadir lebih belakangan ketimbang realitas sesuatu itu ketika dipikirkan. Ia menjadi sifat yang lebih umum atau khusus. (5) Bagian ini memiliki kesamaan dengan At-Talwībāt: Manthiq, I, 6 dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, I, 11.

Dalam Kaidah Kelima, Suhrawardi membahas makna universal (al-ma'nā al-'āmm). (6) Dikatakan bahwa makna “umum" atau universal ini tidak punya realitas di luar pikiran;(7) sebab memiliki realitas di luar pikiran berarti memiliki kuiditas tertentu, yang dengannya, ia dibedakan dari sesuatu yang lain, dan karenanya menjadi sesuatu yang khusus (syākhish), dan bukan makna umum (dan juga bukan universal). Makna umum bersifat koekstensif (mutasāwiq)(8) atau terpisah (mutafāwit). (9) Mengikuti skema semantiknya dalam logika di bagian ini, Suhrawardipun mendefinisikan nama-nama sinonim (mutarādifah), homonim (musytarakah), dan metaforis (majāziyyah).(10) Bagian ini bisa

P: 92


1- 57. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 45: 13-16.
2- 58. Suhrawardi, Opera II, hlm. 15.
3- 59. Ibid., hlm. 16-17. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 47:12-49: 2.
4- 60. Seperti manusia (al-insān), di mana sifat kehewanan (al- hayawāniyyah) menjadi bagian yang dinisbatkan kepadanya.
5- 61. Misalnya, kemampuan berjalan adalah aksiden manusia yang lebih umum (yang juga dimiliki oleh hewan), sementara kemampuan tertawa adalah aksiden khas dan bersifat koinsidental pada diri manusia.
6- 62. Suhrawardi, Opera II, hlm. 17. Istilah yang digunakan oleh Suhrawardi di sini bukanlah istilah Peripatetik (al-kullī), tetapi Asy-Syirazi menganggap kedua istilah itu identik (Syarh II, hlm. 49: 2-52:16). Namun, Suhrawardi sangat berhati- hati dalam memilih istilah yang digunakan, dan saya yakin istilah-istilah ini sangat mendukung tradisi logika lain, yang barangkali berasal dari Stoic.
7- 63. Quthbuddin Asy-Syirazi menganggap istilah al-ma'nā al- 'ām sebagai istilah baru yang digunakan Suhrawardi, dan ia mengambilnya sebagai padanan kata al-kulli (Syarh II, hlm.49: 3), tetapi Mulla Sadra menganggap istilah al-ma'nā al-'ām yang digunakan Suhrawardi disebabkan oleh kebingungan antara al-kulli al-'aqli dan al-kulli al-thabi'i. Hanya istilah yang disebutkan terdahulu saja yang tidak punya realitas di luar pikiran, (Ta‘liqāt: Syarh II, hlm. 49, catatan pinggir).
8- 64. Istilah Peripatetik yang biasa adalah al-'ām al-mutasāwi. Namun, Al-Farabi menggunakan kedua istilah itu. Lihat, Al- Farabi, Utterances Employed in Logic, disunting oleh Muhsin Mahdi, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1967), hlm. 61.
9- 65. Misalnya, ketika hal-hal partikular atau hal-hal individual berbeda berdasarkan makna masing-masing.
10- 66. Aristoteles hanya membahas secara singkat hal-hal yang dinamai secara equivok, univok, turunan (derivatif) (Categories 1, 1-15). Para filsuf masa Islam, di sisi lain membahas subjek ini secara terperinci. Bahasan “nama" dalam hubungannya dengan benda yang dinamai menjadi bagian dari teori Semantik yang didefinisikan dengan baik. Lihat, Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, 1, 8; Suhrawardi, Al-Lamahāt, hlm. 60; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 13-16. Untuk bahasan tentang pandangan Al-Baghdadi tentang hubungan antara hal-hal yang diketahui, keadaannya dalam pikiran, dalam realitas eksternal, dan makna (al-ma'nā yang oleh Pines diterjemahkan “kandungan pikiran") partikular atau universal. Lihat, Pines, Studies in Abu Al- Barakat Al-Baghdadi's Poetics and Metaphysics, hlm. 141-147.

disamakan dengan At-Talwihāt: Manthiq, I, 5 dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, 1, 8.

Lima Kaidah pertama (dari tujuh kaidah seluruhnya) dalam Hikmah Al-Isyrāg: Bagian Satu, tersebut di atas bersesuaian dengan bab pertama logika dalam At-Talwīhāt dan Al-Masyāri wa Al-Muthārahāt, dan merupakan bagian dari logika dalam Hikmah Al-Isyrāq yang berkaitan dengan pokok bahasan Al- Madkhal Tradisional (misalnya, Asy-Syifā': Al-Madkhal).

Dalam Kaidah Keenam, Suhrawardi melakukan pembagian atas pengetahuan menjadi dua bagian ganda: fitri dan perolehan, seperti dilakukan dalam bagian pendahuluan logika dalam At-Talwīhāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt.(1) Di sini Suhrawardi juga menekankan bahwa ide-ide fitri atau bawaan bertindak sebagai dasar bagi pengetahuan; dan inilah pandangan dasar yang diambil untuk rekonstruksi Filsafat Iluminasi jika mempertimbangkan persoalan epistemologi ihwal, “Bagaimana pengetahuan itu diperoleh?"(2) Signifikansi persoalan ide-ide fitri yang khas dalam epistemologi Iluminasi, seperti telah ditunjukkan Suhrawardi dalam pendahuluan keempat karyanya (bandingkan juga Asy-Syifā': Al-Madkhal, I, 4) menjadi alasan ihwal mengapa ia memasukkan bahasannya dalam kaidah dari bagian kesatu buku ini. Di sini, posisi yang diambil Suhrawardi berpijak pada pandangan atas ungkapan pembuka Aristoteles yang telah dimodifikasi dalam Al-Burhān, I, 1; tetapi posisi epistemologi yang diberikan kepada pembagian pengetahuan ini merupakan teori Suhrawardi tentang pengetahuan.

Dalam Kaidah Ketujuh, Suhrawardi membahas definisi dan deskripsi yang bersesuaian dengan pokok bahasan bab kedua At-Talwihāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt.(3) Seperti telah

P: 93


1- 67. Lihat Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 5: 16-52: 15.
2- 68. Kedudukan di sini, yakni idea bawaan yang punya peringkat apriori, juga merupakan kedudukan metodologis Al-Baghdadi yang penting. Ini telah dibahas oleh S. Pines dalam kajiannya tentang Al-Baghdadi, lihat khususnya S. Pines, Nouvelles etudes sur Awhad al-Zaman Abu Al-Barakat Al-Baghdadi. (Paris: Librairie Durlaches, 1953), hlm. 8, 17: idem., “Studies in Abu Al-Barakat Al-Baghdadi's Poetics and Metaphysics", hlm. 127-128, di mana kognisi apriori oleh Oines disebut sebagai “tema utama" karya Al-Baghdadi.
3- 69. Suhrawardi, Opera II, hlm. 18-20. Lihat, Apendiks B berikut, di mana disuguhkan terjemahan Hikmah Al-Isyrāq: Al-Qism Al-Awwal, 1, 7: “Tentang Definisi dan Syarat-Syaratnya”. Topik definisi adalah salah satu hal paling penting dalam logika Suhrawardi dan juga dalam Filsafat Iluminasi. Lihat, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 52: 18-63: 3; Al-Baghdadi, Al- Mu'tabar, 1, 46-48, 50-64; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 19-24; Suhrawardi, Al-Lamahāt, hlm. 64-66.

kita sebutkan di atas, definisi dan deskripsi sebagai problem logika dibahas dengan baik dalam Al-Burhān dan Al-Jadal. Suhrawardi memasukkan problem-problem ini dalam keseluruhan teori semantiknya yang diawali dari struktur standar Organon.

Pentingnya Kaidah ini ditegaskan ketika kita menelaah kenyataan bahwa Suhrawardi menolak doktrin definisi yang dianggap sebagai langkah pertama yang penting dalam pengetahuan oleh kaum Peripatetik.

Setelah menolak posisi Peripatetik, Suhrawardi mengemukakan pandangan alternatif tentang kaidah-kaidah formal berkenaan dengan definisi dan juga posisi epistemologinya.

Inilah salah satu komponen dasar teori Pengetahuan Iluminasi yang paling penting. Kaidah Ketujuh, dibagi menjadi dua bagian-bagian pertama, bagian pendahuluan, yang diberi judul Tentang Definisi-Definisi Hakiki (Al-Hudūd Al-Haqiqiyyah), dan bagian kedua, yang diberi judul Dalil Iluminasi (Qā'idah Isrāqiyyah), tempat Suhrawardi membahas apa yang ia anggap sebagai kelemahan formula Peripatetik tentang definisi, dan mengemukakan teori alternatifnya. Dalam bagian pendahuluan, Suhrawardi membahas problem-problem yang berkaitan dengan kaidah-kaidah yang menentukan definisi. Ia menegaskan bahwa agar sesuatu dapat diketahui dengan mendefinisikannya, semua atau beberapa satuan (al-ahād), atau keseluruhan (al-ijtimā“) dari sesuatu yang akan didefinisikan harus dispesifikasi. Selanjutnya, Suhrawardi menetapkan bahwa dalam membangun definisi, sesuatu harus didefinisikan dengan mengacu pada sesuatu yang lebih tampak atau lebih jelas (al-azhhar) daripada sesuatu itu yang diketahui lebih dahulu. Dengan kata lain, sesuatu lainnya yang dijadikan rujukan dalam mendefinisikan sesuatu harus

P: 94

lebih jelas dan lebih dahulu. Akhirnya, Suhrawardi menambahkan bahwa definisi tidak bisa hanya berupa sekedar penggantian nominal (tabdil al-lafzh). Dalam pembagian berikutnya, Suhrawardi mempertimbangkan definisi dan deskripsi nyata.

la menyatakan keberatannya atas pandangan materialis yang menganggap bahwa realitas yang benar-benar ada hanyalah realitas jasmani (al-haqiqah al-jismiyyah) saja. Kemudian, ia menyatakan bahwa ketika kaum Peripatetik ingin mengetahui sesuatu seperti manusia, mereka pun mengemukakan postulat tentang sesuatu yang melaluinya ide “manusia" (al-insāniyyah) bisa diketahui, dan bagi mereka, ini disebut definisi “manusia" sebagai “hewan rasional". Suhrawardi keberatan atas definisi ini dengan alasan bahwa mendefinisikan X melalui Y yang tersirat dalam X bukanlah mendefinisikannya. Suhrawardi mengajukan jalan lain untuk mengetahui ide tentang “manusia", yang berpijak pada pengetahuan individu tentang esensi dirinya terlebih dahulu.

Sebagai akibat dari kepastian berikutnya yang didasarkan pada- dan disebabkan oleh — “pengetahuan diri", subjek pun bisa mengetahui ide tentang “manusia". Jenis pengetahuan ini, tegas Suhrawardi, tidak akan pernah bisa dicapai melalui formula-formula definisi yang dibangun semata.

Dalam bagian berikutnya yang berjudul Dalil Iluminasi, Suhrawardi menegaskan keberatannya lebih jauh atas formula definisi Peripatetik. Menurut kaum Peripatetik, esensi universal dan partikular (adz-dzāt al-‘āmm wa al-khāshsh) dari sesuatu yang didefinisikan harus dispesifikasi. Esensi universal berkaitan dengan realitas universal (al-haqiqah al-kulliyyah) dari sesuatu dan disebut genus (al-jins). Esensi khusus disebut diferensia dari dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, setelah

P: 95

membuktikan bahwa seseorang mencapai sesuatu yang tidak diketahui (al-majhūl) melalui yang diketahui (al-ma'lūm), dan bahwa sesuatu yang diketahui harus lebih dahulu diketahui secara fitri, ia pun keberatan atas formula Peripatetik ihwal definisi atas dasar bahwa esensi partikular sesuatu, yakni diferensianya, juga sama-sama tidak diketahui, seperti sesuatu yang akan didefinisikan, dan tidak juga lebih dahulu, – dengan demikian- tidak harus digunakan untuk menggabungkan formula, yakni mendefinisikan sesuatu. Kedua, untuk memiliki pengetahuan yang meyakinkan (al-ma'rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu keseluruhan atau jumlah organik (al-ijtimā”) dari esensi (al- jāmi' adz-dzātiyyah) harus diketahui. Ini tidak bisa dilakukan hanya dengan proses mengurangi secara khas esensi-esensi (yakni diferensia) sesuatu karena boleh jadi masih ada berbagai sifat (shifāt) “tersembunyi" (ghair zhāhirah) yang berhubungan dengan sesuatu, yang dengan demikian membuat uraian jadi tidak sempurna.

Ini berarti Suhrawardi menganggap, sesuatu mungkin saja punya jumlah esensi yang besar, atau bahkan tak terhitung, yakni urutan esensi sesuatu yang tidak punya lompatan lebih rendah atau lebih tinggi. Ini mudah dibayangkan ketika kita memikirkan sesuatu yang punya beberapa sifat, tak terhitung, bahkan barangkali tak terbatas. Suhrawardi memberitahu kita bahwa guru kaum Peripatetik (Aristoteles) mengakui kesulitan dalam memperoleh berbagai definisi hakiki dari segala sesuatu.

Teori Definisi Suhrawardi, yang diuraikannya lebih rinci dalam karyanya yang terakhir ini bertujuan menspesifikasi hal-hal yang secara khusus berkaitan dengan keseluruhan organik (al- ijtimāʻ) dari sesuatu. Keseluruhan sesuatu tidak dapat diketahui

P: 96

hanya dengan metode formal pemilahan jumlah terbatas sifat- sifat esensial sesuatu, melainkan hanya bisa diketahui melalui proses epistemologi lain. Seperti akan kita lihat nanti, inilah gagasan epistemologi Iluminasi tentang mengetahui sesuatu berdasarkan “melihat" sesuatu sebagaimana adanya.

Bab kedua dari Bagian Satu Hikmah Al-Isyrāq, diberi judul Tentang Bukti-Bukti dan Prinsip-Prinsipnya,(1) terdiri dari tujuh kaidah. Bidang-bidang yang dipilih dari tiga bab Organon tradisional – tentang Interpretasi, Al-Qiyās, dan Al-Burhān- diuraikan dalam bab ini.

Kaidah pertama, membahas dan mengkaji proposisi (qadhiyyah) dan silogisme (qiyās).(2) Proposisi didefinisikan sebagai pernyataan yang bisa dikatakan benar atau salah.

Silogisme adalah pernyataan yang terdiri dari proposisi- proposisi. Proposisi yang paling sederhana bersifat predikatif (hamliyyah) yang terdiri dari subjek (maudhū“) dan predikat (mahmūl),(3) adalah mungkin untuk menggabungkan dua (atau lebih) proposisi ke dalam satu proposisi dengan menggabungkan keduanya. Jika hubungan itu berdasarkan implikasi (luzūm), maka proposisinya bersifat bersyarat berkaitan (asy-syarthiyyah al-muttashilah).(4) Bagian yang dihubungkan dengan syarat (asy-syarth) disebut anteseden (al-muqaddam), dan bagian yang dihubungkan dengan hasil (al-jazā') disebut konsekuensi (at-tālī). Jika hubungan dua proposisi ini didasarkan pada pertentangan (al-'inād, yang bisa diterjemahkan sebagai "disjungsi"), maka proposisi itu disebut bersyarat disjungtif atau terpisah (asy-syarthiyyah al-munfashilah).(5) Proposisi-proposisi lain bisa dibentuk dengan menghubungkan dua proposisi atau lebih seperti itu. Semua proposisi bersyarat adalah modifikasi

P: 97


1- 70. Yakni, Fi al-hujaj wa mabadi'ihā, Suhrawardi, Opera II, hlm. 22-45.
2- 71. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh 11, hlm. 63: 4-70: 1; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, 1, 69-74; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 26-27. Baik Al- Baghdadi maupun As-Sawi menggunakan istilah al-qaul al-jazim (Woyos áttUQAvtikóc) yang sinonim dengan al-qadhiyyah. Lihat, Bochenski, Ancient Formal Logic, hlm. 85-86.
3- 72. p (subjek) adalah q (predikat).
4- 73. Juga dikenal dengan proposisi “jika, maka" – hubungan berdasarkan implikasi atau inferensi (luzūm) dapat direduksi menjadi bentuk-bentuk hubungan yang lain, seperti kombinasi konjungsi, disjungsi, dan negasi. Bentuk dasar proposisi ini adalah [x, p, q): 9(x) dan kemudian p(x). Sikap Suhrawardi terhadap kaidah-kaidah formal yang mengatur implikasi bisa dibandingkan dengan Stoic. Lihat, Bochenski, Ancient Formal Logic, hlm. 158-176; Mates, Stoic Logic, hlm. 42-57.
5- 74. Juga dikenal dengan proposisi “entah, atau" – hubungan melalui disjungsi, ‘inad, bisa direduksi menjadi bentuk-bentuk hubungan yang lain. Bentuk dasar proposisi ini adalah [x, p, q]: q(x) atau p(x). Dua bagian proposisi yang disatukan ini, masing-masing, disebut anteseden dan konsekuensi.

dari proposisi predikatif, meskipun tidak ada usaha yang dilakukan oleh Suhrawardi untuk menunjukkan cara mereduksi atau bentuk hubungan dalam proposisi menjadi bentuk lain.

Ini diikuti dengan pembahasan modus ponen, modus tollens, kesalahan-kesalahan, serta kesimpulan-kesimpulan sahih yang dibuat melalui afirmasi atau negasi atas anteseden atau konsekuen dalam silogisme bersyarat dan disjungtif. Pokok bahasan Kaidah ini berkaitan erat dengan bagian pertama tiga bab logika dalam At-Talwihāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt.

Kaidah kedua, membahas proposisi-proposisi universal dan partikular.(1) Di sini Suhrawardi memperkenalkan pengandaian selalu (dā'iman) dan kadang-kadang (ba'd al- auqāt). Selanjutnya, ia membahas bentuk-bentuk inklusi (al- istighrāq), tanda kuantifikasi (as-sūr),(2) proposisi partikular (asy-syākhishah),(3) proposisi universal terbatas (al-muhmalah al-baʼdhiyyah),(4) serta proposisi universal tak terbatas (al- muhithah).(5) Dalam setiap kasus, perhatian yang cermat diberikan pada bahasan tentang afirmasi (ijāb) dan negasi (salb). Selanjutnya, Suhrawardi membahas problem logika khusus yang berkaitan dengan bahasa Arab. Problem ini berkaitan dengan kedudukan kata kerja penghubung atau pengikat (ar-rābith) dalam negasi.

Persoalannya, bagaimana menegasikan proposisi majemuk yang kata penghubungnya berupa konjungsi, diskonjungsi, atau implikasi yang memengaruhi bentuk proposisi? Dibedakan antara bahasa Arab dan bahasa non-Arab dan juga digunakan skema yang digeneralisasikan. Pengaruh negasi atas proposisi- proposisi partikular dan universal pun dikaji dan ditelaah.(6) Pokok bahasan Kaidah ini adalah pilihan dari problem-problem yang diuraikan dalam bab tiga bagian 2-4 logika dalam At-

P: 98


1- 75. Suhrawardi, Opera II, hlm. 24-27. Bandingkan dengan Asy- Syirazi, Syarh II, hlm. 70: 11-77: 3; Al-Baghdadi, Al- Mu'tabar 1, 75-78; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 30-32.
2- 76. Sebuah istilah non-Aristotelian. Lihat, Afnan, A Philosophical Lexicon, hlm. 131.
3- 77. p adalah q jika p adalah nama khusus.
4- 78. Semua p adalah q, misalnya “semua manusia adalah hewan", dan secara negatif "tidak ada manusia yang batu".
5- 79. Sebagian p adalah q dan sebagian p adalah bukan q.
6- 80. Problem ini dikemukakan sebagai berikut: Anggaplah C sebagai kopula. Untuk menegasikan pCq, seseorang dapat mengatakan dalam bahasa Arab p-Cy, atau PC-q, di mana ia berarti negasi. Dalam kasus proposisi-proposisi universal, dikatakan bahwa semua p adalah q, dan (semua p adalah q) mereduksi menjadi sebagian p adalah q.

Talwihāt, dan bab tiga bagian 2-9 logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Karena itu, Kaidah Satu dan Kaidah Dua dalam bab dua merupakan ringkasan bab tiga logika dalam At-Talwihāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt.

Dalam Kaidah ketiga, Suhrawardi membahas proposisi modal (al-qadhiyyah al-muwajjahah) dan turunan-turunannya.(1) Hubungan antara subjek dan predikat dari sebuah proposisi predikatif disebut harus atau mesti (wājib), tidak mungkin (mumtani') atau mungkin (mumkin). Setelah menelaah proposisi-proposisi modal, Suhrawardi menganalisis problem yang berkaitan dengan penggunaan tolok-ukur universal yang tak terbatas dengan membedakan istilah-istilah "semua" (kull), “masing-masing dan setiap" (kull wāhid wāhid), dan “keseluruhan" (al-jami'). Di dalam bagian terpisah dengan judul Kearifan lluminasi (Hikmah Isyrāqiyyah), Suhrawardi berusaha mereduksi semua proposisi ke dalam satu bentuk yang disebutnya sebagai “proposisi wajib selalu" (al-mūjibah adh-dharūriyyah al-battātah). (2) Inilah di antara bidang logika formal penting, di mana Suhrawardi menyimpang dari kaum Peripatetik (khususnya Ibn Sina), dengan menggabungkan berbagai modalitas temporal dengan modus wajib (dharurah).

Jenis proposisi ini disebut sebagai "wajib selalu” atau “wajib selamanya" dan bersifat turunan, atau dengan menggabungkan tiga jenis proposisi dengan modalitas "selalu" dan modalitas “kadang-kadang". Dengan pengecualian jenis proposisi khusus yang diulang-ulang, pokok bahasan dalam bagian ini merupakan ringkasan bab empat, bagian 1-3 logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt.

P: 99


1- 81. Suhrawardi, Opera II, hlm. 27-29. Untuk bahasan tentang proposisi modal, lihat Hossein Ziai, “Modal Proposition in Islamic Philosophy," Bulletin of Iranian Mathematical Society, No. 12 1980.. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 77: 33-78: 9; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, I, 78-89; As-Sawi, At- Tabshirah, hlm. 32-44.
2- 82. Istilah ini tampaknya diciptakan oleh Suhrawardi. M.T. Danesh Pajouh menganggap usaha Suhrawardi untuk mereduksi semua proposisi ke dalam satu bentuk berasal dari Aristoteles (At- Tabshīrah, hlm. 21). Saya tidak menemukan bahwa Aristoteles mengatakan sesuatu tentang akibat ini, dan pernyataannya dalam Prior Analytics: “Karena semua proposisi dapat dibalik, kecuali hanya proposisi partikular negatif", (Prior Analytics II, 52B7-8) membahas problem “konvensi" (al-‘aks fī al-qadhāyā) dan bukan problem "reduksi proposisi" (radd al-qadhāyā).

Dalam Kaidah keempat, Suhrawardi membahas kontradiksi (at-tanāqudh) dalam proposisi, yang disebut sebagai pembedaan antara dua proposisi dalam bentuk negasi dan afirmasi. (1) Dalam Kaidah kelima, Suhrawardi membahas konversi proposisi (al-‘aks), yang menjadikan subjek dari sebuah proposisi sebagai predikat, sebagai subjek, dan predikat sebagai subjek dengan menjaga modalitas, yang bersifat afirmatif maupun negatif, dan juga kuantifikasi proposisi – singkatnya, ketika subjek dijadikan sebagai predikat, maka kualitas dan nilai kebenaran proposisi tetap sama. (2) Bagian ini merupakan ringkasan pendek bab empat, bagian 5 logika dalam At-Talwībāt dan bab empat, bagian 4-5, logika dalam Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt.

Oleh sebab itu, Kaidah 3-5 bab dua dari bagian satu dalam Hikmah Al-Isyrāq, dengan pengecualian tambahan ihwal proposisi modalitas temporal khusus (dalam Kaidah 3), mesti dipandang sebagai ringkasan dari bab empat logika dalam At- Talwīhāt dan bab yang sama tentang logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt.

Dalam Kaidah keenam, Suhrawardi membahas silogisme. (3) Silogisme disjungtif (al-qiyās al-istitsnā’ī) dan silogisme hipotesis (al-qiyās al-istirāni), berikut modus ponen dan modus tollens (dibahas dalam bab dua, Kaidah satu), yang membentuk bagian teori Suhrawardi tentang kaidah-kaidah inferensi, pun didefinisikan. Lebih jauh, "term" (al-hadd) sebagai subjek premis (al-muqaddimah) atau predikat silogisme, dan “term tengah" (al-hadd al-ausath) juga didefinisikan. Selanjutnya, di bawah judul terpisah Klarifikasi Iluminasi (Daqiqah Isyrāqiyyah), Suhrawardi berusaha menggeneralisasikan kaidah-kaidah

P: 100


1- 83. Suhrawardi, Opera II, hlm. 33-40. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 86:10 dan 89:5; Al-Baghdadi, Al-Mu 'tabar, I, Logika dalam Filsafat Iluminasi 95-197; As-Sawi, At-Tabshirah, hlm. 44-51.
2- 84. Suhrawardi, Opera II, hlm. 31-33. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 89: 6-95:5; As-Sawi, At-Tabshirah, hlm. 51-9.
3- 85. Suhrawardi, Opera II, hlm. 33-40. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 95:5 dan 118:5; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar 1, 109-203; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 91-119.

formal yang mengatur negasi. Dalam dua bagian berikutnya, yang masing-masing diberi judul Dalil Iluminasi, Suhrawardi berusaha menunjukkan bahwa bentuk kedua (asy-syakl ats-tsānī) dan bentuk ketiga (asy-syakl ats-tsālits) dari silogisme hanya modifikasi dari bentuk pertama (asy-syakl al-awwal). Bagian- bagian ini penting untuk kajian sejarah logika formal, tidak berkaitan langsung dengan kajian teori Pengetahuan Iluminasi per se. Dalam dua bagian terakhir, Suhrawardi membahas syarat-syarat (asy-syarthiyyah) dan reduksi ad impossible dalam silogisme (qiyās al-khulf). Kaidah keenam, sangat selektif, dan merupakan ringkasan dari bagian pertama bab 5 logika dalam At-Talwīhāt, dan bab 5 logika dalam Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt, dan unsur-unsur Al-Qiyās yang dianggap penting oleh Suhrawardi.

Dalam Kaidah ketujuh, Suhrawardi menguraikan pokok bahasan demonstrasi (Al-burhān).(1) Ada empat bagian dalam Kaidah ini. Dalam bagian pertama, yang berhubungan dengan bagian ketiga bab 5 dari logika dalam At-Talwihāt, Suhrawardi membahas ihwal materi (māddah, mawād) demonstrasi secara ekstensif. Ia berpandangan bahwa ilmu yang sebenarnya (al- ‘ulüm al-haqiqiyyah) harus dibangun melalui demonstrasi yang berpijak pada premis-premis yang kebenarannya pasti (al- muqadamāt al-yaqīniyyah), dan menilai bentuk-bentuk premis sebagai berikut:

1. Premis-premis utama (al-awwaliyyāt). (2) Inilah premis-premis seperti “keseluruhan lebih besar dari bagian-bagian”, “dua benda yang sama dengan sepertiga adalah sama", dan sebagainya.

2. Premis-premis yang teramati atau terlihat (al-musyāhadāt) –

P: 101


1- 86. Suhrawardi, Opera II, hlm. 40-45. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 118:6, 135:19; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, I, 203-253; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 91-119.
2- 87. Bandingkan Tá Towta. Aristoteles, (Posterior Analytics 1, 71b26).

yang terlihat melalui indra luar atau dalam. Bukti-bukti yang didasarkan pada premis-premis "yang terlihat" ini hanya valid untuk orang yang melihat itu, dan hanya bisa dikomunikasikan kepada orang lain yang mempunyai posisi (masyʻar) yang sama dengan orang yang telah “melihat" objek.

Premis-premis intuitif (al-hadsiyyāt). (1) Premis-premis ini mempunyai dua jenis, yakni premis empiris (mujarrabāt), yang hanya valid bila frekuensi (at-takrar) kejadiannya tinggi, dan premis tradisional. Premis-premis intuitif hanya bisa diperoleh melalui induksi (istighrā') yang dikelompokkan oleh Suhrawardi sebagai bukan metode pembuktian yang valid dalam ilmu pengetahuan. Bukti-bukti yang didasarkan pada intuisi hanya bisa dipertemukan dengan kemampuan- kemampuan intuitif yang sama.

4. Premis-premis yang diterima secara umum (al-masyhūrāt).

Kita tahu bahwa premis-premis ini tidak bisa digunakan dalam ilmu pengetahuan.

5. Kelompok premis umum yang disebut imajinasi (al- mukhayyalāt), dan tidak mempunyai nilai ilmiah.

Kita melihat bahwa pembahasan Suhrawardi tentang premis-premis di sini adalah modifikasi dari At-Talwāhāt:

Manthiq, V, 3. Dalam tiga bagian terakhir Kaidah ini, Suhrawardi membahas analogi (yang dianggapnya sebagai bukan bagian dari metodologi ilmiah), demonstrasi “mengapa" (burhan lima), demonstrasi penegas (burhān anna), dan persoalan-persoalan yang dituntut dalam ilmu pengetahuan (al-mathālib).(2) Secara keseluruhan, Kaidah ketujuh adalah seleksi Suhrawardi atas apa yang dinilainya sebagai problem-problem penting di antara

P: 102


1- 88. Premis-premis intuitif memainkan peran penting dalam konstruksi Filsafat Iluminasi. Premis-premis ini juga ditemukan dalam Filsafat Peripatetik. Misalnya, Ibn Sina menegaskan bahwa intuisi adalah “gerakan membuat term tengah” (An- Najat, disunting oleh Al-Kurdi, hlm. 87); ini adalah ungkapan definisi Aristoteles tentang sifat “cepat mengerti" (quick wit [áyívia]), (Posterior Analytics I, 89610). As-Sawi menetapkan premis-premis intuitif sebagai “hukum intelek yang kuat” (At- Tabshirah, hlm. 152).
2- 89. Pertanyaan-pertanyaan mā, hal, “ayy, serta lima dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan penting dalam ilmu (ushūl al-mathālib al-'ilmiyyah), dengan pertanyaan-pertanyaan sekunder sebagai berikut: kaif, kam, ‘aina, matā, serta man. Skema umum Suhrawardi yang non-Peripatetik untuk berbagai kategori adalah sebagai berikut. Aksiden ada empat: kam (kuantitas), kaif (kualitas), idhāfah (relasi), serta harakah (gerak). Lihat, Suhrawardi, Opera I, hlm. 284; Opera II, hlm. 61-62. Mesti dicamkan bahwa istilah yang digunakan oleh Suhrawardi sebagai imbangan aksiden adalah hai'ah dan bukan ‘aradh seperti digunakan oleh kaum Peripatetik. Logikawan besar, ‘Umar bin Sahlan As-Sawi', yang karyanya, Al-Bashā'ir telah dikaji oleh Suhrawardi, juga mereduksi kategori- kategori – dalam hal ini menjadi empat: substansi, kualitas, kuantitas, serta relasi, – tetapi tidak memasukkan gerak, sebagaimana ia tidak membahas prinsip isyrāqi tentang gerak dalam kategori secara esensial. Karena itu, As-Sawi tidak bisa, menurut hemat saya, dianggap sebagai sumber langsung Suhrawardi, sebagaimana hal itu diyakini oleh S. J. Sajjadi. Lihat, Sajjadi, Suhrawardi. (Tehran, 1984), hlm. 88-89.

pokok bahasan tradisional Al-Burhān.

Bab ketiga bagian satu Hikmah Al-Isyrāq diberi judul Tentang Sanggahan-Sanggahan Sofistik dan Beberapa Hukum antara Doktrin- Doktrin Iluminasi dan Peripatetik,(1) dan dibagi ke dalam tiga bagian. Dua bagian pertama, merupakan ringkasan Al-Mughālathāt yang secara umum lebih rinci ketimbang bagian-bagian yang berkaitan dalam At-Talwāhāt: Manthiq, VI, 5 dan Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt: Manthioq, IX. Bagian ketiga, merupakan bagian yang sangat argumentatif, di mana Suhrawardi berdebat dengan kaum Peripatetik tentang problem-problem penting fisika dan metafisika.

Bagian ini dibagi ke dalam pendahuluan (muqaddimah) dan 10 bagian yang masing-masing disebut hukum (hukūmah). Topik- topik terpilih bagian ini meliputi dasar-dasar Filsafat Iluminasi yang berbeda dari Filsafat Peripatetik.

4. PENILAIAN

Setelah menguraikan secara garis besar struktur bagian- bagian logika dalam karya-karya penting Suhrawardi – At-Talwībāt, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, dan Hikmah Al-Isyrāq” (2)– kita sekarang akan melakukan penilaian atas logika Suhrawardi sebagai berikut.

Perbedaan-perbedaan paling penting antara struktur Organon tradisional dan struktur logika Suhrawardi adalah bagian berikut: [1] tidak ada “buku" tentang kategori-kategori, tidak juga dibahas sama sekali dalam karya-karya logika Suhrawardi;(3) [2] tidak ada “buku" yang terpisah tentang dialektika, retorika, atau puisi, tetapi terdapat bahasan tentang pokok-pokok masalah tersebut, dan dianggap sebagai jenis-jenis silogisme nonilmiah dan premis-premis yang digunakan juga dikatakan nonilmiah. Terlepas dari perbedaan-

P: 103


1- 90. Yakni, fi al-mughālathāt wa ba'd al-hukumāt baina al-ahruf al- istisyrāqiyyah wa baina al-ahruf al-masysyā'yyin. Suhrawardi, Opera II, hlm. 46.
2- 91. Struktur logika Al-Muqāwamāt berkaitan dengan logika At- Talwihāt.
3- 92. Suhrawardi membahas kategori-kategori yang dianggapnya bukan temuan Aristoteles, melainkan berasal dari Arkhuthus dalam karya-karyanya tentang fisika. Singkatnya, teori Suhrawardi menegaskan bahwa "intensitas” (syaddah wa dha'f) dinisbatkan kepada semua kategori, substansi (jauhar), kualitas (kaif), kuantitas (kam), hubungan (nisbah), serta gerak (harakah). Lihat misalnya, Opera I, hlm. 1-12, hlm; 146-148; Opera II, hlm. 113.

perbedaan ini, logika Suhrawardi adalah ringkasan selektif problem- problem logika dalam Organon yang sering disikapi dengan penekanan-penekanan yang berbeda. Dalam kesempatan lain, terdapat usaha di bagian-bagian tertentu untuk memodifikasi atau mengubah hukum-hukum formal logika Peripatetik, dan terdapat suatu penekanan khusus yang ditempatkan pada penggunaan pragmatis kaidah-kaidah logika-semantik formal dan materiel- dalam filsafat. Logika dianggap sebagai alat terpisah yang menjadi subordinat filsafat.

Struktur ketiga karya yang dikaji dan ditelaah di sini adalah sama, dengan mempertimbangkan urutan tempat pokok-pokok logika dibahas. Namun, terdapat beberapa perbedaan yang perlu dicatat. Logika dalam At-Talwāhāt terdiri dari enam bab, sementara logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt terdiri dari sembilan bab, dan ini merupakan perbedaan struktural yang sedikit. Tiga bagian bab lima dan bagian kelima bab enam logika dalam At-Talwīhāt dibuat secara terpisah dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Namun, struktur logika dalam Hikmah Al-Isyrāq, secara substansial, berbeda dari dua karya tersebut. Struktur “baru” logika yang berkembang dalam Hikmah Al-Isyrāq merefleksikan penataan kembali Suhrawardi atas logika secara garis besar ke dalam tiga bidang terbatas: [1] semantik (Bab I) yang meliputi ringkasan Al-Madkhal, ditambah dengan masalah-masalah definisi dan deskripsi; [2] prinsip-prinsip bukti (Bab II) yang meliputi ringkasan Fi Al-'Ibārah Al-Qiyās dan Al- Burhān terpilih, yang merupakan pandangan Suhrawardi tentang kaidah-kaidah yang mengatur logika formal dan materiel; dan [3] kesalahan-kesalahan logika formal dan materiel (Bab II, 1-2), yang secara struktural merupakan ringkasan Al-Mughālathāt, tetapi juga merupakan bagian logika, di mana Suhrawardi berusaha menolak

P: 104

beberapa pandangan Peripatetik ketika ia memformulasikan kembali pandangannya. Struktur baru ini merefleksikan usaha Suhrawardi dalam menata kembali Organon tradisional sesuai dengan pembagian gandanya tentang logika ke dalam proposisi- proposisi penjelas dan bukti-bukti. (Kesalahan-kesalahan logika adalah akibat wajar yang pasti).

Akhirnya, kita dapat menunjuk pada berbagai bidang dan problem logika yang khususnya berkaitan dengan Filsafat Iluminasi. Pertama, kita bisa mengidentifikasi semua kaidah logika dalam Bagian Satu Hikmah Al-Isyrāq. Betapa pun kaidah-kaidah ini mungkin benar (Suhrawardi tidak memasukkannya ke dalam karya ini jika kasusnya tidak demikian), pernyataan umum semacam itu tidak bisa banyak membantu upaya kita untuk menjawab pertanyaan, “Apakah Filsafat Iluminasi itu?" Kenyataannya, dengan kajian yang lebih dekat, kita menyadari bahwa dalam logika Hikmah Al-Isyrāq, Suhrawardi telah menunjuk bidang dan masalah khusus dengan memilahnya melalui bagian-bagian terdahulu, semisal “Dalil Iluminasi”, “Kearifan lluminasi", dan sebagainya. Di antara sebagian besar problem khusus yang sering ditunjuk Suhrawardi, adalah hal-hal penting berikut: definisi, negasi, proposisi “afirmatif universal yang selalu pasti", dan bentuk kedua dan ketiga silogisme.

Dengan pengecualian definisi, semuanya ini adalah problem- problem logika formal. Definisi memainkan peran penting dalam metodologi filsafat, dan secara khusus berkaitan dengan masalah dasar epistemologi pengetahuan Iluminasi. Bagaimana ia diperoleh dan ia bisa didefinisikan? Kita akan membahas problem ini secara panjang lebar dalam bab berikut. Pembahasan tentang problem- problem logika formal kita tinggalkan untuk kemudian menuju bahasan khusus tentang logika Suhrawardi.

P: 105

Catatan

1. Suhrawardi, Manthiq At-Talwāhāt, disunting oleh A. A. Fayyaz, (Tehran: Tehran University Press, 1334/1955) (selanjutnya disebut At-Talwīhāt: Manthiq).

Logika dan fisika Suhrawardi dalam Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt (belum diterbitkan). Saya menggunakan karya MS berikut, tertanggal 707 H: Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, MS Leiden Or. 365 (selanjutnya disebut Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt).

Penekanan khusus akan ditempatkan pada logika Sinkretisme Peripatetik, yakni logika mazhab Peripatetik setelah Theoprastus dan pada mazhab Megaric Stois. Untuk bahasan tentang logika Sinkretisme Peripatetik. Lihat, I. M. Bochenski, Ancient Formal Logic. (Amsterdam: North-Hollan, 1951), hlm. 9-13; William and Martha Kneale, The Development of Logic. (Oxford: Oxford University Press, Clarendon Press, 1968), hlm. 101-117; dan untuk bahasan tentang transmisi logika Megaric Stoic ke dunia Islam. Lihat, Fehmi Jadaane, L'influence du Stoicism sur la Pensee Musulmane. (Beirut: Dar al-Masyriq, 1968), hlm. 43-98.

4. At-Talwībāt: Manthiq, hlm. 1-3.

5. Pandangan tentang konsepsi dan penilaian semacam itu sesuai dengan pandangan Al-Baghdadi dan As-Sawi. Lihat, Al- Baghdadi, Al-Mu'tabar, I, hlm. 34-37; As-Sawi, At-Tabshirah, disunting oleh M. T. Danesh-Pajouh dalam Tabshīrah va Dū Risālah-yi Digar Dar Manthiq. (Tehran: Tehran University Press, 1958), hlm. 4. Penilaian yang sama juga diberikan oleh Suhrawardi dalam Al-Lamahāt. (hlm. 58-59). Teori konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq) mempunyai kedudukan penting dalam Filsafat Persia dan Arab abad pertengahan. Terdapat pandangan yang berbeda berdasarkan asal-usul Yunaninya. Harry A. Wolfson menganggap asal- usul “konsepsi" adalah vónos, Aristoteles atau pavtaoía

P: 106

λογική Stoic dan menganggap penilaian adalah Iogos λόγος ÁTrogavtikós Aristoteles (de Int. 1728) atau áfíwu. Stoic (Harry A. Wolfson, Studies in the History of Philosophy and Religion, disunting oleh Isadore Twersky dan George H. Williams (Cambridge: Harvard University Press, 1973), hlm. 478-490. Sohail Afnan dan A. M. Goichon menganggap “penilaian" sebagai terjemahan langsung vónois. Lebih jauh, Afnan membandingkan “konsepsi" dengan tepi javtaoís Stoic. Lihat, S. Afnan, Philosophical Lexicon in Persian and Arabic, hlm. 143, 154-155; A. M. Goichon, Lexique de Langue Philosophie d'Ibn Sina: Supplement, hlm. 15. Lihat juga Jaddne, L'influence du Stoicisme, hlm. 106-113.

Bisa jadi terdapat perbandingan yang dibuat oleh Al-Baghdadi, yang juga membedakan antara pengetahuan bawaan dan pengetahuan perolehan yang digabungkan dalam epistemologi pengetahuan yang “ jelas” (Al-Mu'tabar, 1, 40-46), tetapi istilah yang digunakan oleh Al-Baghdadi untuk bawaan adalah Al- gharīzi. Istilah yang sama juga digunakan oleh As-Sawi, (At- Tabshīrah, hlm. 31).

Lam yuhshal (ya'ni hikmah Al-Isyrāq) li awwalin bi al-fikr, bal kāna hushūluhu bin ‘amrin ākhar, (Suhrawardi, Opera II, hlm.

10). Inilah salah satu pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, dan para komentatornya memberikan catatan tentang hal ini. Syamsuddin Muhammad Asy-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (“amr ākhar) sebagai visi (musyāhadah) dan ilham pribadi (mukāsyafah), (Syarh Hikmah Al-Isyrāq, fol. 11v.); Quthbuddin Asy-Syirazi menganggap hal yang sama sebagai ilham dan ituisi (dzauq atau rasa) personal khas para filsuf Iluminasi, (Syarh II, hlm. 16); dan Muhammad Syarif Nizhamuddin Al-Harawi menilainya sebagai "inspirasi" (ilhām), ilham, dan intuisi personal (Anwāriyyah, hlm. 6). Dalam bentuk yang sama, penulisan karya penting Filsafat Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, disebut Pines “sebagai

P: 107

buku yang dibangun melalui refleksi personal". Lihat, Shlomo Pines, “Studies in Abu Al-Barakat Al-Baghdadi's Poetics and Metaphysics", dalam Scripta Hierosolymitana, Vol. VI, Studies in Philosophy, disunting oleh S. H. Bergman, (Jerussalem:

Magness Press, The Hebrew University, 1960), hlm. 120-198.

(Pernyataan Pines yang dikutip tadi ada di hlm. 123).

8. Suhrawardi, At-Talwīhāt: Manthiq, hlm. 3.

9. As-Sawi membuat pembedaan ganda yang sama dan menggunakan istilah yang sama, (At-Tabshirah, hlm. 4-5).

10. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 1r.

11. Ibid., fol. 2v.

12. Ibid., bandingkan Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Madkhal, 1, 3.

13. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 1r.

14. Ibid., fol. 2r.

15. Para filsuf Persia belakangan menyebutnya “wujud logis" (wujūd-i manthiqi). Lihat, Mehdi Haeri Yazdi, Hiram-i Hasti (Piramida Wujud), (Tehran, 1980), hlm. 21; Jalaluddin Ashtiyani, Hasti, (Masyhad. 1379 H), hlm. 4.

16. Posisi realis Filsafat Iluminasi menjadi bahan banyak kontroversi dalam komentar-komentar atas Hikmah Al-Isyrāq.

Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 35:8, dan 36: 9. Lihat, Shadruddin Asy-Syirazi “Mulla Sadra,” Ta‘liqāt, Ibid., catatan pinggir.

17. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 102v.

18. Suhrawardi, Opera II, hlm. 14-105. Tampak bahwa Suhrawardi menggunakan istilah “kaidah" (dhabith) sebagai ekstensi dari istilah “hukum” (qānūn) yang lebih diterapkan dalam logika.

Lihat, As-Sawi, At-Tabshirah, hlm. 129-131; dan Ibn Sina, Al-Isyārāt wa Al-Tanbihāt, disunting oleh Mahmud Syahabi, (Tehran: Tehran University Press, 1339/1960), hlm. 1, "Tentang Kaidah-kaidah Berpikir", Suhrawardi yang termuat dalam bagian pertama Hikmah Al-Isyrāq, meliputi kaidah- kaidah yang menyingkap tidak hanya logika formal, melainkan

P: 108

juga sanggahan-sanggahan sofistik, psikologi, dan fisika.

Pandangan “yang diperluas” tentang kaidah-kaidah berpikir penting ini termasuk di antara sifat-sifat khas metodologi dan struktur Filsafat Iluminasi.

19. Suhrawardi, Opera II, hlm. 13.

20. Ibid., hlm. 31.

21. lbid., hlm. 33.

22. Ibid., hlm. 56, 57.

23. Lihat Bochenski, Ancient Formal Logic, hlm. 87.

24. At-Talwihāt: Manthiq, hlm. 1, 1-13. Bab ini juga mengandung bahasan tentang “tujuan logika" (ghardh Al-Manthiq).

25. Ibid., hlm. 14-16. Lihat juga, Ibn Kammunah, Syarh At- Talwīhāt, Ibid., hlm. 15, catatan 3, 11; 16.

26. Teori Suhrawardi tentang bukti disebut hujjah, meliputi topik-topik yang diambil dari logika dan epistemologi, juga dari psikologi. “Keseluruhan" hubungan antara sesuatu yang diketahui (objek) dan yang mengetahui (subjek) adalah yang menentukan bukti dari apa yang disimpulkan.

27. At-Talwīhāt: Manthiq, hlm. 17-27.

28. Misalnya, Ibid., hlm. 25-26. Lihat juga, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwībāt, Ibid., hlm. 66, catatan 2-3.

29. At-Talwihāt: Manthiq, hlm. 46-73. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwihāt, Ibid., hlm. 47, catatan 2-4.

30. At-Talwīhāt: Manthiq, hlm. 66-67. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwāhāt, Ibid., hlm. 66, catatan 1-3.

31. Entimem didefinisikan sebagai silogisme yang terma mayornya sudah dihilangkan, seperti “manusia adalah hewan, dengan demikian, ia berjasad", At-Talwihāt: Manthiq, hlm. 68.

32. Kesimpulan ini sebagai bentuk khas pandangan tentang wujud, berkaiatan dengan disposisi alami subjek (khulq), (At-Talwihāt:

Manthiq, hlm. 69), adalah mungkin bahwa firāsah dan hads merupakan varian-varian dari áyxívoía Aristoteles yang dapat diterjemahkan dengan sifat “cepat mengerti", (misalnya, Eth

P: 109

Nie. 114266: An. Post. 89b10), mempunyai pengertian “kehati- hatian", dan juga “pandangan". Yang penting adalah konsep- konsep semisal pandangan, kehati-hatian, dan sebagainya, semuanya berkaitan dengan bentuk khusus inferensi yang subjeknya mungkin sampai pada kesimpulan tanpa melalui langkah-langkah inferensi. Bentuk inferensi ini kadang-kadang terbentuk berdasarkan konsepsi terma minor.

33. At-Talwīhāt: Manthiq, hlm. 69-73.

34. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwihāt, Ibid., hlm. 72, catatan 1-3.

35. Lihat, Ibn Kammunah, Ibid., hlm. 73, catatan 1-3.

36. At-Talwihāt: Manthiq, hlm. 76-93.

37. Ibid., hlm. 76. Suatu pembedaan dilakukan antara "jika sederhana" (hāl al-basīth) dan "jika majemuk" (hāl al- murakkab).

38. Ibid., hlm. 75. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwihāt, Ibid., hlm. 74, catatan 1.

39. At-Talwāhāt: Manthiq, hlm. 75-80.

40. Ibid., hlm. 80-83.

41. Ibid., hlm. 83-87. Lihat Ibn Kammunah, Syarh At-Talwāhāt, Ibid., hlm. 83, catatan 1-5; 85, catatan 1, 3; 86, catatan 1; 87, catatan 1-4.

42. Ibid., hlm. 88, catatan 1: Hātān al-lafzhatān, a'ni al-'arsyi wa al-lauhi, qad ista'mala humā fi 'iddat mawādzi' min hādzā al-kitāb wa lam yubayyin murādahu minhumā, wa la'allā murāduhu bi al-'arsyi al-bahts al-ladzī hashalahu bin nazharihi, wa bi al-lauhi mā akhadzahu min al-kutub.

43. Dalam kaidah ini Suhrawardi menegaskan bahwa modalitas- modalitas wajib (wājib), mungkin ( mumkin), mustahil (mumtani“), serta masih mungkin (muhtamal) – catatan tambahan bagi yang mungkin - semuanya adalah wajib, jika membentuk bagian predikat (mahmūl). Gagasan tentang modalitas yang berulang-ulang ini sepenuhnya dikembangkan

P: 110

dalam logika Hikmah Al-Isyrāq, yang Suhrawardi anggap proposisi tunggal, selalu wajib (adh-dharūriyyah al-battah), sebagai bentuk tempat semua proposisi dapat direduksi ke dalamnya.

44. Lihat, Ibn Kammunah, Syarh At-Talwihāt, Ibid., hlm. 91, catatan 3.

45. Ibid., hlm. 88-93.

46. Yakni, Fi Dhawābith Al-fikr. Suhrawardi, Opera II, hlm. 14-105.

47. Yakni, Fial-anwār al-llāhiwa nūr al-anwār wa mabādi' al-wujud wa tartibihā. Ibid., hlm. 106-257.

48. Ibid., hlm. 14-21.

49. Contoh lain tempat istilah “kaidah" digunakan adalah dalam bab keenam logika dalam At-Talwāhāt (yang seperti, kita catat, berfungsi sebagai apendiks) yang di dalamnya sembilan kaidah berkaitan dengan problem-problem logika diberikan, begitu juga diskusi tentang problem-problem yang biasanya dibahas dalam fisika.

50. Jika skema semantik Artistoteles yang eksplisit lebih sederhana – “kata-kata tertulis adalah simbol dari kata-kata yang diucapkan, yakni simbol pengalaman-pengalaman mental dan pengalaman-pengalaman mental adalah simbol sesuatu", Bochenski, Ancient Formal Logic, (hlm. 29) – maka kaum Stoic mengembangkan semantik ke dalam sistem yang kompleks melalui teori mereka tentang lɛktóv dan subjek-subjek terkait.

Semantik Stoic barangkali berfungsi sebagai asal-usul semantik dan semiotik logika Arab dan Persia yang telah berkembang.

Untuk analisis rinci tentang teori /ɛktóv Stoic, lihat Benson Mates, Stoic Logic. (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1961), hlm. 11-27; W. and M. Kneale, The Development of Logic, hlm. 138-158; dan Bochensjki, Ancient Formal Logic, hlm. 82-86. Perbandingan berikut, mungkin dapat membantu memahami skema semantik Suhrawardi.

Denotasi, yakni objek eksternal (TvYXávov) harus dilaksanakan

P: 111

dengan sesuatu (asy-syai'); tanda (pwví atau onuaíwov) harus disamakan dengan ungkapan (al-lafzh); dan penanda (1ɛktóv) harus disamakan dengan makna (al-ma'nā). Ibrahim Madkour dalam “Pendahuluan" karya Ibn Sina, Asy-Syifa': Al-Madkhal.

hlm. 62, menganggap teori lektov Stoic sebagai asal-usul ilmu makna (“ilm dalālah al-lafzh) dalam Islam.

51. Suhrawardi, Opera II, hlm. 14-15. Bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 36: 13; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, I, 8; Suhrawardi, Al-Lamahāt, hlm. 59, di mana dalil-dalil yang berbeda dibahas secara rinci. Lihat juga, Asy-Syahrazuri, Syarh, fol. 14r.

52. Asy-Syirazi, Syarh II, 38: 13. Penamaan "pengetahuan Iluminasi" (al-'ilm Al-Isyrāq) oleh komentator diterapkan pada jenis pengetahuan tanpa menerapkan pembedaan antara konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq). Pengetahuan ihwal Tuhan dan hal-hal utama yang bisa dipikirkan adalah contoh jenis pengetahuan ini, di mana hanya “kehadiran" (hudhūr) objek yang bisa mengimplikasikan pengetahuan tentangnya oleh subjek yang mengetahui.

53. Quthbuddin Asy-Syirazi menganggap masalah konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq) sebagai “ilmu baru" yang membahas kehadiran sesuatu yang dipahami (al-mudrak) pada diri yang memahami (al-mudrik), (Syarh II, hlm. 38: 13-39: 2).

Asy-Syirazi selanjutnya, menekankan pentingnya persoalan epistemologi ini bagian Filsafat Iluminasi dan menunjuk pada pembedaan antara pengetahuan formal (al-'ilm ash-shūrī) dan pengetahuan Iluminasi dengan kehadiran (al-'ilm al-hudhūrī).

Harus dicatat bahwa persoalan ini diperdebatkan panjang lebar oleh Mulla Sadra dalam Ta‘liqāt. (Syarh II, hlm. 39-42 dan catatan pinggir) yang tidak sependapat dengan posisi epistemologi Iluminasi.

54. Suhrawardi, Opera II, hlm. 15. Istilah-istilah yang digunakan Suhrawardi di sini bukan istilah-istilah Peripatetik.

P: 112

Penyamaan dengan istilah-istilah teori Stoic tentang lɛKTÓV harus dilakukan. Makna universal (al-ma'nā al-'ām) bisa dihubungkan dengan kata benda umum (KoivÝ TOIÓTIS) Stoic; nama kelompok (al-lafzh al-'ām) sama dengan kata Tt poonyopíai Stoic; makna partikular (al-ma‘nā asy-syākhish) sama dengan kata benda individu idéa tolótoc); dan nama pokok (al-lafzh asy-syākhish) sama dengan nama pokok (óvóuata) Stoic.

55. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 45: 2-3; Kull haqiqah, ay mahiyyah sawa' kānat fī al-a'yān au fī al-adzhān.

56. Keteguhan Suhrawardi menggunakan haqiqah sebagai ganti mahiyyah sesuai dengan posisinya yang “realis" yang menyamakan ke-apa-an sesuatu dengan realitasnya, yakni haqiqah dianggap sebagai sesuatu sebagaimana adanya.

Bandingkan λεκτόν (αυτοτελές) Stoic yang sempurna dan DEKTÓv (ÉMITÉS) defisien, lihat Mates, Stoic Logic, hlm. 16.

Lihat juga, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 45: 3.

57. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 45: 13-16.

58. Suhrawardi, Opera II, hlm. 15.

59. Ibid., hlm. 16-17. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 47:

12-49: 2.

60. Seperti manusia (al-insān), di mana sifat kehewanan (al- hayawāniyyah) menjadi bagian yang dinisbatkan kepadanya.

61. Misalnya, kemampuan berjalan adalah aksiden manusia yang lebih umum (yang juga dimiliki oleh hewan), sementara kemampuan tertawa adalah aksiden khas dan bersifat koinsidental pada diri manusia.

62. Suhrawardi, Opera II, hlm. 17. Istilah yang digunakan oleh Suhrawardi di sini bukanlah istilah Peripatetik (al-kullī), tetapi Asy-Syirazi menganggap kedua istilah itu identik (Syarh II, hlm. 49: 2-52:16). Namun, Suhrawardi sangat berhati- hati dalam memilih istilah yang digunakan, dan saya yakin istilah-istilah ini sangat mendukung tradisi logika lain, yang

P: 113

barangkali berasal dari Stoic.

63. Quthbuddin Asy-Syirazi menganggap istilah al-ma'nā al- 'ām sebagai istilah baru yang digunakan Suhrawardi, dan ia mengambilnya sebagai padanan kata al-kulli (Syarh II, hlm.

49: 3), tetapi Mulla Sadra menganggap istilah al-ma'nā al-'ām yang digunakan Suhrawardi disebabkan oleh kebingungan antara al-kulli al-'aqli dan al-kulli al-thabi'i. Hanya istilah yang disebutkan terdahulu saja yang tidak punya realitas di luar pikiran, (Ta‘liqāt: Syarh II, hlm. 49, catatan pinggir).

64. Istilah Peripatetik yang biasa adalah al-'ām al-mutasāwi.

Namun, Al-Farabi menggunakan kedua istilah itu. Lihat, Al- Farabi, Utterances Employed in Logic, disunting oleh Muhsin Mahdi, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1967), hlm. 61.

65. Misalnya, ketika hal-hal partikular atau hal-hal individual berbeda berdasarkan makna masing-masing.

66. Aristoteles hanya membahas secara singkat hal-hal yang dinamai secara equivok, univok, turunan (derivatif) (Categories 1, 1-15). Para filsuf masa Islam, di sisi lain membahas subjek ini secara terperinci. Bahasan “nama" dalam hubungannya dengan benda yang dinamai menjadi bagian dari teori Semantik yang didefinisikan dengan baik. Lihat, Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, 1, 8; Suhrawardi, Al-Lamahāt, hlm. 60; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 13-16. Untuk bahasan tentang pandangan Al-Baghdadi tentang hubungan antara hal-hal yang diketahui, keadaannya dalam pikiran, dalam realitas eksternal, dan makna (al-ma'nā yang oleh Pines diterjemahkan “kandungan pikiran") partikular atau universal. Lihat, Pines, Studies in Abu Al- Barakat Al-Baghdadi's Poetics and Metaphysics, hlm. 141-147.

67. Lihat Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 5: 16-52: 15.

68. Kedudukan di sini, yakni idea bawaan yang punya peringkat apriori, juga merupakan kedudukan metodologis Al-Baghdadi yang penting. Ini telah dibahas oleh S. Pines dalam kajiannya tentang Al-Baghdadi, lihat khususnya S. Pines, Nouvelles

P: 114

etudes sur Awhad al-Zaman Abu Al-Barakat Al-Baghdadi.

(Paris: Librairie Durlaches, 1953), hlm. 8, 17: idem., “Studies in Abu Al-Barakat Al-Baghdadi's Poetics and Metaphysics", hlm. 127-128, di mana kognisi apriori oleh Oines disebut sebagai “tema utama" karya Al-Baghdadi.

69. Suhrawardi, Opera II, hlm. 18-20. Lihat, Apendiks B berikut, di mana disuguhkan terjemahan Hikmah Al-Isyrāq: Al-Qism Al-Awwal, 1, 7: “Tentang Definisi dan Syarat-Syaratnya”.

Topik definisi adalah salah satu hal paling penting dalam logika Suhrawardi dan juga dalam Filsafat Iluminasi. Lihat, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 52: 18-63: 3; Al-Baghdadi, Al- Mu'tabar, 1, 46-48, 50-64; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 19-24; Suhrawardi, Al-Lamahāt, hlm. 64-66.

70. Yakni, Fi al-hujaj wa mabadi'ihā, Suhrawardi, Opera II, hlm.

22-45.

71. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh 11, hlm. 63: 4-70: 1; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, 1, 69-74; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 26-27. Baik Al- Baghdadi maupun As-Sawi menggunakan istilah al-qaul al-jazim (Woyos áttUQAvtikóc) yang sinonim dengan al-qadhiyyah.

Lihat, Bochenski, Ancient Formal Logic, hlm. 85-86.

72. p (subjek) adalah q (predikat).

73. Juga dikenal dengan proposisi “jika, maka" – hubungan berdasarkan implikasi atau inferensi (luzūm) dapat direduksi menjadi bentuk-bentuk hubungan yang lain, seperti kombinasi konjungsi, disjungsi, dan negasi. Bentuk dasar proposisi ini adalah [x, p, q): 9(x) dan kemudian p(x). Sikap Suhrawardi terhadap kaidah-kaidah formal yang mengatur implikasi bisa dibandingkan dengan Stoic. Lihat, Bochenski, Ancient Formal Logic, hlm. 158-176; Mates, Stoic Logic, hlm. 42-57.

74. Juga dikenal dengan proposisi “entah, atau" – hubungan melalui disjungsi, ‘inad, bisa direduksi menjadi bentuk-bentuk hubungan yang lain. Bentuk dasar proposisi ini adalah [x, p, q]: q(x) atau p(x). Dua bagian proposisi yang disatukan ini,

P: 115

masing-masing, disebut anteseden dan konsekuensi.

75. Suhrawardi, Opera II, hlm. 24-27. Bandingkan dengan Asy- Syirazi, Syarh II, hlm. 70: 11-77: 3; Al-Baghdadi, Al- Mu'tabar 1, 75-78; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 30-32.

76. Sebuah istilah non-Aristotelian. Lihat, Afnan, A Philosophical Lexicon, hlm. 131.

77. p adalah q jika p adalah nama khusus.

78. Semua p adalah q, misalnya “semua manusia adalah hewan", dan secara negatif "tidak ada manusia yang batu".

79. Sebagian p adalah q dan sebagian p adalah bukan q.

80. Problem ini dikemukakan sebagai berikut: Anggaplah C sebagai kopula. Untuk menegasikan pCq, seseorang dapat mengatakan dalam bahasa Arab p-Cy, atau PC-q, di mana ia berarti negasi.

Dalam kasus proposisi-proposisi universal, dikatakan bahwa semua p adalah q, dan (semua p adalah q) mereduksi menjadi sebagian p adalah q.

81. Suhrawardi, Opera II, hlm. 27-29. Untuk bahasan tentang proposisi modal, lihat Hossein Ziai, “Modal Proposition in Islamic Philosophy," Bulletin of Iranian Mathematical Society, No. 12 (1980). Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 77:

33-78: 9; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, I, 78-89; As-Sawi, At- Tabshirah, hlm. 32-44.

82. Istilah ini tampaknya diciptakan oleh Suhrawardi. M.T. Danesh Pajouh menganggap usaha Suhrawardi untuk mereduksi semua proposisi ke dalam satu bentuk berasal dari Aristoteles (At- Tabshīrah, hlm. 21). Saya tidak menemukan bahwa Aristoteles mengatakan sesuatu tentang akibat ini, dan pernyataannya dalam Prior Analytics: “Karena semua proposisi dapat dibalik, kecuali hanya proposisi partikular negatif", (Prior Analytics II, 52B7-8) membahas problem “konvensi" (al-‘aks fī al-qadhāyā) dan bukan problem "reduksi proposisi" (radd al-qadhāyā).

83. Suhrawardi, Opera II, hlm. 33-40. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 86:10 dan 89:5; Al-Baghdadi, Al-Mu 'tabar, I,

P: 116

95-197; As-Sawi, At-Tabshirah, hlm. 44-51.

84. Suhrawardi, Opera II, hlm. 31-33. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 89: 6-95:5; As-Sawi, At-Tabshirah, hlm. 51-9.

85. Suhrawardi, Opera II, hlm. 33-40. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 95:5 dan 118:5; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar 1, 109-203; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 91-119.

86. Suhrawardi, Opera II, hlm. 40-45. Bandingkan Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 118:6, 135:19; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, I, 203-253; As-Sawi, At-Tabshīrah, hlm. 91-119.

87. Bandingkan Tá Towta. Aristoteles, (Posterior Analytics 1, 71b26).

88. Premis-premis intuitif memainkan peran penting dalam konstruksi Filsafat Iluminasi. Premis-premis ini juga ditemukan dalam Filsafat Peripatetik. Misalnya, Ibn Sina menegaskan bahwa intuisi adalah “gerakan membuat term tengah” (An- Najat, disunting oleh Al-Kurdi, hlm. 87); ini adalah ungkapan definisi Aristoteles tentang sifat “cepat mengerti" (quick wit [áyívia]), (Posterior Analytics I, 89610). As-Sawi menetapkan premis-premis intuitif sebagai “hukum intelek yang kuat” (At- Tabshirah, hlm. 152).

89. Pertanyaan-pertanyaan mā, hal, “ayy, serta lima dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan penting dalam ilmu (ushūl al-mathālib al-'ilmiyyah), dengan pertanyaan-pertanyaan sekunder sebagai berikut: kaif, kam, ‘aina, matā, serta man. Skema umum Suhrawardi yang non-Peripatetik untuk berbagai kategori adalah sebagai berikut. Aksiden ada empat:

kam (kuantitas), kaif (kualitas), idhāfah (relasi), serta harakah (gerak). Lihat, Suhrawardi, Opera I, hlm. 284; Opera II, hlm.

61-62. Mesti dicamkan bahwa istilah yang digunakan oleh Suhrawardi sebagai imbangan aksiden adalah hai'ah dan bukan ‘aradh seperti digunakan oleh kaum Peripatetik. Logikawan besar, ‘Umar bin Sahlan As-Sawi', yang karyanya, Al-Bashā'ir telah dikaji oleh Suhrawardi, juga mereduksi kategori-

P: 117

kategori – dalam hal ini menjadi empat: substansi, kualitas, kuantitas, serta relasi, – tetapi tidak memasukkan gerak, sebagaimana ia tidak membahas prinsip isyrāqi tentang gerak dalam kategori secara esensial. Karena itu, As-Sawi tidak bisa, menurut hemat saya, dianggap sebagai sumber langsung Suhrawardi, sebagaimana hal itu diyakini oleh S. J. Sajjadi.

Lihat, Sajjadi, Suhrawardi. (Tehran, 1984), hlm. 88-89.

90. Yakni, fi al-mughālathāt wa ba'd al-hukumāt baina al-ahruf al- istisyrāqiyyah wa baina al-ahruf al-masysyā'yyin. Suhrawardi, Opera II, hlm. 46.

91. Struktur logika Al-Muqāwamāt berkaitan dengan logika At- Talwihāt.

92. Suhrawardi membahas kategori-kategori yang dianggapnya bukan temuan Aristoteles, melainkan berasal dari Arkhuthus dalam karya-karyanya tentang fisika. Singkatnya, teori Suhrawardi menegaskan bahwa "intensitas” (syaddah wa dha'f) dinisbatkan kepada semua kategori, substansi (jauhar), kualitas (kaif), kuantitas (kam), hubungan (nisbah), serta gerak (harakah). Lihat misalnya, Opera I, hlm. 1-12, hlm; 146-148; Opera II, hlm. 113.

P: 118

BAB 3 : TEORI DEFINISI ILUMINASI:METODE DAN PENGETAHUAN FORMAL

1. ISTILAH DEFINISI

Point

Saya akan mengawali bab ini dengan bahasan singkat tentang terminologi definisi yang digunakan oleh Suhrawardi.

Tujuan saya adalah menunjukkan berbagai kemungkinan jenis definisi, entah yang secara eksplisit dirujuk oleh sebuah istilah teknis yang jelas, maupun secara implisit ditunjukkan oleh penggunaan sebuah istilah umum.(1) Dalam filsafat dan logika Arab maupun Persia, semua jenis definisi dikelompokkan ke dalam istilah ta'rif, yang berarti “menjadikan diketahui dan juga sering diterjemahkan definisi . Dalam contoh-contoh tertentu, terjemahan seperti ini tidak tepat secara teknis karena ia meliputi jenis definisi esensialis, konseptualis, nominalis, dan berbagai jenis lain definisi, serta proses epistemologi yang dengannya sesuatu yang tak diketahui “menjadi” diketahui dalam hubungannya dengan sesuatu lainnya. Karena itu, penting kiranya untuk mengingat pengertian umum istilah taʻrīf dan juga pengertiannya yang kaku. Mari kita perhatikan pernyataan penting Suhrawardi dalam Hikmah Al-Isyrāq, yang ditegaskan bersamaan dengan kritiknya atas formula kaum Peripatetik tentang definisi esensialis (hadd):

P: 119


1- 1. Ada sejumlah jenis definisi yang dikenal dan diketahui. Saya tidak bisa menguraikan semuanya di sini, atau menunjukkan sumber- sumber klasifikasi berbagai definisi dan penggunaannya dalam logika dan filsafat, tetapi saya akan menyebutkan beberapa jenis definisi yang penting. Sebuah karya penting tentang definisi adalah Definition, karya Richard Robinson, (Oxford: Claendon Press, 1972). Robinson membagi definisi (Bab 2) ke dalam dua jenis dasar: definisi sesuatu-sesuatu, atau definisi hakiki, dan definisi nominal. Selanjutnya, ia membagi definisi nominal ke dalam definisi kata per kata dan definisi kata benda yang kemudian dibagi lagi ke dalam definisi leksikal dan definisi stipulatif. Penulis yang sama menguraikan (Bab 1) 18 spesies definisi, yang diklasifikasikannya menurut penggunaan berbagai ahli. Klasifikasi definisi yang lebih tepat secara filsufis diberikan oleh Raziel Abelson, yang mengklasifikasikan definisi berdasarkan posisi filosofis yang digunakan ke dalam tiga jenis: esensialis atau “jenis-E , preskriptif atau “jenis-P, dan linguistik atau “jenis-I . Abelson tidak memandang klasifikasi ini sebagai bersifat historis, melainkan sebagai sebuah “skema yang berguna . Lihat, Raziel Abelson, “Definition, Encyclopedia of Philosophy II, ed. Paul Edwards, (New York: Macmillan, 1967), hlm. 314- 324.

“Jelas bahwa tidak mungkin memperoleh suatu definisi (esensialis) dengan cara yang dilakukan kaum Peripatetik (yakni, dengan menggunakan formula, genus terdekat, plus diferensia). Bahkan, kesulitan ini juga diakui guru kaum Peripatetik (yakni, Aristoteles). Karena itu, kita (kaum Iluminasionis) hanya membuat berbagai definisi (taʻrīfāt) dengan menggunakan segala sesuatu yang mengkhususkan totalitas sesuatu (al-ijtimā', yakni keseluruhan organik ). 2 Dalam seluruh karya tentang Filsafat Islam yang sejauh ini saya kaji dan telaah, baik taʼrif maupun hadd diterjemahkan sebagai definisi, ini bukanlah terjemahan filsufis yang tepat.

Saya lebih suka menggunakan definisi esensialis untuk hadd, dan menggunakan definisi dalam pengertiannya yang kaku untuk ta'rif. Uraian berikut ini bertujuan membuat perbedaan yang jelas antara dua istilah ini dan juga istilah-istilah lainnya.

1.1. Pembagian Logika dan Definisi Iluminasi:

1.1. Pembagian Logika dan Definisi Iluminasi: Mari kita alihkan perhatian kita kepada klasifikasi Suhrawardi tentang jenis-jenis definisi. Sebelumnya, saya telah menegaskan sesuatu ihwal pembagian logika menurut Suhrawardi, dua bagian: atas proposisi-proposisi penjelas (al- qawl asy-syārih, jamak: al-aqwal asy-syārihah) dan bukti-bukti (hujjah, jamak: hujaj). Pembagian logika seperti ini mungkin tampak membingungkan. Akan tetapi, jika kita harus memahami signifikansi struktural dan penggunaannya yang dimaksud, maka kita harus berusaha menyingkap makna dari istilah “bukti dan “proposisi penjelas .(1) Di sepanjang bab ini, kita akan menelaah problem ini dan berusaha membongkar signifikansi atau pentingnya penggunaan istilah-istilah itu. Secara sederhana,

P: 120


1- 3.Istilah proposisi penjelas sudah digunakan oleh para filsuf sebelum Suhrawardi, tetapi dalam cara yang berbeda. Ibn Sina, dan menyusul di belakangnya Al-Ghazali, menggunakannya sebagai istilah equivokal untuk definisi esensialis (hadd bi at- tasykik). Lihat, Ibn Sina, An-Najāh, hlm. 83; Al-Ghazali, Mi'yar al-'ilm, ed. Sulaiman Dunya, (Kairo: t.p, 1961), hlm. 68, 271- 275. Filsuf pertama dalam periode Islam yang menekankan penggunaan proposisi-proposisi penjelas sebagai sarana untuk membagi logika secara struktural ke dalam dua bagian adalah filsuf Persia, “Umar bin Sahlan As-Sawi. Perhatikan, misalnya pernyataan As-Sawi berikut, “Konsepsi bisa diperoleh melalui metode (rāh) yang disebut oleh orang Arab sebagai al-qaul ash-sharīh. Ini berarti guft-i rausyan-kunanda (dalam bahasa Persia, yakni proposisi penjelas). (Ketahuilah bahwa) sebagian proposisi penjelas adalah valid, yang disebut definisi esensialis; beberapa yang lainnya hanya sebagian saja yang valid (nazdik bi rasti) yang disebut deskripsi (rasm) .... Tujuan (utama) logika sudah ditunjukkan, yakni memperoleh pengetahuan ihwal: 1. proposisi-proposisi penjelas, dan 2. bukti-bukti. (At-Tabshirah, hlm. 4-5). Bandingkan Ibn Sina, Manthiq Al-Masyriqiyyin. (Kairo: t.p, 1910), hlm. 10, di mana seseorang bisa melihat pandangan yang sama yang akrab dengan Ibn Sina.

Teori Definisi Tluminasi: Metode dan Pengetahuan Formal bukti yang digunakan Suhrawardi mengandung unsur-unsur logika materiel maupun formal, serta memasukkan demonstrasi dan juga berbagai jenis inferensi lainnya. “Bukti juga diterapkan pada pengalaman-pengalaman mistis.(1) Sementara itu, istilah “proposisi penjelas adalah istilah yang lebih teknis. Maknanya ditunjukkan oleh Suhrawardi dalam logika Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt, “Ketahuilah bahwa proposisi-proposisi yang jelas itu ada lima: definisi esensialis yang sempurna (al-hadd at- tāmm); (definisi konseptualis, atau) menjadikan sesuatu yang dinamai diketahui melalui bagian-bagian konsep yang sempurna (ta'rif al-musammā bi ajzā' al-mafhūm at-tāmm);(2) definisi esensialis yang tidak sempurna (al- hadd an-nāqish); deskripsi yang sempurna (ar-rasm at- tāmm); serta deskripsi yang tidak sempurna (ar-rasm al- nāqish). (3) Dari pernyataan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa istilah proposisi penjelas melambangkan berbagai definisi teknis, dan harus dibedakan dari penggunaan umum konsep- konsep yang “mendefinisikan sesuatu , dan dengan demikian “membuatnya jadi diketahui . Istilah itu juga diterapkan pada formula definisi tertentu semisal definisi esensialis yang sempurna, dan juga jenis-jenis definisi lainnya.

Tampaknya, lima jenis definisi di atas adalah pembagian Suhrawardi yang digunakan secara eksplisit dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Akan tetapi, jenis-jenis definisi yang disebutkan di atas, kecuali jenis konseptualis, dianggap sudah ada sebelumnya, meskipun tidak sistematis. Misalnya saja, jenis definisi esensialis dan jenis deskriptif disebutkan oleh Aristoteles dalam berbagai bagian karyanya.(4) Istilah qaulyang

P: 121


1- 4.Bukti (hujjah) biasanya dibagi ke dalam tiga jenis: silogisme (qiyās), induksi (istigrā”), dan analogi (tamtsil dan mitsāl). Lihat, As-Sawi, At-Tabshirah, hlm. 5. Kemudian, Suhrawardi menetapkan bahwa bukti-bukti yang berdasarkan pengalaman, inspirasi, dan intuisi punya peringkat yang sama dengan- kalau bukan malah lebih tinggi dari — bukti-bukti yang berdasarkan demonstrasi Peripatetik. Lihat misalnya, Opera II, hlm. 13.
2- 5.Di beberapa tempat, definisi konseptualis dinyatakan sebagai formula yang menunjukkan konsep sesuatu (al-qaul al- mu'arraf bi hasab mafhūm asy-syai'). Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt: Manthiq, fol. 15v.
3- 6.Ibid., fol. 14r.
4- 7.Lihat misalnya, Posterior Analytics II. hlm. 3, 7, 10; Topics VIII.

bisa diterjemahkan sebagai “pernyataan , proposisi , atau “formula (bahkan di beberapa tempat mungkin: definisi ), bahkan “argumen bergantung pada konteksnya, adalah istilah yang digunakan kaum Peripatetik sebelum Suhrawardi untuk menunjuk makna yang sama bagi istilah al-qaul ash-sharih.(1) Istilah proposisi penjelas sebagai “pilar kedua logika, digunakan Suhrawardi untuk menunjuk hubungan antara konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq) di luar kajian logika. Di bagian awal logika Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, yakni jalan (masyra') pertama, yang berjudul Tentang Al- Madkhal, Suhrawardi menegaskan, Engkau telah belajar dari buku-buku (logika) bahwa sesuatu yang dicari dalam ilmu pengetahuan adalah konsepsi (tashawwur) atau penilaian (tashdiq), dan proposisi-proposisi serta bukti-bukti penjelas menghubungkan keduanya. (2) Dalam bagian yang bersesuaian dengan logika At- Talwīhāt, Suhrawardi menegaskan, “Yang menghubungkan konsepsi (tashawwur) dengan idenya disebut proposisi penjelas, entah itu sebuah definisi esensialis atau sesuatu yang lain, dan yang menghubungkan penilaian (tashdiq) dengan idenya disebut bukti, entah itu sebuah demonstrasi atau sesuatu yang lain. Segenap proposisi penjelas dan bukti bersama- sama membentuk metode ilmu (thariq al-ʻulūm). (3) Dari dua pernyataan di atas, kita bisa menyimpulkan signifikansi metodologis dari proposisi-proposisi penjelas dalam filsafat. Itulah sebabnya, sangat penting bagi kita untuk memahami teori Suhrawardi sebagai langkah dalam usaha

P: 122


1- 8.Istilah qaul mempunyai sejumlah makna, yang paling mendasar adalah “ungkapan majemuk . Lihat, Ibn Sina, An-Najāh, hlm. 17. Bandingkan Goichon, Lexique, hlm. 319. Seperti dalam istilah Yunani loyos, ia digunakan dalam beberapa pengertian. Sebagai contoh, penggunaan istilah lóyos oleh Plato. Lihat G. Matthews, Plato's Epistemology and Related Logical Problems. (London: Faber and Faber, 1972), hlm. 11. Pengertian Aristoteles yang kaku tentang istilah lóyos (disebut juga qaul) adalah “formula , yang digunakan khususnya dalam kaitannya dengan definisi, misalnya dalam Aristoteles, Metaphysics VII. 4, 1030a7-9: “ada definisi (ópious) kata yang tidak sama dengan formula (Jóyos) karena dalam hal seperti itu, semua formula adalah definisi . Tampak jelas bagi saya bahwa pengertian “formula untuk qaul secara logis sangat semakna. Untuk berbagai pengertian lain dari istilah qaul lihat, Ibn Sina, Livre des Directives et Remarques, terjemahan A. M. Gichon, (Paris: J. Vrin, 1951), hlm. 84, 193, 211. Konsep yang mendasari ungkapan “proposisi penjelas (al-qaul ash-sharih) kemungkinan bukan berasal dari Aristoteles. Bandingkan, Afnan, Lexicon, hlm. 245; dan E. Zeller, Stoics, Epicureans, and Sceptics, terjemahan O. J. Reichel, (New York: Russel and Russel, 1962), hlm. 73, catatan 2.
2- 9. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 1v.
3- 10. At-Talwīhāt, hlm. 2.

kita memahami Filsafat Iluminasi. Suhrawardi secara eksplisit membuka kajiannya tentang logika dengan menegaskan bahwa definisi memiliki kedudukan penting dalam kerangka konseptual ilmu. Ia mempersembahkan bab-bab khusus yang membahas logika dalam At-Talwihāt dan dalam Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt (masing-masing di Bab II) untuk mengkaji definisi; dan dalam Hikmah Al-Isyrāq (Bagian Satu, I, 7), ia menekankan signifikansi lebih jauh dari definisi dalam metodologi Iluminasi dengan cara mengkritik teori Peripatetik.

1.2. Tipologi Definisi:

1.2. Tipologi Definisi Dilengkapi dengan pengetahuan, proposisi penjelas adalah genus dari berbagai jenis definisi. Sekarang, kita akan mempertimbangkan spesies-spesies itu untuk menentukan jenis-jenis definisi apa yang digunakan Suhrawardi dalam mendefinisikan segala sesuatu, kata-kata atau konsep-konsep.

Ini berarti membedakan berbagai karakteristik dari definisi realis, nominalis, dan konseptualis.(1) Jenis definsi yang penting dalam karya-karya Plato, Aristoteles, dan dalam karya-karya kaum Peripatetik belakangan di zaman Islam, adalah definisi hakiki. Definisi sempurna dan definisi tidak sempurna, seperti disebutkan Suhrawadi, kedua- duanya adalah definisi hakiki. (2) Kedua jenis definisi ini punya sejarah yang lebih atau kurang jelas yang kembali kepada Aristoteles, tetapi dalam karya-karyanya tidak dirinci ihwal pembedaan antara bentuk definisi sempurna dan definisi tidak sempurna.(3) Keduanya ini adalah definisi hakiki, dan dalam istilah terminologi Filsafat Modern, esensialis. (4) Dalam kasus dua jenis definisi ini, terdapat kesepakatan

P: 123


1- 11. Untuk bahasan tentang pembedaan antara definisi realis dari definisi nominalis. Lihat, Robinson, Definition, Bab VI. Pembedaan ini juga dibuat oleh Plato dan Aristoteles, meskipun dalam pengertian yang terbatas. Lihat, Plato, Theaetetus, 514b-515c, 547c-549c; Aritotle, Categories V, 2219-3524; VI, 66-84; Posterior Analytics 1.22, 11.3-10.
2- 12. Kedua jenis ini adalah formula yang disebut untuk mengkhususkan esensi dari sesuatu yang didefinisikan.
3- 13. Pembedaan yang dibuat antara definisi esensialis sempurna, sebagai formula yang mengombinasikan genus dan diferensia terdekat yang menunjukkan esensi dan definisi esensialis tak sempurna, adalah definisi esensialis tak sempurna hanya melambangkan sebagian esensi. Pembedaan ini dibuat oleh Ibn Sina (misalnya, An-Najāh, hlm. 78). Akan tetapi, bagi Aristoteles, definisi esensialis dianggap bisa mengungkapkan hakikat esensial (Posterior Analytics II, 90b24) hanya bila sifat- sifat dari sesuatu adalah terbatas (Posterior Analytics 1, 82b39, 84a27). Persoalan keterbatasan sifat-sifat dan problem definisi juga sangat penting bagi Suhrawardi.
4- 14. Lihat, Abelson, “Definition , Encyclopedia of Philosophy.

umum bahwa keduanya berasal dari Aristoteles, tetapi jenis definisi deskriptif yang sempurna dan yang tidak sempurna tidak memiliki asal-usul historis yang pasti. Ahli sejarah Filsafat Islam Kontemporer terkemuka, Ibrahim Madkour dan A. M.

Goichon, sama-sama menunjukkan bahwa asal-usul definisi deskriptif ditemukan dalam útroypapi Galen.(1) Kedua jenis definisi ini juga nyata dan bukan esensialis. Kita mungkin bisa menyebutnya sebagai definisi ostensif karena keduanya disebut- sebut untuk membedakan sesuatu dari sesuatu lainnya. (2) Jenis definisi kelima Suhrawadi, adalah jenis definisi esensialis, dan tampak dengan jelas dibedakan sebagai sebuah jenis terpisah hanya dalam karya-karyanya. Jenis ini adalah formula yang menjadikan sesuatu diketahui melalui konsepnya .(3) Kelima jenis definisi di atas - definisi esensialis: yang sempurna dan yang tidak sempurna; definisi deskriptif: yang sempurna dan tidak sempurna; serta definisi konseptualis, menduduki posisi penting dalam teori definisi Suhrawardi. Akan tetapi, bukan hanya jenis-jenis definsi ini saja yang disebut-sebut dalam berbagai karyanya. Tersebar dalam kebanyakan karyanya yang membahas ihwal logika, seseorang akan menemukan bahasan tentang jenis-jenis definisi nominalis, ostensif, dan implisit yang akan kita bahas lagi kemudian.

2. DEFINISI DAN METODOLOGI FILSAFAT:

Point

Dalam sebuah bagian dari Buku || tentang Posterior Analytics, Aristoteles mengemukakan kedudukan definisi sebagai langkah pertama dalam sains atau ilmu pengetahuan. (4) Dari sudut pandang formal, definisi juga dianggap sebagai premis dalam demonstrasi. (5) Oleh karena itu, ketika suatu

P: 124


1- 15. Lihat, Ibn Sina, Livre des Definitions, disunting dan diterjemahkan oleh A. M. Goichun, (Kairo: Publications de L'Institut Francais d'Archeologie Orientale du Caire, 1963), hlm. 6, catatan 1. Bandingkan, Ibn Sina, Kitāb Al-Hudūd, terjemahan Muhammad M. Fouladvan, (Tehran: Iranian Centre for the Study of Civilizations: Islamic Studies Series, 2), hlm. 58 dan 69. Padanan-padanan yang kurang terbatas, barangkali περιγραφή dan διαγραφή, harus dipertimbangkan.
2- 16. Deskripsi dianggap sebagai jenis definisi yang digunakan untuk membedakan sesuatu (mutamayyiz); karenanya, ia termasuk dalam jenis definisi ostensif. Lihat, Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 17r.; Ibn Sina, An-Najāh, hlm. 79; idem., Livre des Definitions, hlm. 12; Al- Ghazali, Mi'yar al-'ilm, hlm. 267.
3- 17. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 15r.
4- 18. Aristoteles, Posterior Analytics 11.3, 90b1-24.
5- 19. Ibid., 90b24. Tentang pandangan Aristoteles mengenai hubungan antara definisi dan demonstrasi. Lihat, Posterior Analytics 1.2, 27219-24; 1.8; 1.10; 1.22; 1.33. Problem ini dibahas secara panjang lebar oleh Anfinn Stigen dalam kajian filsafatnya, The Structure of Aristoteles's Thought, Bab IV. (Oslo: Universitet forlaget, 1966), di mana Stigen menunjukkan “mengapa, menurut Aristoteles, problem definisi menjadi bahasan utama pengetahuan , (hlm. 78, catatan 2).

definisi sudah diperoleh atau dibangun, seseorang bisa beranjak maju menuju pengetahuan ilmiah. Para filsuf di zaman Islam sampai Suhrawardi sepakat dengan metode demonstrasi Aristoteles, atau metode ilmiah, berikut kedudukan formal definisi dalam demonstrasi.(1) Akan tetapi, terdapat sejumlah problem berkenaan dengan kritik Suhrawardi atas formula definisi kaum Peripatetik yang meliputi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah yang menjadi dasar epistemologi dan ontologis dari definisi? Jenis-jenis definisi apa saja yang bisa dipandang sebagai valid atau sahih? Apakah formula definisi itu? Apa hubungan antara definisi, demonstrasi, dan antara definisi dan induksi? Sebelum membahas pokok persoalan penting itu di sini, yakni menganalisis kritik Suhrawardi atas kaum Peripatetik dan kemudian mendiskusikan pandangannya tentang definisi, kita akan mengkaji dan menelaah secara singkat latar belakang yang mungkin bagi sebuah teori Iluminasi tentang definisi, yakni teori dari Plato dan Aristoteles. Kita lakukan ini untuk menjelaskan pandangan-pandangan Suhrawardi dalam suatu konteks filsafat yang lebih luas. Sesekali, Suhrawardi sependapat dengan pandangan dan posisi Aristoteles tentang formula definisi, dan pada kali lain, sependapat dengan pandangan Plato. Lebih jauh, ia membangun suatu formula lain yang berpijak pada keduanya.(2) Sewaktu kita mengkaji dan menelaah problem ini, kita harus mencamkan dua persoalan penting: apakah Suhrawardi menerima metode Aristoteles untuk memperoleh definisi, metode pengamatan atas dunia entititas-entitas wujud, dan kemudian mengabstraksikan kategori tertentu sehingga sampai pada suatu genus plus sejumlah diferensia, suatu definisi

P: 125


1- 20. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 40: “Hanya demonstrasi saja yang digunakan dalam ilmu-ilmu hakiki. Bandingkan, idem., Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 98r.; idem., At- Talwihāt: Manthiq, hlm. 82; dan Ibn Sina, Livre des Directives et Remarques, hlm. 47; idem., Livre des Definitions, hlm. 2-11; idem., Asy-Syifā': Al-Jadal, VI, hlm. 5.
2- 21. Metode definisi “formal” dasar yang digunakan Plato biasanya disebut metode dikotomi (atau pembagian). Metode ini secara khusus digunakan Plato dalam Phaedrus, 134a-c; Sophist, 580a-608d; dan Philebus, 610d-613a. Aristoteles juga menggunakan metode dikotomi, yang biasanya dipertentangkan dengan berbagai metode definisi lainnya. Lihat, Aristoteles, Prior Analytics II, hlm. 64-65; idem., Posterior Analytics 11.5, 13; idem, Topics V1.6, 143b11-14424; Metaphysics VII.12, 1037b28-1038235; Parts of Animals 1. hlm. 2-4. Plotinus juga menggunakan metode pembagian atau dikotomi dalam definisi. Lihat Plotinus, The Enneads, terjemahan S. Mac Kenna, (New York: Pantheon, 1969), hlm. I, 3 dan 4, di mana ditegaskannya, “... ia menggunakan pembagian Plato dan ketajaman bentuk-bentuk ideal,” dan juga ibid., VI. hlm. 3 dan 16-18. Sebuah kajian komprehensif tentang metode dikotomi Plato dilakukan oleh Kenneth M. Sayre yang menyebut metode itu sebagai “Penyatuan dan Pembagian (Collection and Division). Lihat, Sayre, Plato's Analytics Method, Bab IV. (Chicago: University of Chicago Press, 1969).

yang, meski mungkin bisa atau tidak bisa didemonstrasikan- punya kedudukan dalam demonstrasi ?(1) Atau; apakah pandangan Suhrawardi tentang definisi pada akhirnya lebih bercorak Platonis, yang memandang definisi sebagai hasil dari suatu kajian dan telaah filsufis yang selaras serta mencakup keseluruhan? Kajian dan telaah ini akan meliputi suatu metode dialektis, di mana para pesertanya memperoleh gambaran atau citra dari hal-hal yang paling hakiki: bentuk-bentuk atau ide- ide dalam jiwa mereka. Posisi Platonis seperti ini memandang definisi sebagai hasil akhir dari suatu proses yang di dalamnya seorang guru” memainkan peran penting dalam perolehan seseorang atas pengetahuan personal yang menyeluruh (tentu saja tidak secara formal bisa dikemukakan). Posisi-posisi metode alternatif lain semacam itu harus dipertimbangkan terlebih dahulu saat kita berusaha mengungkap kembali makna-makna yang dimaksud dalam beberapa bagian yang tidak jelas dalam karya-karya Suhrawardi, dan merumuskan teorinya tentang definisi Iluminasi.

2.1. Metodologi Definisi dan Posisinya dalam Metafisika

2.1. Metodologi Definisi dan Posisinya dalam Metafisika Metodologi definisi harus dianggap sebagai salah satu komponen atau unsur mendasar dari suatu pendekatan filosofis dalam menghampiri problem metafisika. la menetapkan ihwal apakah pendekatan itu bercorak realisme, idealisme, nominalisme, dan sebagainya dengan memungkinkan sejarawan filsafat untuk mempertimbangkan cara filsuf yang dikaji atau ditelaah menggunakan definisi dalam menghampiri metafisika.

Filsafat membahas, antara lain persoalan “apa . Jawaban atas pertanyaan ini yang dirumuskan sebagai definisi, melibatkan

P: 126


1- 22. Metode definisi “formal dasar yang digunakan Plato biasanya disebut definisi melalui genera dan diferensia, yang terkadang disebut sebagai sifat-sifat, baik esensial maupun nonesensial. Metode ini digunakan secara ekstensif atau luas oleh Aristoteles dalam hampir semua karyanya. Lihat, Aristoteles, Categories III, V, XIII; idem., Prior Analytics I, hlm. 27. Idem., Posterior Analytics, 1.22. 11.13-14; idem., Topics, 1.4.9, 1.18, IV-VII; idem., Physics, 1.3; idem., Metaphysics, III.4, III 3, V.3; idem., History of Animal, I 1; idem., Parts of Animal 1.1, 1.2.4. Kombinasi metode dikotomi dan metode definisi melalui genera adalah dasar yang mungkin bagi teori Suhrawardi yang mencakup apa yang harus disebut sebagai metode “membidani , sesudah Plato. Lihat, Plato, Theaetetus, 150b-d. Bandingkan, Plotinus, Enneads, VI.3. hlm. 1, 8-10, dan 16-18.

kajian dan telaah yang cermat atas metodologi dan prinsip- prinsip filsafat. Misalnya saja, jawaban atas pertanyaan, “apakah manusia itu? saat dirumuskan sebagai “hewan rasional di satu sisi, dan sebagai “wujud yang sadar diri dan hidup di sisi lain, menentukan posisi filosofis ihwal apa yang menjadi dasar metafisika, dan tidak memasukkan prinsip-prinsip psikologis.

Persis seperti halnya definisi seorang ahli logika tentang apa itu angka merefleksikan pandangan yang benar-benar berbeda tentang matematika dari definisi Iluminasionis tentang angka, maka begitu pulalah teori Definisi Iluminasionis pun mengungkapkan posisi filosofis yang berbeda dengan posisi kaum Peripatetik.

Terlepas dari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dasar epistemologi definisi dalam filsafat, kita harus mempertimbangkan bagaimana definisi itu dirumuskan? Taruhlah kita ingin mendefinisikan sesuatu, X. Sesuatu ini, menurut asumsi kita selanjutnya, mesti dibangun dalam hubungannya dengan sifat-sifatnya, entah esensial atau tidak, berbagai kesamaan, aksiden, dan lain sebagainya. Kita sebut saja semua itu sebagai unsur pokok X, dan kemudian menganggapnya sebagai X. Jika sesuatu itu sederhana, tidak majemuk (basīth), maka X dan X adalah satu dan sama. (Definisi tentang hal-hal sederhana adalah sebuah kasus khusus dan akan dibahas kemudian). Kita harus berusaha memperjelas posisi filosofis dalam kasus, ketika unsur-unsur pokok dari sesuatu berjumlah banyak dengan memutuskan apakah X, itu hakiki atau hanya diketahui secara ideal, dan bagaimana semuanya itu bisa diketahui dalam hubungannya dengan X? Kemudian kita harus memutuskan ihwal apakah unsur-unsur pokok

P: 127

esensial X, katakanlah X itu berlainan, atau berkesinambungan dalam dirinya, atau sebagai bagian dari X? Apakah X dan X bisa diketahui dalam dirinya secara terpisah maupun secara keseluruhan? Bisakah X dan X, diuraikan secara lengkap? Apa yang terjadi jika X dan X berbeda dari X, tetapi X tidak sederhana? Kemudian, kita harus menunjukkan hakikat memasukkan (indikhāl) X, dalam X. Apakah memasukkan X, sedemikian rupa sehingga X, tidak bisa dibedakan dari X dan tidak dimasukkan di dalamnya (jenis memasukkan ini disebut istighrāq)?; atau X, dibedakan dari X, tetapi tidak dimasukkan di dalamnya (jenis ini disebut syumul); atau bahkan X semacam itu dibedakan dalam X dan tidak dimasukkan di dalamnya (jenis ini disebut indirāj)? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu dikemukakan sebagai langkah penting dalam menetapkan posisi apa yang diambil Suhrawardi dalam Grundlage Filsafat Iluminasi.

Pertanyaan berikutnya yang berkaitan dengan kajian dan telaah kita tentang definisi adalah prioritas (taqaddum). Segala hal didefinisikan dalam kaitannya dengan hal lain yang harus diketahui terlebih dahulu bagi definisi yang lebih dari sekadar perubahan ungkapan (tabdil al-lafzh, dalam istilah Suhrawardi).

Artinya, untuk mendefinisikan X, kita harus mengetahui suatu Y, yang meliputi unsur-unsur pokok Y, dalam hubungannya dengan X yang didefinisikan, dan Y harus ada terlebih dahulu sebelum X menurut pengetahuan. Sekali lagi, posisi filosofis kita harus disebutkan, karena berdasarkan pandangan kita, Y mungkin saja bisa diketahui atau tidak bisa diketahui, entah secara deduktif, induktif, atau intuitif, atau melalui cara lain.

Begitu juga, berkaitan dengan X, persoalan ihwal apakah Y bisa diketahui melalui Yi harus dikaji dan ditelaah. Karena itu,

P: 128

definisi X akan bergantung pada posisi filosofis tentang apa yang harus diketahui terlebih dahulu dan paling dahulu. Apakah yang paling dahulu dalam pengetahuan menurut Suhrawardi? Apakah itu sebuah aksioma yang terbukti dengan sendirinya, ataukah hal lainnya yang sudah sangat jelas dan terang benderang? Persoalan-persoalan ini harus dikaji dan ditelaah sepenuhnya bila kita ingin memahami Filsafat Iluminasi dan posisi filsafat Suhrawardi.

2.2. Dua Pendekatan dalam Menghampiri Definisi: Plato dan Aristoteles

2.2. Dua Pendekatan dalam Menghampiri Definisi: Plato dan Aristoteles Dua metode utama filsafat yang dirumuskan dan didokumentasikan dengan baik dalam periode abad pertengahan Islam adalah metode Plato dan metode Aristoteles. (Metode Neoplatonis, meski sangat berpengaruh dalam perkembangan filsafat dalam periode itu, tidak dirumuskan dengan baik).

Contoh terbaik perbedaan antara metode Plato dan metode Aristoteles mengenai persoalan definisi, tergambar dengan sangat baik dalam karya Al-Farabi yang terkenal, Kitāb Al-Jam' Baina Ra'yai Al-Hakimain, di mana (8 16) Al-Farabi membahas pandangan Plato dan Aristoteles sebagai berikut:

“Plato berpendapat bahwa satu-satunya cara membangun suatu definisi yang benar hanya bisa dilakukan dengan metode pemilahan (dikotomi, qismah), sementara Aristoteles berpandangan bahwa definisi seperti itu hanya bisa diperoleh melalui metode demonstrasi dan sintesis (tarkīb). (1) Al-Farabi kemudian menyatakan secara tegas bahwa pandangan kedua filsuf terkenal itu tidak bertentangan dalam

P: 129


1- 23. Al-Farabi, Kitāb Al-Jam' baina Ra'yai Al-Hakāmain, disunting A. N. Nader, (Beirut: Dan al-Masyriq, 1968), hlm. 87-88. Posisi Al-Farabi, metode dikotomi (atau pembagian) serta metode demonstrasi dan sintesis pun bersifat komplementer atau saling melengkapi.

prinsip, tetapi hanya berbeda dalam pendekatan. Karakterisasi ini harus diingat saat kita mengevaluasi posisi Suhrawardi.

Kita juga akan berusaha menentukan bagaimana Suhrawardi memandang posisinya dalam kaitannya dengan Plato dan Aristoteles, dan bagaimana ia menggabungkan posisinya itu dalam sistem iluminasi yang direkonstruksi secara menyeluruh? Apa yang paling pasti, bahwa ketika kita mendefinisikan sesuatu dalam pengertian Aristoteles yang kaku, kita bertujuan mengetahui esensinya, substansi dan hakikat esensinya?(1) Dengan demikian, formula definisi Aristoteles (öpos dan ópiouós) tidak bisa dipisahkan dari pandagan ontologis yang dipegang filsuf sejak awal, sebelum membangun definisi dengan metode apa pun. Pandangan Plato di sisi lain, memandang definisi sebagai komponen integral dari metode filsafat berikut hasil akhirnya.(2) Melalui cara-cara dialektis menyeluruh yang terdiri dari metode sintesis dan dikotomi (pengumpulan dan pembagian),(3) Plato bertujuan memperoleh jawaban untuk pertanyaan, “Apakah keadilan itu? dan “Apakah imitasi itu? (dalam Republic), “Apakah keberanian itu? (dalam Laches), “Apakah pengetahuan itu? dan Apakah logos itu? (dalam Theaetetus).(4) Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini harus diberikan sebagai definisi-definisi hakiki. Metode Plato yang digunakan sangat berbeda dari definisi hakiki Aristoteles dalam Posterior Analytics, Topics, Metaphysics, dan Parts of Animals.

Perbedaan penting di antara keduanya, dalam pandangan saya, bahwa formula definisi Aristoteles terlepas (sekurang-kurangnya secara formal) dari individu yang membangunnya, sementara metode Plato sangat bersandar pada jawaban individual seseorang, dengan suatu cara yang mungkin ia menyadari:

P: 130


1- 24. Lihat, A. Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 138-139.
2- 25. Definisi Plato terdiri dari metode dikotomi formal plus keseluruhan proses dialektis seperti dua metode yang digunakan dalam dialog untuk menemukan “definisi” dari apa yang hakiki, yakni bentuk-bentuk yang tidak berubah dan tanpa batas waktu, yang bila bisa ditemukan menandai puncak capaian filsafat. Lihat, Sayre, Plato's Analytics Method, Bab II, IV; Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 13-39.
3- 26. Lihat, bagian $2 sebelumnya.
4- 27. Bandingkan, Robinson, Definition, hlm. 149.

bentuk apa yang diketahui dalam dirinya? Perbedaan ini sangat penting dalam memahami Suhrawardi. Dalam tinjauan ini, kita harus menyadari mana pertanyaan yang berkenaan dengan bagian teori Suhrawardi tentang definisi yang termasuk dalam definisi Aristoteles atau Plato. Dengan cara apa kedua metode itu disintesiskan ke dalam suatu teori Iluminasi (Isyrāq) murni dengan metode Intuisi (Dzauq)? Di samping itu, berkenaan dengan metodologi definisi Iluminasi, kita harus mempertimbangkan pertanyaan: Apakah teori Suhrawardi merupakan kombinasi dari metode formal definisi Aristoteles dan metode dialektis Plato? Apakah teori Suhrawardi benar-benar “baru ? Berbekal pertanyaan-pertanyaan seperti itu, kita akan mengawali tugas menganalisis teori definisi Iluminasi. Langkah pertama, adalah mengemukakan uraian singkat tentang teori definisi Plato dan Aristoteles.

2.3. Metode Definisi Plato

2.3. Metode Definisi Plato Pandangan Aristoteles tentang definisi bisa diringkas dengan menyatakan, bahwa hanya ada dua hal yang bisa dinilai secara adil, sebagian berasal dari Socrates: argumentasi induktif dan definisi umum.(1) Namun, menurut sejarawan Filsafat Yunani, W. K. C. Guthrie, Socrates tidak punya gagasan yang memadai tentang esensi, tentang cara mendefinisikan wujud sesuatu yang sebenarnya, dengan demikian, pemahaman tentang esensi melalui definisi adalah sebuah kemajuan metodologi Aristoteles. (2) Metode definisi Socrates kadang-kadang disebut “definisi persuasif , karena ini definisi yang pembuatnya- alih-alih

P: 131


1- 28. Aristoteles, Metaphysics XII. 1078b27-30: Ini hanya untuk memberikan penghargaan kepada Socrates karena dua hal: argumen induktif dan pendefinisian secara universal, yang keduanya berkenaan dengan prinsip-prinsip ilmu . Bandingkan, Ibid., 1.987220-30; dan W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy III. (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), hlm. 425.
2- 29. Guthrie, A History of Greek Philosophy III, hlm. 426.

hanya berusaha menjelaskan penggunaan sebuah kata atau konsep dan juga mencegah kesalahpahaman - pada dasarnya mengemukakan makna yang dipahami dan disetujuinya. la yakin bahwa makna ini akan – bila diambil – mengantarkan seorang murid menuju perbuatan atau tindakan yang benar. (1) Ini berarti bahwa sang filsuf punya “pengalaman , atau jenis lain pengetahuan dari sumber tangan pertama tentang sesuatu, menerima kebenarannya dan kemudian membantu menginduksikannya kepada sang murid- artinya, intuisi dan “cita rasa sang filsuf pada segala sesuatu akan menentukan posisinya vis-a-vis pengetahuan dan juga metode. Mendefinisikan sesuatu dalam pengertian ini berarti bahwa seseorang berusaha menyampaikan, bergantung pada metode, melalui cara- cara formal dan dialektis, isyarat dan berita- pemahaman pengalaman tentang fenomena tertentu yang dialaminya secara personal, yang juga bisa berupa hasil dari pertimbangan dari beberapa orang dengan maksud sampai pada definisi”. (2) Ini harus dibandingkan dengan tuntutan Suhrawardi atas signifikansi wacana lisan dalam mengkaji Filsafat Iluminasi. (3) Dari sudut pandang teoretis yang ketat, Plato melanjutkan mencari bentuk dari apa yang diselidiki. Dalam berbagai dialog, pencarian definisi sesuatu berkaitan erat dengan teori tentang bentuk-bentuk, yang menegaskan bahwa ada bentuk-bentuk abadi, tidak berubah, yang menjadi objek pengetahuan yang sebenarnya, sementara hal-hal partikular yang berubah dan bisa dipersepsi tidak dapat diketahui atau didefinisikan secara independen.(4) Menurut apa yang disebut sebagai “kesalahan pikir Socrates , kita tidak bisa mengetahui sesuatu bila kita tidak mendefinisikannya. (5)

P: 132


1- 30. Ibid., hlm. 437.
2- 31. Ibid., hlm. 440.
3- 32. Lihat, Suhrawardi, Opera I, hlm. 401; idem., Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 15v.
4- 33. Lihat, Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 13.
5- 34. Lihat, Guthrie, A History of Greek Philosophy, IV, hlm. 242.

Dalam metodologi Plato, “mengetahui sesuatu, atau bisa “mendefinisikan -nya, dilihat dari dua sudut pandang: pertama, disebut “pengertian pengenalan , Laches misalnya saja, akan mengenal dan mengetahui keberanian ketika ia menemukannya. (1) Alasan ihwal mengapa Laches mengetahui keberanian adalah bentuk-bentuknya ada di dalam dirinya. Mengantisipasi Suhrawardi, bentuk itu ada dalam Laches secara fitrah (bi al- fithrah); kedua, Plato mendefinisikan segala sesuatu melalui metode dikotomi dan sintesis, atau pembagian dan penyatuan, seperti definisi tentang hal-hal irasional dalam Theaetetus. (2) Akan tetapi, Plato tidak mengatakan bahwa pengetahuan itu bisa didefinisikan demikian. Terkenal kontroversi ihwal apakah ia berpendapat bahwa pengetahuan itu identik dengan keyakinan yang benar atau tidak, tak perlu menarik perhatian kita di sini. (3) Yang penting bagi Plato, definisi adalah sebuah “Komuni Bentuk-Bentuk (4) dan, dengan demikian, seperti dalam pandangan Suhrawardi – melibatkan sesuatu lebih dari sekadar sebuah konstruksi formal.

Sebagaimana ditegaskan dengan gamblang dalam Theaetetus, persoalannya bukan puas dengan sesuatu yang kurang dari pengetahuan sebagai basis atau dasar pengetahuan.(5) Jelas bahwa syarat-syarat semacam itu tidak begitu jelas dalam formula Aristoteles, yang dikritik oleh Suhrawardi. (6) Akan tetapi, melalui metode hipotesis, dikotomi, dan sintesis, yang merupakan komponen-komponen integral dari keseluruhan metodenya. (7) Plato sampai pada definisi, dengan merumuskan syarat-syarat yang bersifat niscaya dan memadai untuk jenis pengetahuan tertentu tentang sesuatu. Metode ini memberikan kepada kita sarana untuk membedakan keyakinan dari pengetahuan. Dalam

P: 133


1- 35. Ibid., hlm. 243. Gagasan subjek yang mengenali atau “melihat objek, dan karena itu, mengetahuinya juga menjadi salah satu gagasan epistemologi Suhrawardi yang penting. Lihat, bagian $ 3.5 di bawah.
2- 36. Lihat, Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 19; Sayre, Plato's Analytics Method, Bab II, $11, Bab III.
3- 37. Lihat, Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 12-29; Sayre, Plato's Analytics Method, Bab II.
4- 38. Lihat, Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 19: “Jika Plato menerima tesis bahwa pengetahuan identik dengan keyakinan, yang benar berikut suatu penuturan, maka sebaiknya kita melihat pemikirannya tentang definisi dan kaitan erat bentuk- bentuk dalam Sophist, Politic, dan Philebus.
5- 39.. Lihat, Matthews, Ibid., hlm. 136-211.
6- 40. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 20-21.
7- 41. Lihat, Sayre, Plato's Analytics Method, Bab IV; Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 36-40.

metode menyeluruh ini, berikut proses teoretis dan proses formal yang disuguhkan secara dialektis dalam bentuk dialog literal, peran “kebidanan psikologis Symposium dan Tehaetetus harus ditekankan bersama-sama, semuanya itu berperan untuk melahirkan definisi. (1) Secara umum dan kita tekakan hal ini sekali lagi, beberapa dialog Plato mengambil bentuk yang utuh bagi pencarian definisi.(2) Menurut Aristoteles, keasyikan Plato dengan definisi berasal dari usaha Socrates mendefinisikan istilah-istilah etika. (3) Juga, fakta bahwa Plato terkesan oleh pentingnya definisi dalam matematika memberi kita petunjuk ihwal beberapa aspek formal teori Suhrawardi. Bagi Plato, definisi tidak bisa bersifat sembarangan dan harus informatif. Akibat wajar dari hal ini, bahwa ada jawaban yang benar dan salah untuk pertanyaan, “Apakah keadilan itu?” dan “Apakah pengetahuan itu?, dan kebenaran jawaban tidak bergantung pada bagaimana kata keadilan atau pengetahuan itu telah digunakan oleh orang- orang Yunani. Padanan hubungan kata dengan sesuatu dipandang bersifat sembarang atau konvensional, dan definisi secara umum menaruh perhatian pada sesuatu yang dirujuk oleh kata itu dan bukannya kata itu.(4) Tentang problem dalam dialog-dialog Plato, W. dan M. Kneale menyatakan, “Apa yang didefinisikan adalah bentuk atau sifat umum yang ada dalam banyak hal partikular. (5) Pandangan tentang definisi seperti itu, sekarang disebut sebagai pandangan “realis dan secara historis berkaitan dengan ungkapan “definisi hakiki yang secara jelas memengaruhi Aristoteles, sebagaimana tampak dalam uraiannya tentang definisi dan dalam pemikirannya berkenaan dengan logika secara umum. Demikian halnya, meski ia menolak teori

P: 134


1- 42. Misalnya, Plato, Theaetetus, 202b-c: “Namun, kenyataannya tidak terdapat formula, yang dengannya unsur-unsur dapat diekspresikan; ia hanya dapat dinamai, karena nama meliputi semua yang dimilikinya. Namun, ketika kita sampai pada benda-benda yang tersusun dari unsur-unsur ini, karena benda- benda tersebut juga kompleks, nama-nama dikombinasikan untuk membentuk deskripsi (istilah di sini juga berarti Jóyos), jelasnya deskripsi menjadi kombinasi nama-nama.” Bandingkan, R. Robinson, Plato's Earlier Dialectic. (Oxford: Clarendon Press, 1970), hlm. 1-49; Sayre, Plato's Analytics Method, hlm. 230-238.
2- 43. Bandingkan, W. Kneale dan M. Kneale, The Development of Logic, hlm. 21-22.
3- 44. Lihat, Aristoteles, Metaphysics I, 987b1-10: Sekarang Socrates sibuk mengkaji masalah-masalah etika, tetapi tidak mengkaji sama sekali alam secara keseluruhan, bahkan dalam persoalan-persoalan etika, ia mencari yang universal dan yang pertama menetapkan pikirannya adalah definisi. Plato di sisi lain, dengan mempertimbangkan pemikiran Socrates, sampai pada keyakinan, bahwa karena hal-hal indrawi selalu terus menerus berubah, maka berbagai penyelidikan seperti itu pun berkaitan hal-hal lainnya dan bukan dengan hal-hal indrawi; karena tidak mungkin ada definisi umum tentang hal-hal indrawi manakala semuanya ini selalu berubah. Ia menyebut hal-hal jenis seperti ini sebagai ide-ide dan yakin bahwa hal- hal indrawi ada terpisah dari ide-ide dan diberi nama sesuai dengan ide-ide.
4- 45.. Lihat, Robinson, Plato's Earlier Dialectic, hlm. 49; Robinson, Definition, hlm. 12 dan 27.
5- 46. Kneale dan Kneale, Development of Logic, hlm. 21.

Plato tentang bentuk-bentuk, seperti dinyatakan oleh W. dan M. Kneale, Karena digembleng atau dididik oleh Plato saja, ia (Aristoteles) berharap menemukan sebagai objek tertinggi dari intelek dan dasar inferensi yang valid - sebuah sistem atau serangkaian bentuk yang antar- hubungannya membatasi berbagai kemungkinan wujud aktual dan menentukan kebenaran atau ketidakbenaran pemikiran ilmiah. (1) Sangatlah jelas bahwa Aristoteles, seperti Plato, juga berusaha hanya memperhatikan sesuatu (the thing) dan bukan kata (the word).

2.4. Metode Definisi Aristoteles

2.4. Metode Definisi Aristoteles Kini jelas bahwa bagi Plato, definisi adalah bagian integral dari problem pengetahuan, sebuah subjek yang kompleks dan krusial bagi setiap aspek pengkajian atau penyelidikan.

Aristoteles meringkas problem definisi dalam sebuah pernyataan mencolok dalam Posterior Analytics: “Semua ilmu lahir melalui definisi. (2) Karena kita menelaah bahasan Aristoteles atas definisi, terlebih dahulu kita harus mempertimbangkan pandangannya tentang sejarah subjek itu. Menurut Aristoteles, orang pertama yang menganggap ilmu sebagai sebuah problem definisi adalah Pythagoras, Demokritus, dan Socrates.(3) Socrates memikirkan problem definisi dan hubungannya dengan argumentasi induktif, tetapi – menurut Aristoteles, ia tidak tertarik untuk melakukan penyeledikan fisik atas hal-hal yang didefinisikan.(4) Menurut Aristoteles, Plato mengikuti Socrates, dan definisi-definisinya tidak berkaitan dengan hal-hal indrawi,

P: 135


1- 47. lbid.,
2- 48.. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.17, 99a22-23. Cf. Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 78.
3- 49. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XII1.4, 1078b11-13: Sekarang Socrates menyibukkan dirinya dengan kebaikan-kebaikan moral, dan berkaitan dengan ini semua, ia adalah orang pertama yang mencari definisi-definisi universal. Sebab di antara para fisikawan, hanya Demokritus saja yang bisa menangkap subjek definisi walaupun sedikit, dan dalam beberapa hal, ia mendefinisikan panas dan dingin; sementara Pythagoras sebelumnya telah memikirkan definisi dari beberapa hal.
4- 50.. Lihat, Aristoteles, Metaphysics 1.6, 978b1-4. Lihat juga, $2.3 di atas. Cf. Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 82-86.

tetapi dengan hal-hal jenis lain, memisahkan entitas-entitas yang abadi dan tidak berubah (ia menyebutnya sebagai ide- ide) — sesungguhnya mustahil baginya mendefinisikan hal-hal indrawi.(1) Dalam kritiknya atas Plato, Aristoteles selanjutnya menegaskan bahwa Plato mengacaukan problem definisi universal dengan memperkenalkan ide-ide karena setiap nama harus diaplikasikan pada dua hal yang berbeda: entitas-entitas yang berubah, dan ide-ide yang tak berubah, atau bentuk- bentuk. Nama-nama yang sama kini diterapkan secara samar- samar dan tidak lagi bisa digunakan dalam berbagai diskusi atau bahasan ilmiah.(2) Plato menemukan cara melihat realitas berdasarkan entitas-entitas terpisah yang disebut ide-ide. Pada dasarnya karena pandangannya, bahwa pengetahuan tentang hal-hal indrawi dan berubah-ubah tidaklah mungkin, dan baginya definisi pada akhirnya mengimplikasikan ide-ide. Bagi Plato, ilmu tidak membahas hal-hal indrawi; bahkan bagi Demokritus yang mendahuluinya, matematika merupakan dasar pengetahuan.

Sebaliknya, bagi Aristoteles, hakikat indrawi juga harus diperhitungkan.(3) Sementara, Plato mencari prinsip-prinsip dan berbagai bahasan tentang berbagai hal dalam bentuk-bentuk, Aristoteles pun menyimpulkan kajian dan telaahnya tentang entitas-entitas fisik dalam penjelasannya ihwal sebab-sebab dan definisi-definisi. Plato sampai pada bentuk-bentuk dengan berspekulasi ihwal gagasan tentang pengetahuan itu dan bukan hakikat berbagai hal. Dengan demikian, ia memungkinkan prinsip-prinsip pengetahuan untuk menentukan prinsip berbagai hal. (Mengantisipasi Suhrawardi, prinsip-prinsip pengetahuan bisa diketahui secara langsung sebagai hasil dari sebuah proses

P: 136


1- 51. Lihat, Aristoteles, Metaphysics, 1.6, 98764-8: “Namun, Socrates tidak menempatkan hal-hal universal sebagai terpisah, termasuk definisi. Namun, para pemikir ini [Socrates, Demokritus, dan Pythagoras] menganggap semua itu sebagai tentang hal-hal lain, dan menyebut hal-hal seperti itu sebagai ide-ide. Bandingkan, ibid., XIII.4, 1078b30-38.
2- 52. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XIII.4, 1078630-107994.
3- 53. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XIII.8,1050b34-1051a2. Bandingkan, Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 78-103.

yang disebut lluminasi. Prinsip-prinsip ini kemudian berperan sebagai landasan atau dasar pengkajian dan pembangunan filsafat berikutnya). (1) Mesti ditekankan bahwa dalam sigian atau sorotan bahasan di atas, tidak ada teori Definisi Plato yang bisa dilihat sebagai berbeda dari metode dialog dialektis. Di sisi lain, teori Definisi Aristoteles bisa dipadukan atau digabungkan menjadi sejumlah kaidah formal, meski kaidah-kaidah ini tidak dikembangkan oleh Aristoteles secara sistemastis di berbagai tempat dalam karya-karyanya.(2) Di sini, saya akan membahasnya dengan memaparkan secara singkat beberapa ciri utama teori Aritoteles. Saya juga harus menjelaskan bagian teorinya yang dikritik Suhrawardi untuk menilai Definisi Aristoteles dari sudut pandang menyeluruh dan juga membahas secara khusus formulanya.

Dalam bagian II Posterior Analytics, Aristoteles menegaskan tujuannya dalam membahas teori definisi:

“Sekarang, mari kita tegaskan bagaimana hakikat esensial diungkapkan dan dengan cara bagaimana ia bisa direduksi menjadi demonstrasi; apakah definisi itu dan hal-hal apa saja yang bisa didefinisikan? (3) Aristoteles melanjutkan pembahasannya dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang definisi dan hubungannya dengan demonstrasi.(4) Jawabannya diberikan secara langsung, bahwa tidak setiap hal yang dapat didemonstrasikan bisa didefinisikkan, tetapi premis-premis demonstrasi itu adalah definisi-definisi yang pada gilirannya, boleh jadi adalah kebenaran-kebenaran penting yang tidak bisa didemonstrasikan atau justru demonstrasi-demonstrasi itu yang berpijak pada

P: 137


1- 54. Lihat, Bab IV bagian $3 berikut.
2- 55. Meskipun tidak dibahas secara sistematis oleh Aristoteles, teori Definisi disebutkan dalam karya-karya berikut, Poterior Analytics II. hlm. 3-10 dan 13; Topics VI-VII; Metaphysics VII. hlm. 4-6 dan 10-17, VIII.2-3, 6; Parts of Animals I. hlm.2-4.
3- 56. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.2, 90°35.
4- 57. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.3, 90b1-3.

premis-premis sebelumnya.(1) Oleh karena itu, yang perlu ditegaskan adalah jenis definisi – kalau harus ilmiah, mesti bergantung pada pengetahuan sebelumnya, dan kesan yang diperoleh dari Aristoteles di sini (dalam Posterior Analytics) adalah hal-hal yang paling dahulu ada berkaitan dengan pengetahuan, merupakan kebenaran-kebenaran primer.

Pentingnya definisi dalam filsafat adalah salah satu hasil penting dari Bab 4 Buku VII dalam Metaphysics, yang di dalamnya Aristoteles menegaskan, “Dengan demikian, ada esensi hanya dari hal-hal yang formulanya adalah satu definisi. (2) Oleh karena itu, definisi membatasi hal-hal yang bisa dibahas oleh ilmu, dan jenis definisi hakiki itu yang sering digunakan. Ada dua jenis dasar definisi yang dibicarakan Aristoteles: definisi hakiki dan definisi nominal. Definisi hakiki adalah yang paling penting, inilah yang menjadi sasaran kritik Suhrawardi, dan kita akan mengkaji dan menelaahnya secara singkat. Definisi nominal dipandang sebagai tidak bermakna dalam ilmu.(3) Dalam ungkapan Aristoteles, definisi hakiki merinci satu dari tiga hal: hakikat esensial, (4) substansi, (5) dan esensi.(6) (Ada satu tempat di mana Aristoteles menyatakan hubungan antara definisi dengan substansi dan esensi). (7) Ada sejumlah formula definisi dalam karya-karya Aristoteles, dan yang paling penting darinya adalah definisi dengan genus dan diferensia. Aspek paling penting dari formula ini adalah bagaimana genus dan diferensia ini melambangkan kesatuan esensi? Persoalan ini, yang disebut sebagai “kesatuan definisi, dimuat Aristoteles dalam Metaphysics,(8) dan menjadi aspek yang paling penting dalam kritik Suhrawardi. Persoalan kesatuan definisi ini menyinggung dasar filsafat, yang dalam

P: 138


1- 58. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.3, 90b10-27. Cf. idem., Posterior Analytics 11.4, 9125-12: “Ia berkembang sehingga tidak semua yang bisa didefinisikan dapat didemonstrasikan, dan juga tidak semua yang bisa didemosntrasikan dapat didefinisikan; dan kita dapat menarik kesimpulan umum bahwa tidak ada objek identik yang mungkin memiliki definisi sekaligus demonstrasi. Jelasnya, definisi dan demonstrasi tidak identik, dan juga tidak saling memuat, serta juga di dalam satu sama lain: jika memang demikian halnya, maka objek-objeknya mesti dikaitkan entah sebagai identik atau keseluruhan dan bagian.
2- 59. Lihat, Aristoteles, Metaphysics VII.4, 103045.
3- 60. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.9, 93b29-31.
4- 61. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.9, 93b29; 11.11, 94a11- 17; 11.7, 92b26.
5- 62. Ibid., 90616; idem, Topics V.3, 130b25-26, VI.3, 140934.
6- 63. Lihat, Aristoteles, Metaphysics VII.5, 1031011-12; idem., Topics, 1.2, 101638; VII.5, 154231-32.
7- 64. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.9, 93b29-31; idem., Metaphysics IV.8, 1017621-22, VII.1, 1042a17. Dalam beberapahal, Aristoteles mengombinasikan istilah Tóyos dengan ovoía. Lihat juga, Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 138.
8- 65. Lihat, Aristoteles, Metaphysics VII.4, 1027217-102846.

hubungannya dengan berbagai perbedaan antara metodologi Plato dan Aristoteles bisa ditentukan. Bagi Plato, kajian dan telaah filosofis yang benar harus melibatkan keseluruhan filsafat, dan hanya dengan keseluruhan saja yang bisa disebut filsafat.

Misalnya saja, bahasan tentang bagian-bagian badan manusia pada akhirnya bertumpu pada bahasan tentang perinsip-prinsip universal. Pandangan ini mengantarkan seseorang berpikir, bahwa ilmu tidak mungkin. Kritik Aristoteles di sini berpijak pada pembedaan yang jelas antara yang satu dalam jumlah dan yang satu dalam formula.(1) Pembedaan semacam itu meliputi kajian yang cermat atas hal yang universal dan hal yang partikular.

Hubungan antara yang satu dengan keseluruhan, dan apa yang satu dalam jumlah, dan apa yang satu dalam formula harus dicamkan sebagai dasar yang mungkin bagi kritik Suhrawardi atas formula Aristoteles. Apa yang satu dalam formula bisa ditemukan dalam hal-hal yang ada dan yang satu dalam jumlah bisa dibagi ke dalam beberapa dalam formula, tetapi yang satu dalam jumlah yang ada secara individual — tidak bisa menjadi subjek ilmu.(2) Pemecahan Aristoteles atas problem ini adalah memadukan apa yang satu dalam jumlah dan apa yang satu dalam bentuk menjadi formula tunggal yang disebutnya sebagai definisi. (3) Ini berhubungan dengan apa yang disebut definisi hakiki . (4) Definisi Aristotelian, yakni satu dalam jumlah dan satu dalam bentuk, menjadi formula tunggal yang melambangkan karakteristik hal-hal yang bisa diketahui, dan dengan demikian dinyatakan dalam ilmu, yakni entah itu esensi suatu hal, hakikat esensi, atau substansinya.(5) Formula itu memadukan genus dan diferensia dari suatu hal.(6)

P: 139


1- 66. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XIII.1, 1087b9-12. Cf. Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 133-135.
2- 67. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XIII.8, 108462-23.
3- 68. Ibid., VII.4, 1030b7-11.
4- 69. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.7, 92b26-34, 11.10, 93b29-37; idem., Metaphysics VIII.6, 1045b17-25; VII4, 103067-13.
5- 70. Lihat, Aristoteles, Metaphysics IX.1, 1087b9-12; VII.15, 1039620-104097; XIII.8, 108462-23. Bandingkan, ibid., VII.4, 103067-11: Dengan demikian, hanya ada esensi dari hal- hal yang punya formula yang disebut definisi. Namun, ada sebuah definisi, bukan sekadar karena nama dan formulanya mempunyai makna yang sama (karena semua formula akan menjadi definisi, dan juga karena nama yang memiliki makna yang sama sebagai formula tertentu sehingga Iliad akan menjadi definisi), tetapi jika nama dan formulanya melambangkan sesuatu yang utama.
6- 71. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 1.22, 11.13-14; idem., Topics 1.4-9, IV-VII.

3. TEORI DEFINISI SUHRAWARDI: BAGIAN PERTAMA SIKLUS

Point

Sejauh ini, kita telah menguraikan dua pendekatan dalam menghampiri problem definisi: pendekatan Plato dan pendekatan Aristoteles, dan kita telah menyebutkan bahwa keduanya dikenal para filsuf dalam periode Islam. Harus ditegaskan lebih jauh bahwa kedua pendekatan itu punya unsur- unsur yang sama, bahwa karakteristik-karakteristik tertentu pendekatan Plato bisa dilihat dalam pendekatan Aristoteles, dan bahwa komponen-komponen tertentu pendekatan Aristoteles bisa ditasirkan sebagai pendekatan Plato (khususnya yang belakangan dalam sejarahnya, yakni dalam Filsafat Islam abad pertengahan). Pendekatan Plato pada definisi mencari kesatuan hal yang didefinisikan dalam bentuknya yang meski bisa dipersepsi dan didefinisikan secara beragam, hanya bisa didefinisikan secara sempurna oleh- dan dalam diri seseorang saat ia merasakannya dalam kesadaran dirinya. Tidak ada usaha untuk membentuk definisi yang dapat menggambarkan pengetahuan tentang keragaman. Pendekatan Aristoteles pada definisi berusaha merumuskan yang beragam dengan cara yang cukup menggambarkan hal yang didefinisikan, dan kesatuan diekspresikan dalam formula; misalnya saja, genus adalah kesatuan, dan genus plus diferensia adalah juga kesatuan. Tanpa melakukan tinjauan historis yang mendalam, kita berasumsi bahwa Suhrawardi menyadari dua pendekatan itu dalam menghampiri problem ini. Di bawah sigian atau sorotan, kedua teori itu semestinya ditelaah, teori dan metodologi Iluminasi Suhrawardi berikut juga kritiknya yang khas.

Di atas sudah dijelaskan, bahwa saat menelaah sebuah

P: 140

teori definisi, berbagai pertimbangannya yang paling penting adalah: bagaimana definisi diperoleh; bila definisi itu adalah sebuah formula, bagaimana elemen-elemen yang beragam, atau sifat-sifat dasar disatukan untuk melambangkan kesatuan dari hal yang didefinisikan; ketika diperoleh, nilai kebenaran macam apa yang dimiliki definisi; dan akhirnya kualitas definisi itu. Aristoteles membahas masalah-masalah ini di sepanjang karya-karyanya, tetapi seperti dicatat di atas, tidak secara sistematis dalam karya tunggal. Perkembangan teori definisi yang sistematis dibahas oleh para filsuf dalam periode Islam.

Ibn Sina dalam karyanya yang penting, Asy-Syifā', membagi bahasan teori definisi ke dalam dua bagian, yang masing-masing merupakan komponen khas dari salah satu bagian Organon.

Bagian pertama, adalah karakteristik dari Posterior Analytics, yang mengkaji dua hal mendasar: [1] bagaimana definisi disusun (ta'līf al-hadd); dan [2] bagaimana definisi diperoleh (iktisāb al- hadd). Bagian kedua, adalah karakteristik dari Topics (al-Jadal dalam Asy-Syifā'), yang mengkaji ihwal apakah definisi yang diperoleh dan disusun sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam Posterior Analytics benar-benar diperoleh dengan cara demikian dan bila memang demikian, syarat- syarat apa saja yang berlaku bagi hubungan antara hal dan definisi yang diabstraksikan.(1) Bagian-bagian ini akan bertindak sebagai petunjuk yang sangat membantu sewaktu kita menelaah teori Definisi Suhrawardi, dan akan membantu kita menetapkan komponen khas apa saja dari teori Aristoteles yang dikritik oleh Suhrawardi.

Dalam Bab sebelumnya, sudah saya tunjukkan bahwa pandangan menyeluruh Suhrawardi tentang logika tidak

P: 141


1- 72. Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Manthiq, VI. 4.1, hlm. 241: “Al-hudud qad nanzhūr min amrihā fi annahā kaifa tu'allaf wa kaifa tuktasab... wa an-nazhar al-awwal fi kaifiyyah ījād al-hadd wa ats-tsāni fi kaifa i'tibār al-hadd al-maujūd.

berbeda sama sekali dari pandangan kaum Peripatetik (meski ia melakukan berbagai perubahan dalam struktur logika tradisional, seperti dikemukakan dalam Organon), dan tentu tidak berlawanan sama sekali. Saya juga telah menunjukkan bahwa uraian Suhrawardi tentang logika dalam At-Talwihāt, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt dan Hikmah Al-Isyrāq, berbeda dalam masing-masing karya itu dalam hal penekanan dan terminologi. Akibatnya, sifat dan kandungan menyeluruh dari logika Suhrawardi adalah sedemikian rupa sehingga kita hanya bisa menyebutkan “logika Iluminasi yang dilambangkan, yang lebih dari sekadar perubahan struktur ketimbang perubahan konseptual. Struktur baru adalah sedemikian rupa sehingga tidak seperti dalam Organon, subjek-subjek yang berkaitan dengan semiotika maupun logika formal dan logika materiel dipaparkan dalam bagian-bagian terpisah dari karya-karya Iluminasi tentang logika. Namun, terdapat juga perubahan- perubahan formal dan lainnya yang dibuat oleh Suhrawardi dalam logika. Ia memisahkan sejumlah problem, dan berusaha mendefinisikan kaidah-kaidah “baru” yang mengaturnya.(1) Sifat upaya ini terletak dalam memperbaiki bagian-bagian tertentu logika Peripatetik ditandai dengan tujuan Suhrawardi dalam menggeneralisasi kaidah-kaidah formal. Umpamanya saja, kita melihat bahwa Suhrawardi menaruh perhatian pada formulasi bentuk gambar pertama silogisme yang digeneralisasikan yang berlaku juga pada gambar kedua dan ketiga.(2) la juga tertarik untuk mendefinisikan bentuk tunggal modalitas temporal dalam proposisi-proposisi dan modalitas yang diulang-ulang, yang akan berperan sebagai bentuk yang bentuk-bentuk lainnya bisa direduksi ke dalamnya.(3)

P: 142


1- 73. Tujuan banyak filsuf pasca-Ibn Sina dalam mengompilasi filsafat “baru” bisa dicontohkan dengan karya Ibn Kammunah, Al-Jadid fi Al-Hikmah.
2- 74. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 36-39.
3- 75. Proposisi modalitas Suhrawardi yang berulang mengambil bentuk “la selalu mesti .

Dari semua problem logika yang secara khusus penting bagi Suhrawardi, baik formal maupun materiel, konsepsi (tashawwur) dan juga penilaian (tashdiq) yang paling penting darinya adalah problem definisi. Signifikansinya terletak bukan hanya dalam problem itu yang – seperti disebutkan sebelumnya, menentukan posisi metodologi sang filsuf, melainkan juga dalam penolakan Suhrawardi atas formula kaum Peripatetik, dan ini berpusat pada pandangan khas Iluminasi tentang hubungan antara kesatuan esensi dan keragaman sifat esensial sesuatu.

Karena problem definisi adalah problem utama dalam pengetahuan, maka kritik Suhrawardi atas formula definisi kaum Peripatetik, yang digabung dengan pandangannya, adalah langkah pertama metodologi yang paling signifikan dalam Filsafat Iluminasi. Memahami teori Definisi Suhrawardi juga akan menjadi langkah penting pertama dalam menjawab pertanyaan, “Apakah Filsafat Iluminasi itu? Karenanya dalam uraian berikut, kita akan menelaah pandangan tentang problem ini dan upaya Suhrawardi untuk memastikan ihwal apakah hal itu menunjuk pada posisi filosofis yang bertentangan dengan posisi kaum Peripatetik atau justru melengkapinya.

3.1. At-Talwīhāt

Dalam Bab sebelumnya, saya telah menunjukkan bahwa Suhrawardi membahas definisi dalam sebuah bab terpisah dalam karya-karyanya tentang logika, biasanya dalam bab kedua, langsung sesudah bab tentang semantik; ini bisa disamakan dengan subjek-subjek tradisional dalam Al-Madkhal. “Bab kedua karya logika Suhrawardi diberi judul Tentang Proposisi Penjelas.

P: 143

Subjek bab ini memadukan bagian-bagian Al-Burhān dengan bagian-bagian Al-Jadal berkenaan dengan definisi, yang berarti bahwa Suhrawardi membahas komposisi, atau menciptakan (ījād, yakni ta’lif plus iktisāb) definisi, berikut syarat-syarat yang mengatur penggunaannya.

Dalam bagian kedua tentang logika dari At-Talwāhāt, Suhrawardi membahas definisi dalam tiga bagian.(1) Bagian pertama, membahas definisi esensialis; bagian kedua, mendeskripsikannya; dan bagian ketiga, membahas berbagai kesalahan atau kekeliruan berkenaan dengan konstruksi dan penggunaan definisi.

Dalam bagian pertama, Suhrawardi membedakan dua jenis definisi esensialis: yang sempurna dan yang tidak sempurna.

Yang sempurna didefinisikan sebagai, “Sebuah formula (qaul) yang menunjukkan esensi sesuatu dan menyatukan (yajma') semua unsur sifat pokok (muqawwimāt)-nya. Dalam hal realitas-realitas prinsip, ia (formula) merupakan sebuah sintesis (tarkib) dari genus dan diferensianya. (2) Formula ini, meskipun sejalan dengan formula kaku Aristoteles dan kaum Peripatetik, kemudian mempunyai ciri- ciri yang khas dari Suhrawardi. Pembaca bisa memperhatikan dengan baik ciri-ciri ini dengan membandingkannya dengan formula Ibn Sina. Dalam Kitāb Al-Hudūd, Ibn Sina menyatakan bahwa sesuai dengan pernyataan Aristoteles dalam Topics, definisi adalah, “Suatu formula yang menunjukkan esensi sesuatu, yakni kesempurnaan wujud esensialnya. Formula ini diperoleh (yatahashshal) dengan menggabungkan) genus dan diferensia terdekat. (3)

P: 144


1- 76. Suhrawardi, At-Talwihāt: Al-Manthiq, hlm. 14.
2- 77. Ibid.,
3- 78.. Lihat, Ibn Sina, Livre des Definitions, $18. Bandingkan, Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Manthiq: Al-Burhān, hlm. 233-237.

Formula ini sama dengan yang dikemukakan dalam karya-karya Peripatetik lain, dan bisa berperan sebagai dasar yang memadai untuk membandingkan formula Suhrawardi.

Ada dua perbedaan mencolok antara kedua formula itu.

Pertama, Suhrawardi mensyaratkan bahwa semua sifat pokok sesuatu dikombinasikan dalam formula, suatu syarat yang tidak dikhususkan oleh formula Peripatetik. (Apa pun jenis kombinasi dari elemen-elemen yang memadukan semuanya memang harus demikian dengan rincian yang sempurna dan lengkap, atau dengan cara lain yang merinci semua).(1) Perbedaan kedua, adalah formula Suhrawardi menekankan metode sintesis (tarkib) sebagai cara untuk memperoleh kesatuan definisi melalui genus dan diferensia beragam. Pendapat ini, meski disebutkan oleh Ibn Sina dalam Asy-Syifā': Al-Mathiq: Al-Burhān, tidak secara eksplisit disyaratkan olehnya dalam formula. (2) Istilah sintesis diterapkan pada hal-hal nyata yang majemuk, hal-hal yang hanya bisa didefinisikan dengan definisi hakiki, demikian Suhrawardi memberitahu kita. (3) Akibat wajar yang langsung adalah seseorang tidak bisa secara ketat mendefinisikan substansi, juga tidak bisa menguraikan secara leluasa semua hal-hal esensial dari sesuatu, dan dengan demikian “mendefinisikannya , yang juga menunjukkan bahwa seseorang tidak bisa “mengetahui sesuatu tanpa dasar Iluminasi apriori bagi pengetahuan.

Karakteristik menyeluruh berikutnya dari bagian bab dua ini adalah Suhrawardi membedakan antara definisi hakiki dan definisi nominal. Pembedaan ini, seperti diketahui, dibuat oleh kaum Peripatetik, dan kembali kepada Aristoteles. (4) Pembedaan demikian sistematis seperti ini, atau sebagian menjadi bab tersendiri, tidak ditemukan dalam karya mana pun, kecuali

P: 145


1- 79. Kita bisa berasumsi bahwa salah satu aspek teori Definisi Suhrawardi dikaitkan dengan kritiknya atas induksi. la membuat pembedan antara induksi yang sempurna dan yang tidak sempurna (al-istiqrā' at-tamm wa an-nāqish). Misalnya, Opera III, hlm. 5. Lihat, William Kneale, Probability and Induction. (Oxford: Clarendon Press, 1966), hlm. 24-110.
2- 80. Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Manthiq: Al-Burhān, IV. hlm. 4 dan 217-224.
3- 81. Lihat, At-Talwībāt: Al-Manthiq, hlm. 14: “Mā lā tarkib fihi là qaul dall 'alaih.
4- 82. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 1.22.

dalam karya Ibn Sina yang berjudul Manthiq Al-Masyriqiyyin. (1) Suhrawardi mengawali bahasannya tentang definisi nominal dan definisi hakiki dengan menyatakan bahwa suatu ujaran tunggal suatu kata bukanlah sebuah definisi esensialis.

Kata manusia misalnya, bukanlah definisi untuk manusianya sesuatu. Disebutkan bahwa definisi esensialis yang tidak sempurna terdiri dari summum genus atau genus terjauh (al-jins al-baʻid) dan diferensia, semisal substansi rasional . (2) Namun, Suhrawardi menegaskan bahwa definisi seperti itu tidak valid karena hanya berusaha membedakan (tamyiz) sesuatu yang didefinisikan. Ini berarti, bahwa baginya semua bentuk definisi semisal itu pada dasarnya adalah variasi dari definisi ostensif .

Tujuan definisi hakiki, tegasnya lebih jauh, adalah konsepsi tentang “inti sesuatu, yang dengan begitu ia akan mengikuti sesuatu yang dibedakan itu.(3) Pertanyaan yang diangkat pada titik ini, sebuah pertanyaan yang mengantisipasi kritik Suhrawardi atas definisi berikut juga argumennya yang khas dalam Hikmah Al-Isyrāq yang menentang formula Peripatetik, adalah ihwal apakah Suhrawardi menganggap jenis formula definisi apa pun bisa memberikan pengetahuan tentang sesuatu? Jawabannya yang berpijak pada logika dalam At-Talwihāt, adalah definisi esensialis sempurna yang bisa memadukan semua hal esensial memiliki nilai-kebenaran, tetapi definisi lain tidak memilikinya.

Mungkinkah ada formula seperti itu? Ada juga kemungkinan, seperti diisyaratkan oleh Suhrawardi di bahwa kesatuan sebuah definisi melalui hal-hal esensial yang beragam tidak mungkin diperoleh melalui sebuah formula, tetapi mungkin saja bisa diperoleh melalui bentuk pemikiran tertentu yang berkaitan secara khusus dengan Filsafat Iluminasi.

P: 146


1- 83. Lihat, Ibn Sina, Manthiq Al-Masyriqiyyin, hlm. 34: “Sesuatu yang disebut definisi apakah berdasarkan nama atau esensi? Bandingkan, idem., Asy-Syifā': Al-Manthiq: Al-Burhān, hlm.217: “Di antara definisi, sebagian bersifat hakiki dan sesuai dengan esensi, tetapi sebagian lainnya bersifat metaforis (majāzī) dan berdasarkan nama (yakni, nominal).
2- 84. Suhrawardi, At-Talwihāt: Al-Manthiq, hlm. 14-15.
3- 85. Ibid., hlm. 7: “Tashawwur kunh asy-syai'.

Dalam Bab II, *2, Suhrawardi membahas dua jenis deskripsi: yang sempurna dan yang tidak sempurna. Deskripsi yang sempurna dikatakan sebagai, sebuah formula yang tersusun (mu'allaf) dari sifat-sifat dan aksiden-aksiden sesuatu . (1) Formula ini kurang lebih sama dengan formula Peripatetik.(2) la dinilai bukan sebagai definisi esensialis, tetapi berjenis ostensif, yang membedakan sesuatu dari yang lainnya.

Bab II, * 3, menjelaskan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam konstruksi dan penggunaan definisi. Bagian ini sangat penting karena Suhrawardi mengutip Ibn Sina sambil berusaha merumuskan kembali teori definisi. (3) Mari kita buat sebuah penilaian singkat atas apa yang sejauh ini sudah dianalisis. Pertama, kita mencatat dan memperhatikan saat mengkaji dan menelaah karya-karya Suhrawardi, bahwa tidak seperti kebanyakan karya filsafat yang ditulis lebih awal, karya-karya Suhrawardi membahas definisi sebagai bagian yang terpisah dari logika. Hal ini menggambarkan restrukturisasi logika yang penting sebagaimana disuguhkan secara tradisional dalam karya-karya semacam Al-Burhān dan Al-Jadal. Kedua, dari berbagai jenis definisi yang disebutkan kaum Peripatetik, Suhrawardi menilai bahwa jenis definisi esensialis yang sempurnalah yang paling penting. Untuk jenis definisi ini, ia merekonstruksi suatu formula yang lebih kompleks, di mana kesatuan definisi yang ditetapkan sebagai berkaitan dengan uraian penting tentang jumlah keseluruhan dari istilah-istilah seperti “semua (kull), “kombinasi” (jamʻ), dan “sintesis (tarkib) seperti yang diterapkan pada cara di mana atribut-atribut atau sifat-sifat pokok dari sesuatu yang didefinisikan dihadirkan bersama-sama dalam formula definisi esensialis, menunjukkan

P: 147


1- 86.. Ibid., hlm. 15.
2- 87. Bandingkan, Ibn Sina, Livre des Definitions, $19.
3- 88. Lihat misalnya, At-Talwihāt: Al-Manthiq, hlm. 16: “Dan Porphyry sudah sedemikian rupa sehingga genus perlu diambil dalam definisi spesies dan spesies dalam definisi genus, dan ini absurd. Pernyataan ini juga dipakai oleh Ibn Sina dalam Kitāb Al-Hudud. Lihat, Livre des Definitions, hlm. 11.

suatu pendekatan baru dalam menghampiri problem itu.(1) Konsepsi baru tentang metodologi definisi yang berbeda ini menuntut agar komponen Platonik ditambah dengan komponen Aristotelian yang kaku. Konsepsi baru ini berakibat logis pada problem perlunya uraian yang sempurna tentang sifat-sifat dari sesuatu dalam definisi esensialis, pada kesulitan epistemologi dari syarat seperti itu, dan pada problem induksi.(2) Kita mencatat bahwa dalam karya semisal At-Talwīhāt, berbagai perbedaan antara metodologi Peripatetik (yang menggabungkan posisi definisi) dan metodologi Iluminasi pun disebutkan, meski tidak sepenuhnya dikembangkan.

Terdapat dua problem tambahan berkaitan dengan definisi:

hubungan antara definisi, demonstrasi, dan hubungan antara definisi dan empat sebab. Problem pertama, dibahas dalam Posterior Analytics, dan problem kedua, dibahas dalam Metaphysics. (3) Problem pertama, berkaitan dengan dua pertanyaan: bisakah definisi didemonstrasikan dan apakah demonstrasi menghasilkan definisi? Dalam At-Talwāhāt, Suhrawardi memusatkan diri secara singkat pada dua pertanyaan ini. Berkaitan dengan pertanyaan pertama, ia menetapkan bahwa term tengah dari sebuah demonstrasi yang tersusun dari sebab-sebab esensial sesuatu, adalah sejenis definisi. (4) la menyebutkan problem kedua, dalam bagian yang sama. la menegaskan bahwa empat sebab: agen (fā'iliyyah), materiel (māddiyyah), formal (shūriyyah), serta akhir (ghā'iyyah), harus disatukan (tujma') dalam proposisi penjelas (apa pun jenis definisinya). Ini adalah syarat yang aneh karena hanya definisi majemuk sebagai sejenis kesimpulan dari demonstrasi saja yang bisa memenuhinya. (5)

P: 148


1- 89. Suhrawardi menggunakan istilah tertentu dalam teori definisinya, termasuk matematika yang sepenuhnya bisa dipahami dengan baik dalam pandangan karya Al-Baghdadi sebelumnya. Lihat, Apendiks C berikut, di mana istilah-istilah itu dianalisis.
2- 90. Lihat, Kneale, Probability and Induction, hlm. 25-30.
3- 91. Aristoteles, Posterior Analytics 1, 76b35-77a4; Metaphysics 1.3.
4- 92. At-Talwībāt: Al-Manthiq, hlm. 82.
5- 93. Ibid., hlm. 82-83.

3.2. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt

3.2. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, II diberi judul Tentang Proposisi-Proposisi Penjelas. Di dalam bab ini, seperti dalam At-Talwihāt, Suhrawardi mengkaji dan menelaah teori dan penerapan definisi. Bahasannya jauh lebih rinci dan sebenarnya menjadi satu-satunya bab terpanjang yang membahas analisis definisi dalam karya-karya Filsafat Arab dan Persia tentang logika sampai masa itu.(1) Dalam bahasan bagian 12 bab ini, Suhrawardi mengembangkan suatu teori definisi yang komprehensif. Teori ini sebagian bercorak Peripatetik dan juga memasukkan kritik atas pandangan kaum Peripatetik. Berikut di bawah ini, kita akan menelaah ciri-ciri utama dari kritik Suhrawardi, kritik yang - sebagian besar – diarahkan terutama kepada Ibn Sina.

Dalam bagian pertama,(2) Suhrawardi terlebih dahulu memperkenalkan lima jenis definisi yang disebutkan di atas, dan lantas mencurahkan seluruh bahasan pada dua jenis definisi esensialis: yang sempurna dan yang tidak sempurna. Disuguhkan dua deskripsi definisi esensialis yang sempurna. Pertama, adalah definisi baku yang dijumpai dalam kebanyakan karya logika Peripatetik: “suatu formula yang menunjukkan esensi dari sesuatu . (3) Definisi kedua, yang dinisbatkan oleh Suhrawardi kepada kaum “Peripatetik mutakhir (al-Muta'akhkhirūn) adalah:

suatu formula yang didiferensiasikan yang menunjukkan esensi dari sesuatu. (4) Versi kedua dari definisi esensial diberikan oleh Ibn Sina dalam Manthiq al-Masyriqiyyin. (5) “Formula yang didiferensiasikan dijelaskan oleh Suhrawardi sebagai kondisi yang diperoleh ketika dalam formula definisi apa pun, setiap bagian formula bisa disamakan persis dengan bagian realitas sesuatu yang didefinisikan. (6) Suhrawardi harus menjelaskan apa

P: 149


1- 94. Lihat, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15v.-19r.
2- 95. Ibid., fol. 15v.
3- 96. Al-Masyāri wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14v. Bandingkan, Ibn Sina, Livre des Definitions, $18: “Al-qaul ad- dāll ‘alā māhiyyah asy-syai'.
4- 97. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14v: “qaul mufashshal dāll 'alā mahiyyah asy-syai'.
5- 98. Bandingkan, Ibn Sina, Manthiq al-Masyriqiyyin, hlm. 34: “al-qaul al-mufashshal al-mu'arraf li adz-dzāt bi māhiyyatihi.”
6- 99. Al-Masyāri wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14r: “Mufashshal, ay kull juz' min al-lafzh yadullu 'alā juz' min haqiqah asy-syai'.

yang ia anggap sebagai hal yang aneh dalam karya Ibn Sina, secara sistematis dari sudut pandang semiotik, dengan terlebih dahulu menganalisis dua makna dasar istilah formula (qaul).

Pengertian pertama, merujuk pada formula yang tersusun dari bagian-bagian yang berhubungan dengan, atau menunjukkan makna dari – ujaran yang dikatakan tentang sesuatu. Pengertian kedua, merujuk pada formula yang pada dasarnya menunjukkan makna tunggal yang diasosiasikan dengan ujaran tunggal.

Aspek paling penting dari kritik Suhrawardi sejauh ini adalah usaha untuk menjelaskan makna-makna berkenaan dengan penggunaan berbagai istilah dalam hubungannya dengan teori menyeluruh tentang definisi; dan ia mengambil pendirian yang mendamaikan. Akan tetapi, begitu problem- problem semantik pendahuluan ini dibahas, ia mengawalinya dengan serangan langsung atas Ibn Sina:

“Salah dan keliru, orang yang sudah menambahkan sesuatu kepada definisi esensialis dan menyatakan bahwa definisi adalah sebuah formula yang menunjukkan kesempurnaan esensi dari sesuatu agar terhindar dari definisi esensialis yang tidak sempurna. (1) Di sini, pernyataan yang diserang oleh Suhrawardi yang tanpa menyebut pengarangnya, adalah pernyataan yang dibuat Ibn Sina dalam Kitāb al-Hudūd, dengan cara menjelaskan pernyataan yang dibuat Aristoteles dalam Topics.(2) Akibatnya, Suhrawardi menyerang Ibn Sina dan posisi Filsafat Aristoteles.

Kritiknya yang khas atas Ibn Sina sangat terbuka. Kita pun mulai memahami dari perspektif mana kritik filosofis Suhrawardi dilakukan. Kita juga bisa menentukan sifat perdebatannya.

Karena Suhrawardi terus menolak teori Peripatetik dalam hal ini,

P: 150


1- 100. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14r: “Al- ladzī zāda fi al-hadd fa qāla: innahu al-qaul ad-dall 'alā kamal māhiyyah asy-syai' ihtirāzan ‘an al-hadd an-nāqish, akhtha'a.
2- 101. Ibn Sina, Livre des Definitions, $18: “Mā dzakarahu al-hakim fi kitāb thubiqa annahu al-qaul ad-dāll ‘alā māhiyyah al-syai' ay ‘alā kamāl wujūdihi adz-dzāti wa huwa mā yatahashshala lahu min jinsihi al-qarīb wa fashlihi.

ia pun menyatakan pandangan umum tentang definisi esensialis yang tidak sempurna:

“Definisi esensialis yang tidak sempurna adalah definisi yang di dalamnya, diferensia dari sesuatu diambil dengan genus terjauh (genus longinquum/jins baʻid). (1) Kemudian, ia menentukan bahwa jenis definisi ini tidak menunjukkan esensi, dan beralih memberikan berbagai alasannya. Argumen-argumennya bertumpu pada pertimbangan- pertimbangan semiotik yang telah dikembangkan sebelumnya dalam karya-karyanya yang berhubungan dengan indikasi, atau dalil (dalālah), makna (al-ma‘nā), atau ide, melalui ujaran (lafzh) yang dinyatakan tentang segala sesuatu (al-asyyā') yang didefinisikan. (2) Formula untuk definisi esensialis yang sempurna dan yang tidak sempurna dianggap sebagai jenis-jenis ujaran majemuk, yang masing-masing melambangkan esensi sesuai dengan salah satu jenis dalil yang sudah dibahas oleh Suhrawardi dalam teorinya tentang semiotika. Sebuah kombinasi teori semiotik dengan teori definisi menandai pendekatan baru dalam menghampiri problem tersebut. Esensi ditunjukkan dengan definisi esensialis yang tidak sempurna, hanya berdasarkan dalil-dalil yang semestinya (dalālāt al-iltizām), yang tidak dianggap sebagai jenis signifikasi yang valid (mu'tabar). Di sisi lain, definisi esensialis yang sempurna menunjukkan esensi dengan cara yang signifikasi implisit (dalālah at-tadhammum).

Berdasarkan semiotika problem tersebut, dua komponen kritik Suhrawardi atas gagasan definisi Peripatetik tidak diperhatikan di sini. Pertama, jenis yang tidak sempurna adalah definisi yang tidak valid dan tidak melambangkan esensi dari

P: 151


1- 102. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthig, fol. 14v.
2- 103. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 14; Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 13-38; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, 1,8; As-Sawi, At- Tabshirah, hlm. 132; dan bandingkan, At-Talwihāt: Al- Manthiq, hlm. 3.

sesuatu yang didefinisikan, dan karenanya tidak digunakan dalam ilmu dan demonstrasi. Kedua, jenis yang sempurna (dengan mengingat bahwa syarat khususnya di sini adalah bahwa seluruh hal esensial majemuk dari sesuatu disintesiskan ke dalam satu formula) memang menunjukkan esensi, tetapi hanya secara implisit, dan tidak sesuai dengan jenis signifikasi yang paling valid. Signifikasi seperti ini dinyatakan sebagai hubungan yang sempurna (dalālah al-muthābaqah). Ini berarti bahwa agar definisinya valid, formulanya harus berhubungan sepenuhnya dengan esensi dari sesuatu yang didefinisikan.

Mungkinkah ini didasarkan hanya pada teori Peripatetik? Definisi esensialis yang sempurna tentang segala sesuatu harus ditelaah dalam hubungannya dengan signifikasi implisit. Apa yang diperoleh saat kita menjawab pertanyaan, “Apakah X itu? dengan menyatakan, Genus terjauh (summum genus) X plus diferensiasinya. Hewan rasional” yakni formula Peripatetik untuk definisi esensialis yang sempurna tentang manusia, dinilai oleh Suhrawardi secara implisit sebagai esensi hewan, dan tidak akan menambah sedikit pun pengetahuan kita tentang ide “manusia (al-insāniyyah). Ini karena tegasnya, formula qua formula tidak menunjukkan ide “hewan (al-hayawāniyyah), dan ujaran rasional hanya menunjukkan “sesuatu yang mempunyai jiwa . Dengan demikian, Suhrawardi menyatakan bahwa hanya rasionalitas saja yang ditegaskan.(1) Suhrawardi selanjutnya menelaah formula “hewan rasional , dan menyimpulkan bahwa ujaran tunggal, seperti kata hewan , bisa disamakan dengan kehewanan dari sesuatu, tetapi formulanya (atau pernyataan majemuk) hanya secara implisit melambangkan spesies, yang sama sekali bukan esensi. Pendapat tambahan yang diberikan

P: 152


1- 104. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. v: “Rubbama yanqadhih fi syarh al-hadd al-madzkūr an yuqāla qaulunā hayawān nāthiq dāll bi at-tadhammum 'alā māhiyyah al- hayawān wa dalalah at-tadhammum mu'tabar, fa hādzā al- qaul ad-dāll 'alā haqiqah al-hayawān wa laisa nahidd lahu wajhahu daf'atan anna lafzh al-hayawān dāll 'alā haqiqah al-hayawān wa al-qaul bi mā huwa qaul mā dalla ‘alā al- hayawāniyyah bal an-nāthiq dalla ‘alā syai' lahu nafs nāthiqah, tsumma qaul mā dalla naʻlam min khārij annahu hayawān.

oleh Suhrawardi di sini adalah tidak ada formula penunjuk untuk sesuatu yang tunggal,(1) dan hanya formula majemuk saja yang bisa menunjukkan esensi sesuatu, yang di sini dinyatakan sebagai jumlah dari sifat-sifat pokok. (2) Suhrawardi tidak setuju dengan kaum Peripatetik dalam penggunaan definisi formal secara murni dan tidak terbatas yang mereka lakukan, entah jenis esensialis yang sempurna atau yang tidak sempurna. Argumennya di sini terletak pada problem filosofis mendasar tentang bagaimana sesuatu sebagaimana adanya secara eksternal dihubungkan dengan ide tentangnya dalam pikiran, dan sesuatu bisa didefinisikan sehingga kesatuan esensinya pun dijaga, serta kemajemukan sifat-sifat pokoknya ditunjukkan pada saat yang sama. Pada titik ini, Suhrawardi memberikan contoh yang diambil dari matematika dengan menunjukkan hakikat problem dan posisinya (diringkas dalam Hikmah Al-Isyrāq). (3) Dalam contoh ini, ia menganggap permukaan, dan menyatakan bahwa ide kuantitasnya adalah satu, serta ide permukaan wujudnya (sathhiyyah) sama dengan yang ada di dunia luar (di luar pikiran). Ini berarti bahwa seseorang tidak bisa menunjukkan kualitas-kualitas abstrak dalam sesuatu yang hakiki karena kualtias-kualitas itu pada dasarnya ada dalam pikiran.(4) Contoh lain digunakan untuk mengilustrasikan hal yang sama, ide “warna adalah konsep mental dan tidak dapat ditetapkan di luar pikiran. Dengan demikian, ia tidak punya diferensia independen (fashl mustaqill) yang terpisah dari wujudnya sehingga diferensia plus esensi (sesuatu sebagaimana adanya) menjadi satu hal, yakni sesuatu yang “terlihat . Karena itu, sesuatu yang nyata tidak punya bagian-bagian terpisah yang bisa ditentukan di luar pikiran secara independen, sementara

P: 153


1- 105. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14v: “Syai' al- basīth al-ladzilā juz' lahu lā qaul dāll 'alaih.
2- 106. Ibid., “Māhiyyah asy-syai' majmū' muqawwimatihi.”
3- 107. Bandingkan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 5.
4- 108. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r: I'lam anna man i'tarafa bi anna as-sathh laisa miqdāran wa laisa akhashsh mutahashshilan fi al-a'yān [akhtha'a] bal miqdāriyyatuhu nafs sathhiyyatihi fi al-a'yān.

sesuatu yang ada dalam pikiran harus punya bagian-bagian yang terpisah karena bentuk mental (ash-shūrah adz-dzihniyyah) dan sesuatu yang nyata (al-‘ani) harus sama. (1) Kesimpulan yang ditarik Suhrawardi dari argumen- argumennya, yang harus dinilai penting dalam Filsafat Iluminasi adalah sifat-sifat pokok dari sesuatu (muqawwimāt asy-syai') tidak terpisah dari sesuatu, baik “secara nyata (ʻainān) atau “secara mental (dzihnan). Karenanya, sesuatu tidak bisa memiliki definisi esensialis, karena yang hal berarti sesuatu mempunyai sifat-sifat pokoknya yang “terpisah ke dalam genus dan diferensia, – tetapi hanya bisa digambarkan sebagaimana ia terlihat oleh mata, yang kemudian dan hanya kemudian, realitas dari sesuatu itu ditentukan. Karenanya, untuk mendefinisikan sesuatu, seseorang harus “melihat -nya sebagaimana adanya.

Akibat berikutnya dari berbagai argumennya tentang definisi, Suhrawardi mulai melancarkan serangan paling sengit kepada Ibn Sina dengan berbagai implikasi yang penting bagi sejarah Filsafat Islam secara umum. Timbul kontroversi berkenaan dengan pertanyaan ihwal apakah Ibn Sina dianggap sebagai kalangan filsuf “Timur , sebagaimana ia mengklaim dirinya demikian, ataukah Peripatetik murni? Suhrawardi terlebih dahulu mengutip Ibn Sina tentang sebuah problem yang berhubungan dengan definisi hal-hal yang tunggal, dan sependapat bahwa semuanya itu hanya bisa digambarkan dan bukan didefinisikan.(2) Pernyataan itu dikemukakan oleh Suhrawardi dalam sebuah kitab berjudul Karārīs Fi Al-Hikmah (Dua Lusin Tentang Filsafat), yang dinisbatkan oleh Ibn Sina pada metode Orang-Orang Timur” dalam filsafat.(3) Tidak jelas apakah yang dimaksud sebagai kitab Karāris itu, tetapi

P: 154


1- 109. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15v.: Laisa al-laun fi al-a'yān mutahashshilan wa lahu fashl mustaqill bi al-wujud majm ū‘ahumā sawād, bal huwa syai' wāhid; wa idzā kāna lā juz' lahu fī al-a'yān fa lā juz' lahu fi adz-dzihn li anna ash-shūrah adz-dzihniyyah wājib an tuthābiq al-'aini.
2- 110. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol 15v: Anna al- basā'ith tursam wa tuhadd.
3- 111. Ibid.,: “Sarraha asy-Syaikh Abū ‘Ali, fikarāris yansubuhā ilā al-masyriqiyyin.

pernyataan tersebut bisa dilacak dalam karya Ibn Sina yang berjudul Manthiq Al-Masyriqiyyin.(1) Serangan Suhrawardi atas Ibn Sina diarahkan pada masalah perbedaan antara Filsafat Peripatetik dan Filsafat Timur yang berasal dari Ibn Sina, yang menyatakan bahwa ia sudah menyusun karya-karya yang didasarkan pada prinsip-prinsip filsafat yang disebut belakangan. Suhrawardi membahas isu Ibn Sina dan menyatakan bahwa meskipun Karārīs dinisbatkan kepada orang-orang Timur, kitab itu disusun sesuai dengan prinsip-prinsip Filsafat Peripatetik (qawa'id al-masyā'īn), dan menggambarkan kaidah-kaidah philosophia generalis atau filsafat umum (al-hikmah al-'āmmah) yang sudah mapan. Menurut Suhrawardi, Ibn Sina bisa jadi sudah mengubah ekspresi atau sedikit memodifikasi pandangan yang miring, tetapi ia tidak menyusun sebuah karya yang benar-benar berbeda dari karya- karyanya yang lain. Berbagai modifikasi yang dilakukan Ibn Sina tidak menjadikan dirinya sebagai salah seorang Filsuf Timur, yang sudah ada sejak zaman kuno ketika prinsip-prinsip Filsafat Timur (al-ashl al-masyriqi) telah dibangun oleh filsuf Persia, Khusrawāni.(2) Kita mencatat suatu pembedaan penting yang dilakukan oleh Suhrawardi antara filsafat umum (philosophia generalis) dan filsafat khusus (philosophia specialis), yang di sini diterapkan pada perbedaan-perbedaan metodologi antara kaum Peripatetik dan kaum Iluminasionis. Filsafat khusus adalah bidang para filsuf lluminasi saja. Pembedaan ini dilakukan dalam bagian logika Suhrawardi tempat problem definisi dibahas, dan ini menunjukkan lebih jauh ihwal signifikansi metodologis teori definisi bagi prinsip-prinsip Filsafat Iluminasi.

Sampai pada titik ini, Suhrawardi telah menaruh perhatian

P: 155


1- 112. Lihat, Ibn Sina, Manthiq Al-Mayriqiyyin, hlm. 1-4.
2- 113. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r: “Fa hādzihi al-karāris wa in yansubuhā ilā al-masyriq fa hiya bi ‘ainihā qawāʻid al-masysyā'īn wa al-hikmah al-'āmmah, illā annahu ghayyara al-'ibārah au tasharrafa fi ba'dh al-furū“, tasharrufan gharīban là tubayyin kutubuhā al-ukhrā ... wa Tā yataqarraru bihi al-ashl al-masyriqi al-muqarrar fi 'ahd al-'ulamā' al-khusrawaniyyah. Corbin sudah membahas pandangan Suhrawardi tentang para filsuf Khusrawani dan kebijaksanaan Iran Lama. Lihat, misalnya, Opera II, hlm. vi; dan ibid., Prolegomena, hlm. 24-26.

pada kritik atas teori Peripatetik dan juga membahas problem itu dalam latar belakang Peripatetik yang sedang dominan. Ia telah memodifikasi rumusan-rumusan Peripatetik, dan menekankan gagasan ihwal kesatuan definisi dan juga unsur-unsur khas lainnya dari teori tersebut. Malahan, ia bekerja dalam kerangka konseptual dan metodologis Peripatetik. Ia menyatakan, “Dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, kami hanya ingin menyempurnakan dan menghiasi berbagai dalil dan metode Peripatetik. (1) Saat kita lanjutkan dalam bagian Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt berikutnya, dasar-dasar teori Iluminasi sedikit demi sedikit muncul ke permukaan.

Dalam Bab Dua, bagian $ 2,(2) Suhrawardi memperkenalkan gagasannya tentang definisi Konseptualis. Meski jenis definisi ini tidak sepenuhnya dikembangkan, ia menegaskan bahwa ini jenis definisi yang paling benar. Formula yang berkaitan dengan jenis definisi ini menetapkan nama (ism), dan jika seseorang yang menggunakan nama, mengartikannya sebagai kolektivitas sifat dari sesuatu yang dilambangkan, maka formula seperti itu bermakna jenis definisi yang paling benar. (3) Terdapat sebuah elemen Platonik yang khas (yang kita sebut sebagai pengertian pengenalan) dalam definisi semacam itu; ini pemahaman batin seseorang tentang nama “manusia” atau “kebaikan , misalnya yang bisa mengantarkan pada definisi yang memadai tentang sesuatu, “manusia , yang tidak bisa didiferensiasikan ke dalam formula dengan berbagai jumlah ganda. Artinya, orang itu mengenali esensi manusia atau kebaikan dalam dirinya. Kemudian, formula untuk itu, seperti manusia atau hewan yang rasional atau berpikir , bisa secara memadai menggambarkan pengetahuan tentang esensinya. Pandangan

P: 156


1- 114. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r: “Wa nahnu fi hādzā al-kitab la naqshud illā tatmīm tharā'iq al- masysyā'in wa ta'rifahā wa tahdzibahā.
2- 115. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r.
3- 116. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15v.: “Afa'in 'uniya bi al-ism nafs majmū' tilka ash-shifah wa hādzā ashahh al-hudud. Ini tentu, hanya mungkin bila sifat-sifat dari sesuatu yang didefinisikan terbatas. Bandingkan, Aristoteles, Posterior Analytics, 1.22, 82b36-39; 84a27.

ini meletakkan dasar bagi pandangan Suhrawardi tentang teori Definisi, seperti yang dikembangkan dalam Hikmah Al- Isyrāq, bahasannya ringkas sehingga hanya bisa dipahami melalui argumen-argumen yang dikemukakan sebelumnya dalam At-Talwīhāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Inti kritik Suhrawardi, bahwa kolektivitas sifat (jami' ash-shifāt, majmū' ash-shifāt) dari sesuatu tidak pernah bisa dirumuskan dengan pernyataan tentang genera dan diferensia semata, sebab sesuatu dan sifat-sifat esensialnya membentuk kesatuan yang harus dipahami sebagai sebuah kesatuan. Adalah keliru, jika mencoba mendiferensiasikan hal-hal esensial majemuk dengan harapan bahwa melalui kemajemukan, kesatuan bisa dipahami. Kesatuan harus diketahui sebagaimana adanya oleh subjek-subjek dalam dirinya, yang terpisah dari kemajemukan. Kesatuan tidak dideduksi dari sesuatu yang lain, kecuali dari sesuatu itu, dan dalam skema Iluminasi, serta diketahui secara intuitif sebelum membentuk sistem deduktif. Bentuk pengetahuan khusus ini disebut oleh Suhrawardi sebagai iluminasi dan visi (isyrāq wa musyāhadah).

Sekarang kita mulai menelaah secara singkat bagian- bagian yang tersisa. Dalam bagian * 3, Suhrawardi berbicara ihwal problem-problem filsafat bahasa berkenaan dengan penggunaan istilah-istilah teknis dalam ilmu (al-asmā' al- ishthilahiyyah fī al-'ilm). Definisi dari berbagai istilah teknis menunjukkan penggunaannya.(1) Dalam bagian * 4, lagi-lagi Suhrawardi bertentangan dengan posisi Ibn Sina, dengan menilai secara khusus formula bagi definisi esensialis. Untuk pertama kalinya dalam bagian logikanya ini, ia mengutip dari karya Ibn Sina, Al-Isyārāt wa At-

P: 157


1- 117. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15v.: “Al- asmā' al-ishthilāhiyyah fī al-'ilm hudūduhā hiya al-aqwal ad- dāllah ‘alā ghaira mā ishthalaha 'alaih.

Tanbihāt, di mana Ibn Sina mengatakan bahwa definisi esensialis sangat penting untuk menentukan genus dan diferensia. (1) Suhrawardi memandangnya sebagai kekeliruan, karena Ibn Sina telah menerapkan penggunaannya yang tidak tepat pada sesuatu, sementara hal itu hanya bisa diterapkan pada sesuatu yang benar-benar mempunyai genus dan diferensia.(2) Sekali lagi, kritik ini mengantarkan Suhrawardi mempertimbangkan hubungan antara sesuatu dan sifat-sifatnya. Ia menyatakan bahwa sekiranya sesuatu tidak mempunyai genus dan diferensia yang nyata, maka formula bagi sesuatu itu mesti disintesiskan dengan sifat-sifat aksidentalnya, atau sesuatu itu dikaitkan dengan sifat-sifatnya sebagai agen, atau bentuk, atau formula yang dihubungkan dengan hasil. Harus dicatat bahwa bagian terbesar dari argumen-argumen Suhrawardi diambil dari Manthiq al-Masyriqiyyin karya Ibn Sina. (3) Dalam bagian 85 dan bagian S6, Suhrawardi mengembangkan sejenis definisi yang bisa kita sebut ostensif. Jenis definisi ini berperan dalam membedakan berbagai hal dan merupakan jenis definisi yang memadai bagi penggunaan umum.(4) Dalam bagian $ 7, Suhrawardi membedakan antara “rasional” dan “kemampuan menalar (isti'dād li an-nuthq), dan kemudian, ia menggunakan pembedaan ini dalam formulasi teorinya tentang definisi dalam Hikmah Al-Isyrāq.(5) Suhrawardi menganalisis pembedaan ini dengan terlebih dahulu menilai bahwa kemampuan menalar sama dengan aktivitas-aktivitas intelek, yakni penalaran atau pemikiran (ta'aqqul wa tafakkur). Ia menganggap jenis-jenis “kemampuan” bersifat posterior bagi realitas substansial (al- haqā'iq al-jauhariyyah). Selanjutnya, ia membedakan antara “jiwa rasional” (an-nafs an-nāthiqah), yang menentukan rasionalitas,

P: 158


1- 118. Bandingkan, Ibn Sina, Kitāb Al-Isyārāt wa At-Tanbihāt, hlm.11-12.
2- 119. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthig, fol. 17v.
3- 120. Bandingkan, Ibn Sina, Manthiq al-Mayriqiyyin, hlm. 42-44.
4- 121. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 16v-16r.
5- 122. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 16v. Bandingkan, Opera II, hlm. 20.

esensi hakiki dan tertentu, serta kemampuan menalar, yang merupakan konsep mental.(1) Dari sini, Suhrawardi kemudian menilai pandangan- pandangan baku mengenai gagasan ihwal kesamaan dan perbedaan berbagai definisi dan penggunaannya. Dalam bagian * 8 hingga bagian* 12, topik-topik yang berhubungan dengan definisi seperti deskripsi, definisi nominal, definisi dengan analogi, definisi sebagai subjek proposisi-proposisi, serta berbagai persoalan ihwal apa itu genus dan apa itu diferensia dibahasnya, dan tidak menjadi perhatian kita di sini. Akan tetapi, harus dicatat bahwa sebagian besar argumen-argumennya ini diambil langsung dari – atau berpijak pada – karya Ibn Sina yang berjudul Manthiq al-Masyriqiyyīn. (2) Sejauh ini, kita telah berkonsentrasi pada Bab 2 logika dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, dan telah mengamati bahwa bab ini, yang sepenuhnya membahas definisi, memberi kita sejumlah besar problem yang berkaitan dengan kritik Suhrawardi atas formula definisi Peripatetik. Bab 8 berjudul Tentang Demonstrasi, dari buku yang sama dan pada dasarnya, adalah sebuah ikhtisar selektif dari Al-Burhān, dan bisa disamakan dengan struktur Asy-Syifā' Ibn Sina.(3) Bab ini memuat bagian-bagian yang membahas beberapa komponen biasa yang berkaitan dengan problem definisi; bagian * 10, membahas berbagai problem seperti argumen-argumen sirkuler dan ide-ide fitri sebagai dasar pengetahuan; bab 11-13, membahas dikotomi atau pembagian definisi, yakni metode definisi Plato, dan juga berbagai problem lainnya. Kebanyakan argumen dalam bagian-bagian ini adalah argumen-argumen baku Peripatetik, tetapi memberikan pengetahuan dan wawasan yang sangat bernilai ihwal pandangan

P: 159


1- 123. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 16v.
2- 124. Bandingkan, Ibn Sina, Manthiq Al-Mayriqiyyin, hlm. 34-36.
3- 125. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 88V-101r.

Suhrawardi, yang akhirnya berpuncak pada Filsafat Iluminasi.

Beberapa isu yang diangkat di sini juga dikaitkan dengan Bab 2, dan saya akan berusaha menganalisisnya dengan tujuan memberikan informasi lebih jauh ihwal teori baru Suhrawardi tentang formulasi definisi esensialis.

Hal penting pertama, diangkat Suhrawardi dalam bagian * 10, tempat ia menunjukkan bahwa gagasan-gagasan fitri adalah dasar pengetahuan, dan dengan demikian, dari sudut pandang epistemologi berperan sebagai dasar definisi. Ini berarti bahwa harus ada sesuatu yang paling dahulu berkenaan dengan pengetahuan dalam hubungannya dengan sesuatu yang didefinisikan. Sebagai contoh dari hal-hal yang diketahui secara fitri itu, Suhrawardi mengutip segenap inspirasi personal dan pengalaman mistis para filsuf, semisal Ibn Sina dan Abu Al-Barakat Al-Baghdadi. Agaknya, ini perubahan Suhrawardi vis-avis Ibn Sina, yang pada satu titik, ia tertawakan karena mengklaim sebagai salah seorang filsuf Timur.

Dari sudut pandang sejarah filsafat dalam periode Islam, menarik bahwa Suhrawardi menilai Al-Baghdadi sebagai seorang filsuf yang membangun metodologi Plato dalam bidang-bidang filsafat tertentu. (1) Demi pemahaman kita tentang teori Suhrawardi, bagian $ 12 adalah bagian paling penting. Dalam bagian ini, ia mengutip argumen berkenaan dengan formula definisi yang mengombinasikan seluruh sifat dari sesuatu, yakni jenis definisi esensialis sempurna yang dipandangnya sebagai satu-satunya jenis definisi yang paling valid.

la menyatakan, Engkau tidak bisa mengatakan, “Aku akan mengombinasikan semua sifat dan menentukan semuanya,' dan kemudian mengatakan, “Inilah sebuah formula yang

P: 160


1- 126. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 97r. Istilah yang digunakan Suhrawardi adalah Madzhab Al-Aflathūn.

menunjukkan esensi, dan karenanya, menjadi sebuah definisi esensialis (yang sempurna).' Sebab, pernyataan seperti itu adalah sebuah petitio principii. (1) Suhrawardi menunjukkan ketidakmungkinan formula definisi, di mana kemajemukan sifat-sifat (yang esensial maupun yang aksidental) dari sesuatu yang didefinisikan bisa dikombinasikan (entah sekadar diuraikan, ditambah, atau disintesis). Ini adalah problem yang memusingkan. Jika formula tidak mengombinasikan sifat-sifat, maka ia tidak menunjukkan esensi. Akan tetapi, bagi formula apa pun yang harus berbuat demikian, ia harus mengombinasikan sejumlah (mungkin tak terhitung) besar hal yang tidak mungkin bisa dilakukan dengan uraian yang sempurna, leluasa, dan satu demi satu. Solusinya terletak dalam cara di mana kemajemukan bisa dikombinasikan dalam suatu formula utuh dan juga dalam bentuk pemikiran lain yang langsung menyentuh kesatuan esensi. Sekarang, ihwal apakah bentuk pemikiran alternatif itu adalah metode dialektis yang bertujuan membiarkan subjek untuk menyingkap kebenaran-kebenaran abadi dalam kesadaran dirinya, yang kemudian berperan sebagai dasar bagi pengetahuan yang dirumuskan dan didemonstrasikan, atau sesuatu yang lain, tetap tampak dan bisa dilihat? Apakah definisi X terletak pada intuisi tentangnya atau sesuatu yang lain yang mendahului usaha memposisikan rumusannya dalam struktur yang telah dibangun? Problem ini akan dibahas dalam bab berikutnya. Namun di sini, saya hanya akan menekankan tuntutan Suhrawardi bahwa hanya “kolektivitas hal-hal esensisal dari sesuatu saja yang menjadi definisi yang valid tentangnya , dan meninggalkan pertanyaan ihwal seperti apa kolektivitas itu, dan metode dalam mendapatkannya, untuk pertimbangan selanjutnya.

P: 161


1- 127. Ibid., fol. 98r.

4. TEORI DEFINISI ILUMINASI

Point

Gaya Filsafat Suhrawardi yang pendek dan tepat dalam Hikmah Al-Isyrāq sangat membingungkan pembaca yang berusaha menyingkap teori yang koheren dan konsisten berdasarkan pernyataan-pernyataan aneh dan singkat. (1) Usaha untuk menelaah karya ini saja akan gagal menyingkap makna yang diinginkan Suhrawardi. Oleh sebab itu, kita harus mengingat hasil-hasil kajian dan telaah kita atas pandangan Suhrawardi tentang definisi dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt karena kita menganalisis segenap pandangannya dalam Hikmah Al-Isyrāq.

Harus jelas bahwa Suhrawardi tidak puas dengan teori Definisi Peripatetik. Pandangan ini ditelaah dalam Hikmah Al-Isyrāq, tetapi terlebih dahulu dibahas dalam At-Talwihāt, dan berikutnya dianalisis sepenuhnya dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Juga sama-sama harus jelas bahwa usaha mengkaji dan menelaah Filsafat lluminasi tidak bisa mengabaikan logika Iluminasi, seperti semua kajian yang telah dilakukan sampai sekarang.

Problem definisi ini membimbing kita untuk memahami ihwal apakah Filsafat Iluminasi itu, dan inilah problem yang bisa sepenuhnya dibahas hanya dalam logika.

Hikmah Al-Isyrāq, Bagian Satu, I, 7 berjudul Tentang Definisi dan Syarat-Syaratnya. (2) Bagian ini terdiri dari tiga bagian, dan dimasukkan dalam skema umum semiotika Suhrawardi.

Dalam buku ini, definisi hanya diperlakukan sebagai bagian dari semantik. Dalam bagian pertama dari bab ini, Suhrawardi membahas syarat-syarat yang harus dipenuhi agar definisi dari sesuatu bisa bermakna, yakni harus menggambarkan pengetahuan tentang sesuatu yang didefinisikan. Di sini, Suhrawardi sepenuhnya merumuskan pandangannya tentang

P: 162


1- 128. Kita melihat bahwa Suhrawardi menyebut gayanya sebagai metaforis (marmūzah, istilah yang berarti misterius atau rahasia). Bandingkan, Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r: Wa hiya hikmah al- khāshiyyah; wa al-khathb al-'azhīm al-marmūz fi kitābinā al- musytamil 'alā al-ushūl asy-syarīfah al-musammā bi Hikmah Al-Isyrāq.” Selanjutnya, kita mencatat bahwa istilah ramz yang digunakan dalam Hikmah Al-Isyrāq untuk menandai gaya filsafat “kuno . Suhrawardi, Opera II, hlm. 10-11.
2- 129. Bagian ini, di antara bagian yang sangat penting dalam buku ini, telah diterjemahkan sehingga pembaca bisa memeriksanya langsung. Lihat, Apendiks B berikut.

definisi dengan menyatakan bahwa untuk mendefinisikan sesuatu, entah semua unit (al-ahād) dari sesuatu itu, beberapa unit darinya, atau keseluruhan dari sesuatu (ijtimā', yang juga menyiratkan keseluruhan organis yang didiferensiasikan), harus dirinci.(1) Dalam pernyataan ini, istilah yang digunakan untuk definisi adalah taʼrif, yang meliputi, baik jenis definisi esensialis maupun deskriptif. Bila dipahami, pernyataan ini sangat membingungkan, tetapi berdasarkan apa yang dikatakan Suhrawardi dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt – bahwa agar valid, definisi harus mengombinasikan semua sifat dari sesuatu yang didefinisikan, pernyataan itu bisa dipahami.

Semula, terminologi matematika yang digunakan Suhrawardi mencengangkan, tetapi sesudah direnungkan dan ditelaah lebih jauh, teka-teki itu bisa dipecahkan dan ternyata menjadi penting dalam memahami keseluruhan Filsafat Iluminasi.

Sumber langsung terminologi matematika Suhrawardi adalah Al-Mu'tabar, I, I, 13, karya Al-Baghdadi, di mana penggunaan kaidah matematika dalam membangun definisi diuraikan secara rinci.(2) Pentingnya menyebutkan kaidah-kaidah matematika Al-Baghdadi untuk membangun definisi ditunjukkan oleh Suhrawardi (seperti kita lihat di atas), yang memandang Al- Baghdadi sebagai penyumbang elemen-elemen berbagai dalil Plato. Penting bagi kita untuk memahami formula Suhrawardi bagi definisi dan hubungannya dengan kaidah-kaidah matematika. Karena itu, sesudah menyuguhkan paparan umum tentang Kaidah Ketujuh, saya akan kembali kepada problem ini dan menganalisisnya secara lebih rinci.

Problem-problem tambahan yang dibahas dalam bagian * 13, berkaitan dengan dua syarat (sebagian darinya

P: 163


1- 130. Baik istilah āhād maupun ijtimā' keduanya adalah matematis. Lihat, Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar I, hlm. 55-57. Istilah ijtima' merujuk pada jenis “keseluruhan yang disebut jam' tarkibi, di mana bagian-bagian atau unit-unit tidak dibedakan satu sama lain, dan secara kolektif mereka tidak dibedakan dari keseluruhan. Bandingkan, Aristoteles, Metaphysics V.26, 1024a1-10. Istilah Yunani oúvolos, Qúykpiois, obornua harus dibandingkan dengan istilah ijtimā'. Lihat, Tsabit bin Qurrah, Al-Madkhal, hlm. 299. Mengenai hubungan antara jāmi' dan lov, yang dianggap sebagai jenis ovúðɛoic.Lihat, Ibid., Alfred Irvy, Al-Kindi's Metaphysics. (Albany: SUNY Press, 1974), hlm. 17. Bandingkan, Aristoteles, Topics VI. 14, 151430. Untuk pemahaman lebih jauh tentang implikasi istilah āhād, harus dibandingkan dengan μονάδες dan μουαδιστίYunani. Signifikansi istilah-istilah dalam metafisika bisa dilihat dalam Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, hlm. I dan 55. Untuk signifikansi istilah matematika dan implikasinya dalam filsafat, lihat, Tsabit bin Qurrah, Al-Madkhal, hlm. 218, 222, 223, serta 299. Perlu diingat bahwa hubungan antara unit, āhād, dan keseluruhan ijtimā', bergantung pada gagasan kombinasi sintesis, jam' tarkibi, yang merupakan ijtimā' yang berkaitan dengan sesuatu yang didefinisikan. Ini juga berarti bahwa unit, āhād, tidak bisa ditentukan dalam realitas keseluruhan ijtima' di luar pikiran secara independen. Lihat, Apendiks C berikut, di mana saya menganalisis kaidah matematika Al- Baghdadi untuk definisi. Posisi Suhrawardi bisa diringkas sebagai berikut: yang Esa (unit, urutan, pokok, sesuatu) tidak bisa diketahui secara independen melalui yang banyak, dan begitu juga sebaliknya. Untuk mendefinisikan “yang banyak , yang Satu harus didefinisikan terlebih dahulu, yang definisinya berpijak pada intuisi primer jumlah dan bukan pada definisi formal yang berdasarkan anggapan apa pun tentang realitas sehingga subjek yang mengetahui ingin membuat definisinya.
2- 131. Ini bagian dari karya Al-Baghdadi yang dianalisis dalam Apendiks C.

diberikan dalam al-Jadal) yang harus dipenuhi agar definisi menjadi bermakna. Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hubungannya dengan sesuatu yang melaluinya, sesuatu yang lain bisa didefinisikan, yakni: [1] bahwa sesuatu yang melaluinya, sesuatu yang lain didefinisikan harus lebih jelas (azhhar) ketimbang sesuatu yang didefinisikan; dan [2] ia harus diketahui terlebih dahulu sebelum sesuatu yang didefinisikan.

Implikasi dua syarat tersebut jelas, bahwa agar sesuatu diketahui (dengan mendefinisikannya, atau lainnya), sesuatu yang lain pun harus diketahui terlebih dahulu. Ini berarti bahwa harus ada sesuatu yang paling jelas dan paling dahulu berkenaan dengan pengetahuan, yang dalam hubungan dengannya sesuatu yang lain bisa diketahui. Sesuatu yang diketahui paling dahulu (dan juga paling jelas), menurut Suhrawardi adalah pengetahuan bawaan. (1) (Sebagaimana akan kita lihat nanti, pengetahuan bawaan disebut sebagai “bagian” dari kesadaran diri manusia).

Menurut Suhrawardi, “Sesuatu yang paling tampak dalam realitas adalah cahaya (nūr), yang diketahui secara langsung dan tidak perlu didefinisikan. Nah, istilah-istilah “lebih jelas dan “lebih diketahui , dan “paling jelas dan paling diketahui tampak berhubungan, dan barangkali identik. Hubungan antara “kejelasan dan pengetahuan adalah komponen penting dalam Filsafat Iluminasi. Persoalan ihwal apa yang paling dahulu dan paling diketahui berkaitan dengan gagasan psikologis tentang diri dan kesadaran. Posisi epistemologi dasar Suhrawardi adalah modifikasi gagasan Aristoteles tentang pra-ada, pengetahuan dan pandangan Plato tentang ide-ide yang bersifat bawaan dan harus “disingkap dalam subjek yang mengetahui dan sadar diri.

Setelah menetapkan syarat-syarat di atas, Suhrawardi

P: 164


1- 132. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 18. Bandingkan, Al- Baghdadi, Al-Mu'tabar, I. hlm. 8 dan 40-46; As-Sawi, At- Tabshīrah, hlm. 3; Aristoteles, Posterior Analytics I, hlm. 1-3. Pembedaan antara bawaan dan perolehan adalah ciri penting dari karya Al-Baghdadi. Ia “dibangun melalui refleksi personal oleh filsuf yang pengetahuannya berdasarkan intuisi apriori. Lihat, S. Pines, Nouvelles Etudes sur Auhad Al-Zamān Abu Al-Barakat al-Baghdadi, hlm. 8-17.

membedakan definisi hakiki dari definisi nominal. Ia juga mempertimbangkan jenis khusus dari definisi leksikal (tabdil al-lafzh), yang disebutnya berguna bagi orang-orang yang mengetahui realitas sesuatu, tetapi tidak mengetahui makna ujarannya.

Dalam bagian kedua * 14, tentang Kaidah Ketujuh, Suhrawardi membahas definisi esensial dan deskripsi. Saat memperkenalkan definisi esensialis, Suhrawardi menisbatkan dengan cermat formulasinya, dikatakan sebagai formula yang bisa menunjukkan esensi dari sesuatu – kepada sumber dengan menyebut “seseorang tertentu . (1) Definisi esensialis dilambangkan dengan jenis definisi yang bisa menunjukkan hal-hal esensial (adz-dzātiyyāt), sementara deskripsi hanya menjadikan hal-hal eksternal (al-khārijiyyāt) dari sesuatu yang bisa diketahui. Oleh karena itu, perbedaannya adalah definisi esensialis menunjukkan sifat-sifat esensial dari sesuatu, sementara deskripsi menunjukkan sifat-sifat nonesensialisnya.

Pembedaan ini krusial karena seperti terlihat di atas, Suhrawardi telah menentukan dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt bahwa agar menjadi definisi esensialis yang bermakna, sebuah definisi harus mengombinasikan semua sifat dari sesuatu ke dalam formula, yakni sifat-sifat esensial dan nonesensial. Jelas bahwa bagi Suhrawardi, baik definisi esensialis maupun deskripsi adalah definisi-definisi hakiki karena keduanya digunakan untuk mendefinisikan wujud “manusia dan bukan kata manusia; tampak bahwa kedua jenis itu harus dikombinasikan agar definisi menjadi valid. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu bergantung sepenuhnya pada persepsi tentang ide sesuatu itu, yang pada giliran berikutnya hanya

P: 165


1- 133. Kemungkinan besar mengacu pada Ibn Sina, yakni Al-Isyārāt. Lihat, Ibn Sina, Kitāb Al-Isyārāt, hlm. 11-13.

ditentukan melalui ide bawaan yang ada pada subjek yang mendahului penyelidikan oleh intuisi. Penggunaan definisi formal Peripatetik dikritik oleh Suhrawardi karena tidak menyampaikan pengetahuan sebenarnya tentang sesuatu, tetapi hanya menunjukkan bagian-bagian abstrak bentuk eksistensinya yang dikombinasikan.

Argumen-argumen Suhrawardi yang diarahkan kepada kaum Peripatetik tidak terus terang dan juga tidak sederhana.

Untuk memahaminya, kita harus punya gagasan yang komprehensif tentang dasar Filsafat Iluminasi. Dalam bagian * 14, argumen- argumennya adalah sebagai berikut: ada sesuatu dalam realitas objektif manusia, manusia ini dan manusia itu, yang melaluinya, ide manusia (kemanusiaan, insāniyyah) ditentukan, dan ia berperan sebagai dasar bagi pengetahuan kita tentang manusia apa pun itu. Kaum Peripatetik memandang “sesuatu itu, tegas Suhrawardi, sebagai definisi esensialis manusia, yakni “hewan yang berpikir”. (1) Akan tetapi, Suhrawardi berpandangan bahwa kemampuan menalar adalah aksidental dan bersifat posterior bagi realitas manusia, dan karenanya hewan yang berpikir tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti bahwa formula untuk definisi esensialis tentang manusia hanya valid secara formal, dan hanya demikian menurut kaum Peripatetik. Dalam kenyataannya, formula ini adalah sebuah tautologi dan tanpa nilai hakiki bagi seseorang yang berusaha mengetahui hal itu, yang melaluinya wujud manusia pun diketahui, yakni ide “manusia .

Pada titik ini, Suhrawardi memperkenalkan secara singkat argumen yang dianggap sebagai sebuah komponen mendasar dalam pandangannya tentang pengetahuan, dan menyatakan bahwa karena jiwa adalah asal-usul sesuatu yang melaluinya

P: 166


1- 134. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 19-20.

ide manusia ditentukan, dan karena jiwa adalah sesuatu yang “terdekat (aqrab) dengan manusia, maka melalui jiwa ini orang menyadari esensi manusia, dan akhirnya juga, segala sesuatu. (1) Akibatnya, dan berdasarkan pengetahuan diri subjek, ilmu-ilmu hakiki dibangun dengan menggunakan metode demonstrasi. (2) Suhrawardi menunjukkan suatu prefensi bagi metode khusus dalam memperoleh esensi segala sesuatu dengan berpijak pada intuisi utama subjek yang mengetahui dalam jiwa itu, yang kemudian berperan sebagai dasar bagi pembentukan definisi- definisi. Pada dasarnya, definisi-definisi semacam itu digunakan dalam pembentukan berbagai demonstrasi selanjutnya.

Dalam bagian terakhir Kaidah Ketujuh ($ 15), yang berjudul Teori Iluminasi dan memuat anak judul Tentang Destruksi Dalil Definisi Peripatetik, Suhrawardi terlebih dahulu membahas metode yang digunakan kaum Peripatetik dalam membentuk definisi esensialis, dan menunjukkan bagaimana pembentukan semacam itu tidak memadai untuk memperoleh pengetahuan tentang esensi dari sesuatu. Suhrawardi mulai dengan menyatakan bahwa kaum Peripatetik merasa puas dengan hanya “menyebutkan hal esensial yang paling umum (adz-dzāti al- ‘āmm), hal esensial yang paling khusus (adz-dzāti al-khāshsh), dan mereka menyebutnya sebagai definisi esensialis. Suhrawardi menekan penggunaan kata “menyebutkan”, yang bertentangan dengan formulanya yang mensyaratkan, seperti kita lihat di atas, bahwa hal-hal esensial harus disintesiskan (atau disatukan dengan cara tertentu lainnya) ke dalam sebuah kesatuan. Ini hanya mungkin bisa dilakukan dalam jiwa subjek dan dalam hubungannya dengan objek. Suhrawardi, dalam gaya filsafatnya yang tidak biasa, kemudian menjelaskan istilah-istilah yang

P: 167


1- 135. Gedanken experiment Suhrawardi mengenai pengetahuan jiwa atas dirinya, meskipun dalam konsepsi Ibn Sina menunjukkan analisis lebih rinci dan digabungkan sepenuhnya ke dalam pandangan komprehensif tentang psikologi. Lihat, Opera III, hlm. 10-14. Bandingkan, Fazlur Rahman, Avicenna's Psychology, hlm. 31.
2- 136. Suhrawardi, Opera II, hlm. 40-46.

digunakan. Hal esensial paling umum dari sesuatu, yang disebut genus adalah sebuah hal esensial yang harus saling menafikan hal esensial umum lainnya, dan berkaitan dengan realitas universal (al-haqiqah al-kulliyyah) yang sama dengan jawaban yang diberikan atas pertanyaan “Apakah itu? Hal esensial khusus- yang khas bagi sesuatu yang berkaitan dengan pertanyaan “Apakah itu? — disebut diferensia. Genus dan diferensia adalah dua komponen dasar definisi Esensialis Peripatetik. Suhrawardi memberitahu kita bahwa ia mengikuti cara lain dalam menata genus dan diferensia daripada kaum Peripatetik. Menurutnya, hal ini telah ditegaskannnya dalam karya-karyanya lain, yakni At-Talwībāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, di mana seperti dianalisis di atas, Suhrawardi mengemukakan gagasan bahwa genus dan diferensia majemuk dari sesuatu, dan semua sifatnya secara umum harus dikombinasikan ke dalam suatu formula sedemikian rupa untuk menyampaikan kesatuan esensi.

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa kaum Peripatetik berpendapat bahwa yang tidak diketahui hanya bisa ditentukan dalam hubungannya dengan sesuatu yang diketahui, suatu pandangan yang dianggap Suhrawardi bersifat fundamental bagi pandangan kaum Peripatetaik tentang ilmu. Sewaktu kaum Peripatetik mendefinisikan sesuatu dalam hubungannya dengan hal-hal esensialnya (yang telah diabstraksikan darinya), mereka membiarkan hal-hal esensial itu lebih diketahui daripada sesuatu yang ingin mereka definisikan; sementara Suhrawardi berpendapat bahwa hal-hal esensial sesuatu tidak dapat diketahui seperti apa adanya. Akibatnya, ia berpandangan bahwa hubungan antara sesuatu yang diambil secara keseluruhan, yakni kesatuan, dan hal-hal esensial majemuk adalah suatu hubungan

P: 168

“organis karena hal-hal esensial tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan sesuatu, dan karenanya, diselidiki. Argumen- argumen Suhrawardi dalam hal ini, adalah kita andaikan bahwa sesuatu punya hal esensial khusus yang berkaitan dengannya.

Nah, hal esensial khusus ini diketahui dengan sesuatu itu atau dalam sesuatu yang lain (yakni dengan mengetahuinya ada dalam sesuatu yang lain), atau tidak diketahui sama sekali. Kemungkinan ketiga, tidak mendapat perhatian. Akan tetapi, jika hal esensial diketahui dalam sesuatu yang lain, maka ia bukan sebuah hal esensial dari sesuatu itu, dan jika hal esensial diketahui dengan sesuatu itu, maka ia adalah “bagian yang terindra dan tidak terdiferensiasi dari sesuatu itu. Oleh sebab itu, ketika sesuatu yang diketahui dipahami, dan ketika diketahui dengan cara persepsi indra, maka hal-hal esensialnya pun juga diketahui.

Yang jelas sekarang, mekanika persepsi indra menjadi penting karena harus bekerja sedemikian rupa untuk memberi “subjek pengetahuan terpadu tentang “objek saat terjadi tindak persepsi.

Tindak persepsi semisal itu, seperti akan kita lihat adalah salah satu komponen dari teori Suhrawardi tentang Kognisi Iluminasi, (Orang bisa mencapai definisi hanya) dengan menggunakan hal-hal yang kasat mata atau terindra dengan cara lain (yakni, yang berbeda dari formula definisi kaum Peripatetik), dan (hanya) jika (dan ketika) sesuatu itu berkaitan secara khusus dengan keseluruhan jumlah (dari hal-hal yang terindra dan kasat mata) sebagai keseluruhan organis. (1) Nah, inilah teori khusus tentang Kognisi dan teori khusus tentang Wujud yang dimaksudkan untuk menjelaskan pengetahuan tentang keseluruhan dari sesuatu sebagaimana adanya.

P: 169


1- 137. Suhrawardi, Opera II, hlm. 21.

Dalam paragraf terakhir dari bagian * 15, barangkali inti kritiknya atas teori Peripatetik, Suhrawardi menyerang formula definisi Peripatetik dari sudut pandang yang lain.

Juga serangannya, sebagian berhubungan dengan kritiknya atas induksi. (1) Suhrawardi mengulangi posisi fundamentalnya mengenai definisi dengan menyatakan bahwa untuk mengetahui sesuatu melalui hal-hal esensialnya, orang harus bisa menguraikan semuanya itu secara rinci. Ia berpendapat bahwa realitas dari sesuatu hanya bisa diketahui dengan pasti jika dan hanya jika keseluruhan jumlah dari hal-hal esensial diketahui. (2) Suhrawardi menyatakan secara eksplisit untuk pertama kalinya bahwa pengetahuan tentang keseluruhan hal esensial seperti itu, melalui metode penguraian, bagaimanapun juga, tidak mungkin. Sebab, sesuatu yang didefinisikan boleh jadi memiliki kemajemukan sifat-sifat yang tidak tampak (ghair zhāhir).

Suhrawardi sebelumnya mengatakan bahwa definisi esensialis yang valid adalah definisi yang mengombinasikan seluruh sifat dari sesuatu yang didefiniskkan, tetapi kini ia mengatakan bahwa tidak mungkin menguraikan semuanya itu secara rinci, apalagi mengetahui semuanya. Selanjutnya, ia menegaskan bahwa tidak cukup seseorang mengaku bahwa ia mengetahui seluruh hal esensial dan sanggup merincinya, karena selalu ada sesuatu yang mungkin tidak pernah diketahuinya, atau ia tidak bisa mengetahuinya. Selalu ada elemen yang tidak diketahui dalam upaya menguraikan sifat-sifat pokok sesuatu secara terpisah dari keseluruhan hakikat sesuatu itu.

Kita bisa menafsirkan kata-kata Suhrawardi itu sebagai berikut: perangkat hal-hal esensial dari sesuatu mungkin tidak terikat, dan elemen-elemen dari perangkat itu boleh jadi tidak

P: 170


1- 138. Lihat, Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, fol. 98v.; idem., Opera III, hlm. 5.
2- 139. Untuk bahasan tentang hubungan antara “bagian-bagian dan “jumlah , lihat, Apendiks C berikut.

bisa dibedakan secara jelas dari perangkat itu; pengetahuan tentang perangkat itu mengimplikasikan pengetahuan tentang elemen-elemen, tetapi tidak mungkin mengetahui ihwal apa perangkat itu dengan mengetahui elemen-elemennya secara terpisah. Pandangan Suhrawardi – yang menyatakan bahwa hal-hal esensial hanya bisa dipastikan bila sesuatu itu sudah ditentukan, adalah dasar dari kritiknya atas teori Peripatetik.

la berperan sebagai daya pendorong dalam merumuskan teori pengganti lainnya. Ia menyatakan, “Kita hanya memperoleh definisi melalui segala sesuatu yang berkaitan secara khusus dengan keseluruhan (yakni, keseluruhan organis) dari sesuatu. (1) Akhirnya, di ujung kritiknya Suhrawardi menyatakan bahwa kaum Peripatetik tidak bisa, dalam pengertian ilmiah yang paling ketat, mendefinisikan sesuatu apa pun, dan ini meruntuhkan dasar demonstrasi. Inilah dilema yang dilacak oleh Suhrawardi kepada Aristoteles. (2)

4.1. Rumusan Teori Definisi Iluminasi

4.1. Rumusan Teori Definisi Iluminasi Sejauh ini, kita sudah memusatkan diri dengan mengemukakan berbagai pandangan filsuf-filsuf sebelumnya dan sebelum Suhrawardi tentang problem definisi. Kita juga telah menunjukkan argumen-argumen Suhrawardi dalam bagian-bagian khusus atau karya-karya utamanya. Sekarang, kita meninjau teori Definisi Suhrawardi dari perspektif teoretis dan metodologis yang lebih luas, dan kita akan berusaha menilai berbagai implikasi teori itu.

Jelas bahwa definisi memainkan peran penting dalam

P: 171


1- 140. Suhrawardi, Opera II, hlm. 21.
2- 141. Aristoteles, Posterior Analytics 11.3, 90b15: “Tanpa mendefinisikan sesuatu sebagai sifat esensial atau aksiden- kita tidak mendapat pengetahuan tentangnya.

membangun Filsafat Iluminasi. Usaha apa pun untuk membahas perkembangan filsafat dalam periode Islam tanpa mengetahui segenap rincian teori dan signifikansi epistemologinya tidak akan sempurna dan bahkan bisa menyesatkan. Teori Definisi Suhrawardi adalah penyempurnaan metodologis, dan formal atas teori-teori sebelumnya, serta dengan pantas mendapat tempat dalam sejarah logika dan filsafat secara umum.

Dalam At-Talwīhāt, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, dan Hikmah Al-Isyrāq, beberapa faktor bisa dipandang sebagai bagian dari teori Definisi yang utuh dan terpadu. Definisi yang secara tradisional dibahas dalam Al-Burhān dan Al-Jadal, diuraikan oleh Suhrawardi dalam buku tersendiri dan terpisah tentang struktur baru logikanya, yang membagi logika ke dalam semiotika, logika formal, dan logika materiel. Kaidah-kaidah formal yang mengatur definisi dimodifikasi dan diperluas oleh Suhrawardi dalam ketiga karyanya itu. Kita tidak bisa melihat formulasi Peripatetik yang jelas dalam At-Talwīhāt atau dalam Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Sebaliknya, kita bisa melihat formulasi Iluminasi yang jelas dalam Hikmah Al-Isyrāq. Ada hubungan yang jelas di antara karya-karya tersebut sehingga kritik atas definisi yang dikemukakan dalam Hikmah Al-Isyrāg hanya bisa dipahami manakala kita mempertimbangkan At- Talwīhāt dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt. Kita tahu bahwa At- Talwihāt memuat pendahuluan singkat tentang subjek-subjek itu, diikuti dengan analisis rincinya dalam Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt, yang akhirnya dirumuskan, meski tidak rinci dalam Hikmah Al-Isyrāq.

Dari sudut pandang formal, teori Suhrawardi adalah penyempurnaan teori lama. Formulanya yang luas dan lebih

P: 172

rinci untuk definisi esensialis (baik yang sempurna maupun yang tidak sempurna) – yang menuntut agar sifat-sifat esensial dari sesuatu yang didefinisikan harus diuraikan secara memadai dan dikombinasikan menjadi sebuah formula utuh atau terpadu- sebuah analisis yang jelas atas problem definisi esensialis, dan jawaban atas problem-problem yang ditemukan dalam formula Peripatetik. Kita telaah pembagian Suhrawardi atas definisi hakiki ke dalam lima jenis, yang harus dinilai sebagai sumbangannya bagi klasifikasi Peripatetik yang membagi definisi hakiki ke dalam empat jenis. (1) Teori formal yang dielaborasi, Suhrawardi mengombinasikan metode pembagian dan sintesis dengan metode demonstrasi, dan karenanya lebih bercorak Platonis ketimbang teori apa pun sebelumnya dalam sejarah Filsafat Islam.

Namun, keberatan-keberatan Suhrawardi atas kaum Peripatetik diajukan dalam sebuah kerangka konseptual dan metodologis Peripatetik. Seperti diakui Suhrawardi, Filsafat Iluminasi bukan metode yang sama sekali terpisah dari Filsafat Peripatetik.

Kita juga telah melihat bahwa kritik atas definisi, yang diawali dari kaidah-kaidah formal, pada akhirnya pun menyentuh persoalan-persoalan epistemologi mendasar. Ketika Suhrawardi mensyaratkan bahwa kita hanya bisa mengetahui sesuatu dengan mengetahui seluruh sifatnya, dan bahwa definisi-definisi Iluminasi diperoleh hanya dengan memastikan totalitas atau keseluruhan organis dari sesuatu, maka kita bisa menyimpulkan bahwa inti teorinya terletak dalam dua hal: sikap Platonis yang menuntut bahwa hanya pengetahuan saja yang bisa berperan sebagai dasar bagi pengetahuan; dan satu hal mendasar dari metodologi yang mensyaratkan bahwa definisi harus berusaha mendefinisikan bentuk-bentuk, atau mengetahuinya melalui

P: 173


1- 142.. Bandingkan, Ibn Sina, Asy-Syifa': Al-Manthiq: Al-Burhān IV.4, hlm. 217-224.

Iluminasi visi. Nah, syarat bahwa pengetahuan harus berdiri sebagai dasar pengetahuan dipenuhi oleh Suhrawardi melalui ide bawaan yang berperan sebagai dasar pengetahuan dan “bisa disingkap” dalam kesadaran diri subjek. Hanya saja, ada dilema bahwa dari pandangan yang benar-benar formal, bentuk- bentuk tidak bisa didefinisikan, seperti yang ditekankan oleh Aristoteles. Dilema ini membuat Suhrawardi merumuskan bentuk ekspresi simbolis yang dimaksudkan bagi kelompok pilihan, yang dengannya sesuatu bisa ditunjukkan sebagaimana adanya kepada sang “murid (seperti kepada Meno, dalam dialog Plato yang terkenal), yang dibimbing untuk memahami makna esensinya. Karena itu, kita bisa membagi teori definisi Suhrawardi menjadi dua bagian yang saling melengkapi: formal dan psikologis, atau eksperiensial. Bagian formal terdiri dari kritiknya atas teori Peripatetik dan berusaha memperbaikinya dari sudut pandang Peripatetik itu. Bagian psikologis atau eksperiensial meliputi beberapa faktor. Dari syarat dasar yang dituntut dari sesuatu yang melaluinya definisi dibangun, yakni keterdahuluan dan kejelasan (dua syarat paling penting menurut Aristoteles),(1) kita diarahkan pada apa yang paling dahulu dan yang paling jelas. Ternyata, “sesuatu ini adalah “cahaya yang menjadi dasar fundamental realitas dalam Filsafat Iluminasi dan bahan kesadaran diri manusia. cahaya adalah definisinya; “melihat -nya berarti mengetahuinya:

“Dalam realitas, jika ada sesuatu yang tidak perlu didefinisikan atau dijelaskan, maka sesuatu itu berarti sudah jelas dan karena tidak ada sesuatu yang lebih jelas dari cahaya serta melebihi sesuatu yang lainnya, maka ia pun tidak perlu didefinisikan. (2)

P: 174


1- 143. Aristoteles, Topics VI.4, 141923-142b.
2- 144. Suhrawardi, Opera II, hlm. 106.

Mencari definisi bagi Suhrawardi, melibatkan faktor tambahan. Inilah usaha yang dilakukan oleh “syaikh atau guru,(1) yang mengarahkan murid melalui wacana-wacana yang berpijak pada pilar diskursif Filsafat Iluminasi dan juga pilar intuitif.

Ini terjadi ketika hakikat simbolis dan metaforis karya-karya Iluminasi diungkapkan kepadanya sehingga murid menyadari realitas dari segenap kebenaran yang abadi dan tidak berubah, yakni bentuk-bentuk.

Teori definisi yang dikemukakan Suhrawardi berusaha menjawab pertanyaan “Apakah X itu? dalam dua pendekatan komplementer atau saling melengkapi. Pertama, melalui seperangkat definisi parsial X, berkenaan dengan hal-hal esensial X, suatu definisi formal pun dibangun. Namun, definisi formal ini, kita sebut saja d, hanyalah definisi parsial. Berikutnya, dengan metode psikologi, subjek diarahkan pada pemahaman tentang X berdasarkan da, yang disadari oleh subjek, tetapi tidak diartikulasikan sepenuhnya.

Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi tentang X ini sama dengan definisi “baru” X. Proses ini dilanjutkan sedemikian rupa sehingga terbentuk sebuah definisi formal baru d,, yang, pada gilirannya- dilengkapi dengan pengalaman tentang sebuah intuisi apa X itu.

Dengan demikian, serangkaian definisi d, diperoleh. Berdasarkan hal ini, definisi X yang valid, sebutlah D, yang mencakup semua d, pun diperoleh. Tentu saja, dilema ini adalah ihwal apakah D bisa diartikulasikan dalam hal d, atau apakah pengetahuan tentang X melalui D hanya ada dalam kesadaran diri subjek? Jika demikian halnya, maka D hanya bisa diekspresikan secara simbolis. Karena itu, pengetahuan tentang X bergantung pada seperangkat definisi formal X yang parsial plus pengalaman X sebagai intuisi primer yang menjadi pijakan X. Metodologi formal berikut komponen

P: 175


1- 145. Peran filsuf Ilahi (Al-Hakim Al-Muta'allih) dalam mengajarkan hikmah yang diperoleh melalui kajian Filsafat Iluminasi sangatlah penting. Guru semacam itu sama dengan seorang “kutub (quthb) dalam tasawuf. Orang yang demikian itu biasa disebut penegak hikmah Iluminasi” (al-qayyīm 'alā Al- Isyrāq). Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 10-13, 244, 256, serta 260.

eksperiensial menjadi bentuk ekspresi simbolis final dari “hasil- hasil” Iluminasi, dan ini adalah tujuan terpenting rekonstruksi filsafat Suhrawardi.(1) Melalui simbol atau metafora, pengetahuan hakiki tentang X yang ada “dalam diri manusia ditemukan kembali, dan karenanya diketahui.

Kritik Suhrawardi atas formula Peripatetik juga mengacu pada pandangan tentang wujud yang berpendapat bahwa esensi dari sesuatu sesungguhnya tidak terpisah dari sifat-sifat sesuatu itu; artinya, segenap esensi dan sifat adalah satu sebagaimana terlihat dalam realitas eksternal. Karena itu, definisi hakiki pada akhirnya juga gagal, bila subjek mempertimbangkan hanya aspek formal saja dan bukan faktor-faktor pengalaman subjektif lain, atau yang diketahui secara intuitif.

Dilema yang dihadapi filsafat berkenaan dengan definisi hakiki sudah lama ada di kalangan para filsuf. Yang lebih mutakhir, Kant menaruh banyak perhatian pada problem definisi dan pemikirannya mengenai definisi analitis dan sintetis, menandai babak baru formula Aristotelian murni untuk definisi hakiki. (2) Pada abad ke-20, logika Intuisionis E. 1. J. Brouwer telah membuka jalan dalam mempertimbangkan persoalan definisi jumlah, dan karena itu, metodologi definisi secara umum juga didasarkan pada intuisi utama. (3) Membandingkan teori Definisi Suhrawardi dengan berbagai pandangan modern tentang subjek ini berada di luar lingkup bahasan karya ini, tetapi harus diperhatikan bahwa teori Iluminasi adalah sebuah pandangan baru tentang problem tersebut dalam hubungannya dengan teori Peripatetik yang kaku.

Diakui, satu aspek dari teori Suhrawardi, yakni tuntutannya untuk memberikan secara lengkap dan sempurna hal-hal esensial

P: 176


1- 146. Suhrawardi, Opera I, hlm. 401.
2- 147. Lihat, Immanuel Kant, Logic, terjemahan R. Hartman dan W. Schwartz, (New York: Library of Liberal Arts, 1974), hlm.141-146; N.K. Smith, A Commentary to Kant's Critique of Pure Reason. (New York: Humanities Press, 1971), hlm. 564- 565; Lewis W. Beck, “Kant's Teheory of Definition , dalam The Philosophica Review, vol. 65, 374. (April, 1956), hlm. 179-191.
3- 148. Dasar intuisi matematika kini sudah banyak peroleh perhatian setelah terbitnya karya Dummet, Elements of Intuitionism. (Oxford: Oxford University Press, 1976). Lihat juga, A. Heyting, Intuitionism: An Introduction. (Amsterdam: North- Holland Publishing Company, 1956).

dari sesuatu yang disintesiskan dalam sebuah formula yang utuh dan terpadu, sekurang-kurangnya membingungkan. Akan tetapi, jika kita mempertimbangkan karya-karya para filsuf Modern, semisal Bertrand Russel dan Alfred J. Ayer, maka kekaburan itu pun akan menjadi jelas. Ayer membedakan definisi eksplisit dari definisi yang digunakan. Ia memandang definisi eksplisit sebagai sejenis definisi leksikal, dan menegaskan bahwa definisi Aristoteles per genus et differentiam hanya menghasilkan definisi-definisi eksplisit; dan ia memandang definisi yang disebut terakhir, yakni definisi yang digunakan, sebagai definisi yang mereduksi seperangkat simbol yang bisa diterjemahkan menjadi padanan-padanan.(1) Simbol-simbol yang bisa diterjemahkan menjadi padanan-padanan harus memasukkan, sebagai sebuah komponen integral, pengalaman tentang kebenaran di balik simbol itu. Demikian, simbol “manusia pun digunakan, yang untuknya definisi esensialis Aristoteles ihwal “hewan yang berpikir hanyalah sebuah definisi eksplisit. Definisi ini adalah sebuah tautologi (dalam pengertian nonmatematis yang ketat). Esensi manusia (yakni, kebenaran di balik simbol manusia') adalah sesuatu yang hanya bisa ditemukan kembali, menurut teori Iluminasi, dalam diri subjek. Tindakan “menemukan kembali” ini adalah penerjemahan simbol menjadi padanannya dalam kesadaran atau diri subjek. Teori Russel direduksi menjadi perbedaan antara definisi dengan ekstensi” (yakni, definisi yang berusaha menguraikan anggota-anggota dari suatu “kelas ) (2) dan definisi dengan intensi (yakni, definisi yang menyebutkan sifat dari apa yang didefinisikan, atau sebagian darinya).(3) Teori Iluminasi bisa dipandang untuk menggabungkan elemen-elemen dari definisi dengan ekstensi dan definisi dengan intensi.

P: 177


1- 149. Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic. (London: V. Cictor Gollanz Ltd., 1950), hlm. 59-71. Bandingkan, Paul T. Sagal, Implicit Definition, dalam The Monist, vol. 57, no. 3 (Juli, 1973), hlm. 443-450.
2- 150. Istilah-istilah lain semisal himpunan, perangkat, kumpulan, dan majemuk, juga digunakan dan mungkin ini yang dimaksud oleh Suhrawardi dengan Al-ijtima'.
3- 151. Bertrand Russel, Introduction to Mathematical Philosophy. (New York: Simon and Schuster, tanpa tahun), hlm. 12. Bandingkan, Irving Copi, Symbolic Logic, (New York: The Macmillan Co., 1965), Bab VI; Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, (New York and Wien: Springer-Verlag, 1975), hlm. 31-39

Catatan:

1. Ada sejumlah jenis definisi yang dikenal dan diketahui. Saya tidak bisa menguraikan semuanya di sini, atau menunjukkan sumber- sumber klasifikasi berbagai definisi dan penggunaannya dalam logika dan filsafat, tetapi saya akan menyebutkan beberapa jenis definisi yang penting. Sebuah karya penting tentang definisi adalah Definition, karya Richard Robinson, (Oxford:

Claendon Press, 1972). Robinson membagi definisi (Bab 2) ke dalam dua jenis dasar: definisi sesuatu-sesuatu, atau definisi hakiki, dan definisi nominal. Selanjutnya, ia membagi definisi nominal ke dalam definisi kata per kata dan definisi kata benda yang kemudian dibagi lagi ke dalam definisi leksikal dan definisi stipulatif. Penulis yang sama menguraikan (Bab 1) 18 spesies definisi, yang diklasifikasikannya menurut penggunaan berbagai ahli. Klasifikasi definisi yang lebih tepat secara filsufis diberikan oleh Raziel Abelson, yang mengklasifikasikan definisi berdasarkan posisi filosofis yang digunakan ke dalam tiga jenis: esensialis atau “jenis-E", preskriptif atau “jenis-P," dan linguistik atau “jenis-I". Abelson tidak memandang klasifikasi ini sebagai bersifat historis, melainkan sebagai sebuah “skema yang berguna". Lihat, Raziel Abelson, “Definition," Encyclopedia of Philosophy II, ed. Paul Edwards, (New York: Macmillan, 1967), hlm. 314- 324.

Suhrawardi, Opera II, hlm. 21.

Istilah proposisi penjelas sudah digunakan oleh para filsuf sebelum Suhrawardi, tetapi dalam cara yang berbeda. Ibn Sina, dan menyusul di belakangnya Al-Ghazali, menggunakannya sebagai istilah equivokal untuk definisi esensialis (hadd bi at- tasykik). Lihat, Ibn Sina, An-Najāh, hlm. 83; Al-Ghazali, Mi'yar al-'ilm, ed. Sulaiman Dunya, (Kairo: t.p, 1961), hlm. 68, 271- 275. Filsuf pertama dalam periode Islam yang menekankan penggunaan proposisi-proposisi penjelas sebagai sarana

P: 178

untuk membagi logika secara struktural ke dalam dua bagian adalah filsuf Persia, “Umar bin Sahlan As-Sawi. Perhatikan, misalnya pernyataan As-Sawi berikut, “Konsepsi bisa diperoleh melalui metode (rāh) yang disebut oleh orang Arab sebagai al-qaul ash-sharīh. Ini berarti guft-i rausyan-kunanda (dalam bahasa Persia, yakni proposisi penjelas). (Ketahuilah bahwa) sebagian proposisi penjelas adalah valid, yang disebut definisi esensialis; beberapa yang lainnya hanya sebagian saja yang valid (nazdik bi rasti) yang disebut deskripsi (rasm) ....

Tujuan (utama) logika sudah ditunjukkan, yakni memperoleh pengetahuan ihwal: (1) proposisi-proposisi penjelas, dan (2) bukti-bukti." (At-Tabshirah, hlm. 4-5). Bandingkan Ibn Sina, Manthiq Al-Masyriqiyyin. (Kairo: t.p, 1910), hlm. 10, di mana seseorang bisa melihat pandangan yang sama yang akrab dengan Ibn Sina.

Bukti (hujjah) biasanya dibagi ke dalam tiga jenis: silogisme (qiyās), induksi (istigrā”), dan analogi (tamtsil dan mitsāl).

Lihat, As-Sawi, At-Tabshirah, hlm. 5. Kemudian, Suhrawardi menetapkan bahwa bukti-bukti yang berdasarkan pengalaman, inspirasi, dan intuisi punya peringkat yang sama dengan- kalau bukan malah lebih tinggi dari — bukti-bukti yang berdasarkan demonstrasi Peripatetik. Lihat misalnya, Opera II, hlm. 13.

Di beberapa tempat, definisi konseptualis dinyatakan sebagai "formula yang menunjukkan konsep sesuatu" (al-qaul al- mu'arraf bi hasab mafhūm asy-syai'). Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt: Manthiq, fol. 15v.

Ibid., fol. 14r.

Lihat misalnya, Posterior Analytics II. hlm. 3, 7, 10; Topics VIII.

Istilah qaul mempunyai sejumlah makna, yang paling mendasar adalah “ungkapan majemuk". Lihat, Ibn Sina, An-Najāh, hlm. 17. Bandingkan Goichon, Lexique, hlm. 319. Seperti dalam istilah Yunani loyos, ia digunakan dalam beberapa 5.

6.

7.

8.

P: 179

pengertian. Sebagai contoh, penggunaan istilah lóyos oleh Plato. Lihat G. Matthews, Plato's Epistemology and Related Logical Problems. (London: Faber and Faber, 1972), hlm. 11.

Pengertian Aristoteles yang kaku tentang istilah lóyos (disebut juga qaul) adalah “formula", yang digunakan khususnya dalam kaitannya dengan definisi, misalnya dalam Aristoteles, Metaphysics VII. 4, 1030a7-9: “ada definisi (ópious) kata yang tidak sama dengan formula (Jóyos) karena dalam hal seperti itu, semua formula adalah definisi". Tampak jelas bagi saya bahwa pengertian “formula" untuk qaul secara logis sangat semakna. Untuk berbagai pengertian lain dari istilah qaul lihat, Ibn Sina, Livre des Directives et Remarques, terjemahan A. M.

Gichon, (Paris: J. Vrin, 1951), hlm. 84, 193, 211. Konsep yang mendasari ungkapan “proposisi penjelas" (al-qaul ash-sharih) kemungkinan bukan berasal dari Aristoteles. Bandingkan, Afnan, Lexicon, hlm. 245; dan E. Zeller, Stoics, Epicureans, and Sceptics, terjemahan O. J. Reichel, (New York: Russel and Russel, 1962), hlm. 73, catatan 2.

9. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 1v.

10. At-Talwīhāt, hlm. 2.

11. Untuk bahasan tentang pembedaan antara definisi realis dari definisi nominalis. Lihat, Robinson, Definition, Bab VI.

Pembedaan ini juga dibuat oleh Plato dan Aristoteles, meskipun dalam pengertian yang terbatas. Lihat, Plato, Theaetetus, 514b-515c, 547c-549c; Aritotle, Categories V, 2219-3524; VI, 66-84; Posterior Analytics 1.22, 11.3-10.

12. Kedua jenis ini adalah formula yang disebut untuk mengkhususkan esensi dari sesuatu yang didefinisikan.

13. Pembedaan yang dibuat antara definisi esensialis sempurna, sebagai formula yang mengombinasikan genus dan diferensia terdekat yang menunjukkan esensi dan definisi esensialis tak sempurna, adalah definisi esensialis tak sempurna hanya melambangkan sebagian esensi. Pembedaan ini dibuat oleh

P: 180

Ibn Sina (misalnya, An-Najāh, hlm. 78). Akan tetapi, bagi Aristoteles, definisi esensialis dianggap bisa mengungkapkan hakikat esensial (Posterior Analytics II, 90b24) hanya bila sifat- sifat dari sesuatu adalah terbatas (Posterior Analytics 1, 82b39, 84a27). Persoalan keterbatasan sifat-sifat dan problem definisi juga sangat penting bagi Suhrawardi.

14. Lihat, Abelson, “Definition", Encyclopedia of Philosophy.

15. Lihat, Ibn Sina, Livre des Definitions, disunting dan diterjemahkan oleh A. M. Goichun, (Kairo: Publications de L'Institut Francais d'Archeologie Orientale du Caire, 1963), hlm. 6, catatan 1. Bandingkan, Ibn Sina, Kitāb Al-Hudūd, terjemahan Muhammad M. Fouladvan, (Tehran: Iranian Centre for the Study of Civilizations: Islamic Studies Series, 2), hlm.

58 dan 69. Padanan-padanan yang kurang terbatas, barangkali περιγραφή dan διαγραφή, harus dipertimbangkan.

16. Deskripsi dianggap sebagai jenis definisi yang digunakan untuk membedakan sesuatu (mutamayyiz); karenanya, ia termasuk dalam jenis definisi ostensif. Lihat, Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 17r.; Ibn Sina, An-Najāh, hlm. 79; idem., Livre des Definitions, hlm. 12; Al- Ghazali, Mi'yar al-'ilm, hlm. 267.

17. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 15r.

18. Aristoteles, Posterior Analytics 11.3, 90b1-24.

19. Ibid., 90b24. Tentang pandangan Aristoteles mengenai hubungan antara definisi dan demonstrasi. Lihat, Posterior Analytics 1.2, 27219-24; 1.8; 1.10; 1.22; 1.33. Problem ini dibahas secara panjang lebar oleh Anfinn Stigen dalam kajian filsafatnya, The Structure of Aristoteles's Thought, Bab IV.

(Oslo: Universitet forlaget, 1966), di mana Stigen menunjukkan “mengapa, menurut Aristoteles, problem definisi menjadi bahasan utama pengetahuan", (hlm. 78, catatan 2).

20. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 40: “Hanya demonstrasi saja yang digunakan dalam ilmu-ilmu hakiki." Bandingkan, idem.,

P: 181

Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 98r.; idem., At- Talwihāt: Manthiq, hlm. 82; dan Ibn Sina, Livre des Directives et Remarques, hlm. 47; idem., Livre des Definitions, hlm.

2-11; idem., Asy-Syifā': Al-Jadal, VI, hlm. 5.

21. Metode definisi “formal” dasar yang digunakan Plato biasanya disebut metode dikotomi (atau pembagian). Metode ini secara khusus digunakan Plato dalam Phaedrus, 134a-c; Sophist, 580a-608d; dan Philebus, 610d-613a. Aristoteles juga menggunakan metode dikotomi, yang biasanya dipertentangkan dengan berbagai metode definisi lainnya.

Lihat, Aristoteles, Prior Analytics II, hlm. 64-65; idem., Posterior Analytics 11.5, 13; idem, Topics V1.6, 143b11-14424; Metaphysics VII.12, 1037b28-1038235; Parts of Animals 1.

hlm. 2-4. Plotinus juga menggunakan metode pembagian atau dikotomi dalam definisi. Lihat Plotinus, The Enneads, terjemahan S. Mac Kenna, (New York: Pantheon, 1969), hlm. I, 3 dan 4, di mana ditegaskannya, “... ia menggunakan pembagian Plato dan ketajaman bentuk-bentuk ideal,” dan juga ibid., VI. hlm. 3 dan 16-18. Sebuah kajian komprehensif tentang metode dikotomi Plato dilakukan oleh Kenneth M.

Sayre yang menyebut metode itu sebagai “Penyatuan dan Pembagian" (Collection and Division). Lihat, Sayre, Plato's Analytics Method, Bab IV. (Chicago: University of Chicago Press, 1969).

22. Metode definisi “formal" dasar yang digunakan Plato biasanya disebut definisi melalui genera dan diferensia, yang terkadang disebut sebagai sifat-sifat, baik esensial maupun nonesensial.

Metode ini digunakan secara ekstensif atau luas oleh Aristoteles dalam hampir semua karyanya. Lihat, Aristoteles, Categories III, V, XIII; idem., Prior Analytics I, hlm. 27. Idem., Posterior Analytics, 1.22. 11.13-14; idem., Topics, 1.4.9, 1.18, IV-VII; idem., Physics, 1.3; idem., Metaphysics, III.4, III 3, V.3; idem., History of Animal, I 1; idem., Parts of Animal 1.1, 1.2.4.

P: 182

Kombinasi metode dikotomi dan metode definisi melalui genera adalah dasar yang mungkin bagi teori Suhrawardi yang mencakup apa yang harus disebut sebagai metode “membidani", sesudah Plato. Lihat, Plato, Theaetetus, 150b-d.

Bandingkan, Plotinus, Enneads, VI.3. hlm. 1, 8-10, dan 16-18.

23. Al-Farabi, Kitāb Al-Jam' baina Ra'yai Al-Hakāmain, disunting A.

N. Nader, (Beirut: Dan al-Masyriq, 1968), hlm. 87-88. Posisi Al-Farabi, metode dikotomi (atau pembagian) serta metode demonstrasi dan sintesis pun bersifat komplementer atau saling melengkapi.

24. Lihat, A. Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm.

138-139.

25. "Definisi Plato" terdiri dari metode dikotomi "formal" plus keseluruhan proses dialektis seperti dua metode yang digunakan dalam dialog untuk menemukan “definisi” dari apa yang hakiki, yakni bentuk-bentuk yang tidak berubah dan tanpa batas waktu, yang bila bisa ditemukan menandai puncak capaian filsafat. Lihat, Sayre, Plato's Analytics Method, Bab II, IV; Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 13-39.

26. Lihat, bagian $2 sebelumnya.

27. Bandingkan, Robinson, Definition, hlm. 149.

28. Aristoteles, Metaphysics XII. 1078b27-30: "Ini hanya untuk memberikan penghargaan kepada Socrates karena dua hal: argumen induktif dan pendefinisian secara universal, yang keduanya berkenaan dengan prinsip-prinsip ilmu".

Bandingkan, Ibid., 1.987220-30; dan W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy III. (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), hlm. 425.

29. Guthrie, A History of Greek Philosophy III, hlm. 426.

30. Ibid., hlm. 437.

31. Ibid., hlm. 440.

32. Lihat, Suhrawardi, Opera I, hlm. 401; idem., Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Manthiq, fol. 15v.

P: 183

33. Lihat, Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 13.

34. Lihat, Guthrie, A History of Greek Philosophy, IV, hlm. 242.

35. Ibid., hlm. 243. Gagasan subjek yang mengenali atau “melihat" objek, dan karena itu, mengetahuinya juga menjadi salah satu gagasan epistemologi Suhrawardi yang penting. Lihat, bagian $ 3.5 di bawah.

36. Lihat, Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 19; Sayre, Plato's Analytics Method, Bab II, $11, Bab III.

37. Lihat, Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 12-29; Sayre, Plato's Analytics Method, Bab II.

38. Lihat, Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 19: “Jika Plato menerima tesis bahwa pengetahuan identik dengan keyakinan, yang benar berikut suatu penuturan, maka sebaiknya kita melihat pemikirannya tentang definisi dan kaitan erat bentuk- bentuk dalam Sophist, Politic, dan Philebus." 39. Lihat, Matthews, Ibid., hlm. 136-211.

40. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 20-21.

41. Lihat, Sayre, Plato's Analytics Method, Bab IV; Matthews, Plato's Epistemology, hlm. 36-40.

42. Misalnya, Plato, Theaetetus, 202b-c: “Namun, kenyataannya tidak terdapat formula, yang dengannya unsur-unsur dapat diekspresikan; ia hanya dapat dinamai, karena nama meliputi semua yang dimilikinya. Namun, ketika kita sampai pada benda-benda yang tersusun dari unsur-unsur ini, karena benda- benda tersebut juga kompleks, nama-nama dikombinasikan untuk membentuk deskripsi (istilah di sini juga berarti Jóyos), jelasnya deskripsi menjadi kombinasi nama-nama.” Bandingkan, R. Robinson, Plato's Earlier Dialectic. (Oxford:

Clarendon Press, 1970), hlm. 1-49; Sayre, Plato's Analytics Method, hlm. 230-238.

43. Bandingkan, W. Kneale dan M. Kneale, The Development of Logic, hlm. 21-22.

44. Lihat, Aristoteles, Metaphysics I, 987b1-10: "Sekarang

P: 184

Socrates sibuk mengkaji masalah-masalah etika, tetapi tidak mengkaji sama sekali alam secara keseluruhan, bahkan dalam persoalan-persoalan etika, ia mencari yang universal dan yang pertama menetapkan pikirannya adalah definisi. Plato di sisi lain, dengan mempertimbangkan pemikiran Socrates, sampai pada keyakinan, bahwa karena hal-hal indrawi selalu terus menerus berubah, maka berbagai penyelidikan seperti itu pun berkaitan hal-hal lainnya dan bukan dengan hal-hal indrawi; karena tidak mungkin ada definisi umum tentang hal-hal indrawi manakala semuanya ini selalu berubah. Ia menyebut hal-hal jenis seperti ini sebagai ide-ide dan yakin bahwa hal- hal indrawi ada terpisah dari ide-ide dan diberi nama sesuai dengan ide-ide." 45. Lihat, Robinson, Plato's Earlier Dialectic, hlm. 49; Robinson, Definition, hlm. 12 dan 27.

46. Kneale dan Kneale, Development of Logic, hlm. 21.

47. lbid., 48. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.17, 99a22-23. Cf.

Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 78.

49. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XII1.4, 1078b11-13: "Sekarang Socrates menyibukkan dirinya dengan kebaikan-kebaikan moral, dan berkaitan dengan ini semua, ia adalah orang pertama yang mencari definisi-definisi universal. Sebab di antara para fisikawan, hanya Demokritus saja yang bisa menangkap subjek definisi walaupun sedikit, dan dalam beberapa hal, ia mendefinisikan panas dan dingin; sementara Pythagoras sebelumnya telah memikirkan definisi dari beberapa hal." 50. Lihat, Aristoteles, Metaphysics 1.6, 978b1-4. Lihat juga, $2.3 di atas. Cf. Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm.

82-86.

51. Lihat, Aristoteles, Metaphysics, 1.6, 98764-8: “Namun, Socrates tidak menempatkan hal-hal universal sebagai terpisah, termasuk definisi. Namun, para pemikir ini [Socrates,

P: 185

Demokritus, dan Pythagoras] menganggap semua itu sebagai tentang hal-hal lain, dan menyebut hal-hal seperti itu sebagai ide-ide." Bandingkan, ibid., XIII.4, 1078b30-38.

52. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XIII.4, 1078630-107994.

53. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XIII.8,1050b34-1051a2.

Bandingkan, Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 78-103.

54. Lihat, Bab IV bagian $3 berikut.

55. Meskipun tidak dibahas secara sistematis oleh Aristoteles, teori Definisi disebutkan dalam karya-karya berikut, Poterior Analytics II. hlm. 3-10 dan 13; Topics VI-VII; Metaphysics VII.

hlm. 4-6 dan 10-17, VIII.2-3, 6; Parts of Animals I. hlm.2-4.

56. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.2, 90°35.

57. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.3, 90b1-3.

58. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.3, 90b10-27. Cf. idem., Posterior Analytics 11.4, 9125-12: “Ia berkembang sehingga tidak semua yang bisa didefinisikan dapat didemonstrasikan, dan juga tidak semua yang bisa didemosntrasikan dapat didefinisikan; dan kita dapat menarik kesimpulan umum bahwa tidak ada objek identik yang mungkin memiliki definisi sekaligus demonstrasi. Jelasnya, definisi dan demonstrasi tidak identik, dan juga tidak saling memuat, serta juga di dalam satu sama lain: jika memang demikian halnya, maka objek-objeknya mesti dikaitkan entah sebagai identik atau keseluruhan dan bagian.

59. Lihat, Aristoteles, Metaphysics VII.4, 103045.

60. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.9, 93b29-31.

61. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.9, 93b29; 11.11, 94a11- 17; 11.7, 92b26.

62. Ibid., 90616; idem, Topics V.3, 130b25-26, VI.3, 140934.

63. Lihat, Aristoteles, Metaphysics VII.5, 1031011-12; idem., Topics, 1.2, 101638; VII.5, 154231-32.

64. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.9, 93b29-31; idem.,

P: 186

Metaphysics IV.8, 1017621-22, VII.1, 1042a17. Dalam beberapahal, Aristoteles mengombinasikan istilah Tóyos dengan ovoía. Lihat juga, Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 138.

65. Lihat, Aristoteles, Metaphysics VII.4, 1027217-102846.

66. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XIII.1, 1087b9-12. Cf. Stigen, The Structure of Aristoteles's Thought, hlm. 133-135.

67. Lihat, Aristoteles, Metaphysics XIII.8, 108462-23.

68. Ibid., VII.4, 1030b7-11.

69. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 11.7, 92b26-34, 11.10, 93b29-37; idem., Metaphysics VIII.6, 1045b17-25; VII4, 103067-13.

70. Lihat, Aristoteles, Metaphysics IX.1, 1087b9-12; VII.15, 1039620-104097; XIII.8, 108462-23. Bandingkan, ibid., VII.4, 103067-11: "Dengan demikian, hanya ada esensi dari hal- hal yang punya formula yang disebut definisi. Namun, ada sebuah definisi, bukan sekadar karena nama dan formulanya mempunyai makna yang sama (karena semua formula akan menjadi definisi, dan juga karena nama yang memiliki makna yang sama sebagai formula tertentu sehingga Iliad akan menjadi definisi), tetapi jika nama dan formulanya melambangkan sesuatu yang utama." 71. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 1.22, 11.13-14; idem., Topics 1.4-9, IV-VII.

72. Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Manthiq, VI. 4.1, hlm. 241: “Al-hudud qad nanzhūr min amrihā fi annahā kaifa tu'allaf wa kaifa tuktasab... wa an-nazhar al-awwal fi kaifiyyah ījād al-hadd wa ats-tsāni fi kaifa i'tibār al-hadd al-maujūd." 73. Tujuan banyak filsuf pasca-Ibn Sina dalam mengompilasi filsafat “baru” bisa dicontohkan dengan karya Ibn Kammunah, Al-Jadid fi Al-Hikmah.

74. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 36-39.

75. Proposisi modalitas Suhrawardi yang berulang mengambil

P: 187

bentuk “la selalu mesti".

76. Suhrawardi, At-Talwihāt: Al-Manthiq, hlm. 14.

77. Ibid., 78. Lihat, Ibn Sina, Livre des Definitions, $18. Bandingkan, Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Manthiq: Al-Burhān, hlm. 233-237.

79. Kita bisa berasumsi bahwa salah satu aspek teori Definisi Suhrawardi dikaitkan dengan kritiknya atas induksi. la membuat pembedan antara induksi yang sempurna dan yang tidak sempurna (al-istiqrā' at-tamm wa an-nāqish). Misalnya, Opera III, hlm. 5. Lihat, William Kneale, Probability and Induction. (Oxford: Clarendon Press, 1966), hlm. 24-110.

80. Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Manthiq: Al-Burhān, IV. hlm. 4 dan 217-224.

81. Lihat, At-Talwībāt: Al-Manthiq, hlm. 14: “Mā lā tarkib fihi là qaul dall 'alaih." 82. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 1.22.

83. Lihat, Ibn Sina, Manthiq Al-Masyriqiyyin, hlm. 34: “Sesuatu yang disebut definisi apakah berdasarkan nama atau esensi?" Bandingkan, idem., Asy-Syifā': Al-Manthiq: Al-Burhān, hlm.

217: “Di antara definisi, sebagian bersifat hakiki dan sesuai dengan esensi, tetapi sebagian lainnya bersifat metaforis (majāzī) dan berdasarkan nama (yakni, nominal)." 84. Suhrawardi, At-Talwihāt: Al-Manthiq, hlm. 14-15.

85. Ibid., hlm. 7: “Tashawwur kunh asy-syai'." 86. Ibid., hlm. 15.

87. Bandingkan, Ibn Sina, Livre des Definitions, $19.

88. Lihat misalnya, At-Talwihāt: Al-Manthiq, hlm. 16: “Dan Porphyry sudah sedemikian rupa sehingga genus perlu diambil dalam definisi spesies dan spesies dalam definisi genus, dan ini absurd." Pernyataan ini juga dipakai oleh Ibn Sina dalam Kitāb Al-Hudud. Lihat, Livre des Definitions, hlm. 11.

89. Suhrawardi menggunakan istilah tertentu dalam teori definisinya, termasuk matematika yang sepenuhnya bisa

P: 188

dipahami dengan baik dalam pandangan karya Al-Baghdadi sebelumnya. Lihat, Apendiks C berikut, di mana istilah-istilah itu dianalisis.

90. Lihat, Kneale, Probability and Induction, hlm. 25-30.

91. Aristoteles, Posterior Analytics 1, 76b35-77a4; Metaphysics 1.3.

92. At-Talwībāt: Al-Manthiq, hlm. 82.

93. Ibid., hlm. 82-83.

94. Lihat, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15v.-19r.

95. Ibid., fol. 15v.

96. Al-Masyāri wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14v.

Bandingkan, Ibn Sina, Livre des Definitions, $18: “Al-qaul ad- dāll ‘alā māhiyyah asy-syai'." 97. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14v: “qaul mufashshal dāll 'alā mahiyyah asy-syai'." 98. Bandingkan, Ibn Sina, Manthiq al-Masyriqiyyin, hlm. 34: “al-qaul al-mufashshal al-mu'arraf li adz-dzāt bi māhiyyatihi.” 99. Al-Masyāri wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14r:

“Mufashshal, ay kull juz' min al-lafzh yadullu 'alā juz' min haqiqah asy-syai'." 100. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14r: “Al- ladzī zāda fi al-hadd fa qāla: innahu al-qaul ad-dall 'alā kamal māhiyyah asy-syai' ihtirāzan ‘an al-hadd an-nāqish, akhtha'a." 101. Ibn Sina, Livre des Definitions, $18: “Mā dzakarahu al-hakim fi kitāb thubiqa annahu al-qaul ad-dāll ‘alā māhiyyah al-syai' ay ‘alā kamāl wujūdihi adz-dzāti wa huwa mā yatahashshala lahu min jinsihi al-qarīb wa fashlihi." 102. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthig, fol. 14v.

103. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 14; Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 13-38; Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, 1,8; As-Sawi, At- Tabshirah, hlm. 132; dan bandingkan, At-Talwihāt: Al- Manthiq, hlm. 3.

104. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. v: “Rubbama yanqadhih fi syarh al-hadd al-madzkūr an yuqāla "qaulunā Hossein Ziai 189

P: 189

hayawān nāthiq dāll bi at-tadhammum 'alā māhiyyah al- hayawān wa dalalah at-tadhammum mu'tabar," fa hādzā al- qaul ad-dāll 'alā haqiqah al-hayawān wa laisa nahidd lahu wajhahu daf'atan anna lafzh al-hayawān dāll 'alā haqiqah al-hayawān wa al-qaul bi mā huwa qaul mā dalla ‘alā al- hayawāniyyah bal an-nāthiq dalla ‘alā syai' lahu nafs nāthiqah, tsumma qaul mā dalla naʻlam min khārij annahu hayawān." 105. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 14v: “Syai' al- basīth al-ladzilā juz' lahu lā qaul dāll 'alaih." 106. Ibid., “Māhiyyah asy-syai' majmū' muqawwimatihi.” 107. Bandingkan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 5.

108. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r: "I'lam anna man i'tarafa bi anna as-sathh laisa miqdāran wa laisa akhashsh mutahashshilan fi al-a'yān [akhtha'a] bal miqdāriyyatuhu nafs sathhiyyatihi fi al-a'yān." 109. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15v.: "Laisa al-laun fi al-a'yān mutahashshilan wa lahu fashl mustaqill bi al-wujud majm ū‘ahumā sawād, bal huwa syai' wāhid; wa idzā kāna lā juz' lahu fī al-a'yān fa lā juz' lahu fi adz-dzihn li anna ash-shūrah adz-dzihniyyah wājib an tuthābiq al-'aini." 110. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol 15v: "Anna al- basā'ith tursam wa tuhadd." 111. Ibid.,: “Sarraha asy-Syaikh Abū ‘Ali, fikarāris yansubuhā ilā al-masyriqiyyin." 112. Lihat, Ibn Sina, Manthiq Al-Mayriqiyyin, hlm. 1-4.

113. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r: “Fa hādzihi al-karāris wa in yansubuhā ilā al-masyriq fa hiya bi ‘ainihā qawāʻid al-masysyā'īn wa al-hikmah al-'āmmah, illā annahu ghayyara al-'ibārah au tasharrafa fi ba'dh al-furū“, tasharrufan gharīban là tubayyin kutubuhā al-ukhrā ... wa Tā yataqarraru bihi al-ashl al-masyriqi al-muqarrar fi 'ahd al-'ulamā' al-khusrawaniyyah." Corbin sudah membahas pandangan Suhrawardi tentang para filsuf Khusrawani dan 190 Hossein Ziai

P: 190

kebijaksanaan Iran Lama. Lihat, misalnya, Opera II, hlm. vi; dan ibid., Prolegomena, hlm. 24-26.

114. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r: “Wa nahnu fi hādzā al-kitab la naqshud illā tatmīm tharā'iq al- masysyā'in wa ta'rifahā wa tahdzibahā." 115. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r.

116. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15v.: “Afa'in 'uniya bi al-ism nafs majmū' tilka ash-shifah wa hādzā ashahh al-hudud." Ini tentu, hanya mungkin bila sifat-sifat dari sesuatu yang didefinisikan terbatas. Bandingkan, Aristoteles, Posterior Analytics, 1.22, 82b36-39; 84a27.

117. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15v.: “Al- asmā' al-ishthilāhiyyah fī al-'ilm hudūduhā hiya al-aqwal ad- dāllah ‘alā ghaira mā ishthalaha 'alaih." 118. Bandingkan, Ibn Sina, Kitāb Al-Isyārāt wa At-Tanbihāt, hlm.

11-12.

119. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthig, fol. 17v.

120. Bandingkan, Ibn Sina, Manthiq al-Mayriqiyyin, hlm. 42-44.

121. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 16v-16r.

122. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 16v. Bandingkan, Opera II, hlm. 20.

123. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 16v.

124. Bandingkan, Ibn Sina, Manthiq Al-Mayriqiyyin, hlm. 34-36.

125. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 88V-101r.

126. Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 97r. Istilah yang digunakan Suhrawardi adalah Madzhab Al-Aflathūn.

127. Ibid., fol. 98r.

128. Kita melihat bahwa Suhrawardi menyebut gayanya sebagai metaforis (marmūzah, istilah yang berarti misterius atau rahasia). Bandingkan, Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al- Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15r: "Wa hiya hikmah al- khāshiyyah; wa al-khathb al-'azhīm al-marmūz fi kitābinā al- musytamil 'alā al-ushūl asy-syarīfah al-musammā bi Hikmah

P: 191

Al-Isyrāq.” Selanjutnya, kita mencatat bahwa istilah ramz yang digunakan dalam Hikmah Al-Isyrāq untuk menandai gaya filsafat “kuno". Suhrawardi, Opera II, hlm. 10-11.

129. Bagian ini, di antara bagian yang sangat penting dalam buku ini, telah diterjemahkan sehingga pembaca bisa memeriksanya langsung. Lihat, Apendiks B berikut.

130. Baik istilah āhād maupun ijtimā' keduanya adalah matematis.

Lihat, Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar I, hlm. 55-57. Istilah ijtima' merujuk pada jenis “keseluruhan" yang disebut jam' tarkibi, di mana bagian-bagian atau unit-unit tidak dibedakan satu sama lain, dan secara kolektif mereka tidak dibedakan dari keseluruhan. Bandingkan, Aristoteles, Metaphysics V.26, 1024a1-10. Istilah Yunani oúvolos, Qúykpiois, obornua harus dibandingkan dengan istilah ijtimā'. Lihat, Tsabit bin Qurrah, Al-Madkhal, hlm. 299. Mengenai hubungan antara jāmi' dan lov, yang dianggap sebagai jenis ovúðɛoic.Lihat, Ibid., Alfred Irvy, Al-Kindi's Metaphysics. (Albany: SUNY Press, 1974), hlm. 17. Bandingkan, Aristoteles, Topics VI. 14, 151430.

Untuk pemahaman lebih jauh tentang implikasi istilah āhād, harus dibandingkan dengan μονάδες dan μουαδιστίYunani.

Signifikansi istilah-istilah dalam metafisika bisa dilihat dalam Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar, hlm. I dan 55. Untuk signifikansi istilah matematika dan implikasinya dalam filsafat, lihat, Tsabit bin Qurrah, Al-Madkhal, hlm. 218, 222, 223, serta 299. Perlu diingat bahwa hubungan antara unit, āhād, dan keseluruhan ijtimā', bergantung pada gagasan kombinasi sintesis, jam' tarkibi, yang merupakan ijtimā' yang berkaitan dengan sesuatu yang didefinisikan. Ini juga berarti bahwa unit, āhād, tidak bisa ditentukan dalam realitas keseluruhan ijtima' di luar pikiran secara independen. Lihat, Apendiks C berikut, di mana saya menganalisis kaidah matematika Al- Baghdadi untuk definisi. Posisi Suhrawardi bisa diringkas sebagai berikut: yang Esa (unit, urutan, pokok, sesuatu)

P: 192

tidak bisa diketahui secara independen melalui yang banyak, dan begitu juga sebaliknya. Untuk mendefinisikan “yang banyak", "yang Satu" harus didefinisikan terlebih dahulu, yang definisinya berpijak pada intuisi primer "jumlah" dan bukan pada definisi formal yang berdasarkan anggapan apa pun tentang realitas sehingga subjek yang mengetahui ingin membuat definisinya.

131. Ini bagian dari karya Al-Baghdadi yang dianalisis dalam Apendiks C.

132. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 18. Bandingkan, Al- Baghdadi, Al-Mu'tabar, I. hlm. 8 dan 40-46; As-Sawi, At- Tabshīrah, hlm. 3; Aristoteles, Posterior Analytics I, hlm. 1-3.

Pembedaan antara bawaan dan perolehan adalah ciri penting dari karya Al-Baghdadi. Ia “dibangun melalui refleksi personal" oleh filsuf yang pengetahuannya berdasarkan intuisi apriori.

Lihat, S. Pines, Nouvelles Etudes sur Auhad Al-Zamān Abu Al-Barakat al-Baghdadi, hlm. 8-17.

133. Kemungkinan besar mengacu pada Ibn Sina, yakni Al-Isyārāt.

Lihat, Ibn Sina, Kitāb Al-Isyārāt, hlm. 11-13.

134. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 19-20.

135. Gedanken experiment Suhrawardi mengenai pengetahuan jiwa atas dirinya, meskipun dalam konsepsi Ibn Sina menunjukkan analisis lebih rinci dan digabungkan sepenuhnya ke dalam pandangan komprehensif tentang psikologi. Lihat, Opera III, hlm. 10-14. Bandingkan, Fazlur Rahman, Avicenna's Psychology, hlm. 31.

136. Suhrawardi, Opera II, hlm. 40-46.

137. Suhrawardi, Opera II, hlm. 21.

138. Lihat, Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, fol. 98v.; idem., Opera III, hlm. 5.

139. Untuk bahasan tentang hubungan antara “bagian-bagian" dan “jumlah", lihat, Apendiks C berikut.

140. Suhrawardi, Opera II, hlm. 21.

P: 193

141. Aristoteles, Posterior Analytics 11.3, 90b15: “Tanpa mendefinisikan sesuatu sebagai sifat esensial atau aksiden- kita tidak mendapat pengetahuan tentangnya." 142. Bandingkan, Ibn Sina, Asy-Syifa': Al-Manthiq: Al-Burhān IV.4, hlm. 217-224.

143. Aristoteles, Topics VI.4, 141923-142b.

144. Suhrawardi, Opera II, hlm. 106.

145. Peran filsuf Ilahi (Al-Hakim Al-Muta'allih) dalam mengajarkan hikmah yang diperoleh melalui kajian Filsafat Iluminasi sangatlah penting. Guru semacam itu sama dengan seorang “kutub" (quthb) dalam tasawuf. Orang yang demikian itu biasa disebut "penegak hikmah Iluminasi” (al-qayyīm 'alā Al- Isyrāq). Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 10-13, 244, 256, serta 260.

146. Suhrawardi, Opera I, hlm. 401.

147. Lihat, Immanuel Kant, Logic, terjemahan R. Hartman dan W.

Schwartz, (New York: Library of Liberal Arts, 1974), hlm.

141-146; N.K. Smith, A Commentary to Kant's Critique of Pure Reason. (New York: Humanities Press, 1971), hlm. 564- 565; Lewis W. Beck, “Kant's Teheory of Definition", dalam The Philosophica Review, vol. 65, 2 (374) (April, 1956), hlm.

179-191.

148. Dasar intuisi matematika kini sudah banyak peroleh perhatian setelah terbitnya karya Dummet, Elements of Intuitionism.

(Oxford: Oxford University Press, 1976). Lihat juga, A.

Heyting, Intuitionism: An Introduction. (Amsterdam: North- Holland Publishing Company, 1956).

149. Alfred J. Ayer, Language, Truth, and Logic. (London: V. Cictor Gollanz Ltd., 1950), hlm. 59-71. Bandingkan, Paul T. Sagal, "Implicit Definition," dalam The Monist, vol. 57, no. 3 (Juli, 1973), hlm. 443-450.

150. Istilah-istilah lain semisal himpunan, perangkat, kumpulan, dan majemuk, juga digunakan dan mungkin ini yang

P: 194

dimaksud oleh Suhrawardi dengan Al-ijtima'.

151. Bertrand Russel, Introduction to Mathematical Philosophy.

(New York: Simon and Schuster, tanpa tahun), hlm. 12.

Bandingkan, Irving Copi, Symbolic Logic, (New York: The Macmillan Co., 1965), Bab VI; Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, (New York and Wien: Springer-Verlag, 1975), hlm. 31-39

P: 195

P: 196

BAB 4: PENGETAHUAN, ILUMINASI, DAN KOSMOLOGI

1. MUNGKINKAH MENGETAHUI PENILAIAN SUHRAWARDI ATAS PANDANGAN PERIPATETIK?

Point

Telah saya tunjukkan dalam Bab 3, bahwa Suhrawardi memandang metode Definisi Peripatetik sebagai cara yang tidak valid untuk memperoleh pengetahuan. Kita melihat bahwa tujuan yang diinginkan dari epistemologi Iluminasi adalah jenis pengetahuan sesungguhnya yang diketahui melalui keyakinan (yaqin).(1) Di satu sisi, jenis pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang esensi saja, dan di sisi lain, ia adalah pengetahuan yang menggabungkan bentuk-bentuk abadi yang tidak berubah.

Syarat-syarat kaku yang ditetapkan Suhrawardi bagi kemungkinan mengetahui ini, sepenuhnya bukan tanpa preseden sebelumnya dalam filsafat. Melalui filsafat diskursif, menurut Suhrawardi validitas formal bisa dipastikan. Akan tetapi, ia membedakan antara pengetahuan diskursif, pengetahuan yang berdasarkan intuisi, dan memandang jenis pengetahuan yang disebut terakhir ini memiliki keunggulan epistemologi. Pembedaan ini adalah modifikasi Suhrawardi atas pandangan Aristoteles tentang pengetahuan yang digambarkan dalam Posterior Analitics.(2) Menurut pandangan Suhrawardi, jenis pengetahuan paling valid adalah sejenis “pengalaman" oleh subjek mengenai apa yang disebutnya sebagai “cahaya-cahaya apokaliptik" (ash-shawānih

P: 197


1- 1. Suhrawardi sering menggunakan istilah yaqini atau mutayaqqana ketika ia ingin memodifikasi pengetahuan dengan sifat “pasti". Misalnya, Suhrawardi, Opera II, hlm. 21. Istilah yagini mungkin dapat disamakan dengan επιστήμη, misalnya, Tsabit bin Qurrah, Al-Madkhal, hlm. 4, 14 dan 185.
2- 2. Pembedaan antara penalaran dan pengetahuan intuitif telah dilakukan oleh Aristoteles. Namun, ia tidak mengizinkan intuisi memainkan kedudukan penting dalam konstruksi filsafat, sebagaimana hal itu ditunut oleh Suhrawardi. Untuk bahasan pandangan Aristoteles tentang hal ini, lihat Victor Kal, On Intuition and Discursive Reasoning in Aristoteles. (Leiden: E.J. Brill, 1988), terutama hlm. 44-53.

an-nūriyyah). Secara umum, inilah pengetahuan yang diperoleh melalui suatu cara kognisi yang disebut pengalaman “mistis".

Suhrawardi memandang pengalaman-pengalaman seperti itu sebagai dasar untuk membangun filsafat diskursif secara sistematis melalui berbagai metode, semisal demonstrasi.

Validitas segenap uraian diskursif semacam ini bergantung sepenuhnya pada pengalaman subjek. Suhrawardi memandang visi mistis, intuisi, dan secara umum. Bentuk pengetahuan eksperiensial atau dialami sebagai berstatus sama dengan pengetahuan yang berpijak pada premis-premis demonstrasi primer dan terbukti dengan sendirinya (badihī).

Suhrawardi menggunakan sebuah analogi kegemarannya untuk menggambarkan pandangannya tentang pengetahuan.

la membandingkan observasi fisik (irsyād jismani) dengan observasi spiritual (irsyād rūhāni), dan menegaskan bahwa jenis keyakinan yang sama, kalau bukan malah lebih tinggi, sebagaimana diperoleh dari dunia data indrawi (al-mahsūsāt) juga bisa diperoleh dari mengamati atau “melihat" yang nonjasmani.(1) la gunakan analogi ini dalam berbagai bentuknya dan di banyak tempat dalam karya-karyanya, serta para komentatornya juga menggunakannya untuk mengilustrasikan dasar-dasar teori pengetahuan Iluminasi.(2) Bagi Suhrawardi, seseorang tidak bisa beranjak mengetahui sesuatu dengan menganalisisnya menggunakan metode konsepsi ſtashawwur] dan penilaian [tashdiq) yang akan kita bahas nanti), tetapi dengan mempunyai pemahaman intuitif ihwal keseluruhan realistas dan kemudian menganalisis intuisi itu. Ini berarti bahwa Filsafat Iluminasi dibangun dengan berbagai visi dan pengalaman mistis tentang keseluruhan realitas dan

P: 198


1- 3. Sebutan khusus diberikan kepada ilmu Astronomi (al- ‘ilm al-hai'ah) dengan implikasi, bahwa seperti seseorang memprediksi kejadian-kejadian astronomis di masa depan, ia juga bisa membuat prediksi-prediksi yang valid tentang alam spiritual yang tak terlihat. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm.13.
2- 4. Lihat, Asy-Syirazi, Syarh II; Ibn Al-Khathib, Raudhah at-Ta'rif II, hlm. 564-565.

bukan dengan mendefinisikan hal-hal majemuk dalam realitas.

Teori Definisi Suhrawardi, seperti telah kita lihat dalam bab sebelumnya, pada dasarnya merefleksikan posisi epistemologi dasar ini.(1)

1.1. Dasar Ontologis ketidakpastian Epistemologi Peripatetik

Terlepas dari kritik formal atas metodologi Peripatetik, Suhrawardi menyerang pandangan Peripatetik tentang pengetahuan berdasarkan pandangannya tentang wujud juga.

Kita akan membahas teori Suhrawardi tentang wujud agak lebih rinci di akhir bab ini. Secara singkat, ini adalah sebuah teori yang menurutnya, eksistensi hakiki atau esensi dari entitas "yang terlihat" (yang diindra atau dipahami secara intelektual) adalah dasar wujud. Teori ini menganggap wujud dalam pengertian univokal sebagai bersifat murni abstrak, atau mental, atau bisa disebut bersifat ideal. Entitas ideal ini ada hanya dalam pikiran saja, dan tidak bisa berperan sebagai dasar bagi wujud dari hal- hal "yang terlihat". Esensi dari entitas-entitas ini menentukan apa sesungguhnya semuanya itu, dan apa yang kita lihat di dunia nyata ditentukan oleh esensi dari entitas-entitas itu. Jadi, esensi-esensi dari segala sesuatu adalah yang paling hakiki, dan dengan demikian, paling bisa diketahui. Bagi Suhrawardi, hanya esensi-esensi hakiki dari segala sesuatu saja, sebagai entitas-entitas dasar dan dipahami - yang menjadi dasar sebuah ontologi yang berperan menjelaskan proses mengetahui segala sesuatu.

Di akhir kritik umumnya atas teori Peripatetik tentang wujud, dalam Bagian Ketiga Hikmah Al-Isyrāq yang penting dan

P: 199


1- 5. Lihat, Bab III, * 3-4 sebelumnya.

terkenal,6 Suhrawardi mencurahkan hukum kedua dari sepuluh hukum, $70, untuk menyerang pandangan Peripatetik tentang dasar pengetahuan. Bagian itu berjudul Tentang Penjelasan Bahwa (Posisi] Peripatetik Membuat Sesuatu Tidak Mungkin Diketahui.(1) Bagian ini dibagi menjadi dua; dalam bagian pertama, Suhrawardi menyebutkan argumen-argumennya menentang Peripatetik, dan dalam bagian kedua, ia mengemukakan dasar Iluminasi alternatif untuk pengetahuan. Dalam berbagai argumennya menentang kaum Peripatetik, Suhrawardi berbicara tentang enam isu:

1. Menurut kaum Peripatetik, substansi-substansi (al-jawāhir) mempunyai diferensia yang tidak diketahui (fushül majhūlah).

2. Substansialitas (al-jauhariyyah) menurut kaum Peripatetik, hanya bisa diketahui melalui sifat-sifat negatif, yakni tidak menunjukkan realitas dari sesuatu.

3. Menurut kaum Peripatetik, jiwa dan substansi-substansi terpisah (al-mufāraqāt), yakni semua bentuk substansi semisal intelek, adalah diferensia yang tidak bisa diketahui.

4. Menurut kaum Peripatetik, aksiden-aksiden dan sifat- sifat sesuatu yang digolongkan ke dalam berbagai kategori hanyalah konsep-konsep mental. Ini berarti, misalnya idea warna (al-launiyyah) adalah konsep mental (amr i'tibārī) dan tidak punya wujud empiris (lā wujūd fi al-a'yān); ini mengimplikasikan bahwa kaum Peripatetik tidak bisa “membangun" konsep-konsep dasar tentang segi-segi jasmani (ajsām) atau aksiden-aksiden dari sesuatu di dunia nyata. (2) 5. Kaum Peripatetik memandang wujud dalam pengertian univokal (seperti disebutkan dalam metaphysica generalis),(3)

P: 200


1- 7.Ibid., hlm 73. Asy-Syirazi menambahkan, “[ketidakmungkinan mengetahui] ini sebagai akibat, yang mesti dalil-dalil Peripatetik, dan untuk alasan ini Suhrawardi menambahkan ‘mereka menjadi pasti', " (Syarh II, hlm. 203:14-15).
2- 8. Suhrawardi, Opera II, hlm 73.
3- 9.Lihat, Philip Merlan, From Platonism to Neoplatonism, 3rd. ed. (The Hagues: Martinus Nijhoff. 1968), hlm 160-220. Dalam Filsafat Persia Kontemporer, pembedaan dilakukan antara 1. metaphysica generalis ('umūr 'āmmah); 2. substansi dan aksiden; 3. teologi dan metaphysica specialis (ilāhi bi ma'nā-yi akhashsh). Lihat, Muhammad H. F. Tuni, Ilāhiyyāt. (Tehran: Tehran University Press, 1333 H), hlm. 1-4. Pembedaan ini juga dilakukan oleh Suhrawardi. Lihat, Bab III, $3.2 sebelumnya.

sebagai sesuatu yang paling jelas (azhhar). Menurut Suhrawardi, wujud dalam pengertian univokal adalah konsep mental yang tidak hadir dalam entitas-entitas hakiki di dunia, di luar sana. Perhatikan bahwa ketika menelaah teori Suhrawardi tentang definisi, kita telah menunjukkan bahwa sesuatu yang paling jelas menjadi dasar definisi. Jika wujud dalam pengertian univokal dipandang oleh kaum Peripatetik sebagai sesuatu yang paling jelas, (1) maka ia harus berfungsi sebagai dasar definisi. Akan tetapi, menurut Suhrawardi, definisi semisal itu tidak bisa “ilmiah" karena yang demikian itu akan berarti konsep abstrak yang eksistensinya bergantung pada pikiran subjek yang diterima sebagai dasar bagi ilmu- ilmu hakiki atau sesungguhnya, dan ini absurd sekaligus bertentangan dengan realisme Iluminasi.

6. Kesamaan-kesamaan sifat (lawāzim) sesuatu, yakni sifat- sifat dan aksiden-aksiden atau sifat-sifat nonesensial yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu adalah juga konsep-konsep mental. Ini berarti, gambaran-gambaran semacam itu tidak membuat sesuatu bisa diketahui sebagaimana adanya dalam dunia nyata, yang menjadi tujuan teori Iluminasi tentang pengetahuan.

Keenam pandangan Suhrawardi yang bertentangan dengan kaum Peripatetik di atas, semuanya berpijak pada teori Iluminasi tentang wujud. Teori ini mengganggap, segala sesuatu dan esensi-esensi yang ada dalam dirinya sebagai realitas.

Dengan kata lain, “jelas” atau “tampak" adalah sifat esensial, yang kalau dalam esensi akan menentukan tingkat sejauh mana sesuatu bisa diketahui. Semakin “terlihat" (diindra atau dipahami secara intelektual) sesuatu maka semakin lebih baik

P: 201


1- 10. Dalam ontologi Peripatetik, wujud dianggap sebagai konsep umum yang terbukti dengan sendirinya (mafhūm 'āmm badīhī). Lihat, Tuni, Ilāhiyyāt, hlm. 5; Sayyid Jalaluddin Asytiyani, Hasti. (Masyhad: Khurasan Press, 1379 H), hlm. 7-12; Mahmud Shahabi, Būd va Nam ūd. (Tehran: Theran University Press, 1335H), hlm. 10-15.

ia diketahui. Argumen-argumen Suhrawardi yang bertentangan dan bertolak belakang dengan kaum Peripatetik menunjukkan bahwa ia mengganggap sesuatu seperti “rasionalitas" (yang dengan demikian, kaum Peripatetik mengaku dan mengetahui ihwal apa “manusia" itu) sebagai abstraksi mental yang sama sekali tidak menunjukkan apa manusia itu, karena realitas manusia harus “dilihat" agar bisa diketahui.

Dalam bagian kedua ($ 70), Suhrawardi mengemukakan dasar-dasar pandangannya tentang bagaimana pengetahuan diperoleh. Menurut kaum Peripatetik, segala sesuatu yang sederhana, yang esensinya tunggal dan tidak tersusun dari dua elemen atau lebih, tidak diketahui, tetapi bisa diketahui oleh para praktisi Filsafat Iluminasi. Prinsip yang ditekankan Suhrawardi adalah agar bisa diketahui, sesuatu harus “terlihat" (menggunakan musyāhadah) sebagaimana adanya (kamā huwa), khususnya bila sesuatu itu bersifat sederhana (basith).(1) Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh orang yang “melihat" sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya untuk tidak memerlukan lagi definisi (istighnā 'an at-taʻrīt). (2) Argumen-argumen ini menyuguhkan suatu transisi antara apa yang kita sebut sebagai pendekatan mental pada pengetahuan, pendekatan yang menekankan sejenis "visi" langsung pada esensi dari segala sesuatu yang hakiki, dan menegaskan bahwa pengetahuan dipandang valid hanya bila objek-objeknya bisa "diindra".(3) Mari kita kaji dan telaah argumen-argumen Suhrawardi.

la mengawali dengan sebuah contoh, “Hitam" tegasnya, adalah suatu “wujud tunggal sederhana" (syai' wāhid basith) yang manakala diketahui sebagaimana adanya; ia tidak punya bagian-

P: 202


1- 11. Lihat Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 204: 11-14.
2- 12. Ibid.,
3- 13. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm 42 dan 134-135.

bagian, yang sebagian darinya mungkin bisa dan mungkin tidak bisa diketahui. “Hitam", tidak bisa didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak melihat sebagaimana adanya (lā yumkin taʻrīfuhu li man lā yusyāhiduhu kamā huwa). Artinya, jika sesuatu yang tunggal “hitam" itu "terlihat", maka ia bisa diketahui, sebaliknya, jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang bisa menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau secara benar. Tuntutan Suhrawardi adalah ini hanya berkenaan dengan entitas-entitas tunggal dan bukan majemuk sejalan dan sesuai dengan pandangan kaum Peripatetik. (1) Akan tetapi, pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan objek agar dapat diketahui, dikemukakan dengan proposisi umum bahwa pengetahuan tentang segala sesuatu pun bertumpu pada hubungan antara objek dan subjek yang mengetahui, dan seterusnya. Pengetahuan ini menuntut bahwa subjek yang mengetahui ada dalam posisi di mana pengetahuan itu memahami sesuatu secara langsung, dengan cara menghubungkan pandangan sebagai suatu pertemuan aktual antara subjek yang melihat dan objek yang terlihat, suatu hubungan antara dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan Iluminasi" (idhāfah isyrāqiyyah) inilah yang menjadi ciri pandangan Suhrawardi tentang dasar pengetahuan. Karenanya, Suhrawardi menetapkan, "Sekiranya sesuatu sudah terlihat, maka orang tidak memerlukan lagi definisi," (man syahidahu [asy-syai') istaghnā 'an at-taʻrīt), dan dalam hal ini, “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indra", (shūratuhu fi al-'aql ka shūratihi fi al-hiss). (2) Pandangan tentang pengetahuan ini adalah prinsip utama dalam dasar

P: 203


1- 14. Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 15v.
2- 15. Suhrawardi, Opera II, hlm 73-74.

Filsafat Iluminasi. (1) Suhrawardi selanjutnya menegaskan bahwa pengetahuan tentang segala suatu yang majemuk diperoleh sebagai konsekuensi dari pengetahuan tentang entitas-entitas sederhana. Ia menjelaskan hal ini dengan terlebih dahulu menempatkan adanya hubungan antara hal-hal sederhana yang hakiki (al-basā'ith al-haqiqiyyah) dengan imbangan mental sederhana (al-basā'ith adz-dzihniyyah)-nya dengan jalan persepsi indra, seperti pengetahuan tentang warna, suara, bayangan, rasa, bau, dan lain sebagainya. Ia berargumen dengan menggeneralisasi prinsip ini: seseorang bisa menciptakan dasar pengetahuan yang universal. Karena itu, pengetahuan tentang hal-hal sederhana adalah melalui esensinya, sementara pengetahuan tentang hal-hal majemuk adalah melalui sifat-sifat esensinya. Akibatnya yang pasti adalah substansi (suatu entitas tunggal, yang menurut Suhrawardi adalah sesuatu yang hakiki) bisa diketahui melalui dirinya, tetapi hanya dengan cara hubungan Iluminasi dengan subjek yang memahami, yang “memahami" dan “melihat”-nya sebagai esensi sifat-sifat dari hal yang hakiki itu.

Bagi Suhrawardi, pengetahuan pada dasarnya diperoleh melalui bentuk persepsi khusus, yang disebut “melihat" atau "visi" (musyāhadah). Bentuk persepsi ini, yang dikatakan sebagai pengetahuan yang lebih tinggi dan lebih penting daripada pengetahuan predikatif, menekankan pengetahuan intuitif, di mana subjek mempunyai penangkapan langsung atas objek tanpa perantara predikat.(2) Jadi, jika bagi kaum Peripatetik pengetahuan mengambil bentuk proposisi predikatif (X adalah Y), maka pengetahuan intuitif Suhrawardi dapat direduksi ke dalam, apa yang dewasa ini disebut proposisi eksistensial (X adalah), di mana “adalah" menandakan esensi.

P: 204


1- 16. Yang dimaksudkan Suhrawardi dengan musyāhadah adalah bentuk khas kognisi yang memungkinkan seseorang punya penangkapan langsung atas esensi objek. Suhrawardi, Kalimah At-Tashawwuf. (MS Tehran: Majlism Majmū'ah, 3071), hlm. 398: “Al-musyāhadah hiya syuruq al-anwār 'alā an-nafs bi haitsu yangathi' munāza'ah al-wahm." Bandingkan, Mulla Sadra, Ta‘liqāt, Syarh II, hlm. 204. (Catatan Pinggir).
2- 17. Yang saya maksudkan adalah jenis pengetahuan yang melampaui pengetahuan biasa. Jenis pengetahuan ini “sepenuhnya intuitif”. Tulis Philip Merlan, “Yang menangkap pengetahuan ini berkaitan dengan hal-hal yang wataknya mendiktekan bahwa mereka tidak mempunyai predikat apa pun, seperti Tuhan. Pengetahuan ini berlaku pada benda-benda "wujud atas" dan disebut áyxívola oleh Aristoteles, (Merlan, Ibid., hlm 186). Biasanya diterjemahkan dengan “intuisi" atau sifat "cepat mengerti". Bandingkan, Aristoteles, Posterior Analytics 11.34, 89b10. Bandingkan, idem., Nicomachean Ethics VI.9, 1142b6. Plotinus yang dianggap pendukung Yunani yang paling penting terhadap intuisi (misalnya, Kairo, The Evolution of Theology in The Greek Philosophers, [Glasgow, 1923], vol. 1, hlm. 220-221). “Hal-hal esensial teori Intuisi adalah: saya mempunyai pengenalan langsung mengenai realitas eksternal dalam persepsi indra saya. Saya mempunyai pengenalan langsung mengenai realitas internal, yakni melalui proses pemikiran dengan introspeksi sebagai indra dalam”. (Leighton, Man and Cosmos. [Appleton, 1922]), hlm. 51. Bandingkan, pembedaan antara tteidu dan áváykŋ (secara literal: persuasi versus kemestian logis, yakni pembedaan antara pengetahuan Diskursif dan langsung), dalam Plotinus, Enneads, V.3.6.

Kita akan menganalisis bentuk persepsi dan pengetahuan yang khas ini secara lebih rinci. Akan tetapi, kita terlebih dahulu akan mengkaji dan menelaah secara singkat pembagian pengetahuan ke dalam konsepsi ſtashawwur] dan penilaian [tashdiq] untuk menjelaskan rincian-rincian berbagai keberatan Suhrawardi atas epistemologi Peripatetik, seperti akan dijelaskan berikut di bawah ini, kekukuhan Suhrawardi untuk merumuskan kembali pandangan baku kaum Peripatetik tentang konsepsi [tashawwur] dan penilaian [tashdiq] mengisyaratkan atau menunjukkan posisi epistemologi Iluminasi dalam filsafat. Hal ini tidak sekadar menunjukkan preferensi dalam terminologi logika, seperti ditafsirkan sang komentator, Asy-Syirazi. (1)

2. KONSEPSI (TASHAWWUR) DAN PENILAIAN (TASHDĪQ): PEMBAGIAN EPISTEMOLOGI PERTAMA

2.1. Keberatan-keberatan Suhrawardi atas kaum Peripatetik

Dalam bagian paling awal Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, Suhrawardi mengemukakan posisinya mengenai pembagian pengetahuan ke dalam konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq). Posisi filosofis ini berbeda dari posisi kaum Peripatetik berkenaan dengan tiga hal: [1] Kaum Peripatetik membagi pengetahuan secara umum ke dalam konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq),(2) sementara bagi Suhrawardi, setiap “objek pencarian" (mathlūb) itu, yakni, problem atau persoalan- yang harus dibagi.(3) Tidak jelas mengapa Suhrawardi bersiteguh pada pendapat ini, kecuali untuk menunjukkan keyakinannya bahwa dalam beberapa hal, pengetahuan intuitif tentang “objek pencairan" adalah konsepsi (tashawwur) yang mengandung

P: 205


1- 18. Lihat, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 41-42.
2- 19. Bandingkan, Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Madkhal, III, hlm. 17018; idem., Asy-Syifa': Al-Burhān, I, hlm. 51-53; III, hlm. 57; idem., Asy-Syifā': Al-llāhiyyāt 1.1, hlm. 29-36; idem., An-Najāh, hlm. 3-4; Al-Ghazali, Mi'yar al-'Ilm, hlm. 67-68.
3- 20. Suhrawardi, Al-Masyari' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 1v.

penilaian (tashdiq), sementara dalam berbagai hal lainnya, penilaian (tashdiq) mungkin terpisah dari dan mengikuti konsepsi [tashawwur]; [2] Kaum Peripatetik menguraikan pembagian ini secara panjang lebar, dan membahas berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq) dalam predikasi. Sebaliknya, pembahasan Suhrawardi singkat, terutama pembahasan deskriptif yang ditujukan untuk menjelaskan berbagai kesalahan dan kekeliruan kaum Peripatetik; (1) [3] Definisi konsepsi (tashawwur) sebagai “pencapaian bentuk- bentuk wujud dalam pikiran yang ditunjukkan dengan ungkapan sederhana", dan penilaian (tashdiq) sebagai “penilaian atas dua hal ihwal apakah yang satu adalah yang lain atau tidak", dikatakan salah oleh Suhrawardi.(2) Suhrawardi menerima pembagian formal pengetahuan oleh kaum Peripatetik ke dalam konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq). Akan tetapi, agar pengetahuan tentang sesuatu memiliki lebih dari sekadar validitas formal belaka, ia harus dibangun berdasarkan inspirasi Ilahi. Posisi Iluminasi menegaskan bahwa pertolongan Tuhan memungkinkan seseorang mengetahui sesuatu sebagaimana adanya.(3) Karakteristik epistemologi pengetahuan yang dibangun berdasarkan inspirasi ini, adalah pengetahuan dengan kehadiran (yakni, al-'ilm al-hudhūrī– peny.) dan terdiri atas konsepsi (tashawwur) tentang sesuatu berikut penilaian (tashdiq) langsungnya. Pengetahuan dengan kehadiran ini membedakan epistemologi Iluminasi dari teori Peripatetik. Lebih jauh, pembagian pengetahuan ke dalam pengetahuan yang terbukti dengan sendirinya (badihi) — yang juga disebut pengetahuan primer (awwali) — dan pengetahuan spekulatif (nazhari) atau perolehan (muktasab), yakni

P: 206


1- 21. Ibid.,
2- 22. Ibid., fol, 1r.
3- 23. Suhrawardi, At-Talwībāt: Al-Manthiq, hlm. 2: “Yu'ayyid ibn al- basyar bi rūh qudsi yurih asy-syai' kamā huwa." [Pertolongan Tuhan sama dengan peran akal aktif dalam epistemologi Peripatetik. Ruh Kudus (Ruh Al-Quddūs) dan sama dengan bahasa Persia (ravān bakhsh), berarti dator spiritus, sebagai pemberi pertolongan Tuhan, diidentifikasi oleh Suhrawardi dalam berbagai contoh dengan akal aktif, yang juga disebut "pemberi pengetahuan dan bantuan Tuhan" (wāhib al-'ilm wa al-ta'yid)]. Suhrawardi, Opera II, hlm. 201. Bandingkan, idem., Opera III, hlm. 221: “... sinar memancar dari Ruh Kudus." Ruh Kudus selanjutnya diidentifikasi dengan dator formarum (wāhib al-shuwar) dan Malaikat Jibril. (idem., Opera II, hlm. 265). Dalam kosmologi Iluminasi, Ruh Kudus sama dengan cahaya abstrak (non-duniawi) yang disebut Isfahbad an-Nāsūt, yang di samping berperan sebagai akal aktif dan dator formarum, mempunyai fungsi khusus (yakni, jenis kesadaran diri murni juga), karena kesadaran ini menunjukkan esensinya melalui dirinya: “wa huwa an-nūr al-mudabbir al- ladzi huwa Isfahbad an-Nāsūt wa huwa al-musyār ilā nafsihi bi al-'anā'iyyah". Idem., Opera II, hlm. 201. Untuk bahasan rinci tentang peran dator formarum dalam epistemologi lluminasi juga kedudukannya dalam fisika. Lihat Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 263-269. Fungsi “tertinggi"-nya disebut sebagai memberi wujud (wāhib al-shuwar yu'tī al-wujud). ibid., hlm. 268.

pembagian Peripatetik ke dalam konsepsi (tashawwur) dan penilaian (tashdiq) pun ditinggalkan oleh Suhrawardi, dan beralih ke pembagian menjadi pengetahuan fitri dan pengetahuan perolehan.(1) Pembagian ini menunjukkan arah epistemologi yang berbeda dari epistemologi kaum Peripatetik. Hal-hal yang bisa diketahui secara fitri berperan sebagai dasar “penglihatan" atau “visi” (musyahadah) khusus yang melaluinya, hal-hal itu benar-benar bisa diketahui. (2) Oleh karena itu, kepastian dalam pengetahuan, yakni tujuan ilmu, didasarkan pada segenap visi dan intuisi fitri, yang di satu sisi berperan sebagai dasar logis bagi validitas formal ilmu, dan di sisi lain berperan sebagai dasar-dasar psikologis kepastian dalam pengetahuan.(3) Suhrawardi menentang subordinasi yang dilakukan kaum Peripatetik atas lingkup dan fungsi konsepsi (tashawwur) kepada penilaian (tashdiq), karena hal ini membatasi bentuk pengetahuan tertinggi ('ilm atau maʼrifah)(4) menjadi sekadar formula definisi esensialis.(5) Suhrawardi berargumen bahwa metode Peripatetik semacam itu gagal mengantarkan kepada dasar kepastian yang kuat dalam hal pengetahuan. Ia menegaskan bahwa pengetahuan ini adalah korespondensi yang benar dan lebih tinggi (muthābaqah) antara subjek dan objek sebagai akibat dari adanya hubungan antara keduanya dalam kesadaran diri ('anā'iyyah) subjek.(6) Posisi Iluminasi ini mensyaratkan bahwa penilaian (tashdiq) harus disubordinasikan kepada konsepsi (tashawwur, dalam pengertian intuitif).

Suhrawardi juga memperkenalkan seluruh bagian konsepsi [tashawwur] (yang mengandung penilaian [tashdiq] yang melampaui berbagai konsepsi yang terbukti dengan sendirinya dalam skema Peripatetik, dan yang mengandung pengetahuan

P: 207


1- 24. Suhrawardi, At-Talwihāt: Al-Manthiq, hlm. 2; idem., Al- Masyāri' wa al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 96r.; idem., Opera II, hlm. 18. Bandingkan, Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar I, hlm. 7-8.
2- 25. Suhrawardi, Opera II, hlm. 18-19. Bandingkan, Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar III, hlm. 1, 4 dan 35-41.
3- 26. Kedudukan Iluminasi dalam teori Pengetahuan dapat disebut sebagai teori “Plato". Bandingkan, F. E. Peters, Aristoteles and The Arabs. (New York: New York University Press, 1968), hlm. 173: “Senjata pengetahuan apriori (maʼrifah awwaliyyah) digunakan untuk menentang keseluruhan struktur psikologi Peripatetik, dan melalui penerapannya pada kriteria yang sama Abu Al-Barakat Al-Baghdadi sampai pada kedudukan Ar- Rāzī atau lebih baik, Plato tentang ruang dan waktu absolut." Lihat, Pines, Studies in Abu Al-Barakat Al-Baghdadi's Poetics and Metaphysics, hlm. 122.
4- 27. Misalnya, Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Madkhal III, hlm. 17-18. Istilah 'ilm dan ma'rifah, keduanya digunakan oleh Peripatetik untuk melambangkan pengetahuan dalam pengertian umum, yang oleh Suhrawardi disebut idrāk, dan ini mempunyai pengertian persepsi atau kognisi sebagai proses mengetahui, kecuali Al-Ghazali yang membedakan antara maʼrifah yang berkaitan dengan tashdiq, dan 'ilm yang berkaitan dengan tashawwur , (Al-Ghazali, Mihak an-Nazhar, disunting oleh An- Na'sani, [Beirut: Dār al-Masyriq, 1965), hlm. 8-10.
5- 28. Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 100v.
6- 29. Ibid., fil. 100v., 100r. Dalam hal ini, pandangan Plotinus dan Neoplatonis, (Cambridge: Bowes and Bowes, 1952), hlm 111: "Plotinus menganggap pengetahuan sebagai hasil dari metode analisis dan sintesis manusia yang tidak sempurna, sementara intuisi adalah penyempurnaan pengetahuan diri manakala ada identitas yang sempurna antara subjek dan objek pengetahuan semcam itu." Lihat, Plotinus, Enneads V.3, hlm. 2-3.

tertinggi tentang "diri" yang mengetahui, serta esensi dari segala sesuatu sebagaimana adanya.

Melalui kritiknya atas kaum Peripatetik, Suhrawardi mengarahkan perhatian pembaca kepada rumusan baru, pembagian ganda pengetahuan. Ini, seperti akan kita lihat nanti, mengantisipasi “pengetahuan lluminasi" (al-'ilm Al-Isyrāqi), suatu jenis pengetahuan yang hanya didasarkan pada konsepsi atau kondisi diri di mana konsepsi (tashawwur] dan penilaian [tashdiq] berjalan secara simultan.

2.2 Pembagian Pengetahuan Menurut Kaum Iluminasionis

Kriteria Suhrawardi bagi pengetahuan yang benar dan pasti hanya bisa ditemukan dengan sebuah metode yang dengannya sesuatu "dilihat" agar bisa diketahui sebagaimana adanya. “Melihat" sesuatu dalam pengertian ini sama artinya dengan memperoleh esensi dari sesuatu itu. Kita melihat bahwa Suhrawardi memegang posisi filsafat bahwa definisi (sebagaimana dipahami kaum Paripatetik) tidak bisa mengantarkan pada konsepsi yang valid, dan karenanya juga tidak bisa mengetahui esensi dari sesuatu.(1) Sejauh ini, ia telah mengkritik kaum Peripatetik, dan seperti telah kita lihat, menegaskan pentingnya pertolongan spirit Ilahi dalam memperoleh pengetahuan.(2) Telah kita lihat lebih jauh, ini benar-benar menunjukkan teori epistemologi alternatif yang disebut sebagai pengetahuan dengan kehadiran (al-'ilm al-hudhūrī).

Sekarang, kita mulai menelaah Hikmah Al-Isyrāq tentang persoalan dasar pengetahuan, dan di sini kaidah kedua (* 8) dari Bab Pertama I, sangat penting secara khusus. Dalam bagian ini, Suhrawardi mengemukakan kembali persoalan yang sudah

P: 208


1- 30. Lihat, Bab III 3 sebelumnya.
2- 31. Suhrawardi, At-Talwāhāt: Al-Manthiq, hlm. 2.

diangkatnya dalam At-Talwihat berkenaan dengan pembagian Peripatetik tentang pengetahuan ke dalam konsepsi (tashawwur] dan penilaian [tashdiq]. Yang juga menarik secara khusus adalah pandangan-pandangan komentatornya, yakni Asy-Syahrazuri dan Asy-Syirazi. (1) Bagian yang kita kaji dan telaah berjudul Tentang Pembagian [Pengetahuan]: Konsepsi [Tashawwur] dan Penilaian [Tashdiq) dalam Hikmah Al-Isyrāq edisi Corbin. Judul ini adalah tambahan Corbin dan juga komentatornya, Asy-Syirazi, tetapi tidak diberikan oleh Asy-Syahrazuri dalam komentarnya.(2) Istilah “konsepsi" [tashawwur] dan “penilaian" [tashdiq] bukan istilah di kalangan kaum Iluminasionis; dua istilah ini tidak digunakan Suhrawardi dalam Hikmah Al-Isyrāq.(3) Komentator-komentator yang kemudian, dalam usaha mereka memodifikasi pandangan- pandangan Suhrawardi dengan tujuan menyesuaikan pandangan- pandangan itu dengan skema Peripatetik Tradisional - yang mengidentifikasi bagian dari karya Suhrawardi ini dengan pembagian pengetahuan ke dalam “konsepsi" [tashawwur] dan “penilaian" [tashdiq]. Namun, ini menjadi sebutan yang tidak tepat atas bagian ini dan harus ditolak. Asy-Syahrazuri, yang karyanya berjudul Syarh Hikmah Al-Isyrāq lebih setia kepada segenap maksud atau tujuan Iluminasionis Suhrawardi ketimbang komentar karya Asy-Syirazi, menghindari istilah- stilah konsepsi (tashawwur] dan penilaian [tashdiq). Karena itu, dengan mengkaji dan menelaah bagian ini, akan menjadi jelas bahwa Suhrawardi berusaha merumuskan kembali teori Peripatetik dan dengan sengaja menghindari penggunaan istilah-istilah konsepsi (tashawwur] dan penilaian (tashdiq).

Suhrawardi mengawali bagian ini dengan menegaskan

P: 209


1- 32. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 38:13-45:1.
2- 33. Suhrawardi, Opera II, hlm 15. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 38:13. Bandingkan, Asy-Syahrazuri, Syarh, fol. 27r.
3- 34. Istilah tashdiq hanya sekali disebutkan dalam Hikmah Al- Isyrāq, dalam pengertian "afirmasi” dalam hubungannya dengan proposisi, (Opera II, hlm. 57).

bahwa "persepsi" (idrāk)(1) sebagai tindakan mengetahui “sesuatu yang tidak hadir" (asy-syai' al-ghā'ib), terjadi ketika ide (mitsāl) dan realitas (haqiqah)(2) dari sesuatu diperoleh orang, yakni dalam diri subjek yang mengetahui.(3) Suhrawardi menganggap yang demikian ini sebagai pandangan tentang pengetahuan yang lebih umum daripada yang dilambangkan oleh Peripatetik dengan istilah maʼrifah atau 'ilm. (4) Istilah idrāk, yang diterjemahkan sebagai “persepsi", menunjukkan berbagai cara atau tingkat pengetahuan, termasuk persepsi indra (idrāk hissi) dan persepsi intelektual (idrāk ‘aqli),(5) begitu juga intuisi dan visi. Di samping itu, bagi Suhrawardi, istilah idrāk berlaku pada bentuk pengetahuan yang lebih terbatas ketimbang bentuk “menyadari" atau “memperoleh” (hushūl), sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan atau melambangkan tindakan mengetahui dalam pengertian yang paling luas.

Suhrawardi mengemukakan alasan sebagai berikut:

mengetahui suatu objek (mengetahui dalam pengertian paling luas), berarti bahwa subjek “memperoleh" ide realitas atau hakikat (haqiqah) dari objek. Proposisi ini, tegas komentator Asy-Syirazi, menunjukkan bahwa “pengetahuan yang berdasarkan Iluminasi dan kehadiran" (al-'ilm Al-Isyrāqi al-hudhūrī) yang dengannya dijalin "hubungan Iluminasi” (idhāfah isyrāqiyyah) antara subjek dan objek, yang membuahkan pengetahuan tentang esensi. (6) Pengetahuan Iluminasionis (berbeda dari pengetahuan Peripatetik, yang berbentuk konsepsi (tashawwur), dan kemudian penilaian [tashdiq]) bercorak nonpredikatif. Pengetahuan jenis ini berpijak pada hubungan yang diperoleh tanpa ekstensi waktu – antara "objek" yang hadir dan subjek yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid dalam

P: 210


1- 35. Terjemahan istilah idrak (seperti digunakan oleh Suhrawardi) ke dalam bahasa Inggris mengandung banyak kesulitan. Istilah “persepsi” mungkin paling dekat, tetapi harus dipahami dalam pengertian “penangkapan" yang sangat umum. Tentang berbagai perbedaan makna istilah “persepsi” seperti digunakan dalam filsafat. Lihat, H. J. Hirst, “Perception", Encyclopedia of Philosophy, VI, hlm. 79-87. Tentang berbagai persamaan istilah Yunani dengan idrāk serta modifikasinya, seperti idrāk bi al-'aql, idrāk bi al-fahm, idrāk bi al-hiss, dan sebagainya. Lihat, Afnan, Lexicon, hlm. 98-99. Bandingkan, F. Rahman, Avicenna's De Anima. (London: Oxford University Press, 1959), hlm. 278; Ibn Sina, An-Najāh, hlm. 277-279. Tentang sejarah "persepsi" dalam Filsafat Yunani. Lihat, D. W. Hamlyn, Sensation and Perception. (London: Routledge and Kegan Paul, 1961), hlm. 1-39.
2- 36. Suhrawardi menggunakan istilah haqiqah untuk menunjukkan māhiyyah, yakni kuiditas, Opera II, hlm. 16. Bandingkan, Asy- Syirazi, Syarh II, hlm. 45: 1-3.
3- 37. Suhrawardi, Opera II, hlm. 15: “Huwa [idrāk] bi hushūl al- mitsal haqiqatihi fika." Bandingkan, idem., Opera II, hlm. 2-3: “Syinakht ...an basyad ki shurati az ān-i u dan tū hāshil syavad." Ungkapan yang sama juga dikatakan oleh Suhrawardi dalam salah satu karya mistisnya, Kalimah At-Tashawwuf, hlm. 353-354.
4- 38. Istilah idrāk seperti yang digunakan oleh Suhrawardi sama dengan genus yang meliputi sejumlah spesies, seperti 'ilm, maʼrifah, hiss, dan sebagainya. Al-Ghazali membagi idrāk ke dalam 'ilm yang sinonim dengan syinākht atau syināsi, dibagi ke dalam idrāk hissi, idrāk dzihni, idrāk ‘aqli, syuíūr, (baik internal maupun eksternal). Lihat, A. M. Misykat ad-Dini, Tahqiq dar Haqiqat-i 'Ilm. (Tehran: Tehran University Press, 1952), hlm. 38-40.
5- 39. Lihat, F. Rahman, Avicenna's De Anima, hlm. 18-22, 25 dan 34; idem., Avicenna's Psychology. (London: Oxford University Press, 1952), hlm. 38-40.
6- 40. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 39: 6-13. Jenis pengetahuan ini semata-mata bergantung pada kehadiran (mujarrrad al- hudhur) objek.

memperoleh pengetahuan. Posisi epistemologi ini juga menjadi dasar bagi kritik Suhrawardi atas teori Definisi Peripatetik.

Sekali lagi, ini adalah jenis pengetahuan yang melaluinya, esensi-esensi segala sesuatu (yakni, segala sesuatu sebagaimana adanya) bisa "diperoleh". Jenis pengetahuan Iluminasi ini diperkuat oleh pengalaman tentang “kehadiran” (hudhūr) objek, yakni tidak mensyaratkan adanya konsepsi ſtashawwur] dan kemudian penilaian [tashdiq]; ia bersifat nonpredikatif dan tidak melibatkan proses waktu. Ia langsung dan terjadi dalam durasi waktu yang singkat (ān). Contoh-contoh yang dikemukakan Asy- Syirazi ihwal pengetahuan Iluminasi seperti itu adalah sebagai berikut: pengetahuan tentang Tuhan (‘ilm al-bārī), pengetahuan ihwal entitas-entitas terpisah jasmani ('ilm al-mujarradāt al- mufāraqah), dan pengetahuan tentang diri ('ilm bi-anfusinā).(1) Dari perspektif posisi epistemologi Iluminasi, tidak semua jenis pengetahuan bisa dibatasi ke dalam konsepsi ſtashawwur] dan penilaian [tashdiq) predikatif. Posisi ini lebih jauh berpendapat bahwa "pengetahuan dengan kehadiran" (al-'ilm al-hudhūrī atau pengetahuan yang hadir) lebih dahulu dari “pengetahuan formal" (al-'ilm ash-shūrī), tetapi kedudukan ini bisa “dibuktikan” hanya melalui pengetahuan Iluminasi itu, ketika hubungan Iluminasi antara subjek dan objek juga dicapai. (2) Kita telah lihat bahwa Suhrawardi memandang pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan objek. Argumen-argumennya untuk mendukung pandangannya itu adalah sebagai berikut: sekiranya esensi dari sesuatu diperoleh oleh subjek, barulah sesuatu itu bisa diketahui; jika tidak demikian, maka keadaan (hāl) subjek sebelum pengetahuan dan sesudahnya akan menjadi sama, yang dalam kasus ini bisa

P: 211


1- 41. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 38: 16-19: “Al-'ilm Al-Isyrāqi al- ladzi yakfi fihi mujarrad al-hudhur ka 'ilm al-bārī ta'ālā wa ‘ilm al-mujarradāt al-mufarraqah wa 'ilminā bi anfusinā." Bandingkan, Aristoteles, Metaphysics 1.2, 982b28-983a11; XII. 7, 1178b14-16. Suhrawardi mengembangkan konsep- konsep, semisal al-'ilm Al-Isyrāqi, hudhūr, al-musyāhadah Al-Isyrāqiyyah, dan sebagainya dalam “Al-Masyāri' wa al- Muthārahāt". Opera I, hlm. 480-496.
2- 42. Lihat, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 38: 16-19. Secara umum, jenis pengetahuan yang menempatkan tekanan pada bentuk kognisi intuitif benar-benar non-formal. Bandingkan, Aristotelse, Metaphysics VII.10, 1036a1-8; XII.p, 1075-7; Plotinus, Enneads, IV.3.18, V.3.3. Konsep Suhrawardi tentang pengetahuan dengan kehadiran dapat disamakan dengan apa yang oleh Gilson disebut “intuisi wujud." Lihat, Etienne Gilson, Being and Some Philosophers. (Toronto: Pontifical Institute of Medieval Studies, 1949), hlm. 190-215.

dikatakan bahwa tak ada sesuatu pun yang diperoleh. Karenanya, keadaan (respon psikologis) subjek pada objek adalah salah satu faktor yang menentukan ihwal apakah pengetahuan diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif yang ditempatkan Suhrawardi pada pengetahuan dengan pengalaman, dengan kehadiran, dan dengan intuisi ini sebenarnya bukan bagian dari teori pengetahuan Peripatetik formal, dan secara fundamental predikatif, seperti dikemukakan dan ditekankan Suhrawardi.

Salah satu pernyataan penting Suhrawardi dalam bagian ini adalah harus ada suatu korespondensi sempurna antara “ide" yang diperoleh dalam subjek dan objek; hanya korespondensi seperti ini yang menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya diperoleh.(1) Ini berarti bahwa untuk memperoleh pengetahuan, harus dibangun sebentuk “kesatuan" antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek adalah faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Sebelumnya, sudah kita tunjukkan bahwa bagi kaum Peripatetik, pengetahuan pada dasarnya dibangun oleh jenis “kesatuan" (ittihād) atau hubungan (ittishāl) dengan akal aktif sesudah keterpisahan (infishāl). Yang pertama kali, gagasan ihwal kesatuan dan atau hubungan dengan akal aktif ini, seperti akan kita lihat nanti, diserang habis-habisan oleh Suhrawardi. Ia menegaskan bahwa kesatuan objek dan subjek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan tindak penyadaran diri, dan ini bisa terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, melainkan hanya gradasi manifestasi dari esensi.

Kita berkesimpulan bahwa posisi Suhrawardi ihwal apa yang merupakan pengetahuan Iluminasi berpijak pada kesatuan

P: 212


1- 43. Suhrawardi, Opera II, hlm. 15. Bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 40:8-41:5.

antara subjek dan objek melalui “ide" tentang objek yang diperoleh dalam kesadaran subjek. Sangat penting bahwa kita memahami posisi Iluminasi yang mendasar ini. Pengalaman langsung subjek ihwal "kehadiran" objek menentukan validitas atau kesahihan pengetahuan itu. Dengan demikian, pengalaman tentang berbagai hal seperti Tuhan, jiwa atau diri, dan entitas- entitas terpisah lainnya adalah sama dengan semuanya itu.

3. PENGETAHUAN MELALUI ILUMINASI

3.1. Kritik Suhrawardi atas Pandangan Peripatetik Ihwal...............

3.1. Kritik Suhrawardi atas Pandangan Peripatetik Ihwal Pengetahuan sebagai Kesatuan dengan Akal aktif Dalam At-Talwībāt, Suhrawardi mengidentifikasi dua pandangan tentang pengetahuan dalam pengertian umum (yakni, idrāk). Pandangan pertama, dinyatakan sebagai berikut:

“Sebagian orang berpandangan bahwa ketika seseorang mengetahui sesuatu, ini berarti bahwa subjek dan objek menjadi satu. "(1) Pandangan kedua, dinyatakan sebagai berikut: “Sebagian lainnya berpandangan bahwa ketika jiwa mengetahui (sesuatu), ini berarti bahwa ia telah bersatu dengan akal aktif. "(2) Kedua pandangan di atas, ditolak berdasarkan argumen- argumen yang diambil dari fisika, yakni dua benda menjadi satu entah melalui campuran (imtizāj), hubungan (ittishāl) atau melalui kombinasi (tarkib majmūʻī), yang semuanya itu berlaku dalam segi jasmani saja.(3) Karenanya, Suhrawardi menolak pandangan klasik tentang kesatuan dengan akal aktif sebagai dasar bagi pengetahuan.(4) Dalam Al-Masyāri wa Al-Muthārahāt, Suhrawardi membahas problem pengetahuan dan persepsi dengan cara yang sama dalam At-Talwihāt.(5) Namun, pembahasan itu

P: 213


1- 44. Suhrawardi, Opera I, hlm. 68: “Ba'dh an-nās zhanna anna idrāk al-mudrik syai'an huwa an yasīra huwa huwa."
2- 45. Ibid., “Zhannū anna idrāk an-nafs huwa ittihāduhā bi al-'aql al-fa'āl."
3- 46. Hubungan dan disjungsi hanyalah sifat-sifat badan jasmani yang menjadi diktum metafisika yang dicetuskan oleh Suhrawardi, (Opera I, hlm. 68 dan 475), tetapi argumen untuk mendukung diktum tersebut dikembangkan dalam fisika. Lihat, Suhrawardi, Kitāb At-Talwīhāt (Al-'Ilm ats-Tsānī). (MS, Berlin, 5062). Selanjutnya disebut At-Talwīhāt: Aht-Thabi'ah), fol. 43r, v; lihat juga, idem., Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol. 1110-112v, 115v.
4- 47. Lihat, Philip Merlan, Monophyschism Mysticism Metaconciousness. (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), hlm. 85-113. Bandingkan, Suhrawardi, Opera I, hlm. 69; Ibn Sina, Mabda' wa Ma'ād, terjemahan Mahmud Shahabi, (Tehran: Tehran University Press, 1332 H), hlm. 112-117. Merlan berpendapat bahwa Ibn Sina telah mengkritik Porphyry, (Merlan, Monopsychism), hlm. 25-26. Ironisnya, Merlan menganggap kesatuan sebagai “tonggak khas Filsafat Timur" Suhrawardi, (Merlan, Monopsychism), hlm. 25.
5- 48. Suhrawardi, Opera I, hlm. 474; Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol. 194v.

lebih rinci dan memberikan kepada kita pernyataan yang jelas tentang teori Pengetahuan lluminasi. Dalam bagian $ 201, Suhrawardi mencemooh pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan secara umum tercapai ketika subjek menjadi satu dengan “bentuk" (shūrah) objek. (1) Argumen-argmen yang menentang pendapat ini juga berdasarkan kemustahilan atau ketidakmungkinan fisik dari dua hal yang berbeda menjadi satu.

Argumen yang diajukan di sini, mengambil dimensi tambahan ketika Suhrawardi memperkenalkan gagasan bahwa manusia adalah substansi yang sadar akan esensinya (al-jauhar asy-syāʻir bi-dzātih). Karena itu, ia dapat melepaskan dari bentuk-bentuk, dan yang tetap adalah dirinya (atau seperti ia tegaskan, “Engkau adalah engkau," anta anta), tanpa mempertimbangkan tindak persepsi atau tindak mengetahui. (2) Ini mengasumsikan bahwa kesadaran diri adalah realitas tertinggi, sebuah persoalan yang akan kita bahas kemudian.

Setelah mempertimbangkan pandangan Peripatetik tentang pengetahuan dan persepsi yang ditolaknya,(3) Suhrawardi lantas menegaskan pandangannya (bagian * 208). Terlebih dahulu, ia meminta pembaca mengacu pada Hikmah Al-Isyrāq, yang di dalamnya bisa ditemukan ajarannya. (4) Lebih jauh, ia menegaskan perlunya para pembaca akrab dengan metode At-Tawihāt sebelum mempelajari Hikmah Al-Isyrāq. Metode ini diperoleh Suhrawardi, tegasnya, dalam “perbincangannya" dengan Aristoteles,(5) dan dinyatakan sebagai berikut, “Terlebih dahulu orang harus menyelidiki pengetahuan tentang esensinya dan kemudian naik menuju apa yang lebih tinggi. "(6) Rujukannya adalah visi mimpi Suhrawardi yang terkenal, tentang Aristoteles,(7) yang diceritakan kembali oleh Suhrawardi secara keseluruhan

P: 214


1- 49. Suhrawardi, Opera I, hlm. 474.
2- 50. Suhrawardi, Opera I, hlm. 474-475. Bandingkan, idem., Opera III, hlm. 23; “Tu'i-yi tu, kesadaran adalah keengkauan engkau."
3- 51. Suhrawardi, Opera I, hlm. 475. Bandingkan, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol. 115v.
4- 52. Suhrawardi, Opera I, hlm. 483.
5- 53. Ibid., hlm. 484.
6- 54. Ibid., "Wa huwa an yabhatsa al-insan fi 'ilmihi bi dzātihi tsumma yartaqi ilā mā huwa aʻlā."
7- 55. Visi mimpi bertemu dengan “Aristoteles" diduga oleh Majid Fakhry sebagai “Aristoteles” dalam Theologia. M. Fakhry, A History of Islamic Philosophy. (New York: Columbia University Press, 1970), hlm. 330, catatan 10. Bandingkan, Opera I, catatan hlm. 112. Namun, tampak lebih mirip bahwa yang dimaksudkan Suhrawardi Guru Filsafat Peripatetik, yakni Aristoteles yang sebenarnya, bukan orang lain.

dalam At-Talwihāt,(1) tetapi juga disebutkan di tempat-tempat lain.(2) Dalam visi mimpi ini, yang akan dianalisis kemudian di bawah, Suhrawardi menunjukkan pentingnya pengetahuan diri dalam pandangan Iluminasi tentang pengetahuan, dan persepsi yang bertentangan dengan pandangan Peripatetik tentang pengetahuan yang berdasarkan kesatuan dengan akal aktif.

3.2. Visi Mimpi Suhrawardi Berjumpa Aristoteles

Visi mimpi, sebagaimana dibahas dalam At-Talwihāt, adalah sebuah alegori yang di dalamnya Suhrawardi bertukar pendapat [dengan Aristoteles] tentang pengetahuan.(3) Kisah ini punya sejumlah komponen khas yang perlu dianalisis.

1. Visi. Visi ini muncul pada Suhrawardi pada suatu malam selama kurun waktu yang menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang sangat asyik berpikir dan melakukan praktik asketis (riyādhāt). Visi itu digambarkan menyerupai tidur (syibh naum) dan menyebabkan ekstase (khalsah), suatu keadaan yang disertai dengan kenikmatan yang melimpah (ladzdzah), cahaya kilat (barq), cahaya gemerlap, serta dinyatakan sebagai salah satu tahap perantara dalam pengalaman visioner Iluminasi. (4) Dalam visi itu, Aristoteles, “Guru Filsafat" dan "seorang yang menjadi penolong jiwa", muncul di hadapan Suhrawardi, yang semula dilanda rasa takut dan kekaguman. Ketakutannya pun kemudian berubah menjadi persahabatan ketika Aristoteles menyalami dan menyambutnya dengan hangat.

2. Problem yang diajukan dalam visi. Persoalan yang ditanyakan kepada Aristoteles, yang sudah lama mengharu biru dan mengusik Suhrawardi, adalah persoalan ihwal pengetahuan (mas’alah al-'ilm). Aristoteles ditanya ihwal apa pengetahuan

P: 215


1- 56. Suhrawardi, Opera I, hlm. 70-74.
2- 57. Ibid., hlm. 484.
3- 58. Suhrawardi, Opera I, hlm. 70-74.
4- 59. Terdapat lima belas tangga yang dibahas untuk mendeskripsikan pengalaman visi Iluminasi, dan masing- masing ditegaskan dibarengi dengan pengalaman satu jenis cahaya. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 252; idem., Opera 1, hlm. 108 dan 114.

itu, bagaimana diperoleh, apa yang dikandung, dan bagaimana ia dinilai? 3. Solusi. Solusi Aristoteles adalah “kembalilah kepada jiwa (diri)-mu”.(1) Penting dicamkan bahwa solusi atas persoalan ihwal apa pengetahuan itu adalah melalui jiwa subjek, hakikat dirinya. Pengetahuan diri adalah sebuah komponen penting teori pengetahuan lluminasi. Pengetahuan (sebagai persepsi, idrāk) tentang jiwa adalah penting dan berpusat pada dirinya karena seorang individu menyadari esensi dirinya melalui esensi.(2) Kesadaran diri dan konsep tentang “aku", yakni diri sebagai jiwa atau hakikat diri adalah dasar-dasar pengetahuan.

Yang benar-benar diperoleh melalui kesadaran awal akan esensi diri adalah jalan menuju pengetahuan, (3) yang disebut "ilmu yang berdasarkan kehadiran dan visi” (al-'ilm al-hudhūri asy- syuhūdi), yang bisa dibilang lebih tinggi dari jenis pengetahuan yang diperoleh para filsuf melalui kesatuan dengan akal aktif. (4) Dengan menuturkan ihwal visi mimpi bertemu Aristoteles, Suhrawardi mengemukakan sebuah metafora yang dimaksudkan untuk memecahkan problem-problem epistemologi yang dihadapi dan ditentangnya dalam kritiknya atas kaum Peripatetik. Solusi atas problem-problem ini adalah melalui pengetahuan diri yang menjadi dasar pengetahuan. Kita tahu bahwa jenis pengetahuan ini diperoleh kaum Iluminasionis saat mereka terus beranjak naik menuju kedudukan spiritual (maqām) kesempurnaan psikologis tertinggi, yang disebut sebagai kondisi Persaudaraan Abstraksi (Ikhwān at-Tajrid). (5) “Maqam Abstraksi” (Maqām at-Tajrid) atau kesucian, yang mengingatkan pada kondisi kaum Sufi, dinyatakan dalam At- Talwihāt, sebagai suatu keadaan di mana individu melepaskan

P: 216


1- 60. Suhrawardi, Opera I, hlm. 70: “irji' ilā nafsika."
2- 61. Ibid., “Adraka dzātaka bi dzātika." Kesadaran diri, diri yang menjadi subjek dapat disamakan dengan apa yang disebut l'homme volant. Ibn Sina, (Peters, Aristoteles and the Arabs, hlm. 173). Lihat, Rahman, Avicenna's Psychology, hlm. 8-20.
3- 62. Suhrawardi, Opera I, hlm. 75. Bandingkan, Ibid., hlm. 121.
4- 63. Ibid., hlm. 74, 88 dan 90.
5- 64. Lihat, Suhrawardi, Opera I, hlm. 73, catatan 73, 95, 103, 113; Idem., Opera II, hlm. 242 dan 252.

diri dari semua kesibukan duniawi.(1) Dalam keadaan seperti ini, seseorang bisa “melihat" esensi dirinya dan mengetahui "aku" sebagai yang mengetahui zatnya, yang kemudian pengetahuan itu berperan sebagai dasar pengetahuan yang diperoleh dan bangunan bagi filsafat berikutnya.(2) Sekarang, mari kita beralih pada kajian dan telaah atas problem pengetahuan diri, asal-usul, dan perkembangannya dalam karya-karya Suhrawardi.

3.3. Pandangan Iluminasi Tentang Pengetahuan Diri

Dalam “buku" keempat tentang fisika dalam At-Talwīhāt, yang bisa disamakan dengan De Anima, Suhrawardi mencurahkan keseluruhan bab (Bab IV)(3) untuk membahas pengetahuan diri individu, pengetahuan tentang esensinya, dan juga kesadaran diri.

Problem itu diperkenalkan dengan pertanyaan, “Bukankah engkau tak pernah, tidak menyadari esensi dirimu (dzātuka) di saat tidur maupun terjaga?"(4) Pertanyaan ini langsung dijawab sebagai berikut, “Jika seseorang mengajukan postulat atau dalil dalam pikiran ihwal seorang manusia yang secara tiba- tiba (daf'atan) diciptakan dalam keadaan sempurna, tanpa menggunakan segenap anggota badan atau persepsi indrawinya, maka manusia ini tidak akan menyadari apa pun, kecuali wujud dirinya (inniyyah)."(5) Suhrawardi mengelaborasi lebih jauh bahwa pengetahuan tentang esensi diri seseorang adalah penting dan mesti sifatnya (wājib).(6) Apa yang dikatakan Suhrawardi sejauh ini tentang fisika dalam At-Talwihāt (IV, 3.1) adalah uraian dari apa yang menjadi ajaran Ibn Sina yang menempatkan sejenis cogito yang berperan sebagai dasar pengetahuan individu

P: 217


1- 65. Suhrawardi, Opera I, hlm. 115.
2- 66. Ibid., hlm. 116. Bandingkan, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabī'ah, fol. 198r-201v.
3- 67. Suhrawardi, At-Talwihāt: Ath-Thabi'ah, fol. 60r-69r.
4- 68. Suhrawardi, At-Talwīhāt: ath-Thabi'ah, fol. 60: “Alaisa annaka Tā taghib 'an dzātika fī hālatai naumika wa yazhatika?"
5- 69. Ibid., dalam Gendanken experiment, Suhrawardi, meski tidak diragukan lagi mengetahui ide tentang manusia “tergantung" dari Ibn Sina, ia tidak merujuk kepadanya.
6- 70. Ibid.,

tentang dirinya.(1) Dalam bagian berikutnya (IV, 3.2), Suhrawardi menegaskan ketidakjasmanian esensi subjek, dan menyamakan bagian nonjasmani wujud subjek itu dengan jiwa rasional (IV, 3.3).

Terlepas dari penekanan khusus yang diberikan Suhrawardi pada kesadaran diri, sisa Bab IV tentang fisika dalam At-Talwīhāt adalah ringkasan De Anima yang diketahuinya melalui karya Ibn Sina. Dalam fisika Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt juga, problem kesadaran diri ditekankan oleh Suhrawardi saat ia membahas berbagai problem tentang jiwa, dan dikatakan sebagai jenis esensi (dzāt) objektif: engkau (anta), aku, dan dia dari subjek dan disamakan dengan tindakan subjek yang mengetahui esensinya.(2) Psikologi pengetahuan diri ini dibahas Suhrawardi secara rinci di bagian fisika dalam At-Talwībāt (3) dan Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt.(4) Intinya yang terpenting adalah dengan posisi yang diberikan pada pengetahuan diri, Suhrawardi mampu membangun validitas pengetahuan, yakni pengetahuan tentang esensi (yang tidak bisa diperoleh melalui definisi esensialis) mungkin bisa diperoleh melalui pengetahuan diri oleh jiwa.

Barangkali, hasil paling penting dari pandangan Suhrawardi tentang pengetahuan diri adalah identifikasi dua arah yang dibuat di antara berbagai “tingkat” kesadaran.

Kesadaran akan esensi-esensi diidentifikasi sebagai komponen penting dari jiwa rasional.(5) Selanjutnya, dikatakan dalam Hikmah Al-Isyrāq bahwa segala sesuatu yang menyadari esensi dirinya adalah “cahaya abstrak” (nūr mujarrad).(6) Kemudian, "cahaya abstrak" disebut “cahaya yang hidup".(7) Karena itu, melalui "aktivitas" kesadaran diri, jiwa rasional diidentifikasi

P: 218


1- 71. Lihat, Rahman, Avicenna's Psychology, hlm. 10; Peters, Aristoteles and The Arabs, hlm. 173, catatan 216.
2- 72. Problem ini dibahas secara rinci dalam fisika, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt VI. 8. (Bagian sub ini berkaitan dengan De Anima) berjudul "Fi Al-Idrāk Wa At-Tajridāt Wa Barāhin Tajarrud An-Nafs 'an Al-Māddah Wa 'ignā‘atihi”, (Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol. 194v-198r).
3- 73. Suhrawardi, Al-Masyāri' Wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol. 63r-69r, terutama 11.2, fol.65r-69r, berjudul “Fi Tahrīrāt wa Barāhīn wa Istibshārāt 'alā Tajarrud An-Nafs."
4- 74. Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol.191r.
5- 75. Misalnya, Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath- Thabi'ah, fol. 175r.
6- 76. Suhrawardi, Opera II, hlm. 110.
7- 77. Ibid.,

sebagai – atau disamakan dengan konsep "cahaya abstrak”, yang menghubungkan tatanan kosmis dengan tatanan fisik melalui prinsip kesadaran perantaraan berikut berbagai tingkat intensitasnya; hal ini akan dirinci di akhir bab ini.(1) Identifikasi yang baru saja dilakukan sangat penting untuk memahami Filsafat lluminasi. Kesadaran diri, baik sebagai prinsip kosmis maupun sebagai prinsip psikologis menjadi dasar pengetahuan Iluminasi. Pengetahuan lluminasi yang pada dasarnya berpijak pada aktivitas jiwa,(2) direalisasikan melalui pengetahuan diri dan berkaitan dengan bentuk persepsi tertentu yang disebut sebagai “penglihatan" atau "visi” (musyāhadah). (3) Lagi-lagi, prinsip dasar pengetahuan diri adalah hubungan antara "aku" (ana, esensi subjek) dengan esensi sesuatu melalui "wujūd" (huwa, esensi terobjektivikasi, keituan dari) sesuatu baik yang sadar "akan" dan "dalam" mereka maupun yang mengetahui ihwal apa sebenarnya mereka. (4) Prinsip visi lluminasi (al-musyāhadah Al-Isyrāqiyyah) memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yakni mengetahui esensinya.(5) Dengan demikian, pengetahuan Iluminasi (al-‘ilm Al-Isyrāqi) bergantung pada pengalaman tentang “kehadiran sesuatu" (hudhur asy- syai'), yang bukan berupa jenis pengetahuan predikatif, melainkan semata-mata karena hubungan antara subjek dan objek, pengetahuan ini disebut “pengetahuan yang berdasarkan Iluminasi dan kehadiran" (al-'ilm Al-Isyrāqi al-hudhūrī). (6) Subjek yang mengetahui, saat berhubungan dengan objek, menangkap esensi objek karena buktinya.

Bentuk kognisi atau pengetahuan khusus ini, sebagai jawaban Suhrawardi atas “ketidakmampuan" kaum Peripatetik mengetahui sesuatu, melampaui bentuk pengetahuan predikatif

P: 219


1- 78. Ibid., bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh 11, hlm. 290:3-17.
2- 79. Suhrawardi, Opera I, hlm. 485.
3- 80. Ibid.,
4- 81. Ibid., hlm. 484.
5- 82. Ibid., hlm. 486.
6- 83. Ibid., hlm. 487.

dan merupakan bentuk kognisi intuitif yang bergantung hanya pada hubungan Iluminasi (al-idhāfah Al-Isyrāqiyyah) antara subjek dan objek. Bentuk kognisi ini mengandung penangkapan langsung, atemporal atas esensi objek, (1) dan mungkin juga karena pengetahuan diri. Ketika harus berkaitan dengan “hal-hal universal" (kulliyyāt), jenis pengetahuan terjadi melalui “kehadiran bentuk” yang tertanam dalam esensi jiwa.

Berkenaan dengan hal-hal individual, pengetahuan tentangnya berlangsung melalui “kehadiran" esensi hal-hal individual yang disatukan dengan lluminasi yang diterima jiwa (isyrāq li an- nafs). Pengetahuan ini juga bisa diperoleh manakala bentuknya diaktualisasikan dalam sesuatu (misalnya, dalam bentuk-bentuk imajiner [ash-shuwar al-khayāliyyah]) yang hadir di depan jiwa, dan kemudian disinari oleh jiwa. (2)

3.4. Kesadaran Diri dan Iluminasi

Suhrawardi mengidentifikasi setiap entitas yang menyadari esensinya dengan cahaya abstrak, dan dengan demikian, mengaitkan jiwa seorang individu dengan berbagai prinsip kosmis atau cahaya.(3) Karena sekarang, kita menelaah teori Iluminasi tentang kesadaran diri, kita akan mempertimbangkan pernyataan Suhrawardi dalam Hikmah Al-Isyrāq II, 1.6, bahwa persepsi seseorang tentang kesadaran dirinya (al-idrāk al- anā'iyyah) sama dengan persepsi langsung tentang apa sesuatu itu dalam dirinya (idrāk mā huwa huwa), dan bukan persepsi melalui ide (mitsāl) kesadaran diri.(4) Ini berlaku untuk semua hal yang menjadi dan menyadari esensinya. “Engkau" tegas Suhrawardi, “Tak pernah tidak menyadari esensimu." la “membuktikan" ini dengan menegaskan bahwa kesadaran diri

P: 220


1- 84. Ibid., hlm. 486: “Musyāhadah isyrāqiyyah li an-nafs," ibid., hlm. 487: “Al-'ilm Al-Isyrāqi là bi shūrah wa atsar, bal bi mujarrad idhāfah khāshshah, huwa hudhur al-syai' hudhuran isyrāqiyyan kamā li an-nafs."
2- 85. Ibid., hlm. 487.
3- 86. Bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 290, misalnya: “Man yudriku dzātahu ka an-nafs an-nāthiqah matslan, fa huwa nū mujarrad."
4- 87. Suhrawardi, Opera II, hlm. 111: “Idrak al-anā'iyyah huwa bi 'ainihi idrāk mā huwa huwa."

tidak bisa dibenarkan melalui sesuatu yang jasmani, yang- pada giliran selanjutnya, menunjukkan “bahwa yang dengan caranya ‘engkau adalah engkau' adalah sesuatu yang mengetahui esensinya, dan bahwa sesuatu itu adalah kesadaran dirimu."(1) Dari prinsip dasar epistemologi Iluminasi, Suhrawardi menarik kesimpulan umum, yakni segala sesuatu yang menyadari esensinya memberikan kesadaran kepada segala sesuatu lainnya yang ada dalam tingkat yang sama. Jadi, kesadaran menjadi prinsip pengetahuan Iluminasi yang berlaku benar bagi semua wujud yang menyadari diri, yang berawal dari kesadaran kosmis dan berkembang menuju kesadaran individu.(2) Selanjutnya, ia berkesimpulan bahwa kesadaran diri sama artinya dengan tampak atau jelas (zhāhir), yang diidentifikasi dengan “cahaya murni" (nūt mahdh).(3) Dengan demikian, kesadaran diri diidentifikasikan dengan “ketampakan (atau manifestasi) dan cahaya" (nafs azh-zhuhūr wa an-nūriyyah).(4) Selanjutnya, Suhrawardi bisa merumuskan prinsip pengetahuan diri lluminasi dan hubungannya dengan cahaya kosmis sebagai berikut:

“Setiap orang yang memahami esensinya adalah cahaya murni, dan setiap cahaya murni tampak oleh, dan memahami, esensinya."(5) Prinsip ini didukung oleh pernyataan Suhrawardi yang membedakan posisinya dari kaum Peripatetik sebagai berikut:

"Memahami sesuatu berdasarkan dirinya adalah (sama dengan) tampak oleh esensinya, bukan terabstraksi dari materinya seperti teori Peripatetik."(6) Suhrawardi mereduksi teori Peripatetik, bahwa sesuatu

P: 221


1- 88. Ibid., hlm. 112: “Mā anta bihi anta... huwa anā'iyyatuka."
2- 89. Bandingkan, Suhrawardi, Opera III, hlm. 23, 37: "Dzāti tū dzātist qā'im bi khūd mujarrad az māddah ki az khud ghā'ib nist.” Ide tentang kesadaran kosmis dan manusia sebagai prinsip metafisika melalui mana prinsip sama diterapkan pada entitas-entitas jasmani dan non-jasmani, ditemukan dalam Plotinus. Lihat, Plotinus, Enneads, V.3, hlm. 2-3.
3- 90. Suhrawardi, Opera II, hlm. 113-114.
4- 91. Ibid., hlm. 114.
5- 92. Ibid., “Kull man adraka dzātahu fa huwa nūr mahdh, wa kull nūr mahdh zhāhir li dzātihi wa mudrik li dzātihi." Asy-Syirazi menganggap bahwa hal ini berarti kesatuan subjek dan objek. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 297: 2-3: “Fa al-mudrik wa al- mudrak wa al-idrāk hāhuna wāhid."
6- 93. Ibid., Bagian ini (8 119) berjudul Hukūmah, dan bahasan yang diberikan diambil dari Asy-Syirazi, Syarh II (hlm. 297:5-8).

memahami dirinya dengan proses menjadi bebas dari materi dan jasmani ke absurditas. Teori Peripatetik sebenarnya mengimplikasikan bahwa materi pertama, yang bukan sesuatu yang lain dan bebas dari materi lain, menyadari esensi dirinya yang absurd. (1) Ada dua hal penting yang mengiringi teori Pengetahuan Diri Iluminasi dan berkaitan dengan persoalan manifestasi dan hakikat cahaya-cahaya abstrak. Hal terpenting adalah “cahaya abstrak" tidak berbeda berkenaan dengan esensi (atau realitas [haqiqah]),(2) tetapi hanya berkenaan dengan tingkat "intensitas" (syaddah) tampak. (3) Oleh sebab itu, dalam hal kesadaran, bisa dikatakan bahwa setiap “aku" pada dasarnya sama dengan “aku" yang lain, karena pada prinsipnya masing-masing dari mereka pun sadar diri. Akan tetapi, mereka bisa berbeda sesuai dengan tingkat kesadaran diri masing-masing. Berikutnya, bahwa karena “cahaya-cahaya abstrak" tidak berbeda sesuai dengan realitas mereka satu sama lain, mereka membentuk suatu rangkaian kesatuan. Karena itu, “keseluruhan" (al-kull), simpul Suhrawardi, juga harus menyadari esensinya. (4) "Cahaya" paling signifikan dalam kosmologi Filsafat Iluminasi adalah cahaya yang disebut Isfahbad an-Nāsūt. Cahaya ini, yang disebut "cahaya pengatur” (an-nūr al-mudabbir),(5) adalah cahaya abstrak yang “mengontrol” apa yang berada di bawah peringkatnya;(6) ia mengendalikan aktivitas-aktivistas jasmani hewan dan fakultas jiwa mereka, (7) mengarahkan kembali pancaran cahaya yang diberikan kepadanya dengan cahaya-cahaya pengendali (al- anwār al-qāhirah) ke jasmani manusia,(8) dan selanjutnya, memberikan kendali (qahr) (9) dan cinta (mahabbah). (10) Aktivitas cahaya ini menyerupai akal aktif dalam kosmologi Peripatetik

P: 222


1- 94. Suhrawardi, Opera II, hlm. 115.
2- 95. Ibid., hlm. 120.
3- 96. Ibid., hlm. 119, 126-127.
4- 97. Ibid., hlm. 120.
5- 98. Ibid., hlm. 201.
6- 99. Ibid., hlm. 147.
7- 100. Ibid., hlm. 204-207.
8- 101. Ibid., hlm. 218-219.
9- 102. Pada dasarnya, Qahr sama dengan veïaos-nya pandangan Empedocles. Lihat, Fakhry, A History of Islamic Philosophy, hlm. 333.
10- 103. Suhrawardi, Opera II, hlm. 224-225.

dan diidentifikasi oleh Suhrawardi dengan menyebutnya sebagai Ruh Kudus, dator scientiae (wāhib al-'ilm) dan dator spiritus (ravān bakhsh). Cahaya ini selanjutnya disamakan dengan dator formarum (wāhib al-'ilm),(1) dan menjadi penghubung antara manusia dan alam kosmis (yakni, antara yang jasmani dan yang nonjasmani). Boleh dikata, cahaya ini, Isfahbad an-Nāsūt, menunjukkan dirinya dengan kesadaran dirinya. (2) Dengan demikian, penghubung antara yang kosmis dan yang manusiawi adalah prinsip kesadaran diri dan pengetahuan diri. Cahaya Isfahbad ini disimbolkan dengan cahaya-cahaya majemuk yang memancar dari satu sumber; cahaya-cahaya ini disebut cahaya- cahaya Isfahbadiyyah.(3) Cahaya-cahaya majemuk ini bertindak sesuai dengan “aktetip" (arbāb ash-shanam)-nya di semua tingkatan, dan karena kesadaran diri manusia adalah seberkas "cahaya abstrak", maka tidak ada keterputusan antara yang kosmis dan yang manusiawi;(4) alih-alih, keduanya membentuk suatu keseluruhan berkesinambungan. Teori ini bertentangan dengan pandangan Peripatetik tentang akal aktif, yang “satu", dan bertindak bukan dalam berbagai manifestasi majemuk berkesinambungan (seperti cahaya-cahaya Isfahbadiyyah dalam hubungannya dengan “sumber"-nya, Isfahbad an-Nāsūt), tetapi sebagai satu kesempurnaan puncak dari intelek. (5) Pencarian kepastian Suhrawardi dalam pengetahuan mengantarkannya melihat dasar pengetahuan sebagai keragaman dari pengalaman tentang esensi (subjek dan juga objek) yang dipandangnya sebagai dasar pengalaman langsung manusia tentang objek sebagaimana adanya, dan menjadi dasar bagi prinsip-prinsip kosmis kesadaran diri dan manifestasi diri. Kita mengamati bahwa bentuk persepsi dan pengetahuan Iluminasi

P: 223


1- 104. Suhrawardi, Opera II, hlm. 201.
2- 105. Ibid., “Huwa musyir ila nafsihi bi al-anā'iyyah."
3- 106. Ibid., hlm. 226-228 dan 237.
4- 107. Dalam kosmologi Iluminasi, apa yang “termanasi", atau diperoleh dari Sumber Cahaya dilambangkan dengan Sumber Cahaya (Nür Al-Anwār), tidak terpisah darinya, tetapi terus berkaitan dengannya; cahaya-cahaya yang terpancar juga tidak berlainan. Misalnya, Suhrawardi, Opera II, hlm. 128: "Wujud nūr min Nür al-Anwār laisa bi an yanfashil minhu syai,” ibid., hlm. 137: "Isyrāq Nür an-Nür ‘alā al-anwār al-mujarradah laisa bi infishāl syai' minhu." Bandingkan, ibid., hlm. 146: “An-nur al-mujarrad la yaqbal al-ittishal wa al-infishāl." Sumber Cahaya dan apa yang dipancarkan darinya membentuk entitas-entitas berkesinambungan, dan karena itu, tidak seperti kosmologi Peripatetik, entitas- entitas non-jasmani dan terpisah tidak berlainan. Kiasan "cahaya" dan keutamaannya dalam menyebarkan dari satu sumber menggambarkan kosmologi Iluminasi dengan sangat memadai.
5- 108. Saya tidak ingin membahas masalah akal aktif dalam Filsafat Peripatetik secara rinci di sini. Singkatnya, dalam skema umum Peripatetik, akal aktif (al-'aql al-fa'āl) berperan sebagai dator formarum dan “perantara" akal perolehan (al-'aql al-mustafād). Akan tetapi, perbedaan penting antara akal aktif Peripatetik dan Isfahbad An-Nāsūt-nya Suhrawardi bahwa yang terakhir ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari apa yang berada di bawah peringkatnya dan dari apa yang ada di atas peringkatnya. Tidak seperti akal aktif Peripatetik, yakni akal kesepuluh dalam skema kosmologi “matematika" di mana akal-akal dinomori, Isfahbad an- Nāsūt adalah keragaman cahaya abstrak, yang berperan sebagai suatu arketipe. Untuk bahasan tentang akal aktif, lihat, F. Rahman, Prophecy in Islam. (London: George Allen and Unwin Ltd., 1958), Bab II. Bandingkan, Aristoteles, De Anima III.5, 430a10, di mana voüs noińíkós disamakan dengan al-'aql al-fa'āl; Ibn Sina, An-Najāh, 11.6; Al-Farabi, Ārā' Ahl al-Madinah al-Fādhilah, disunting M. Kurdi, (Kairo, 1948), hlm. 10; Suhrawardi, Opera III, hlm. 53-55.

khas bergantung pada: [1] subjek: pengalamannya tentang esensi; [2] objek: ketampakan dan manifestasinya (zhuhūr sama dengan Evidenz-nya Husserl) dan kehadirannya (hudhūr); [3] hubungan Iluminasi (idhāfah Al-Isyrāqiyyah) antara subjek dan objek yang aktif ketika subjek dan objek “hadir” dan “tampak” di hadapan esensi mereka masing-masing. Ini kemudian menjadi dasar teori pengetahuan Iluminasi yang direkonstruksinya, dan ketidakakuratan definisi esensialis Peripatetik pun teratasi.

Sekarang, kita akan menyelidiki “proses-proses" aktual epistemologi Iluminasi. Inilah proses yang berawal dengan dan dalam subjek yang mengetahui dan menghasilkan pengetahuan tentang objek, serta disifati dengan aktivitas dalam kesadaran diri subjek. Ia mungkin mengintuisi dan mendeduksi sesuatu atau, dalam cara lain, menjadi akrab dengan sesuatu yang tidak diketahuinya sebelum proses itu digerakkan.

3.5. Epistemologi Iluminasi: Proses Intuisi dan Iluminasi Visi

3.5.1. Intuisi Di beberapa tempat dalam berbagai karya Suhrawardi, apa yang disebut “hukum-hukum intuisi" (ahkām al-hads, hukm al-hads) digunakan sebagai bentuk-bentuk inferensi atau penyimpulan yang valid.(1) Dalam masing-masing contoh, validitas hukum intuisi tidak dipertanyakan dan diberi peringkat yang sama dengan demonstrasi, karena dalam sebuah inferensi yang valid berdasarkan hukum-hukum intuisi seperti itu, orang tidak memerlukan lagi demonstrasi. (2) Intuisi dalam pengertian yang digunakan Suhrawardi sangat mirip dengan sifat "cepat mengerti" (quick wit [áyxívoia]) Aristoteles,(3)

P: 224


1- 109. Suhrawardi, At-Talwihāt: Ath-Thabi'ah, fol. 64v; idem., Opera I, hlm. 57, 440; idem., Opera II, hlm. 53-55.
2- 110. Misalnya, Suhrawardi, Opera I, hlm. 57: “Al-hads ash-shahih yahkum bi hādzā dūna hājah ilā burhān."
3- 111. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 1.33, 89b10-20, dan catatan 17 sebelumnya. Bandingkan, Aristoteles, Nicomachean Ethics VI.9, 1142b5-6. Bandingkan, Suhrawardi, At-Talwihāt: Ath-Thabi'ah, fol. 69r; idem., Al- Masyāri' wa Al-Muthārahāt, fol. 201v.

tetapi Suhrawardi menggabungkan jenis penyimpulan yang khas ini ke dalam epistemologi Filsafat Iluminasi. Dengan menggunakan terminologi teknis Peripatetik yang dimodifikasi, ia menyamakan intuisi: pertama, dengan aktivitas akal habituasi ('aql bi al-malakah);(1) dan kedua, dengan aktivitas akal suci (al-'aql al-qudsī);(2) tetapi ia memandang "tindakan" terpenting intuisi sebagai kemampuan subjek dalam memahami sebagian besar hal terpahami dalam waktu singkat tanpa guru. (3) Dalam kasus seperti itu, intuisi bergerak menangkap term tengah (al-hadd al-ausath) silogisme yang menyerupai penangkapan langsung (tanpa ekstensi temporal) definisi esensialis, yakni esensi sesuatu.

3.5.2. Visi Iluminasi Proses ganda visi Iluminasi (musyāhadah-isyrāq) berlaku pada semua tingkat realitas. Ia berawal pada tataran manusia, dalam persepsi indra luar, seperti penglihatan (ibshār). Mata (al-bashār, atau subjek yang melihat, al-bashir) mampu melihat, yakni melihat objek (al-mubshar) ketika objek itu disinari (mustanīr) oleh matahari di langit.(4) Pada tataran kosmis, setiap "cahaya abstrak melihat cahaya-cahaya", yang tingkatnya berada di atasnya, sementara cahaya-cahaya lebih tinggi secara terus- menerus pada saat visi, menyinari yang tingkatnya berada di bawahnya". Cahaya Segala Cahaya (Nür al-Anwār) menyinari segala sesuatu, dan Matahari Surgawi, “Hurākhsh Agung", memungkinkan visi berlangsung. Akibatnya, pengetahuan diperoleh melalui "sepasang" aktivitas visi Iluminasi ini, dan daya pendorong yang mendasari prinsip ini adalah kesadaran diri. Dengan demikian, setiap wujud mengetahui tingkat

P: 225


1- 112. Misalnya, Suhrawardi, At-Talwībāt: Ath-Thabi'ah, fol. 69r.
2- 113. Misalnya, Ibid., fol.65v 69r.
3- 114. Ibid.,
4- 115. Suhrawardi, Opera II, hlm. 134.

kesempurnaannya, suatu tindakan mengetahui diri yang memicu kerinduan (syauq) untuk “melihat" wujud di atasnya dalam kesempurnaan, dan tindakan “melihat" ini menggerakkan proses lluminasi. (1) Melalui proses Iluminasi, “cahaya" disebarkan dari asal-usulnya yang tertinggi ke elemen-elemen yang terendah.(2) Iluminasi adalah juga prinsip yang mengatur gerak angkasa. (3) Melalui Iluminasi, sumber realitas Cahaya Segala Cahaya bisa “terlihat" karena segala sesuatu menjadi tingkatan intensitasnya, dan dengan demikian, berhubungan. Emanasi atau pancaran cahaya-cahaya abstrak darinya tidak melibatkan keterputusan (infishāl) dari sumbernya. (4) Iluminasi disebarkan dari Cahaya Segala Cahaya ke tingkat manusia melalui prinsip- prinsip perantara tertentu, yakni “cahaya-cahaya pengendali" (al-anwār al-qāhirah) dan “cahaya-cahaya pengatur" (al-anwār al-mudabbirah).(5) Di antara "cahaya-cahaya pengatur", ada cahaya-cahaya penting yang secara langsung memengaruhi jiwa manusia, yakni cahaya-cahaya Isfahbad.(6) Secara umum, semua cahaya yang lebih tinggi mengendalikan dan menerangi cahaya yang lebih rendah, yang pada gilirannya mampu “melihat" yang lebih tinggi. Cahaya Segala Cahaya mengendalikan segala sesuatu. (7) Inilah cahaya yang paling jelas atau paling tampak oleh dirinya, dan dengan demikian, menjadi wujud yang paling menyadari dirinya di alam semesta. (8) Semua "cahaya abstrak" disinari langsung oleh Cahaya Segala Cahaya, yang sinar (nürriyah), esensi (dzāt), dan kekuatannya adalah satu dan sama. (9) Cahaya Segala Cahaya menyinari dirinya (fayyādh bi adz-dzāt), serta sifat-sifat dan esensinya adalah satu. (10) Ketika "Iluminasi-Iluminasi langit" (Al-Isyrāqāt al-'ulwiyyah) sampai pada jiwa manusia melalui intervensi cahaya-cahaya Isfahbad,

P: 226


1- 116. Ibid., hlm. 139-141: “Wa kull wāhid yusyahid Nür al-Anwār."
2- 117. Ibid., hlm. 142-143.
3- 118. Ibid., hlm. 142, 147-148, 175, serta 184-185.
4- 119. Ibid., hlm. 137 dan 146.
5- 120. Ibid., hlm. 139-140, 166-175, serta 185-186. Perlu dicatat bahwa cahaya yang mengatur, di samping berfungsi pada tingkat manusia sebagai al-anwār al-insiyyah. (Opera II, hlm. 201), juga pada tingkatan kosmis sebagai al-anwār al- falakiyyah, (Opera II, hlm. 236).
6- 121. Ibid., hlm. 201 dan 213-215.
7- 122. Ibid., hlm. 122, 135-136, serta 197.
8- 123. Ibid., hlm. 124.
9- 124. Ibid., hlm. 121-124.
10- 125. Ibid., hlm. 150.

semua pengetahuan pun diberikan kepadanya. Saat-saat seperti itu merupakan visi "cahaya-cahaya apokaliptik" (al-anwār as-sānihah) yang berperan, dengan demikian, sebagai dasar pengalaman visioner, dan dasar untuk memperoleh pengetahuan yang tak terbatas. (1) Jiwa manusia yang telah mengalami “cahaya- cahaya apokaliptik" disebut "jiwa-jiwa abstrak" (an-nufūs al- mujarradah) karena telah melepaskan diri dari perbudakan jasmani. Mereka memperoleh “ide cahaya Tuhan" (mitsāl min nūr Allāh), di mana fakultas imajinasi melekat di atas “lembaran indra umum" (lauh al-hiss al-musytarak). Melalui ide ini, mereka memperoleh kendali atas “cahaya kreatif" (an-nūr al-khāliq) yang akhirnya memberi mereka kekuatan untuk melihat. (2) Saat penyinaran ini, seperti dialami Persaudaraan Abstraksi (Ikhwān at-Tajrid)(3) dan Para Maestro Visi (Ashhāb al-Musyāhadah),(4) digambarkan oleh Surawardi sebagai pengalaman gradual atas "cahaya" dalam lima belas langkah, diawali dengan pengalaman "cahaya kilat yang nikmat" (an-nūr al-bāriq al-ladzīdz) dan berakhir dengan pengalaman “cahaya" yang demikian dahsyat dan hebat sehingga dapat melepaskan diri dari badan yang mengikat.(5) Dengan demikian, teori visi Suhrawardi adalah salah satu dari dua komponen penting teori Iluminasi tentang pengetahuan. Prinsip-prinsip teori yang dikembangkan Suhrawardi sedemikian rupa sehingga bisa diterapkan pada visi "eksternal" yakni penglihatan, dan juga visi "internal". Karena itu, teorinya bisa diterapkan pada fisika maupun metafisika.

Analisis atas teori ini diawali dengan bahasan visi eksternal (ibshār), yakni yang disebut “visi, atau melihat melalui indra- indra eksternal" (musyāhadah bi al-hiss azh-zhāhir), baik dalam fisika maupun metafisika dalam berbagai karya Suhrawardi.

P: 227


1- 126. Ibid., hlm. 141 dan 204-205. Bandingkan, ibid., hlm. 13: “Al- Isyrāqiyyūn là yantazhim amruhum dūna sawānih nūriyyah."
2- 127. Ini terjadi ketika subjek mengetahui sebagai monad yang sadar diri, menjadi subjek yang kreatif.
3- 128. Ibid., hlm. 252: "Persaudaraan" ini menikmati tingkat kemanusiaan yang paling tinggi, yaitu tingkat “Penciptaan", yang melaluinya mereka bisa mengadakan (istilah yang digunakan adalah ijād, yang bisa diterjemahkan sebagai “menciptakan") apa pun yang mereka inginkan. Bandingkan, ibid., hlm. 242: “Wa li Ikhwān al-tajrid maqām khāshsh fihi yaqdirūna 'alā ījād mutsul qā'imah 'alā ayyi shūrah ‘aradh, wa dzālika mā yusammā maqām kun."
4- 129. Ibid., hlm. 156 dan 162.
5- 130. Ibid., hlm. 253-254.

Dalam fisika, Suhrawardi menolak kejasmanian sinar (jismiyyah asy-syuſā'),(1) dan pandangan yang berpendapat sinar sebagai warna (launiyyah al-syu‘ā”). (2) Selanjutnya, ia menolak teori visi eksternal yang berpendapat bahwa “visi” (ibshār) terjadi semata- mata karena sinar meninggalkan mata dan bertemu (yulāqi) dengan berbagai objek penglihatan.(3) Suhrawardi juga menolak pandangan yang berpendapat bahwa tindakan melihat (ru'yah) terjadi ketika bentuk sesuatu (shūrah asy-syai') dilekatkan pada "cairan tubuh seperti kaca” (ar-suthūbah al-jalīdiyyah).(4) Ini karena bentuk objek yang besar tidak dapat ditempelkan pada cairan tubuh. Untuk menganalisis secara keseluruhan teori Suhrawardi tentang visi, dengan menunjukkan pemahaman fenomenologis yang mendalam, penting kiranya menempatkan teori ini dalam konteks historisnya, dan memberikan uraian ringkas atas teori-teori yang ditolaknya.

Pandangan filsafat tentang penglihatan yang dikemukakan Suhrawardi termasuk dalam prinsip-prinsip Filsafat Iluminasi yang paling penting, dan pandangan ini juga diterapkan pada prinsip visi Iluminasi. Hampir semua persoalan epistemologi Iluminasi dan juga persoalan wujud dalam Filsafat Iluminasi hanya bisa dipahami sepenuhnya bila dilakukan analisis yang cermat atas prinsip-prinsip Iluminasi tentang penglihatan dan visi. Bagaimana visi berlangsung?(5) Bagaimana visi bertindak? Apakah visi tidak bisa terjadi tanpa adanya apa yang disebut cahaya itu? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan yang semisal harus dicamkan kala menganalisis teori Iluminasi.

Aristoteles, di bagian awal Metaphysics memandang penglihatan sebagai derajat tertinggi dalam persepsi indra. Bagi Suhrawardi, karena visi tidak punya ekstensi waktu dan tidak

P: 228


1- 131. Ibid., hlm. 97.
2- 132. Ibid., hlm. 98.
3- 133. Ibid., hlm. 99.
4- 134. Ibid., hlm. 100.
5- 135. Yang saya maksudkan dengan visi di sini adalah prinsip yang menggabungkan penglihatan (ibshār) dan visi dalam pengertian yang lebih luas (musyāhadah).

perlu ada hubungan materiel antara "yang melihat" dan "yang dilihat", maka visi atau penglihatan pun lebih dahulu dan lebih tinggi dari pemikiran. Sebab, menguraikan sifat-sifat esensial, genus, dan diferensia memerlukan waktu. Konstruksi silogisme dan induksi dialektis juga memerlukan waktu. Akan tetapi, visi berlangsung dalam masa yang tidak berdurasi ('ān), dan inilah momen Iluminasi. Kita mungkin bertanya, mengapa kiasan "cahaya" begitu penting dalam Filsafat Iluminasi? Subjek yang mengetahui — “aku yang bercahaya, yang sadar diri" – dan juga objek sama-sama memiliki kualitas ketampakan (zhuhūr atau evident) yang diukur dalam derajat tingkat intensitas cahaya.

Lebih jauh, harus ada "cahaya" untuk visi yang berlangsung:

entah cahaya itu di luar, cahaya jelas (an-nūr) yang diperlukan untuk pelihatan, atau cahaya abstrak (an-nūr al-mujarrad) yang diperlukan untuk visi.

Teori-teori visi yang ditolak Suhrawardi meliputi teori Aristotelian, Platonis, dan juga Euclidian. Saya tidak bermaksud memberikan uraian rinci tentang sejarah persoalan ini di sini, tetapi kita bisa berasumsi dengan aman bahwa ringkasan problem ini yang diberikan Al-Farabi sudah diketahui Suhrawardi. Problem kedelapan, dalam Al-Jam' Baina Ra'yai Al- Hakimain karya Al-Farabi membahas problem visi.(1) Al-Farabi menegaskan prinsip pendapat Aristoteles sebagai berikut, “[la] berpegang pada pendapat bahwa penglihatan berlangsung melalui aksi yang terjadi pada mata;"(2) dan prinsip pendapat Plato, “[la] yakin bahwa penglihatan terjadi melalui sesuatu yang meninggalkan mata dan bertabrakan dengan sesuatu yang terlihat."(3) Al-Farabi menyatakan bahwa para pengikut Aristoteles dan Plato tidak memahami makna yang benar dari

P: 229


1- 136. Al-Farabi, Kitāb Al-Jamʻ Baina Ra'yai Al-Hakimain, disunting oleh A.N. Nader, (Beirut, 1959), hlm. 91 dan seterusnya. Suatu indikasi bahwa karya ini penting untuk mengkaji Filsafat Tluminasi, bahwa karya ini dicetak pada catatan pinggir karya Asy-Syirazi, Syarh Hikmah Al-Isyrāq.
2- 137. Ibid., Aristoteles telah membahas penglihatan ini di berbagai tempat dalam karyanya, termasuk Topics (114a dan seterusnya), di mana ia membahas hubungan antara benda yang diketahui, indra yang dipahami, dan objek penglihatan. Tampak bahwa pembahasan yang paling penting mengenai masalah ini ditemukan dalam karyanya, De Annima (4181a). "Risalah Hunain bin Ishāq”, yang berjudul Fi Dhau' wa Haqiqatihi (diterbitkan dalam Al-Masyriq, 1899), hlm. 1105- 1113, adalah sebuah ikhtisar dan ringkasan pandangan Aristoteles tentang masalah ini. Hunain menganggap pandangan-pandangan Aristoteles sebagai yang terbaik. Aristoteles percaya bahwa cahaya tidak dapat menjadi jasmani, karena gerak badan jasmani memerlukan waktu, sementara gerak cahaya tidak. Juga, apa yang dinisbatkan kepada badan adalah aksiden, sementara cahaya bukan; karena itu, cahaya bukan jasmani. Juga, badan ketika berdekatan satu sama lain menjadi padat, sementara keragaman cahaya tidak membuatnya padat. Karena itu, cahaya bukan jasad.
3- 138. Al-Farabi, Kitāb Al-Jam', hlm. 92. Flutirkhus, dalam karyanya Ārā' Ath-Thabi'iyyah, diterbitkan dalam “Aristhū fi An-Nafs" yang disunting oleh A. Badawi, (Beirut, 1954), hlm. 95-188: mengatakan bahwa Plato tidak percaya bahwa sesuatu (syai') meninggalkan mata; sebaliknya, ia menganggap tiga jenis cahaya yang menjadi dasar penglihatan: cahaya abstrak yang memancar dari matahari, cahaya abstrak yang meninggalkan mata dan bertabrakan dengan benda yang terlihat, dan warna benda yang terlihat, yang memancar darinya dan merupakan cahaya yang abstrak juga.

kedua filsuf ini, dan jadinya mengira bahwa sesuatu yang jasmani dimaksudkan untuk meninggalkan mata, seperti dilakukan para ahli matematika (Al-ashhab at-ta'ālim) yang mengikuti Euclidus.

Mereka berpendapat bahwa sesuatu yang meninggalkan mata pastilah udara (hawā) atau sinar cahaya (dhau’), api atau asap, yang semuanya mereka tolak. (1) Teori visi yang positif, seperti dikembangkan Suhrawardi dan digambarkan dalam metafisika Hikmah Al-Isyrāq, adalah aplikasi atau penerapan teori umum pengetahuan yang telah kita sebutkan di atas. Suhrawardi mulai dengan menegaskan kembali kesimpulan-kesimpulan yang dicapai dalam fisika, “Dalil: [Tentang Visi] engkau sudah mengetahui bahwa penglihatan tidak terdiri dari pelekatan bentuk objek di dalam mata dan juga bukan sesuatu yang keluar dari mata. Karena itu, ia hanya bisa terjadi ketika objek yang bercahaya (al-mustanir) berhadapan (muqabala) dengan mata yang sehat."(2) Dengan demikian, visi eksternal berjalan sesuai dengan teori umum Suhrawardi tentang pengetahuan, bahwa subjek (mata yang sehat) dan objek (sesuatu yang bercahaya) sama- sama hadir, dan kehadiran bersama keduanya membentuk tindakan visi.(3) Namun, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar tindakan visi yang dilangsungkan. Syarat-syarat itu adalah: [1] kehadiran cahaya, yang seperti akan segera kita lihat disebabkan oleh perambatan cahaya dari sumber cahaya, yakni Cahaya Segala Cahaya; [2] tiadanya halangan atau “tabir" (hijāb) antara subjek dan objek; (4) [3] Iluminasi objek dan juga subjek. Objek disinari karena penyinaran yang dibawa Cahaya Segala Cahaya semuanya turun ke tingkat dasar. Subjek juga

P: 230


1- 139. Lihat, Alexander Aphrodias, “fi radd ‘alā man yaqul anna al-ibshār yakun bi ash-shuſā’āt al-khārijah inda khurūjihā min al-bashar,” dalam Syurūh ‘alā Aristhū Mafqūdah fī Al- Yunāniyyah, disunting A. Badawi (Beirut, 1969), hlm. 26-30. Suhrawardi, Opera II, hlm. 134.
2- 140. Suhrawardi, Opera II, hlm. 134.
3- 141. Ibid., hlm. 150.
4- 142. Ibid., hlm. 134-135. Baik kedekatan eksesif (qurb mufrath) maupun jarak eksesif (bu'd mufrath) dianggap sebagai halangan yang membendung aktualisasi “penglihatan".

disinari oleh prinsip yang sama, tetapi “mekanisme" yang membolehkan subjek disinari sangat kompleks dan melibatkan aktivitas tertentu dalam fakultas imajinasi. Ketika suatu objek terlihat, subjek berperan dalam dua cara: tindakan visi dan tindakan lluminasi. Karena itu, visi lluminasi diaktualisasikan manakala tidak ada halangan antara subjek dan objek.

Kesimpulannya, salah satu prinsip yang menjadi dasar Filsafat Iluminasi adalah “hukum" yang mengatur penglihatan dan visi berpijak pada kaidah yang sama. Kaidah itu punya tiga komponen: keberadaan cahaya, tindakan visi (musyāhadah atau ibshār), dan tindakan Iluminasi (isyrāq). Penglihatan terjadi sebagai akibat dari pertemuan antara mata yang sehat dan objek yang bersinar. Kapan pun cahaya ada, mata akan melihat.

Penglihatan dan Iluminasi cahaya pada objek maupun subjek terjadi dalam masa tanpa durasi pada “saat" subjek dan objek hadir berhadap-hadapan. Visi juga bekerja dalam cara yang sama, tetapi "instrumen"-nya tidak lagi mata, melainkan tindakan- tindakan kreatif imajinasi subjek yang disinari, dan cahaya yang menyinari objek yang dilihat bukanlah cahaya jasmani; ia adalah cahaya abstrak kosmologi Iluminasi. Visi terjadi ketika tidak ada halangan antara subjek dan objek (halangan menunjukkan entah “keburaman" (hājiz) sesuatu, atau ketiadaan cahaya).

Karena itu, segala sesuatu bergantung pada keberadaan cahaya, yang dijelaskan dalam teori Iluminasi tentang emanasi, atau perambatan cahaya.

4. ILUMINASI DAN EMANASI

Teori Suhrawardi tentang Iluminasi adalah sebentuk khusus teori Emanasi seperti yang dikembangkan oleh kaum

P: 231

Neoplatonis. Sifat-sifat dasar teori Emanasi, yang seluruhnya digabungkan oleh Suhrawardi dalam Filsafat Iluminasi adalah:

[1] gerak “menurun" yang mesti, dari yang “lebih tinggi" ke yang “lebih rendah", yakni Emanasi Nous yang mesti dari teori Plotinus, atau emanasi diri Cahaya Segala Cahaya; [2] pengeluaran penciptaan: dunia tidak diciptakan atau dijadikan secara ex nihilo (dari ketiadaan, peny.) entah dalam masa atau sekaligus; tidak ada “pembuat", tidak ada demiurgus yang memberikan tatanan pada kekacauan primordial atau memberi “bentuk-bentuk" pada materi eksternal; dan tidak ada “kehendak" Tuhan; (1) [3] keabadian dunia; (2) [4] Hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang lebih rendah. Ada ciri kelima dari teori Umum Emanasi yang tidak dimasukkan dalam teori Emanasi Suhrawardi: “hukum term tengah".(3) Kaidah ini – yang diperkenalkan kaum Neoplatonis kemudian (4) — menuntut bahwa sesuatu yang sebagian bisa dinamai dan sebagian lagi tidak bisa dinamai (sebagian terbatas dan sebagian lainnya tidak terbatas) berperan sebagai penghubung antara yang terbatas dengan yang tak terbatas.

Jelas, bahwa benih ajaran Emanasi Plotinus bisa ditemukan dalam uraian Plato tentang Eros (dorongan pada kebaikan, seperti diungkapkan dalam pengetahuan filosofis yang dimulai dari dunia indra ke dunia ide-ide).(5) Jelas juga bahwa Plotinus yang membuat kaidah moral “menjadi baik berarti melakukan kebaikan”, dalam Hukum Emanasi Kosmis. (6) Juga jelas bahwa teori Emanasi Suhrawardi dan ajarannya tentang Cahaya Segala Cahaya mirip dengan teori Emanasi dan Kosmologi Plotinus seperti yang dikemukakan dalam Enneads. (7) Betapa pun juga, "model" Suhrawardi bagi proses emanasi (seperti sesaat lagi

P: 232


1- 143. Sumber Cahaya tidak berbeda "dalam realitas" (fī al-haqiqah) dari cahaya-cahaya lain, dan ia tidak punya kehendak, atas dasar apa ia memancar berawal dari suatu saat terpilih ke depan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 122.
2- 144. Meskipun, Suhrawardi tidak pernah secara eksplisit mengatakan dunia abadi menjadi akibat yang mesti dari pandangannya bahwa emanasi adalah abadi (al-faidh al- abadi). Bandingkan, ibid., hlm. 181. Keabadian adalah konsep yang secara esensial menjadi bagian dari emanasi Cahaya Segala Cahaya, karena "tindakan” emanasi ini bukan suatu perubahan (taghyīr), juga tidak mengandung ketiadaan (“adam). Dunia terus menjadi (sebagaimana ia telah menjadi), dengan kontinuitas Cahaya Segala Cahaya, Ibid., hlm. 177-183.
3- 145. Perbedaan antara Cahaya Segala Cahaya dan cahaya-cahaya lain hanyalah tingkat kesempurnaan, dan ini digambarkan dalam berbagai intensitas dalam “cahaya-cahaya”. Ini berarti tidak ada “kesenjangan" atau prinsip perantara antara Cahaya Segala Cahaya dan cahaya-cahaya lain. Bandingkan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 126-127.
4- 146. J. M. Rist, Plotinus: The Road to Reality, hlm. 36.
5- 147. Ibid., hlm. 66-69.
6- 148. Ibid., hlm. 66.
7- 149. Lihat, Ibid., Bab III, IV, VI.

akan kita lihat) mirip dalam Timaeus Plato. Akan tetapi, jika kita ingat dalam hati, metafora panas dan api dalam Enneads (panas memancar dari api karena yang sesungguhnya adalah api) dan merenungkan pertanyaan yang dikemukakan J. M. Rist, “Apa Yang Satu itu, yang memancarkan Nous dan Wujud?"(1) Barangkali kita bisa diantarkan pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang Cahaya Segala Cahaya dan aktivitasnya.

Cahaya Segala Cahaya memancarkan “cahaya" karena hakikatnya, dan “sinar” pun menerangi seluruh kosmos; melalui sinar-sinar inilah kesatuan kosmos dipelihara, serta gerak dan perubahannya diatur.(2) Keberadaan (kesadaran diri) dari Cahaya Segala Cahaya tidak terpisahkan dari aktivitasnya (Iluminasi) dan keduanya terpancarkan dan akhirnya mencapai alam dasar. Tidak seperti teori Plotinus tentang Yang Satu yang darinya Nous muncul, dari Cahaya Segala Cahaya muncul cahaya lain yang diperoleh, yang pada dasarnya tidak berbeda darinya. (Seperti dalam model Plotinus, sumber tidak dikenai emanasi). Akibatnya, Cahaya Segala Cahaya adalah apa yang sesungguhnya, dan berperan sesuai dengan keharusan yang dilakukan, satu dan sama. Dengan demikian, bahwa Cahaya Segala Cahaya ada menjadi aksioma pertama yang darinya dideduksi seluruh realitas.

Dalam teori Emanasi mana pun, hubungan antara yang tak terbatas dengan yang terbatas harus dijelaskan. Ada ketidakterbatasan yang tidak terbatas dalam beberapa hal, kalaupun bukan dalam hal-hal yang tidak terbatas – suatu ketakterbatasan tatanan yang tidak terbatas. Berikutnya, ada ketidakterbatasan yang terbatas – dalam istilah Rist, “ketakterbatasan yang kurang" – suatu ketakterbatasan tatanan

P: 233


1- 150. Ibid., hlm. 69.
2- 151. Cahaya Segala Cahaya adalah emanasi diri (fayyadh bi adz-dzāt) dan "pengenal yang aktif" (al-darrāk al- fa'āl), Suhrawardi, Opera II, hlm. 11. Karena tindakan “mengetahui" (idrāk) adalah menifestasi diri, mengetahui diri dan kesadaran diri. Ibid., hlm. 110-113. Cahaya Segala Cahaya adalah kesadaran diri murni, tidak berubah, dan merupakan emanasi abadi.

yang terbatas. Nous Plotinus dan Cahaya Pertama (an-nūr al-awwal) Suhrawardi adalah ketakterbatasan seperti itu. (1) Ketakterbatasan adalah konsep yang diperkenalkan ke dalam filsafat Yunani oleh Plotinus; diakui, “Bagi orang-orang Yunani, Wujud Sempurna berarti batasan dan keterbatasan."(2) Rist, yang menganggap Yang Satu menurut Plotinus sebagai tak terbatas, berpendapat bahwa gagasan ketidakterbatasan ini menandai suatu perkembangan dalam pemikiran Yunani dan mengatakan, "Yang Satu di balik Wujud, bagi Plotinus berarti menempatkannya di balik keterbatasan dan membuatnya secara intrinsik terbatas." (3) Berkenaan dengan pandangan ketidakterbatasan Yang Satu ini terlihat perbedaan yang sebenarnya antara Plato dan Plotinus.

Sama halnya, berkenaan dengan pandangan tambahan tentang ketidakterbatasan ini juga tampak perbedaan antara Plotinus dan Suhrawardi: ketidakterbatasan sebagai momen (lahzhah atau 'ān) penglihatan Iluminasi sebagai penghubung antara yang tak terbatas dengan yang terbatas. (4) Iluminasi dan emanasi, seperti diuraikan Suhrawardi dalam Hikmah Al-Isyrāq, mengombinasikan dua proses: proses pertama, adalah emanasi Cahaya Pertama yang juga disebut cahaya terdekat (an-nur al-aqrab) (5) dari Cahaya Segala Cahaya.

Cahaya Pertama benar-benar diperoleh (yahshul).(6) Perbedaan antara cahaya ini dan Cahaya Segala Cahaya hanya ada dalam tingkat intensitas (syaddah) mereka yang relatif yang menjadi ukuran kesempurnaan, sementara Cahaya Segala Cahaya adalah cahaya yang paling intens. (7) Tidak ada perbedaan antara dua cahaya ini berkenaan dengan modalitas mereka (kepastian dan kemungkinan) dan perolehan Cahaya Pertama yang sama sekali tidak terpisah dari Cahaya Segala Cahaya; ia adalah rangkaian

P: 234


1- 152. Cahaya Pertama dibatasi, dan karenanya “terbatas", tetapi ia punya suatu “ketidakterbatasan" kualitas yang diterimanya dan dipancarkan darinya. Kenyataan bahwa Cahaya Pertama mentransmisikan esensi dari Cahaya Segala Cahaya harus berarti bahwa ia tak terbatas, tetapi tak terbatas yang dibatasi.
2- 153. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics. (Toronto: Pontifical Institue of Medieval Studies, 1963), hlm. 35-63 dan 467-468.
3- 154. Rist, Plotinus; The Road to Reality, hlm. 24. Bandingkan, The Doctrine of Being in The Aristotelian Metaphysics, hlm. 39
4- 155. Setiap cahaya yang lebih rendah meski dikendalikan dan didominasi oleh cahaya yang lebih tinggi, bisa “melihat" cahaya yang lebih tinggi, dan "saat” melihat adalah ketika cahaya yang lebih rendah berkaitan dengan cahaya yang lebih tinggi, dan selanjutnya dengan yang tertinggi. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 135-136. Istilah 'an dan lahzhah menunjukkan pengertian saat atau masa yang tidak dapat dibatasi. Hal itu juga menunjukkan ide ketiadaan durasi seperti "ukuran" untuk menunjukkan “kapan" hubungan antara yang terbatas dan yang tak terbatas, singkatnya, "saat" visi dan Iluminasi.
5- 156. Ibid., hlm. 126-127 dan 132.
6- 157. Ibid., hlm. 125 dan 138-139. Suhrawardi tidak menggunakan istilah shudūr atau faya yang lebih umum untuk menggambarkan emanasi cahaya dari Cahaya Segala Cahaya. Istilah yang digunakan adalah hushūl, yang berarti “memperoleh” lebih terbatas dari istilah-istilah lain dan menggambarkan proses penyebaran cahaya yang lebih “alami" ketimbang emanasi "yang dikehendaki" atau "diinginkan” dari Sumber.
7- 158. Ibid., hlm. 119, dan 126-127.

berkesinambungan dengan Cahaya Segala Cahaya. Begitu pula halnya dengan "cahaya-cahaya abstrak"; semuanya berbeda satu sama lain dan juga berbeda dari Cahaya Segala Cahaya hanya dalam intensitas masing-masing. Cahaya Pertama: (a) ada sebagai cahaya abstrak; (1) (b) mempunyai gerak ganda: ia “mencintai" (yuhibbuh) dan “melihat" (yusyāhiduh) Cahaya Segala Cahaya di atasnya, serta mengendalikan (yaqharu) dan menyinari (asyraqah) apa yang ada di bawahnya; (2) (c) mempunyai "sandaran", dan sandaran ini mengimplikasikan sesuatu seperti “materi", yang disebut barzakh, yang mempunyai “bentuk" (hai'ah) – dan “materi" dan "bentuk" bersama-sama berperan sebagai wadah bagi cahaya; (3) dan (d) di samping itu, Cahaya Pertama punya sesuatu semisal “kualitas" atau sifat: ia “kaya" (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya yang lebih rendah dan “miskin” dalam hubungannya dengan Cahaya Segala Cahaya. (4) "Kekayaan" dan "kemiskinan" cahaya bisa disamakan dengan tingkat kesempurnaan dan tingkat intensitasnya, dan kelihatannya menyejajarkan perbedaan antara kesamaan dan perbedaan yang dilakukan dalam metodologi Plato.

Skema ini berlaku untuk semua cahaya. Dengan melihat Cahaya Segala Cahaya dan dimotivasi oleh cinta dan kesamaan, “cahaya- cahaya abstrak” lainnya diperoleh dari Cahaya Pertama. (5) Ketika Cahaya Pertama “melihat" kemiskinannya, "materi” dan bentuknya pun bisa diperoleh. Ketika proses terus berlangsung, lingkungan dan alam dasar pun mengada. (6) Cahaya-cahaya ini begitu diperoleh, adalah cahaya-cahaya abstrak penting dan beraneka ragam.

Proses kedua, tidak terpisah dari proses pertama, melainkan hasil dari aktivitas cahaya-cahaya abstrak. Proses ini adalah proses

P: 235


1- 159. Ibid., hlm. 126.
2- 160. Ibid., hlm. 135-137.
3- 161. Ibid., hlm. 132-134.
4- 162. Ibid., hlm. 133, dan 145-147.
5- 163. Ibid., hlm. 138-143.
6- 164. Ibid., hlm. 138.

ganda Iluminasi dan visi atau penglihatan. Ketika Cahaya Pertama diperoleh, ia punya visi langsung tentang Cahaya Segala Cahaya tanpa durasi “momen", di mana Cahaya Segala Cahaya seketika itu juga menyinari, dan dengan demikian, “menyalakan" materi dan bentuk yang berkaitan dengan Cahaya Pertama. (1) Cahaya yang bersemayam dalam cahaya abstrak pertama, adalah “cahaya yang menyinari” (an-nūr ash-shānih) dan paling reseptif di antara semua cahaya. (2) Proses ini terus berlanjut, dan cahaya abstrak kedua menerima dua cahaya: yang satu berasal dari penyinaran Cahaya Segala Cahaya langsung, dan yang satunya lagi dari Cahaya Pertama.

Cahaya Pertama telah menerimanya dari Cahaya Segala Cahaya dan sekarang berjalan langsung karena ia bersifat tembus cahaya. (3) Sama halnya, cahaya abstrak ketiga menerima empat cahaya: satu langsung dari Cahaya Segala Cahaya, satu lagi dari Cahaya Pertama, dan yang lainnya dari cahaya kedua. Proses ini terus berlanjut, dan cahaya abstrak keempat menerima delapan cahaya; cahaya abstrak kelima menerima 16 cahaya dan seterusnya. Hasilnya, jumlah cahaya-cahaya (dan dengannya aktivitas, intensitas, dan esensi Cahaya Segala Cahaya, yakni kesadaran diri, dilambangkan dengan cahaya abstrak) meningkat sesuai dengan urutan 2n-1, dengan Cahaya Terdekat sebagai anggota pertama urutan ini. (4) Mengenai cahaya- cahaya majemuk ini, yang esensi setiap cahayanya adalah kesadaran diri, sebagian darinya adalah “cahaya-cahaya pengendali” (al- anwār al-qāhirah) dan sebagian lainnya lagi adalah “cahaya-cahaya pengatur" (al-anwār al-mudabbirah).(5) Cahaya-cahaya pengendali berupa, entah cahaya-cahaya yang lembut, atau “cahaya-cahaya pengendali yang tinggi" (al-anwār al-qāhirah al-aʻlūn), atau cahaya- cahaya “para pemilik formal berhala" (anwār qāhirah shūriyyah arbāb al-ashnām), yakni “cahaya-cahaya arketip". (6)

P: 236


1- 165. Ibid., hlm. 139-140.
2- 166. Ibid., hlm. 138, 140.
3- 167. Ibid., hlm. 190-191 dan 195.
4- 168. Ibid., hlm. 138-141. Rangkaian 211, bersama-sama dengan rangkaian 3n-1, adalah dua rangkaian yang berperan sebagai dasar penyelerasan Dunia Jiwa Plato. Lihat, F. M. Comford, Plato's Cosmology. (New York: Bobbs-Meril, t.th), hlm. 49.
5- 169. Suhrawardi, Opera II, hlm. 132, 139-140, 153-156, serta 170-178, 223.
6- 170. Ibid., hlm. 143.

5. WUJUD DAN CAHAYA

5.1. Wujud dan Berbagai Determinan Utamanya

Setelah mengemukakan teori Pengetahuan Suhrawardi dan menunjukkan hubungannya dengan kosmologi, sekarang saya akan mengulas atau memberi komentar atas teorinya tentang wujud. Ontologi Iluminasi telah menjadi bahan kontroversi, dan telah diserang beberapa filsuf, terutama Shadruddin Asy- Syirazi, yang dikenal dengan Mulla Sadra. (1) Kebanyakan filsuf menyerang bagian teori Suhrawardi yang disebuat “kesejatian esensi" (ashālah al-māhiyyah). Ini adalah suatu posisi ontologis yang dicirikan oleh Mulla Sadra sebagai posisi yang memandang "esensi" atau "kuiditas" (māhiyyah) dari sesuatu sebagai wujud yang hakiki, dan “eksistensi" (wujud)-nya sebagai konsep turunan dan abstrak yang tidak bisa ada secara mandiri atau terlepas dari pikiran dan jiwa individu. Berbeda dengan pandangan ini, Mulla Sadra mengemukakan pandangannya tentang wujud sebagai berikut:

"Ketika kita menyelidiki dunia yang bersifat mungkin ini, tegas Mulla Sadra, maka kita melihat urutan entitas wujud seperti batu, pohon, kuda, manusia, dan sebagainya.

Kita melihat bahwa entitas-entitas ini berbagi sesuatu, yakni "eksistensi" mereka. Ketika dikatakan “X ada" atau "X" adalah (X mawjūd), lalu kita bertanya, apakah wujud X sama dengan “apa" X itu, sebagaimana ia dibatasi di luar sana? Atau apakah wujud X adalah “tambahan" bagi “apa" X sebagaimana dibatasi di luar sana? Teori Wujud yang dicirikan sebagai salah satu sifat yang mendukung "kesejatian eksistensi" (ashālah al-wujūd) menganggap eksistensi sebagai wujud yang sebenarnya, yakni wujud ini bukan sesuatu yang sepenuhnya ada dalam pikiran. Teori ini berpendapat bahwa X di sini punya suatu wujud, tetapi apa “yang membatasi" eksistensi X adalah esensinya."(2)

P: 237


1- 171. Lihat, Mulla Sadra, Ta‘liqāt, (Syirazi, Syarh II), hlm. 170- 206, catatan pinggir; idem., Kitāb Al-Masyā'ir, disunting H. Corbin, (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1964). Mulla Sadra mencurahkan Bagian Pertama karyanya yang penting, Al-Asfār Al-Arba'ah, untuk mengkaji dan menelaah ihwal wujud.
2- 172. Untuk bahasan rinci tentang teori Wujud Mulla Sadra, lihat, Jalal Asytiyani, Hasti. (Masyhad: Khurasan Press, 1960), hlm. 28-32 dan 69-103.

Ketika kita menyelidiki pandangan wujud Iluminasi, terlebih dahulu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa posisi Suhrawardi tampaknya bertentangan dengan teori ontologi Mulla Sadra. Memang benar, Suhrawardi berpendapat bahwa “eksistensi” (wujud) disebutkan secara univok (bi ma'nā wāhid), terdiri dari beberapa hal (yakni, X, Y, Z ada), dan eksistensinya semacam itu hanya bisa disandarkan pada beberapa hal yang berbeda bila eksistensi itu sepenuhnya berupa konsep mental.

Suhrawardi menganggap bahwa karena X, Y, dan Z dibatasi di luar pikiran, “keapaan" mereka (dzawāt) itu sebenarnya yang paling hakiki, dan itu yang menjadi dasar konsep turunan dan abstrak. Dengan demikian, semua wujud yang punya elemen umum, yakni "eksistensi" berbeda dengan masing-masing elemen esensial (dzātī). Elemen yang membedakan ini yang kita sebut ketika menjawab pertanyaan, “Apakah entitas wujud itu?" (mā huwa asy-syai'). Jawabannya, “Dengan apa sesuatu sebagaimana adanya dalam dirinya." Melalui cara pembedaan ini, kita bisa memahami bentuk suatu wujud sebagai batu, yang lain sebagai pohon, yang lain sebagai kuda, dan bahkan yang lain sebagai manusia. Sudah lazim dan lumrah menyebut elemen ini sebagai “esensi” atau “kuiditas" (atau “keapaan” atau “apa") dari sesuatu itu.(1) "Eksistensi" (wujūd) dan "kesesuatuan" (syai'iyyah), sejauh keduanya berupa konsep mental (mafhūm, jamaknya mafāhīm), tidak punya genus dan diferensia, ia tidak bisa didefinisikan atau digambarkan. Untuk itu, Suhrawardi memulai metafisika dalam At-Talwihāt.(2) Ajaran pertama teori wujud, seperti diuraikan Suhrawardi sesuai betul dengan ajaran dasar metafisika umum (metaphysica generalis),(3) dan demikian pula

P: 238


1- 173. Teori wujud Suhrawardi dikembangkan melalui karya- karyanya, tetapi tidak ada bagian khusus yang membahas masalah tersebut secara sistematis. Lihat, Suhrawardi, terutama, Opera I, hlm. 4 dan seterusnya. Lihat juga, idem.,Opera I, hlm. 19, 152-153; idem., Opera II, hlm. 20.
2- 174. Suhrawardi, Operasi I, hlm. 4 dan seterusnya. Lihat juga, idem., Opera I, hlm. 125, 199 dan seterusnya.
3- 175. Lihat, Merlan, From Plotinus to Neoplatonism, hlm. 160- 220. Bandingkan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 173.

posisi Suhrawardi, bahwa gagasan tentang wujud ini pun terbukti dengan sendirinya (badīhi) dan fitri.(1) Akan tetapi, sebagai langkah pertama untuk mengemukakan pandangan tentang wujud yang berbeda dari pandangan Peripatetik Tradisional, Suhrawardi menetapkan bahwa “keapaan" dinisbatkan pada sesuatu dalam bentuk yang bukan “asli” atau “dahulu" (tuhmal 'alā al-asyyā' ghair muta'ashshilah), dan bahkan tidak ada “sesuatu" pun dalam pengertian yang mutlak (lā syai' muthlaq).

Karena itu, sifat sesuatu adalah "turunan" atau "bergantung pada" (thabi'ah) esensi yang ditentukan (māhiyyah). Begitu juga dalam tindakan berpikir (taʻaqqul), ketika jiwa mengabstraksikan dan memilah sifat-sifat umum sebagai konsep-konsep di luar sesuatu yang sebenarnya.

5.2. Wujud dan Kosmologi

Pada bagian pertama Hikmah Al-Isyrāg, Suhrawardi “membuktikan" bahwa eksistensi dalam pengertian univok (sebagai wujud hononim, yakni wujud predikatif) adalah konsep mental, yang untuk eksistensinya, bergantung pada esensi individual dari sesuatu. Wujud univok semacam itu dinisbatkan pada beberapa hal, yakni "wajib ada", "substansi ada", "aksiden ada". Akan tetapi, "perbedaan" antara wajib, substansi, dan aksiden tidak dapat dibatasi hanya dalam hubungannya dengan predikat umumnya saja. Hanya esensi dari sesuatu sebagaimana adanya saja yang bisa berperan membedakan hal- hal di luar sana. Di sisi lain, Suhrawardi memperlakukan wujud dalam pengertian univok, yakni wujud yang berkaitan dengan perbedaan-perbedaan yang nampak dalam hal-hal di luar sana.

Namun, Suhrawardi menyebut wujud ini "cahaya", dan “ilmu

P: 239


1- 176. Suhrawardi, Opera I, hlm. 4, dan 199-200.

cahaya-cahaya” (“ilm al-anwār)-nya (1) menelaah esensi (dzāt) sesuatu di luar sana, serta tingkatan-tingkatannya dalam hal intensitas dan prioritas. Karena “cahaya" yang paling intens dan terdahulu bagi Suhrawardi adalah cahaya yang berhubungan dengan kesadaran diri murni, ia adalah tingkatan kesadaran diri yang membatasi urutan dan tatanan wujud dalam pengertian univok.

Perbedaan terpenting antara ontologi Ibn Sina dan teori wujud Suhrawardi, seperti dikemukakan dalam Hikmah Al- Isyrāq, berkenaan dengan pembagian utama wujud. Bagi Ibn Sina, ketiga bentuk: mungkin, tidak mungkin, dan wajib, seperti terdapat dalam wujud di luar sana, adalah "statis", sementara bentuk-bentuk itu dalam teori Iluminasi, “kekayaan" (ghinā’) dan “kemiskinan" (faqr), adalah mengejawantah dalam wujud-wujud di luar sana sebagai sebuah gradasi cahaya yang terus menerus, dan karenanya terdiri dari rangkaian tangga yang berurutan.

Batas yang lebih tinggi (wujud yang kaya secara mutlak [al- ghani al-muthlaq]) berhubungan dengan Wujud Wajib dalam ontologi Ibn Sina, dan batas yang paling rendah (wujud yang benar-benar miskin [al-faqir al-muthlaq]) berhubungan dengan nonwujud (ma'dūm) dalam ontologi Ibn Sina. Batas-batas lebih tinggi dan lebih rendah sama-sama adalah anggota realitas yang berkesinambungan. (2) Dengan demikian, sesuatu (syai'), yang dalam ontologi Ibn Sina: wajib, mungkin (mumkin), atau mustahil (mumtani“), dalam ontologi Iluminasi adalah cahaya dalam dirinya (nūr fi haqiqah nafsihi) atau tidak dalam dirinya, yakni “kaya" dan "miskin". (3) Cahaya dalam dirinya dibagi ke dalam: [1] cahaya yang merupakan “bentuk” atau “ keadaan" (hai'ah) sesuatu

P: 240


1- 177. Suhrawardi, Opera II, hlm. 10.
2- 178. Ibid., hlm. 107, dan 121-124.
3- 179. Ibid., hlm. 107-109.

yang lain, dan ini disebut cahaya aksidental (an-nür al-'āridh), yakni cahaya matahari dan api; dan [2] cahaya murni (an-nūr al-mahdh), yakni cahaya yang menghidupi diri, seperti Cahaya Segala Cahaya, semua cahaya abstrak lainnya, dan segala sesuatu yang sadar diri. Sementara itu, yang bukan cahaya dalam dirinya dibagi menjadi tiga jenis: [1] sesuatu yang tidak memerlukan tempat (mā huwa mustaghni ‘an mahall) disebut “substansi gelap" (jauhar al-ghāsiq); [2] yang merupakan keadaan atau bentuk bagi sesuatu yang lain disebut “bentuk gelap" (hai'ah azh-zhulmāniyyah); [3] yang merupakan “perantara” (barzakh), yakni badan. Badan ada tiga bentuk: [1] badan yang berada dalam keadaan gelap ketika cahaya menghilang darinya; [2] badan yang tetap gelap, tetapi memenuhi diri ketika cahaya menghilang darinya; dan [3] badan yang tak pernah terpisah dari cahaya. (1) Inilah ontologi yang menganggap wujud sesuatu yang sebenarnya di luar sana sebagai keseluruhan rangkaian kesatuan, yang terdiri dari apa yang dapat kita sebut kesadaran diri dan “monad-monad” mandiri, yang tak terpisahkan dari keseluruhan, dan dikenal dalam diri mereka melalui diri mereka.

Monad-monad ini adalah entitas-entitas cahaya yang menyadari “keakuan" (anā'iyyah)-nya dan secara kolektif merupakan keseluruhan kosmos yang juga menyadari dirinya. (2) Uraian Mulla Sadra tentang pandangan Suhrawardi ihwal wujud adalah dalam teori Iluminasi, wujud pertama adalah esensi (māhiyyah), sementara “eksistensi" (wujūd) adalah turunan dan konsep mental. Mulla Sadra mendukung pandangan bahwa wujud pertama, adalah “eksistensi," sementara “esensi" adalah turunan dan konsep mental. Uraian saya atas teori pengetahuan Suhrawardi dan hubungannya dengan kosmologi Iluminasi dalam

P: 241


1- 180. Ibid., hlm. 189-190.
2- 181. Ibid., hlm. 110, 112, dan 114. Bandingkan, Suhrawardi, Opera I, hlm. 115-116 dan 186-188.

bab ini, memunculkan pertanyaan ihwal apakah istilah “esensi" dan “eksistensi" merupakan wujud yang digunakan dalam pengertian yang sama oleh Mulla Sadra manakala diterapkan pada pandangan Suhrawardi dan pada pandangannya? Apa yang dianggap Suhrawardi sebagai turunan dan konsep mental adalah “eksistensi” dalam pengertian univok (bi maʼnā wāhid), yakni seperti dinisbatkan pada segala sesuatu dalam pengertian yang sama secara identik. Ia mensyaratkan istilah “eksistensi" (wujūd) untuk pengertian univok tentang wujud dan untuk pengertian univok semata. Untuk sesuatu yang dipahami Mulla Sadra sebagai wujud pertama, yakni wujud dalam “pengertian equivok" (bi al-tasykik), yang disebut Mulla Sadra “eksistensi", Suhrawardi menggunakan istilah "cahaya" dan menghindari istilah “eksistensi". Akan tetapi, “cahaya" ini bukan "esensi” sebagaimana dipahami Mulla Sadra; ia bukan turunan dan konsep mental bagi Suhrawardi, melainkan wujud segala sesuatu di luar sana, dan disifati dengan intensitas, prioritas, kemuliaan, serta kesempurnaan.

P: 242

Catatan:

1. Suhrawardi sering menggunakan istilah yaqini atau mutayaqqana ketika ia ingin memodifikasi pengetahuan dengan sifat “pasti". Misalnya, Suhrawardi, Opera II, hlm. 21.

Istilah yagini mungkin dapat disamakan dengan επιστήμη, misalnya, Tsabit bin Qurrah, Al-Madkhal, hlm. 4, 14 dan 185.

2. Pembedaan antara penalaran dan pengetahuan intuitif telah dilakukan oleh Aristoteles. Namun, ia tidak mengizinkan intuisi memainkan kedudukan penting dalam konstruksi filsafat, sebagaimana hal itu ditunut oleh Suhrawardi. Untuk bahasan pandangan Aristoteles tentang hal ini, lihat Victor Kal, On Intuition and Discursive Reasoning in Aristoteles.

(Leiden: E.J. Brill, 1988), terutama hlm. 44-53.

3. Sebutan khusus diberikan kepada ilmu Astronomi (al- ‘ilm al-hai'ah) dengan implikasi, bahwa seperti seseorang memprediksi kejadian-kejadian astronomis di masa depan, ia juga bisa membuat prediksi-prediksi yang valid tentang alam spiritual yang tak terlihat. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm.

13.

4. Lihat, Asy-Syirazi, Syarh II; Ibn Al-Khathib, Raudhah at-Ta'rif II, hlm. 564-565.

5. Lihat, Bab III, * 3-4 sebelumnya.

Suhrawardi, Opera II, hlm. 61-105.

Ibid., hlm 73. Asy-Syirazi menambahkan, “[ketidakmungkinan mengetahui] ini sebagai akibat, yang mesti dalil-dalil Peripatetik, dan untuk alasan ini Suhrawardi menambahkan ‘mereka menjadi pasti', " (Syarh II, hlm. 203:14-15).

8. Suhrawardi, Opera II, hlm 73.

Lihat, Philip Merlan, From Platonism to Neoplatonism, 3rd.

ed. (The Hagues: Martinus Nijhoff. 1968), hlm 160-220. Dalam Filsafat Persia Kontemporer, pembedaan dilakukan antara (1) metaphysica generalis ('umūr 'āmmah); (2) substansi dan aksiden; (3) teologi dan metaphysica specialis (ilāhi bi ma'nā-yi

P: 243

akhashsh). Lihat, Muhammad H. F. Tuni, Ilāhiyyāt. (Tehran:

Tehran University Press, 1333 H), hlm. 1-4. Pembedaan ini juga dilakukan oleh Suhrawardi. Lihat, Bab III, $3.2 sebelumnya.

10. Dalam ontologi Peripatetik, wujud dianggap sebagai konsep umum yang terbukti dengan sendirinya (mafhūm 'āmm badīhī). Lihat, Tuni, Ilāhiyyāt, hlm. 5; Sayyid Jalaluddin Asytiyani, Hasti.

(Masyhad: Khurasan Press, 1379 H), hlm. 7-12; Mahmud Shahabi, Būd va Nam ūd. (Tehran: Theran University Press, 1335H), hlm. 10-15.

11. Lihat Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 204: 11-14.

12. Ibid., 13. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm 42 dan 134-135.

14. Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol.

15v.

15. Suhrawardi, Opera II, hlm 73-74.

16. Yang dimaksudkan Suhrawardi dengan musyāhadah adalah bentuk khas kognisi yang memungkinkan seseorang punya penangkapan langsung atas esensi objek. Suhrawardi, Kalimah At-Tashawwuf. (MS Tehran: Majlism Majmū'ah, 3071), hlm.

398: “Al-musyāhadah hiya syuruq al-anwār 'alā an-nafs bi haitsu yangathi' munāza'ah al-wahm." Bandingkan, Mulla Sadra, Ta‘liqāt, Syarh II, hlm. 204. (Catatan Pinggir).

17. Yang saya maksudkan adalah jenis pengetahuan yang melampaui pengetahuan biasa. Jenis pengetahuan ini “sepenuhnya intuitif”. Tulis Philip Merlan, “Yang menangkap pengetahuan ini berkaitan dengan hal-hal yang wataknya mendiktekan bahwa mereka tidak mempunyai predikat apa pun, seperti Tuhan. Pengetahuan ini berlaku pada benda-benda "wujud atas" dan disebut áyxívola oleh Aristoteles, (Merlan, Ibid., hlm 186). Biasanya diterjemahkan dengan “intuisi" atau sifat "cepat mengerti". Bandingkan, Aristoteles, Posterior Analytics 11.34, 89b10. Bandingkan, idem., Nicomachean

P: 244

Ethics VI.9, 1142b6. Plotinus yang dianggap pendukung Yunani yang paling penting terhadap intuisi (misalnya, Kairo, The Evolution of Theology in The Greek Philosophers, [Glasgow, 1923], vol. 1, hlm. 220-221). “Hal-hal esensial teori Intuisi adalah: saya mempunyai pengenalan langsung mengenai realitas eksternal dalam persepsi indra saya. Saya mempunyai pengenalan langsung mengenai realitas internal, yakni melalui proses pemikiran dengan introspeksi sebagai indra dalam”.

(Leighton, Man and Cosmos. [Appleton, 1922]), hlm. 51.

Bandingkan, pembedaan antara tteidu dan áváykŋ (secara literal: persuasi versus kemestian logis, yakni pembedaan antara pengetahuan Diskursif dan langsung), dalam Plotinus, Enneads, V.3.6.

18. Lihat, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 41-42.

19. Bandingkan, Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Madkhal, III, hlm. 17018; idem., Asy-Syifa': Al-Burhān, I, hlm. 51-53; III, hlm. 57; idem., Asy-Syifā': Al-llāhiyyāt 1.1, hlm. 29-36; idem., An-Najāh, hlm.

3-4; Al-Ghazali, Mi'yar al-'Ilm, hlm. 67-68.

20. Suhrawardi, Al-Masyari' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol.

1v.

21. Ibid., 22. Ibid., fol, 1r.

23. Suhrawardi, At-Talwībāt: Al-Manthiq, hlm. 2: “Yu'ayyid ibn al- basyar bi rūh qudsi yurih asy-syai' kamā huwa." [Pertolongan Tuhan sama dengan peran akal aktif dalam epistemologi Peripatetik. Ruh Kudus (Ruh Al-Quddūs) dan sama dengan bahasa Persia (ravān bakhsh), berarti dator spiritus, sebagai pemberi pertolongan Tuhan, diidentifikasi oleh Suhrawardi dalam berbagai contoh dengan akal aktif, yang juga disebut "pemberi pengetahuan dan bantuan Tuhan" (wāhib al-'ilm wa al-ta'yid)]. Suhrawardi, Opera II, hlm. 201. Bandingkan, idem., Opera III, hlm. 221: “... sinar memancar dari Ruh Kudus." Ruh Kudus selanjutnya diidentifikasi dengan dator

P: 245

formarum (wāhib al-shuwar) dan Malaikat Jibril. (idem., Opera II, hlm. 265). Dalam kosmologi Iluminasi, Ruh Kudus sama dengan cahaya abstrak (non-duniawi) yang disebut Isfahbad an-Nāsūt, yang di samping berperan sebagai akal aktif dan dator formarum, mempunyai fungsi khusus (yakni, jenis kesadaran diri murni juga), karena kesadaran ini menunjukkan esensinya melalui dirinya: “wa huwa an-nūr al-mudabbir al- ladzi huwa Isfahbad an-Nāsūt wa huwa al-musyār ilā nafsihi bi al-'anā'iyyah". Idem., Opera II, hlm. 201. Untuk bahasan rinci tentang peran dator formarum dalam epistemologi lluminasi juga kedudukannya dalam fisika. Lihat Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 263-269. Fungsi “tertinggi"-nya disebut sebagai memberi wujud (wāhib al-shuwar yu'tī al-wujud). ibid., hlm.

268.

24. Suhrawardi, At-Talwihāt: Al-Manthiq, hlm. 2; idem., Al- Masyāri' wa al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol. 96r.; idem., Opera II, hlm. 18. Bandingkan, Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar I, hlm. 7-8.

25. Suhrawardi, Opera II, hlm. 18-19. Bandingkan, Al-Baghdadi, Al-Mu'tabar III, hlm. 1, 4 dan 35-41.

26. Kedudukan Iluminasi dalam teori Pengetahuan dapat disebut sebagai teori “Plato". Bandingkan, F. E. Peters, Aristoteles and The Arabs. (New York: New York University Press, 1968), hlm. 173: “Senjata pengetahuan apriori (maʼrifah awwaliyyah) digunakan untuk menentang keseluruhan struktur psikologi Peripatetik, dan melalui penerapannya pada kriteria yang sama Abu Al-Barakat Al-Baghdadi sampai pada kedudukan Ar- Rāzī atau lebih baik, Plato tentang ruang dan waktu absolut." Lihat, Pines, Studies in Abu Al-Barakat Al-Baghdadi's Poetics and Metaphysics, hlm. 122.

27. Misalnya, Ibn Sina, Asy-Syifā': Al-Madkhal III, hlm. 17-18.

Istilah 'ilm dan ma'rifah, keduanya digunakan oleh Peripatetik untuk melambangkan pengetahuan dalam pengertian umum,

P: 246

yang oleh Suhrawardi disebut idrāk, dan ini mempunyai pengertian persepsi atau kognisi sebagai proses mengetahui, kecuali Al-Ghazali yang membedakan antara maʼrifah yang berkaitan dengan tashdiq, dan 'ilm yang berkaitan dengan tashawwur , (Al-Ghazali, Mihak an-Nazhar, disunting oleh An- Na'sani, [Beirut: Dār al-Masyriq, 1965), hlm. 8-10.

28. Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Al-Manthiq, fol.

100v.

29. Ibid., fil. 100v., 100r. Dalam hal ini, pandangan Plotinus dan Neoplatonis, (Cambridge: Bowes and Bowes, 1952), hlm 111:

"Plotinus menganggap pengetahuan sebagai hasil dari metode analisis dan sintesis manusia yang tidak sempurna, sementara intuisi adalah penyempurnaan pengetahuan diri manakala ada identitas yang sempurna antara subjek dan objek pengetahuan semcam itu." Lihat, Plotinus, Enneads V.3, hlm. 2-3.

30. Lihat, Bab III * 3 sebelumnya.

31. Suhrawardi, At-Talwāhāt: Al-Manthiq, hlm. 2.

32. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 38:13-45:1.

33. Suhrawardi, Opera II, hlm 15. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm.

38:13. Bandingkan, Asy-Syahrazuri, Syarh, fol. 27r.

34. Istilah tashdiq hanya sekali disebutkan dalam Hikmah Al- Isyrāq, dalam pengertian "afirmasi” dalam hubungannya dengan proposisi, (Opera II, hlm. 57).

35. Terjemahan istilah idrak (seperti digunakan oleh Suhrawardi) ke dalam bahasa Inggris mengandung banyak kesulitan. Istilah “persepsi” mungkin paling dekat, tetapi harus dipahami dalam pengertian “penangkapan" yang sangat umum.

Tentang berbagai perbedaan makna istilah “persepsi” seperti digunakan dalam filsafat. Lihat, H. J. Hirst, “Perception", Encyclopedia of Philosophy, VI, hlm. 79-87. Tentang berbagai persamaan istilah Yunani dengan idrāk serta modifikasinya, seperti idrāk bi al-'aql, idrāk bi al-fahm, idrāk bi al-hiss, dan sebagainya. Lihat, Afnan, Lexicon, hlm. 98-99. Bandingkan, F.

P: 247

Rahman, Avicenna's De Anima. (London: Oxford University Press, 1959), hlm. 278; Ibn Sina, An-Najāh, hlm. 277-279.

Tentang sejarah "persepsi" dalam Filsafat Yunani. Lihat, D.

W. Hamlyn, Sensation and Perception. (London: Routledge and Kegan Paul, 1961), hlm. 1-39.

36. Suhrawardi menggunakan istilah haqiqah untuk menunjukkan māhiyyah, yakni kuiditas, Opera II, hlm. 16. Bandingkan, Asy- Syirazi, Syarh II, hlm. 45: 1-3.

37. Suhrawardi, Opera II, hlm. 15: “Huwa [idrāk] bi hushūl al- mitsal haqiqatihi fika." Bandingkan, idem., Opera II, hlm.

2-3: “Syinakht ...an basyad ki shurati az ān-i u dan tū hāshil syavad." Ungkapan yang sama juga dikatakan oleh Suhrawardi dalam salah satu karya mistisnya, Kalimah At-Tashawwuf, hlm.

353-354.

38. Istilah idrāk seperti yang digunakan oleh Suhrawardi sama dengan genus yang meliputi sejumlah spesies, seperti 'ilm, maʼrifah, hiss, dan sebagainya. Al-Ghazali membagi idrāk ke dalam 'ilm yang sinonim dengan syinākht atau syināsi, dibagi ke dalam idrāk hissi, idrāk dzihni, idrāk ‘aqli, syuíūr, (baik internal maupun eksternal). Lihat, A. M. Misykat ad-Dini, Tahqiq dar Haqiqat-i 'Ilm. (Tehran: Tehran University Press, 1952), hlm. 38-40.

39. Lihat, F. Rahman, Avicenna's De Anima, hlm. 18-22, 25 dan 34; idem., Avicenna's Psychology. (London: Oxford University Press, 1952), hlm. 38-40.

40. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 39: 6-13. Jenis pengetahuan ini semata-mata bergantung pada kehadiran (mujarrrad al- hudhur) objek.

41. Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 38: 16-19: “Al-'ilm Al-Isyrāqi al- ladzi yakfi fihi mujarrad al-hudhur ka 'ilm al-bārī ta'ālā wa ‘ilm al-mujarradāt al-mufarraqah wa 'ilminā bi anfusinā." Bandingkan, Aristoteles, Metaphysics 1.2, 982b28-983a11; XII. 7, 1178b14-16. Suhrawardi mengembangkan konsep-

P: 248

konsep, semisal al-'ilm Al-Isyrāqi, hudhūr, al-musyāhadah Al-Isyrāqiyyah, dan sebagainya dalam “Al-Masyāri' wa al- Muthārahāt". Opera I, hlm. 480-496.

42. Lihat, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 38: 16-19. Secara umum, jenis pengetahuan yang menempatkan tekanan pada bentuk kognisi intuitif benar-benar non-formal. Bandingkan, Aristotelse, Metaphysics VII.10, 1036a1-8; XII.p, 1075-7; Plotinus, Enneads, IV.3.18, V.3.3. Konsep Suhrawardi tentang pengetahuan dengan kehadiran dapat disamakan dengan apa yang oleh Gilson disebut “intuisi wujud." Lihat, Etienne Gilson, Being and Some Philosophers. (Toronto: Pontifical Institute of Medieval Studies, 1949), hlm. 190-215.

43. Suhrawardi, Opera II, hlm. 15. Bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 40:8-41:5.

44. Suhrawardi, Opera I, hlm. 68: “Ba'dh an-nās zhanna anna idrāk al-mudrik syai'an huwa an yasīra huwa huwa." 45. Ibid., “Zhannū anna idrāk an-nafs huwa ittihāduhā bi al-'aql al-fa'āl." 46. Hubungan dan disjungsi hanyalah sifat-sifat badan jasmani yang menjadi diktum metafisika yang dicetuskan oleh Suhrawardi, (Opera I, hlm. 68 dan 475), tetapi argumen untuk mendukung diktum tersebut dikembangkan dalam fisika.

Lihat, Suhrawardi, Kitāb At-Talwīhāt (Al-'Ilm ats-Tsānī). (MS, Berlin, 5062). Selanjutnya disebut At-Talwīhāt: Aht-Thabi'ah), fol. 43r, v; lihat juga, idem., Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt:

Ath-Thabi'ah, fol. 1110-112v, 115v.

47. Lihat, Philip Merlan, Monophyschism Mysticism Metaconciousness. (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), hlm.

85-113. Bandingkan, Suhrawardi, Opera I, hlm. 69; Ibn Sina, Mabda' wa Ma'ād, terjemahan Mahmud Shahabi, (Tehran:

Tehran University Press, 1332 H), hlm. 112-117. Merlan berpendapat bahwa Ibn Sina telah mengkritik Porphyry, (Merlan, Monopsychism), hlm. 25-26. Ironisnya, Merlan

P: 249

menganggap kesatuan sebagai “tonggak khas Filsafat Timur" Suhrawardi, (Merlan, Monopsychism), hlm. 25.

48. Suhrawardi, Opera I, hlm. 474; Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt:

Ath-Thabi'ah, fol. 194v.

49. Suhrawardi, Opera I, hlm. 474.

50. Suhrawardi, Opera I, hlm. 474-475. Bandingkan, idem., Opera III, hlm. 23; “Tu'i-yi tu, kesadaran adalah keengkauan engkau." 51. Suhrawardi, Opera I, hlm. 475. Bandingkan, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol. 115v.

52. Suhrawardi, Opera I, hlm. 483.

53. Ibid., hlm. 484.

54. Ibid., "Wa huwa an yabhatsa al-insan fi 'ilmihi bi dzātihi tsumma yartaqi ilā mā huwa aʻlā." 55. Visi mimpi bertemu dengan “Aristoteles" diduga oleh Majid Fakhry sebagai “Aristoteles” dalam Theologia. M. Fakhry, A History of Islamic Philosophy. (New York: Columbia University Press, 1970), hlm. 330, catatan 10. Bandingkan, Opera I, catatan hlm. 112. Namun, tampak lebih mirip bahwa yang dimaksudkan Suhrawardi Guru Filsafat Peripatetik, yakni Aristoteles yang sebenarnya, bukan orang lain.

56. Suhrawardi, Opera I, hlm. 70-74.

57. Ibid., hlm. 484.

58. Suhrawardi, Opera I, hlm. 70-74.

59. Terdapat lima belas tangga yang dibahas untuk mendeskripsikan pengalaman visi Iluminasi, dan masing- masing ditegaskan dibarengi dengan pengalaman satu jenis cahaya. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 252; idem., Opera 1, hlm. 108 dan 114.

60. Suhrawardi, Opera I, hlm. 70: “irji' ilā nafsika." 61. Ibid., “Adraka dzātaka bi dzātika." Kesadaran diri, diri yang menjadi subjek dapat disamakan dengan apa yang disebut l'homme volant. Ibn Sina, (Peters, Aristoteles and the Arabs,

P: 250

hlm. 173). Lihat, Rahman, Avicenna's Psychology, hlm. 8-20.

62. Suhrawardi, Opera I, hlm. 75. Bandingkan, Ibid., hlm. 121.

63. Ibid., hlm. 74, 88 dan 90.

64. Lihat, Suhrawardi, Opera I, hlm. 73, catatan 73, 95, 103, 113; Idem., Opera II, hlm. 242 dan 252.

65. Suhrawardi, Opera I, hlm. 115.

66. Ibid., hlm. 116. Bandingkan, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt:

Ath-Thabī'ah, fol. 198r-201v.

67. Suhrawardi, At-Talwihāt: Ath-Thabi'ah, fol. 60r-69r.

68. Suhrawardi, At-Talwīhāt: ath-Thabi'ah, fol. 60: “Alaisa annaka Tā taghib 'an dzātika fī hālatai naumika wa yazhatika?" 69. Ibid., dalam Gendanken experiment, Suhrawardi, meski tidak diragukan lagi mengetahui ide tentang manusia “tergantung" dari Ibn Sina, ia tidak merujuk kepadanya.

70. Ibid., 71. Lihat, Rahman, Avicenna's Psychology, hlm. 10; Peters, Aristoteles and The Arabs, hlm. 173, catatan 216.

72. Problem ini dibahas secara rinci dalam fisika, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt VI. 8. (Bagian sub ini berkaitan dengan De Anima) berjudul "Fi Al-Idrāk Wa At-Tajridāt Wa Barāhin Tajarrud An-Nafs 'an Al-Māddah Wa 'ignā‘atihi”, (Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol. 194v-198r).

73. Suhrawardi, Al-Masyāri' Wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol.

63r-69r, terutama 11.2, fol.65r-69r, berjudul “Fi Tahrīrāt wa Barāhīn wa Istibshārāt 'alā Tajarrud An-Nafs." 74. Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath-Thabi'ah, fol.

191r.

75. Misalnya, Suhrawardi, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt: Ath- Thabi'ah, fol. 175r.

76. Suhrawardi, Opera II, hlm. 110.

77. Ibid., 78. Ibid., bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh 11, hlm. 290:3-17.

79. Suhrawardi, Opera I, hlm. 485.

P: 251

80. Ibid., 81. Ibid., hlm. 484.

82. Ibid., hlm. 486.

83. Ibid., hlm. 487.

84. Ibid., hlm. 486: “Musyāhadah isyrāqiyyah li an-nafs," ibid., hlm. 487: “Al-'ilm Al-Isyrāqi là bi shūrah wa atsar, bal bi mujarrad idhāfah khāshshah, huwa hudhur al-syai' hudhuran isyrāqiyyan kamā li an-nafs." 85. Ibid., hlm. 487.

86. Bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 290, misalnya: “Man yudriku dzātahu ka an-nafs an-nāthiqah matslan, fa huwa nū mujarrad." 87. Suhrawardi, Opera II, hlm. 111: “Idrak al-anā'iyyah huwa bi 'ainihi idrāk mā huwa huwa." 88. Ibid., hlm. 112: “Mā anta bihi anta... huwa anā'iyyatuka." 89. Bandingkan, Suhrawardi, Opera III, hlm. 23, 37: "Dzāti tū dzātist qā'im bi khūd mujarrad az māddah ki az khud ghā'ib nist.” Ide tentang kesadaran kosmis dan manusia sebagai prinsip metafisika melalui mana prinsip sama diterapkan pada entitas-entitas jasmani dan non-jasmani, ditemukan dalam Plotinus. Lihat, Plotinus, Enneads, V.3, hlm. 2-3.

90. Suhrawardi, Opera II, hlm. 113-114.

91. Ibid., hlm. 114.

92. Ibid., “Kull man adraka dzātahu fa huwa nūr mahdh, wa kull nūr mahdh zhāhir li dzātihi wa mudrik li dzātihi." Asy-Syirazi menganggap bahwa hal ini berarti kesatuan subjek dan objek.

Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 297: 2-3: “Fa al-mudrik wa al- mudrak wa al-idrāk hāhuna wāhid." 93. Ibid., Bagian ini (8 119) berjudul Hukūmah, dan bahasan yang diberikan diambil dari Asy-Syirazi, Syarh II (hlm. 297:5-8).

94. Suhrawardi, Opera II, hlm. 115.

95. Ibid., hlm. 120.

96. Ibid., hlm. 119, 126-127.

P: 252

97. Ibid., hlm. 120.

98. Ibid., hlm. 201.

99. Ibid., hlm. 147.

100. Ibid., hlm. 204-207.

101. Ibid., hlm. 218-219.

102. Pada dasarnya, Qahr sama dengan veïaos-nya pandangan Empedocles. Lihat, Fakhry, A History of Islamic Philosophy, hlm. 333.

103. Suhrawardi, Opera II, hlm. 224-225.

104. Suhrawardi, Opera II, hlm. 201.

105. Ibid., “Huwa musyir ila nafsihi bi al-anā'iyyah." 106. Ibid., hlm. 226-228 dan 237.

107. Dalam kosmologi Iluminasi, apa yang “termanasi", atau diperoleh dari Sumber Cahaya dilambangkan dengan Sumber Cahaya (Nür Al-Anwār), tidak terpisah darinya, tetapi terus berkaitan dengannya; cahaya-cahaya yang terpancar juga tidak berlainan. Misalnya, Suhrawardi, Opera II, hlm. 128:

"Wujud nūr min Nür al-Anwār laisa bi an yanfashil minhu syai,” ibid., hlm. 137: "Isyrāq Nür an-Nür ‘alā al-anwār al-mujarradah laisa bi infishāl syai' minhu." Bandingkan, ibid., hlm. 146: “An-nur al-mujarrad la yaqbal al-ittishal wa al-infishāl." Sumber Cahaya dan apa yang dipancarkan darinya membentuk entitas-entitas berkesinambungan, dan karena itu, tidak seperti kosmologi Peripatetik, entitas- entitas non-jasmani dan terpisah tidak berlainan. Kiasan "cahaya" dan keutamaannya dalam menyebarkan dari satu sumber menggambarkan kosmologi Iluminasi dengan sangat memadai.

108. Saya tidak ingin membahas masalah akal aktif dalam Filsafat Peripatetik secara rinci di sini. Singkatnya, dalam skema umum Peripatetik, akal aktif (al-'aql al-fa'āl) berperan sebagai dator formarum dan “perantara" akal perolehan (al-'aql al-mustafād). Akan tetapi, perbedaan penting antara

P: 253

akal aktif Peripatetik dan Isfahbad An-Nāsūt-nya Suhrawardi bahwa yang terakhir ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari apa yang berada di bawah peringkatnya dan dari apa yang ada di atas peringkatnya. Tidak seperti akal aktif Peripatetik, yakni akal kesepuluh dalam skema kosmologi “matematika" di mana akal-akal dinomori, Isfahbad an- Nāsūt adalah keragaman cahaya abstrak, yang berperan sebagai suatu arketipe. Untuk bahasan tentang akal aktif, lihat, F. Rahman, Prophecy in Islam. (London: George Allen and Unwin Ltd., 1958), Bab II. Bandingkan, Aristoteles, De Anima III.5, 430a10, di mana voüs noińíkós disamakan dengan al-'aql al-fa'āl; Ibn Sina, An-Najāh, 11.6; Al-Farabi, Ārā' Ahl al-Madinah al-Fādhilah, disunting M. Kurdi, (Kairo, 1948), hlm. 10; Suhrawardi, Opera III, hlm. 53-55.

109. Suhrawardi, At-Talwihāt: Ath-Thabi'ah, fol. 64v; idem., Opera I, hlm. 57, 440; idem., Opera II, hlm. 53-55.

110. Misalnya, Suhrawardi, Opera I, hlm. 57: “Al-hads ash-shahih yahkum bi hādzā dūna hājah ilā burhān." 111. Lihat, Aristoteles, Posterior Analytics 1.33, 89b10-20, dan catatan 17 sebelumnya. Bandingkan, Aristoteles, Nicomachean Ethics VI.9, 1142b5-6. Bandingkan, Suhrawardi, At-Talwihāt: Ath-Thabi'ah, fol. 69r; idem., Al- Masyāri' wa Al-Muthārahāt, fol. 201v.

112. Misalnya, Suhrawardi, At-Talwībāt: Ath-Thabi'ah, fol. 69r.

113. Misalnya, Ibid., fol.65v 69r.

114. Ibid., 115. Suhrawardi, Opera II, hlm. 134.

116. Ibid., hlm. 139-141: “Wa kull wāhid yusyahid Nür al-Anwār." 117. Ibid., hlm. 142-143.

118. Ibid., hlm. 142, 147-148, 175, serta 184-185.

119. Ibid., hlm. 137 dan 146.

120. Ibid., hlm. 139-140, 166-175, serta 185-186. Perlu dicatat bahwa cahaya yang mengatur, di samping berfungsi pada

P: 254

tingkat manusia sebagai al-anwār al-insiyyah. (Opera II, hlm. 201), juga pada tingkatan kosmis sebagai al-anwār al- falakiyyah, (Opera II, hlm. 236).

121. Ibid., hlm. 201 dan 213-215.

122. Ibid., hlm. 122, 135-136, serta 197.

123. Ibid., hlm. 124.

124. Ibid., hlm. 121-124.

125. Ibid., hlm. 150.

126. Ibid., hlm. 141 dan 204-205. Bandingkan, ibid., hlm. 13: “Al- Isyrāqiyyūn là yantazhim amruhum dūna sawānih nūriyyah." 127. Ini terjadi ketika subjek mengetahui sebagai monad yang sadar diri, menjadi subjek yang kreatif.

128. Ibid., hlm. 252: "Persaudaraan" ini menikmati tingkat kemanusiaan yang paling tinggi, yaitu tingkat “Penciptaan", yang melaluinya mereka bisa mengadakan (istilah yang digunakan adalah ijād, yang bisa diterjemahkan sebagai “menciptakan") apa pun yang mereka inginkan. Bandingkan, ibid., hlm. 242: “Wa li Ikhwān al-tajrid maqām khāshsh fihi yaqdirūna 'alā ījād mutsul qā'imah 'alā ayyi shūrah ‘aradh, wa dzālika mā yusammā maqām kun." 129. Ibid., hlm. 156 dan 162.

130. Ibid., hlm. 253-254.

131. Ibid., hlm. 97.

132. Ibid., hlm. 98.

133. Ibid., hlm. 99.

134. Ibid., hlm. 100.

135. Yang saya maksudkan dengan visi di sini adalah prinsip yang menggabungkan penglihatan (ibshār) dan visi dalam pengertian yang lebih luas (musyāhadah).

136. Al-Farabi, Kitāb Al-Jamʻ Baina Ra'yai Al-Hakimain, disunting oleh A.N. Nader, (Beirut, 1959), hlm. 91 dan seterusnya. Suatu indikasi bahwa karya ini penting untuk mengkaji Filsafat Tluminasi, bahwa karya ini dicetak pada catatan pinggir karya

P: 255

Asy-Syirazi, Syarh Hikmah Al-Isyrāq.

137. Ibid., Aristoteles telah membahas penglihatan ini di berbagai tempat dalam karyanya, termasuk Topics (114a dan seterusnya), di mana ia membahas hubungan antara benda yang diketahui, indra yang dipahami, dan objek penglihatan.

Tampak bahwa pembahasan yang paling penting mengenai masalah ini ditemukan dalam karyanya, De Annima (4181a).

"Risalah Hunain bin Ishāq”, yang berjudul Fi Dhau' wa Haqiqatihi (diterbitkan dalam Al-Masyriq, 1899), hlm. 1105- 1113, adalah sebuah ikhtisar dan ringkasan pandangan Aristoteles tentang masalah ini. Hunain menganggap pandangan-pandangan Aristoteles sebagai yang terbaik.

Aristoteles percaya bahwa cahaya tidak dapat menjadi jasmani, karena gerak badan jasmani memerlukan waktu, sementara gerak cahaya tidak. Juga, apa yang dinisbatkan kepada badan adalah aksiden, sementara cahaya bukan; karena itu, cahaya bukan jasmani. Juga, badan ketika berdekatan satu sama lain menjadi padat, sementara keragaman cahaya tidak membuatnya padat. Karena itu, cahaya bukan jasad.

138. Al-Farabi, Kitāb Al-Jam', hlm. 92. Flutirkhus, dalam karyanya Ārā' Ath-Thabi'iyyah, diterbitkan dalam “Aristhū fi An-Nafs" yang disunting oleh A. Badawi, (Beirut, 1954), hlm. 95-188:

mengatakan bahwa Plato tidak percaya bahwa sesuatu (syai') meninggalkan mata; sebaliknya, ia menganggap tiga jenis cahaya yang menjadi dasar penglihatan: cahaya abstrak yang memancar dari matahari, cahaya abstrak yang meninggalkan mata dan bertabrakan dengan benda yang terlihat, dan warna benda yang terlihat, yang memancar darinya dan merupakan cahaya yang abstrak juga.

139. Lihat, Alexander Aphrodias, “fi radd ‘alā man yaqul anna al-ibshār yakun bi ash-shuſā’āt al-khārijah inda khurūjihā min al-bashar,” dalam Syurūh ‘alā Aristhū Mafqūdah fī Al- Yunāniyyah, disunting A. Badawi (Beirut, 1969), hlm. 26-30.

P: 256

Suhrawardi, Opera II, hlm. 134.

140. Suhrawardi, Opera II, hlm. 134.

141. Ibid., hlm. 150.

142. Ibid., hlm. 134-135. Baik kedekatan eksesif (qurb mufrath) maupun jarak eksesif (bu'd mufrath) dianggap sebagai halangan yang membendung aktualisasi “penglihatan".

143. Sumber Cahaya tidak berbeda "dalam realitas" (fī al-haqiqah) dari cahaya-cahaya lain, dan ia tidak punya kehendak, atas dasar apa ia memancar berawal dari suatu saat terpilih ke depan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 122.

144. Meskipun, Suhrawardi tidak pernah secara eksplisit mengatakan dunia abadi menjadi akibat yang mesti dari pandangannya bahwa emanasi adalah abadi (al-faidh al- abadi). Bandingkan, ibid., hlm. 181. Keabadian adalah konsep yang secara esensial menjadi bagian dari emanasi Cahaya Segala Cahaya, karena "tindakan” emanasi ini bukan suatu perubahan (taghyīr), juga tidak mengandung ketiadaan (“adam). Dunia terus menjadi (sebagaimana ia telah menjadi), dengan kontinuitas Cahaya Segala Cahaya, Ibid., hlm. 177-183.

145. Perbedaan antara Cahaya Segala Cahaya dan cahaya-cahaya lain hanyalah tingkat kesempurnaan, dan ini digambarkan dalam berbagai intensitas dalam “cahaya-cahaya”. Ini berarti tidak ada “kesenjangan" atau prinsip perantara antara Cahaya Segala Cahaya dan cahaya-cahaya lain. Bandingkan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 126-127.

146. J. M. Rist, Plotinus: The Road to Reality, hlm. 36.

147. Ibid., hlm. 66-69.

148. Ibid., hlm. 66.

149. Lihat, Ibid., Bab III, IV, VI.

150. Ibid., hlm. 69.

151. Cahaya Segala Cahaya adalah emanasi diri (fayyadh bi adz-dzāt) dan "pengenal yang aktif" (al-darrāk al-

P: 257

fa'āl), Suhrawardi, Opera II, hlm. 11. Karena tindakan “mengetahui" (idrāk) adalah menifestasi diri, mengetahui diri dan kesadaran diri. Ibid., hlm. 110-113. Cahaya Segala Cahaya adalah kesadaran diri murni, tidak berubah, dan merupakan emanasi abadi.

152. Cahaya Pertama dibatasi, dan karenanya “terbatas", tetapi ia punya suatu “ketidakterbatasan" kualitas yang diterimanya dan dipancarkan darinya. Kenyataan bahwa Cahaya Pertama mentransmisikan esensi dari Cahaya Segala Cahaya harus berarti bahwa ia tak terbatas, tetapi tak terbatas yang dibatasi.

153. Joseph Owens, The Doctrine of Being in the Aristotelian Metaphysics. (Toronto: Pontifical Institue of Medieval Studies, 1963), hlm. 35-63 dan 467-468.

154. Rist, Plotinus; The Road to Reality, hlm. 24. Bandingkan, The Doctrine of Being in The Aristotelian Metaphysics, hlm. 39 155. Setiap cahaya yang lebih rendah meski dikendalikan dan didominasi oleh cahaya yang lebih tinggi, bisa “melihat" cahaya yang lebih tinggi, dan "saat” melihat adalah ketika cahaya yang lebih rendah berkaitan dengan cahaya yang lebih tinggi, dan selanjutnya dengan yang tertinggi. Lihat, Suhrawardi, Opera II, hlm. 135-136. Istilah 'an dan lahzhah menunjukkan pengertian saat atau masa yang tidak dapat dibatasi. Hal itu juga menunjukkan ide ketiadaan durasi seperti "ukuran" untuk menunjukkan “kapan" hubungan antara yang terbatas dan yang tak terbatas, singkatnya, "saat" visi dan Iluminasi.

156. Ibid., hlm. 126-127 dan 132.

157. Ibid., hlm. 125 dan 138-139. Suhrawardi tidak menggunakan istilah shudūr atau faya yang lebih umum untuk menggambarkan emanasi cahaya dari Cahaya Segala Cahaya. Istilah yang digunakan adalah hushūl, yang berarti “memperoleh” lebih terbatas dari istilah-istilah lain dan

P: 258

menggambarkan proses penyebaran cahaya yang lebih “alami" ketimbang emanasi "yang dikehendaki" atau "diinginkan” dari Sumber.

158. Ibid., hlm. 119, dan 126-127.

159. Ibid., hlm. 126.

160. Ibid., hlm. 135-137.

161. Ibid., hlm. 132-134.

162. Ibid., hlm. 133, dan 145-147.

163. Ibid., hlm. 138-143.

164. Ibid., hlm. 138.

165. Ibid., hlm. 139-140.

166. Ibid., hlm. 138, 140.

167. Ibid., hlm. 190-191 dan 195.

168. Ibid., hlm. 138-141. Rangkaian 211, bersama-sama dengan rangkaian 3n-1, adalah dua rangkaian yang berperan sebagai dasar penyelerasan Dunia Jiwa Plato. Lihat, F. M. Comford, Plato's Cosmology. (New York: Bobbs-Meril, t.th), hlm. 49.

169. Suhrawardi, Opera II, hlm. 132, 139-140, 153-156, serta 170-178, 223.

170. Ibid., hlm. 143.

171. Lihat, Mulla Sadra, Ta‘liqāt, (Syirazi, Syarh II), hlm. 170- 206, catatan pinggir; idem., Kitāb Al-Masyā'ir, disunting H. Corbin, (Tehran: Institute Franco-Iranien, 1964). Mulla Sadra mencurahkan Bagian Pertama karyanya yang penting, Al-Asfār Al-Arba'ah, untuk mengkaji dan menelaah ihwal wujud.

172. Untuk bahasan rinci tentang teori Wujud Mulla Sadra, lihat, Jalal Asytiyani, Hasti. (Masyhad: Khurasan Press, 1960), hlm. 28-32 dan 69-103.

173. Teori wujud Suhrawardi dikembangkan melalui karya- karyanya, tetapi tidak ada bagian khusus yang membahas masalah tersebut secara sistematis. Lihat, Suhrawardi, terutama, Opera I, hlm. 4 dan seterusnya. Lihat juga, idem.,

P: 259

Opera I, hlm. 19, 152-153; idem., Opera II, hlm. 20.

174. Suhrawardi, Operasi I, hlm. 4 dan seterusnya. Lihat juga, idem., Opera I, hlm. 125, 199 dan seterusnya.

175. Lihat, Merlan, From Plotinus to Neoplatonism, hlm. 160- 220. Bandingkan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 173.

176. Suhrawardi, Opera I, hlm. 4, dan 199-200.

177. Suhrawardi, Opera II, hlm. 10.

178. Ibid., hlm. 107, dan 121-124.

179. Ibid., hlm. 107-109.

180. Ibid., hlm. 189-190.

181. Ibid., hlm. 110, 112, dan 114. Bandingkan, Suhrawardi, Opera I, hlm. 115-116 dan 186-188.

P: 260

APENDIKS A

Point

Terjemahan “Pengantar” Filsafat Iluminasi Hikmah Al-Isyrāq Karya Suhrawardi $1. Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Ya Allah! Mengingat nama-Mu adalah kemuliaan, dan keagungan-Mu Mahabesar, dan apa yang Engkau karuniakan sungguh luhur, dan kemuliaan-Mu melampaui segalanya! Salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada mereka yang telah Engkau pilih dan kepada para Rasul utusan- Mu, terutama kepada Muhammad Al-Musthafa, junjungan umat manusia, dan pemberi syafaat bagi semua di Hari Kiamat kelak.

Salawat dan salam terlimpah kepada beliau dan juga mereka semua. Jadikanlah kami semua, dengan cahaya-Mu, termasuk dalam golongan orang-orang yang menang dan [masukkanlah] kami ke dalam orang-orang yang mengingat-Mu dan bersyukur atas karunia-Mu.

$2. Ketahuilah, saudara-saudaraku bahwa permintaanmu yang terus-menerus agar aku menulis Filsafat Iluminasi telah memperlemah ketetapan hatiku untuk bertahan, dan menghilangkan keinginan untuk tidak memenuhinya. Kalau bukan karena kewajiban, suatu pesan yang telah muncul dan suatu perintah yang diberikan dari suatu tempat yang- bila tidak dipatuhi – akan mengantarkan pada kesesatan dari jalan, aku tidak akan merasa berkewajiban melangkah dan mengungkap secara terbuka [Filsafat Iluminasi); karena kalian

P: 261

pasti mengetahui bagaimana sulitnya hal itu. Akan tetapi, kalian, saudara-saudaraku, semoga Allah, Tuhan menunjuki kalian kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya, terus- menerus memintaku agar menulis untuk kalian sebuah buku yang menyebutkan apa yang telah aku peroleh melalui intuisi (dzauq) selama aku berkhalwat dan saat-saat aku memperoleh ilham (munāzalāt). Dalam setiap jiwa yang selalu mencari, ada sebagian, entah kecil atau besar, dari cahaya Tuhan, dan setiap orang yang berusaha mencari pasti memiliki intuisi, entah sempurna atau tidak sempurna. Pengetahuan tidak terletak pada sekelompok orang tertentu sehingga pintu langit tertutup di belakang mereka, dan juga tidak pada dunia yang menolak kemungkinan memperoleh lebih jauh, melainkan pada dator scientiae (wāhib al-'ilm),(1) yang tegak di "cakrawala yang jelas" dan tidak pelit dengan yang gaib (al-ghaib). Umur yang paling malang adalah ketika seseorang kehilangan usaha dalam dirinya kala gerakan pemikiran terganggu, pintu penyingkapan (mukāsyafah) terkunci, dan jalan penyaksian (musyāhadah) tertutup.

* 3. Aku telah menyusun untuk kalian, sebelum karya ini dan selama penyusunannya (ketika beberapa halangan menggangguku), buku-buku yang sesuai dengan metode Perpatetik yang di dalamnya aku meringkas teori-teori mereka.

Di antara karya-karya ini, adalah uraian pendek yang disebut At-Talwihāt, yang memuat teori-teori yang dibentuk secara ringkas. Buku berikutnya adalah Al-Lamahāt. Aku juga sudah menyusun buku-buku lain, yang di antaranya kutulis sewaktu masih muda. Namun, buku ini (Hikmah Al-Isyrāq) menggunakan metode dan cara yang berbeda dari cara lain [Peripatetik]

P: 262


1- 1. Asy-Syirazi memandang wāhib al-'ilm sebagai al-'aql al-fa'āl, (Syarh II, hlm. 14).

menuju (pengetahuan], lebih rapi dan jelas, dan tidak susah untuk dipelajari. Aku tidak memperolehnya pertama-tama melalui pemikiran (bi al-fikr), melainkan melalui jalan yang lain.

Akhirnya, kutemukan bukti-bukti (hujjah) untuknya. Sekiranya aku harus berhenti beroleh visi atau penyaksian misalnya, maka tak ada seorang pun yang bisa membuatku meragukan [keyakinan yang telah kuperoleh).

$4. Dalam semua yang telah kusebutkan berkaitan dengan “ilmu cahaya-cahaya" dan segala yang didasarkan padanya, aku telah dibantu oleh para musafir di jalan Tuhan.

[Apa yang membimbingku) adalah intuisi pemimpin filsafat (imām Al-Hikmah), yang gurunya adalah Plato, “pemilik dukungan dan Cahaya Tuhan" (shāhib al-aid wa an-nūr). Begitu juga [“ilmu cahaya-cahaya" berdasarkan intuisi para filsuf] sebelum Plato, dari masa Hermes, “Bapak para Filsuf" (wālid al-hukamā) sampai pada masa Plato, termasuk para filsuf terdahulu bercorak metaforis dan simbolis sehingga dikatakan bertentangan dengan mereka, meskipun boleh jadi bahasa tersebut diarahkan bertentangan dengan pernyataan-pernyataan mereka, yang jelas tidak diarahkan agar berlawanan dengan tujuan mereka karena tak seorang pun dapat menolak metafora ataupun simbol. Ini juga menjadi dasar Filsafat Timur tentang cahaya dan gelap, yang merupakan metode para filsuf Persia semisal Jamash, Farshawahtar, Buzurjmihr, dan lain-lainnya sebelum mereka. Namun, teorema ini bukan teorema Majusi yang kafir, bid'ah kaum Mani, dan apa pun yang mengantarkan pada tindakan menyekutukan dewa-dewa lain dengan Allah, yang Mahasuci dari segala bentuk antropomorfisme.

Jangan membayangkan bahwa filsafat ada hanya dalam

P: 263

waktu yang singkat. Dunia tidak pernah hampa dari filsafat, juga hampa dari orang yang menguasai hikmah, yang memiliki dasar- dasar dan penjelasan-penjelasan. Orang semacam itu adalah khalifah Allah; dan mereka akan tetap ada selama ada langit dan bumi. Perbedadan antara filsuf terdahulu dan kemudian hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa dan juga kebiasaan dalam menyatakan ajaran mereka entah secara eksplisit atau hanya secara isyarat saja. Semua filsuf sepakat bahwa ada tiga alam [wujud],(1) dan keesaan Allah; tidak ada perselisihan di antara mereka berkaitan dengan prinsip-prinsip dalam berbagai problem [filsafat). Meski Guru Pertama [Aristoteles] punya kedudukan penting, peringkat tinggi, yang menyalurkan pandangan dan kemampuan-kemampuan spekulatif yang sempurna, orang tidak diizinkan untuk mengagung-agungkannya sedemikian rupa demi mengakhiri cercaan atas dua gurunya [Socrates dan Plato). Kelompok [filsuf] mencakup “para utusan" (ahl al-sifārah) dan “pemberi hukum" (asy-syāri'un), semisal Agathodaemon, Hermes, Asclepius, dan lain sebagainya.

$5. Ada banyak tingkatan [filsuf], dan mereka termasuk dalam berbagai golongan, sebagai berikut: seorang filsuf Ketuhanan (hakim ilāhī) yang ahli dalam teosofi (ta'alluh), tetapi tidak menguasai filsafat diskursif (bahts), seorang filsuf Diskursif yang tidak menguasai teosofi; seorang filsuf Ketuhanan yang ahli dalam teosofi dan filsafat diskursif; seorang filsuf Ketuhanan yang ahli dalam teosofi, tetapi sedikit menguasai atau lemah dalam filsafat diskursif; seorang filsuf yang ahli dalam filsafat diskursif, tetapi sedikit menguasai atau lemah dalam teosofi; seorang murid [secara harfiah: pencari] teosofi dan filsafat diskursif; murid teosofi saja dan; murid

P: 264


1- 2. Tiga alam itu: 'ālam al-'aql, 'ālam an-nafs, 'ālam al-jism, yakni akal, jiwa, dan materi. Bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 20.

filsafat diskursif saja. Meski demikian, dalam beberapa periode, selalu ada seorang filsuf yang ahli dalam teosofi maupun filsafat diskursif, yang mempunyai kepemimpinan (ri'āsah) dan [filsuf semacam itu) adalah khalifah Tuhan. Sekiranya keadaannya tidak demikian, seorang filsuf yang ahli dalam teosofi, tetapi sedikit menguasai Filsafat Diskurisif [akan bisa memegang tampuk kepemimpinan]. Begitu juga, seorang filsuf yang ahli dalam teosofi, tetapi tidak menguasai filsafat diskursif, bisa menjadi khalifah Tuhan. Bumi tidak pernah kosong dari filsuf yang ahli dalam teosofi. Kepemimpinan tidak pernah diberikan kepada ahli dalam filsafat diskursif yang tidak ahli dalam teosofi. Karena itu, dunia tidak pernah hampa dari teosof ahli, yang lebih pantas ketimbang filsuf Diskursif semata; karena mau tidak mau, kekhalifahan harus dipegang (oleh seseorang].

Dengan kepemimpinan ini, yang ku maksudkan bukan hanya kontrol sesaat. Sebaliknya, pemimpin teosof bisa menjadi pemimpin secara terbuka; atau ia yang mungkin berada di alam kegaiban, yang banyak disebut sebagai “kutub" (quthb) – akan bisa menjadi pemimpin dalam kegaibannya sekalipun. Ketika penguasaan bumi (as-siyāsah) berada di tangan filsuf semacam itu, masa akan menjadi bercahaya; tetapi jika masa tidak mempunyai manajemen Ilahi (tadbir Ilāhī), kegelapanlah yang akan menang. Murid yang sangat baik adalah pencari teosofi dan filsafat diskursif; berikutnya, [dalam peringkat] adalah murid teosofi; kemudian, murid filsafat diskursif.

$6. Buku kami ini (ditujukan) untuk murid teosofi dan filsafat diskursif. Tidak terdapat di dalamnya sesuatu bagi filsuf Diskursif yang tidak diberikan, dan tidak menjadi teosofi. Kami hanya membahas buku ini, metafora-metafora dan simbol-

P: 265

simbolnya bagi orang yang telah melakukan usaha serius dalam teosofi, atau orang lain yang mencarinya. Pembaca buku ini harus sekurang-kurangnya, orang yang telah mencapai tangga di mana Cahaya Tuhan (Al-Bāriq Al-llāhī) telah muncul baginya, dan penampakkannya telah menjadi keadaan yang kuat [dalam jiwanya]. Orang lain tidak akan mengambil manfaat sama sekali dari buku ini. Karena itu, siapa pun yang ingin mempelajari filsafat diskursif semata, hendaklah mengikuti metode Peripatetik, yang bagi filsafat diskursif, baik dan masuk akal. Kami tidak bisa menyebut orang semacam itu, juga tidak membahas bagi orang semacam itu: “dalil-dalil Iluminasi" (al-qawā'id Al-Isyrāqiyyah).(1) Sungguh, urusan kaum Iluminasionis (Al-Isyrāqiyyūn) tetap tidak akan beres tanpa [petunjuk] cahaya-cahaya apokaliptis (sawānih nūriyyah). Sebab, beberapa teori [lluminasi] ini didasarkan pada cahaya-cahaya ini sehingga jika suatu keraguan harus menimpa kaum Iluminasi berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut, mereka akan menyelesaikannya dengan membahas premis yang diakui, tak tertutup (as-sullam al-mukhalla'ah).(2) Sebagaimana, kita menelaah data indrawi (mahsūsah) dan merasa yakin dengan beberapa syarat mereka, dan berikutnya membentuk ilmu-ilmu yang benar ('ulüm shahihah) berdasarkan syarat-syarat itu, seperti astronomi dan lain sebagainya, maka begitu pula kita menyelidiki (secara literal:

mellihat] hal-hal spiritual yang pasti, dan kemudian membangun [Filsafat Iluminasi] berdasarkan semuanya itu. Orang yang tidak mengikuti cara ini, tidak akan menggangap hikmah seperti itu dan hanya menjadi suatu permainan di tangan orang-orang yang ragu.

P: 266


1- 3.Teori-teori ini, meliputi wilayah khusus ajaran Iluminasi dan membentuk bagian utama dalam Hikmah Al-Isyrāq. (Bandingkan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 220, 36, 37, 135). Bagian-bagian dari teori-teori ini, semisal “lema-lema”, disebut daqiqah isyraqiyyah, (ibid., hlm. 29). Istilah-istilah lain, seperti nukat isyrāqiyyah dan sunnah Al-Isyrāq, digunakan dalam pengertian yang lebih terbatas dan berperan untuk mengidentifikasi topik-topik khusus dalam Filsafat Iluminasi.
2- 4.Premis-premis semacam itu punya peringkat yang sama dengan premis-premis “utama" dan diperoleh oleh “jiwa yang terpisah diri dari badan, yang punya visi tentang prinsip- prinsip intelektual (al-mabadi' al-'aqliyyah) dan cahaya-cahaya apokaliptik)”. (Asy-Syirazi, Syarh 11, hlm. 26).

Catatan:

1. Asy-Syirazi memandang wāhib al-'ilm sebagai al-'aql al-fa'āl, (Syarh II, hlm. 14).

2. Tiga alam itu: 'ālam al-'aql, 'ālam an-nafs, 'ālam al-jism, yakni akal, jiwa, dan materi. Bandingkan, Asy-Syirazi, Syarh II, hlm. 20.

Teori-teori ini, meliputi wilayah khusus ajaran Iluminasi dan membentuk bagian utama dalam Hikmah Al-Isyrāq.

(Bandingkan, Suhrawardi, Opera II, hlm. 220, 36, 37, 135).

Bagian-bagian dari teori-teori ini, semisal “lema-lema”, disebut daqiqah isyraqiyyah, (ibid., hlm. 29). Istilah-istilah lain, seperti nukat isyrāqiyyah dan sunnah Al-Isyrāq, digunakan dalam pengertian yang lebih terbatas dan berperan untuk mengidentifikasi topik-topik khusus dalam Filsafat Iluminasi.

4.

Premis-premis semacam itu punya peringkat yang sama dengan premis-premis “utama" dan diperoleh oleh “jiwa yang terpisah diri dari badan, yang punya visi tentang prinsip- prinsip intelektual (al-mabadi' al-'aqliyyah) dan cahaya-cahaya apokaliptik)”. (Asy-Syirazi, Syarh 11, hlm. 26).

P: 267

P: 268

APENDIKS B

Terjemahan Hikmah Al-Isyrāq Bagian Satu, I, Kaidah Ketujuh [Tentang Definisi dan Syarat-Syaratnya] $13. Ketika sesuatu diketahui oleh seseorang yang tidak mengetahui-[nya), maka definisi sesuatu itu harus [dibangun] melalui hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang khusus, yakni mengkhususkan [semua] unit [sesuatu], atau mengkhususkan sebagian darinya, atau [mengkhususkan] jumlah keseluruhan organis adalah penting, bahwa definisi yang [dibangun] dengan sesuatu yang lain yang lebih jelas dari sesuatu yang didefinisikan, dan tidak melalui sesuatu yang mempunyai kejelasan yang sama, atau lebih tidak jelas darinya, atau melalui sesuatu yang tidak diketahui, kecuali melalui sesuatu yang hendak diketahui. Karena itu, pernyataan seseorang yang mendefinisikan “ayah” sebagai "orang yang mempunyai anak" adalah salah karena “ayah” dan "anak" adalah sama dalam hubungannya dengan pengetahuan atau ketiadaannya, dan siapa pun yang mengetahui salah satu, mengetahui yang lain. Syarat lain, dengan cara sesuatu yang didefinisikan dan tidak bebarengan dengannya. [Misalnya, tidak benar) mengatakan, “Api adalah unsur yang menyerupai jiwa," karena jiwa adalah sesuatu yang kurang diketahui ketimbang api. Begitu juga [tidak benar) ketika mengatakan, “Matahari adalah bintang yang terbit di siang hari," karena hari hanya dapat diketahui dengan periode waktu yang menandai terbitnya

P: 269

matahari. Mendefinisikan [sesuatu) tidak dapat berjalan hanya melalui penggantian istilah [definisi leksikal] karena penggantian semacam itu hanya berguna bagi orang yang mengetahui realitas, tetapi tidak mengetahui dengan pasti makna istilah [yang digunakan). Definisi tentang hal-hal yang berkaitan harus menyebutkan sebab yang menghasilkan hubungan, dan definisi hal-hal turunan hanya menyebutkan bahwa dari turunan tersebut dibuat bersama sesuatu yang lain, yang pada gilirannya, bergantung pada bentuk-bentuk turunan.

$14. Bagian [tentang definisi hakiki]. Sebagian orang memberikan nama teknis “definisi [esensialis)" untuk formula yang menunjukkan sesuatu. Formula semacam itu menunjukkan hal-hal esensial sesuatu yang internal yang berkaitan dengan realtias sesuatu. Nama yang diberikan bagi [jenis definisi] yang membuat hal-hal eksternal diketahui dalam hubungannya dengan realitas sesuatu adalah “deskripsi". Sebagai contoh, ketahuilah bahwa ketika sekelompok orang menegaskan bahwa badan mempunyai bagian-bagian [yakni, kaum Peripatetik yang menganggap badan tersusun dari dua bagian: bentuk dan materi], yang lain meragukannya [kaum Atomis yang menilai badan terbentuk dari atom-atom individual), dan bahkan yang lain menolak bagian-bagian itu sama sekali [yakni, Filsafat Alam Kuno yang menganggap badan sebagai kuantitas mutlak] – engkau harus mempelajari apa “bagian" itu. Keragaman tidak mengajarkan (eksistensi] bagian-bagian itu [hanya] dari konsep tentang sesuatu yang dinamai. Nama hanya melambangkan keseluruhan jumlah sifat-sifat pokok sesuatu yang dipahami.

Lebih jauh, misalkan contoh, dibentuk bahwa air dan udara mempunyai bagian-bagian yang nonindrawi (yakni,

P: 270

bentuk, materi, atau atom] orang akan menolak [wujudnya] dan bagian-bagiannya. Menurut mereka, bagian-bagian itu tidak mempunyai hubungan dengan apa yang mereka pahami dari [nama air dan udara). Ketika badan, seperti telah kita jelaskan- merupakan bagian dari realitas jasmani [dan mempunyai nama], orang yang hanya memahami apa saja yang tanpa pada mereka [badan tersebut), yaitu sesuatu yang dimaksud oleh nama ſyang diberikan kepadanya secara konvensional], baik oleh pemberi nama maupun oleh mereka. Sekarang, jika demikian keadaan hal-hal indrawi, bagaimana lebih [sulitnya) dengan hal-hal yang tidak dapat diindra sama sekali? Bagaimana dengan sesuatu yang dimiliki manusia yang dengan cara mana kemanusiaannya [esensi] dapat ditentukan – sesuatu ini tidak diketahui oleh orang banyak, juga oleh kaum Peripatetik awal yang kemudian mandefinisikannya sebagai "hewan rasional". [Ini karena] kemampuan menalar adalah aksidental dan posterior terhadap realitas [manusia]. [Berbeda dengan formula Peripatetik, kami berpendapat] bahwa jiwa, yang merupakan prinsip sesuatu [yakni, hal-hal yang esensial] – hanya dapat diketahui melalui sifat-sifat wajib dan aksiden-aksiden. Sekarang, tidak ada sesuatu yang lebih dekat kepada manusia daripada jiwanya, [dan bagaimana kasus tersebut berhubungan dengannya). Bagaimana lebih sulitnya (mengetahui] sesuatu yang lain? Namun, kita akan mengatakan betapa pentingnya pertanyaan tersebut.

$15. Teorema atau Dalil Iluminasi [Tentang Runtuhnya Teori Definisi Peripatetik]. Kaum Peripatetik mengakui bahwa dalam [membentuk] definisi ſesensialis] tentang sesuatu, seseorang harus menyebutkan hal-hal esensial yang umum dan yang khusus. Hal-hal esensial umum, yaitu bukan

P: 271

merupakan bagian dari hal-hal esensial yang lain yang masuk ke dalam realitas universal dan dengan cara apa seseorang mengekspresikan jawaban atas pertanyaan, “Apakah ia?" disebut "genus", sedangkan hal-hal esensial sesuatu yang partikular mereka sebut "diferensia". Sekarang, dalam hubungannya dengan membentuk definisi terdapat urutan yang berbeda [bagi genus dan diferensia] yang telah kami sebutkan dalam karya- karya kami. Lebih jauh, Peripatetik mengakui bahwa yang tidak diketahui hanya dapat diperoleh melalui yang diketahui. Namun, [kita melihat] bahwa hal-hal esensial sesuatu yang khusus tidak diketahui dengan baik oleh seseorang yang tidak mengetahui [sebelum]-nya dari tempat lain. Namun, hal-hal esensial sesuatu yang khusus diketahui melalui sesuatu yang lain dari sesuatu yang didefinisikan, ia tidak menjadi khusus bagi sesuatu yang didefinisikan. Jika hal-hal esensial khusus bagi sesuatu, tidak nampak kepada indra dan tidak diketahui, maka keduanya tetap tidak diketahui. Jika [kita mengasumsikan] hal-hal esensi khusus didefinisikan, tetapi dengan cara hal-hal yang umum lebih dari yang khusus baginya, maka tidak akan menjadi definisi tentang hal-hal yang esensial. (Kita sebelumnya telah menyebutkan keadaan (pengetahuan] tentang bagian khusus [sesuatu].

Karena itu, seseorang hanya dapat memperoleh [suatu definisi] melalui perantaraan benda-benda indrawi atau nampak dengan cara lain (yakni, yang berbeda dari formula definisi Peripatetik], yang diberikan ketika kita mampu menspesifikasi keseluruhan jumlah [bagian-bagian) yang menspesifikasi sesuatu itu dengan [menspesifikasi] keseluruhan organik sesuatu itu. Anda akan mempelajari inti [metode baru] ini dalam uraian berikut.

Siapa saja yang memperinci [semua] hal-hal esensial

P: 272

yang ia ketahui, tidak akan percaya ketidakmungkinannya, mengabaikan hal esensial lain, dan orang yang ingin menjelaskan atau mempertentangkan pernyataan itu dapat menanyakan dirinya mengenai itu [hal-hal esensial yang tetap tak terdeteksi).

Orang yang membangun suatu definisi tidak dapat pada titik itu, mengatakan dengan benar, “Masih adakah sifat-sifat lain [sesuatu) yang harus diketahui?" Karena masih banyak sifat yang tersembunyi (yang bisa jadi, ia abaikan]. Tidak cukup untuk mengatakan, “Haruskah sesuatu memiliki sifat esensial lain (yang tersembunyi bagi kita), yang kita dapat mengetahui esensinya tanpa sifat itu?" Jawabnya, “Realitas [sesuatu] diketahui hanya ketika keseluruhan jumlah sifat-sifat esensialnya diketahui." Ini berarti, jika [sesuatu) selalu mungkin mempunyai sifat esensial lain yang tidak dapat dipahami, pengetahuan tentang realitas sesuatu tidak meyakinkan. Karena itu, jelas tidak mungkin memperoleh definisi (esensialis] dengan cara yang dilakukan Peripatetik [yakni, formula yang mendekatkan genus dan diferensia] sebagaimana kesulitan itu diakui oleh guru [Peripatetik] mereka, Aristoteles. Karena itu, kita [kaum Iluminasi] hanya membuat definisi dengan cara benda-benda yang menspesifikasi jumlah keseluruhan organik.

P: 273

P: 274

APENDIKS C

Analisis Atas Al-Mu'tabar: Al-Manthiq, I. 13 Karya Abu Al-Barakat Al-Baghdadi Bagian 13 tentang Al-Madkhal dalam logika Al-Mu'tabar Al- Baghdadi merupakan bagian yang aneh karena tidak mempunyai padanan dalam karya-karya filsafat berbahasa Arab sebelumnya.

Setelah melihat teori Definisi Suhrawardi, bagian dari karya Al- Baghdadi ini terlihat mempunyai pengaruh yang jelas pada teori Iluminasi.

Bagian ini sepenuhnya dikerahkan untuk menganalisis kaidah-kaidah matematika yang digunakan untuk membangun definisi. Judul bagian ini adalah Tentang Pembagian (Qismah) Analisis (Tahlil), Kombinasi (Jam'), dan Sintesis (Tarkib), yang Berguna untuk memperoleh Definisi.

Terdapat suatu pembedaan mendasar yang dilakukan antara yang nampak, atau di luar pikiran, dan yang hanya dalam pikiran, yakni pembedaan antara yang hakiki dan mental. Istilah yang digunakan untuk yang hakiki adalah wujūdi dan berkaitan dengan persepsi indra; dan istilah yang digunakan untuk mental, atau ideal, adalah dzihni, kadang-kadang juga ‘aqli.

Berikut ini adalah daftar kaidah matematika yang dijelaskan:

1. Kombinasi (jam'). Ada dua bentuk kombinasi: (a) kombinasi yang unit-unit (āhād)-nya dibedakan (mutamayyiz) dalam keseluruhan, yakni unit-unit bisa dirinci secara terpisah

P: 275

dan jumlah merupakan tambahan sederhana dari unit-unit itu.

Bentuk kombinasi ini disebut kombinasi dengan komposisi (jam' ta’līfī). Contoh kombinasi ini adalah: (a) tentara terdiri atau tersusun dari sejumlah orang; (b) kombinasi dengan mencampur (takhālith) dan mengaitkan (tattahid) unit-unit dengan cara keseluruhan yang tidak dibedakan dari bagian- bagian, yakni unit-unit keseluruhan bersama-sama membentuk keseluruhan abadi. Nama yang diberikan untuk kombinasi ini adalah kombinasi dengan sintesis (jam' tarkibi). Contoh kombinasi ini adalah badan manusia tersusun dari berbagai cairan tubuh yang kemudian membentuk unsur-unsur.

2. Komposisi (ta'līt). Ada dua bentuk komposisi:

(a) komposisi mental (ta’lif dzihni), suatu contoh yang di dalamnya komposisi ideal, makna universal terdiri dari hal-hal partikularnya, seperti genus terdiri dari spesies-spesies, dan spesies terdiri dari individu-individu; (b) komposisi hakiki (ta’lif wujūdi), seperti komposisi benda terdiri dari bagian-bagiannya, seperti badan terdiri dari tungkai dan lengan, daging, panas, tangan, kaki, dan seterusnya.

3. Sintesis (tarkib). Ada dua bentuk sintesis: (a) sintesis mental (tarkib dzihni) seperti ketika genus dan diferensia disintesis dalam suatu definisi; (b) sintesis hakiki (tarkib wujūdi), yang kemudian dibagi menjadi alami (thabi'i), seperti badan binatang “secara alami” disintesis dari empedu, unsur, dan asas-asas; dan (c) artifisial (shināʻī), misalnya minuman sikanjibin terbuat dari cuka dan madu.

Bagian-bagian lain dari bab ini dimaksudkan menelaah kaidah-kaidah yang mengatur pemilahan (tafriq), pembagian (qismah), dan analisis (tahlil) yang kesemuanya tidak perlu

P: 276

mendapat perhatian kita.

Hal yang harus ditekankan secara umum adalah dalam bentuk kombinasi melalui sintesis, unit-unit, dan keseluruhan bersama-sama membentuk suatu entitas “organis" sedemikian rupa sehingga bagian-bagian tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan, sementara kombinasi melalui komposisi unit-unit boleh dibedakan dalam diri mereka, juga dari keseluruhan.

P: 277

P: 278

SENARAI RUJUKAN

Abelson, Raziel, “Defintion", Encyclopedia of Philosophy, Vol.

2, hlm. 314-324, disunting oleh Paul Edwards, New York:

Macmilan, 1967.

Afnan, Soheil, A Philosophical Lexiccon in Persian and Arabic, Beirut: Dar al-Masyriq, 1969.

Al-Farabi, Arā' Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah, disunting oleh M.

Al-Kurdi, Kairo: Dār al-Masyriq, 1969.

---, Al-Alfāzh Al-Mustaʼmalah fi Al-Manthiq, disunting oleh Muhsin S. Mahdi, Beirut: Dār al-Masyriq, 1968.

---, Al-Jam' Bain Ra'yai Al-Hakimain: Aflathun Al-llahi wa Aristhutalis, disunting oleh A.N. Nader, Beirut: Dar al- Masyriq, 1968.

---, Kitāb Al-Hurūf, disunting oleh Muhsin S. Mahdi, Beirut:

Dār al-Masyriq, 1972.

Aristoteles, Metaphyisics, diterjemahkan dan diberi komentar glosari oleh Hipprocrates G. Apostle, Bloomington, London:

Indiana University Press, 1966.

--, Physics, diterjemahkan, diberi komentar, dan glosari oleh Hippocrates G. Apostle, Bloomington, London: Indiana University Press, 1969.

---, The Works of Aristoteles Translated into English, Vol. 1, disunting oleh W. D. Ross, Oxford: Clarendon Press, 1966.

Asytiyani, Sayyid Jalaluddin, Hasti, Masyhad: Khurasan Press, 1379 H.

Al-Baghdadi, Abu Al-Barakat, Al-Mu'tabar, Deccan: Haidarabad, 1357 H.

Beck, Lewis W., “Kant's Theory of Definition," The Philosophical Review, Vol. 65, 2 (374) (April, 1956), hlm. 179-191.

P: 279

Corbin, Henry, Archange Empourpre, Qinze traits et Recits Mystique Traduits du Person et de l'arabe, presents et annotes par Henry Corbin, Paris: Payard, 1976.

---, En Islam Irannien, 4 volumes, Paris: Gallimard, 1971.

---, Le Livre de la Sagesse Orientale, Kitāb Hikmat Al-Isyrāq, traduction et notes par Henry Corbin, etablies et introduit par Christian Jambet, Paris: Verdier, 1986.

---, Les Motifs Zoroastriens Dans la Philosophie de Suhrawardi, Tehran: t.p., 1945.

--, L'Homme de Lumiere dans la Soufisme Iranien, Paris:

Sisteron, 1971.

--- , Suhrawardid’Alep, fondateur de la Doctrine Illuminative, Paris: t.p., 1939.

Conford, Francis M., Plato's Cosmology, New York: Arts Press, 1957.

Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, New York:

Columbia University Press, 1970.

Flutirkhus, Al-Arā' Ath-Thabi'iyyah, diterbitkan dalam Aristhu fī An-Nafs, disunting oleh A. Badawi, Beirut: t.p., 1954, hlm.

95-188.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Mihak An-Nazhar, disunting oleh Al-Na'sani, Beirut: t.p., 1966.

---, Mi'yār Al-'ilm, disunting oleh Sulaiman Dunya, Kairo:

t.p., 1961.

Gilson, Etienne, Being and Some Philosophers, Toronto:

Pontifical Institute of Medieval Studies, 1949.

Goichon, A.M., Lexico de La Longue Philosophieque d'Ibn Sina, Paris: Desclee de Brouwer, 1938.

---, Lexique de La Langue Philosophique d'Ibn Sina:

Supplement, Paris: Desclee de Brouwer, 1939.

Guthrie, W.K.C., A History of Greek Philosophy, Cambridge:

Cambridge University Press, 1969.

P: 280

Haeri, Mesdi, Hiram-i Hasti, Tehran: t.p., 1980.

Hamlyn, D.W., Sensation and Perception, London: Routledge and Kegan Paul, 1961.

Harawi, Muhammad Sharif, Anwariyyah: An 17th century A.H.

Persian Translation and Commentary on Suhrawardi's Hikmat Al-Isyrāq, disunting, diberi pendahuluan, dan catatan oleh Hossein Ziai, Tehran: Amir Kabir, 1980, Edisi Kedua 1984.

Hirst, R.J. “Perception," Encyclopedia of Philosophy, disunting oleh Paul Edwards, vol. 6, hlm. 79-87, New York: Macmillan, 1967.

Horten, Max, Die Philosophie der Erleuchtung Nach Suhrawardi, t.t.: Halle, 1912.

Hunain, Ibn Ishaq, “Fi al-Dhau' wa Haqiqatih," Al-Masyriq, t.t:

t.p. 1899, hlm. 1105-1113.

Ibn Abi Ushaibi'ah, Thabaqāt Al-Athibbā', disunting oleh A.

Muller, t.t.: Koningsbergi Pr., 1884.

Ibn Kammunah, Sa'd bin Manshur, Syarh At-Tawihāt, dicetak dalam Manthiq At-Talwāhāt, disunting oleh A. A. Fayyaz, Tehran: Tehran University Press, 1334 H.

---, Tangih Al-Abhāts li Al-Milal Ats-Tsalāts, disunting oleh Moshe Perlman, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1971.

Ibn Sina, Kitāb Al-Isyārāt wa Al-Tanbībāt, disunting oleh Mahmud Shahabi, Tehran: Theran University Press, 1339 H.

---, Livres des Definitions, disunting dan diterjemahkan oleh A.M. Goichon, Kairo: Publications de l'Institut Francais d'Archeologie Orientale du Caire, 1963.

---, Livre des directives et Remarques, diterjemahkan oleh A.M. Goichon, Paris: J. Vrin, 1951.

---, Mabda' wa Ma'ād, diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh Mahmud Shahabi, Tehran: Tehran University Press, 1332 H.

P: 281

---, Manthiq Al-Masyriqiyyin, Kairo: t.p., 1910.

---, An-Najāh, disunting oleh M. Al-Kurdi, Kairo: t.p., 1948.

---, Asy-Syifā': Al-Burhan, disunting oleh A. R. Badawi, Kairo:

t.p., 1954.

---, Asy-Syifā': fi Al-'lbārah, disunting oleh M. Khujairi, Kairo: t.p., 1970.

---, Asy-Syifā': Al-Jadal, disunting oleh A.F. Al-Ahwani, Kairo: t.p., 1965.

---, Asy-Syifā': Al-Ilāhiyyāt, disunting oleh G. C. Anawati dan S. Zayid, Kairo: t.p., 1960.

---, Asy-Syifā': Al-Madkhal, disunting oleh Ibrahim Madkour, Kairo: t.p., 1951.

---, Asy-Syifā': Al-Maqūlāt, disunting G.C. Anawati, et. Al., Kairo: t.p., 1959.

---, Asy-Syifā': Al-Qiyās, disunting oleh S. Zayid, Kairo: t.p., 1964.

Iqbal Muhammad, The Development of Metaphysics in Persia, London: Luzac, 1908.

Irvy, Alfred, Al-Kindi's Metaphysics, Albany: State University of New York, 1974.

Isutzu, Toshihiko, “The Problem of Quiddity and Natural Universal in Islamic Metaphysics," Etudes Philosophique, disunting oleh Osman Amin, Kairo: Gebo, 1974.

Jaddane, Fehmi, L'influnce du Stoicism Sur la Pensee Musulmane, Beirut: Dar al-Masyriq, 1968.

Kal, Victor, On Intuition du Discursive Reasoning in Aristoteles, Leiden: E. J. Brill, 1988.

Kant, Immanuel, Logic, diterjemahkan oleh R. Hartman dan W.

Schwartz, New York: Library of Liberal Arts, 1974.

Kneale, William and Martha, The Development of Logic, Oxford:

Oxford University Press, 1968.

P: 282

Massignon, Louis, Receuil de Texts Inedits, Paris: Paul Getuhner, 1929.

Mates, Benson, Stoic Logic, Berkeley: University of California Press, 1929.

Matthews, Gweneth, Plato's Epistemology and Related Logical Problems, London: Faber and Faber, 1972.

Merlan, Philip, From Platonism to Neoplatonism, 3rd, ed. Rev., The Hague: Martinus Nijhoff, 1968.

---, Monopsychism Mysticism Metaconsciousness, The Hague: Martinus Nijhoff, 1963.

Misykat Al-Dini, A. M., Tahqiq dar Haqiqat-i 'Ilm, Tehran:

Tehran University Press, 1344 H.

Nasr, Seyyed Hossein, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, London: t.p., 1978.

---, Three Muslims Sages, Cambridge: Harvard University Press, 1964.

Perlman, Moshe, Sa'd bin Manshur Ibn Kammunah's Examination of Inquiries Into The Three Faiths: A Thirteenth-Century Essay in Comparative Religion, Berkeley and Los Angeles:

University of California Press, 1967.

Peters, F.E., Aristoteles and The Arabs, New York: New York University Press, 1968.

Pines, Solomon, Nouvelles Etudes sur Auhad Al-Zaman Abu Al- Barakat Al-Baghdadi, Paris: Libraire Durlaches, 1953.

---, “Studies in Abu Al-Barakat Al-Baghdadi's Poetics and Metaphysics", dalam Scripta Hierosolyminata, Volume VII, Studies in Islamic Philosophy, disunting oleh S.H. Bergman, Jerussalem: The Magnes Press ot The Hebrew University, 1960, hlm. 120-198.

Pistorius, Plotinus and Neoplatonism, Cambridge: Bower and Bower, 1952.

Plato, The Collected Dialogues, disunting oleh Edith Hamilton

P: 283

dan Huntington Carins, Princeton: Princeton University Press, 1969.

Plotinus, The Enneads, diterjemahkan oleh Stephen Mackenna, New York: Pantheon Books, 1969.

Al-Qifthi, Tārīkh Al-Hukamā', diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan disunting oleh Bahman Dara'i, Tehran: Tehran University Press, 1347 H.

Rahman, Fazlur, Avicenna's de Anima, London: Oxford University Press, 1959.

---, Avicenna's Psychology, London: Oxford University Press, 1952.

--- , Prophecy in Islam, London: George Allen and Unwin Ltd., 1958.

Rist, J. M., Plotinus: The Road to Reality, t.t.: Cambridge University Press, 1967.

Ritter, Helmut, “Philologika IX: Die vier Suhrawardi," Der Islam, vol. 24 (1937), hlm. 270-286 dan vol. 25 (1938), hlm. 35-86.

Robinson, Richard, Definition, Oxford: Oxford University Press, 1972.

---, Plato's Earlier Dialectic, Oxford: Clarendon Press, 1970.

Russel, Betrand, Introduction to Mathematical Philosophy, London: George Allen and Unwin, 1924.

Sagal, Paul T., “Implicit Definition," The Monist, vol. 57, No. 3 (Juli, 1973), hlm. 443-450.

Sajjadi, Seyyed Ja'far, Syihab Al-Din Suhrawardi. Tehran:

Intisyārā-i Falsafa, 1984.

As-Sawi, 'Umar bin Sahlan, Tabshīrah va du Risāla-yi Digar dar Manthiq, disunting oleh M.T. Danesh Pajouh, Tehran: Tehran University Press, 1958.

Sayre, M., Plato's Analytic Method, Chicago: University of Chicago Press, 1969.

P: 284

Shahabi, Mahmud, Būd va Numūd, Tehran: Tehran University Press, 1335 H.

Asy-Syahrazuri, Syamsuddin Muhammad, Nuzhat Al-Arwāh, Istanbul: Yeni Cami, 1908.

---, Nuzhat Al-Arwah wa Raudhah Al-Afrah fī Tārīkh Al- Hukamā' wa Al-Falāsifah, disunting oleh Seyed Khurshid Ahmed, Hayderabad: Osmania Oriental Publications Bureau, 1976.

---, Nuzhat Al-Arwāh wa Raudhah Al-Afrah, terjemahan bahasa Persia abad ke-16 oleh Maqshud 'Ali Tabrizi, disunting dengan pendahuluan tentang sejarah Filsafat Islam oleh M.

T. Danesh Pajouh dan M.S. Mawla'l, Tehran: t.p., 1986.

Sharif, M.M., A History of Muslim Philosophy, Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963.

Asy-Syirazi, Quthbuddin, Syarh Hikmah Al-Isyrāq, Tehran, 1313 H.

Asy-Syirazi, Shadruddin, “Mulla Sadra," Ta‘līgāt: Syarh Hikmah Al-Isyrāq, Tehran, 1313 H.

Smith, N. K., A Commentary to Kant's Critique of Pure Reason, London: Macmillan, 1923.

Stigen, Anfinn, The Structure of Aristoteles's Thought, Oslo:

Universitets forlaget, 1966.

Suhrawardi, Syihabuddin Yahya, Kalimah At-Tashawwuf, MS.

Tehran: Majlis Majmu'ah, 3071.

---, Kitāb Al-Lamahāt, disunting oleh Emile Maalouf, Beirut:

Dār an-Nahar, 1969.

---, Manthiq At-Talwīhāt, disunting oleh A. A. Fayyat, Tehran: Tehran University Press, 1334 H.

---, Al-Masyāri' wa Al-Muthārahāt, Leiden: Or, 365.

---, Oeuvres Philosophiques et Mystiques: Opera Metaphysica et Mystica II, disunting dan diberi pendahuluan oleh Henry Corbin, Tehran: Institut Franco-Iranien, 1954.

P: 285

---, Opera Metaphysica et Mystica I, disunting dengan pendahuluan dan berbagai catatan oleh Henry Corbin, Istanbul: Maarif Matbaasi, 1945.

---, Opera Metaphysica et Mystica III, disunting oleh Seyyed Hossein Nasr. Tehran: Institut Franco Iranien, 1970.

---, At-Talwīhāt, MS. Berlin: t.p., 5062.

Tuni, Muhammad Hossein, llāhiyyāt, Tehran: Tehran University Press, 1333 H.

P: 286

Indeks

akal aktif 32, 212, 213, 215,

216, 222, 223, 245, 246,

253, 254

aksiden 91, 92, 113, 117, 127,

147, 194, 200, 201, 239,

243, 256, 271

Al-Baghdadi xi, 10, 11, 26, 29,

30, 61, 63, 81, 106, 107,

108, 112, 114, 115, 116,

117, 160, 163, 189, 192,

193, 246, 275, 279, 283

alegoris 24, 28, 59, 61, 65

Aleppo 25, 26, 27, 28, 47, 48,

60

Al-Farabi 21, 39, 114, 129,

183, 229, 254, 255, 256,

279

Al-Muqāwamāt xi, 19, 20, 34,

35, 42, 43, 44, 57, 61,

63, 118

Al-Mu'tabar 11, 26, 29, 30, 61,

63, 81, 106, 107, 112,

114, 115, 116, 117, 163,

189, 192, 193, 246, 275,

279

analitis 12, 19, 176

Aristoteles xiii, xiv, 32, 33, 34,

50, 52, 54, 78, 93, 96,

106, 107, 109, 114, 116,

117, 118, 120, 121, 123,

124, 125, 129, 130, 131,

133, 134, 135, 136, 137,

138, 139, 140, 141, 144,

145, 150, 164, 171, 174,

177, 180, 181, 182, 183,

184, 185, 186, 187, 188,

189, 191, 192, 193, 194,

197, 214, 215, 216, 224,

228, 229, 243, 244, 246,

248, 250, 251, 254, 256,

264, 273, 279, 282, 283,

285

Aristotelian 10, 11, 26, 54,

116, 139, 148, 176, 229,

258

Asy-Syifā 21, 22, 67, 68, 70,

71, 79, 80, 81, 82, 83,

84, 85, 86, 93, 108, 112,

141, 145, 159, 182, 187,

188, 194, 245, 246, 282

At-Talwīhāt xi, xii, xiii, 14, 19,

20, 22, 25, 30, 31, 32,

33, 34, 35, 36, 42, 43,

44, 53, 54, 57, 58, 61,

63, 67, 68, 69, 70, 72,

73, 75, 80, 82, 84, 85,

86, 87, 88, 89, 91, 92,

93, 98, 99, 100, 101,

102, 103, 104, 106, 108,

109, 110, 111, 118, 122,

123, 142, 143, 144, 146,

148, 149, 157, 162, 168,

172, 180, 182, 188, 189,

213, 215, 216, 217, 218,

238, 245, 246, 247, 249,

251, 254, 281, 285, 286

P: 287

basīth 73, 91, 110, 127, 190,

202

cahaya 13, 30, 38, 50, 65, 164,

174, 197, 215, 218, 219,

220, 221, 222, 223, 225,

226, 227, 228, 229, 230,

231, 233, 234, 235, 236,

239, 240, 241, 242, 246,

250, 253, 254, 256, 257,

258, 259, 261, 262, 263,

266, 267

Cahaya Segala Cahaya 225,

226, 230, 232, 233, 234,

235, 236, 241, 257, 258

Corbin 15, 17, 18, 24, 37, 56,

57, 58, 60, 61, 63, 88,

190, 209, 259, 280, 285,

286

169, 170, 171, 172, 173,

174, 175, 176, 177, 178,

179, 180, 181, 182, 183,

184, 185, 186, 187, 188,

192, 193, 201, 202, 203,

207, 208, 218, 224, 225,

269, 270, 271, 272, 273,

275, 276

definisi esensialis 119, 120,

121, 122, 124, 144, 146,

147, 148, 149, 150, 151,

152, 154, 157, 158, 160,

161, 163, 165, 166, 167,

170, 173, 177, 178, 179,

180, 181, 207, 218, 224,

225

definisi hakiki 96, 123, 130,

134, 138, 139, 145, 146,

165, 173, 176, 178, 270

definisi nominal 138, 145,

146, 159, 165, 178

demonstrasi 31, 50, 71, 83,

101, 102, 121, 122, 124,

125. 126. 129. 137. 148.

152, 167, 171, 173, 179,

181, 183, 186, 198, 224

diferensia 95, 96, 120, 125,

138, 139, 140, 144, 145,

146, 151, 153, 154, 157,

158, 159, 168, 180, 182,

200, 229, 238, 272, 273,

276

diri 9, 10, 12, 13, 19, 32, 49,

50, 65, 95, 112, 113,

127, 140, 148, 164, 167,

171, 174, 175, 176, 177,

207, 208, 210, 211, 212,

213, 214, 215, 216, 217,

deduktif 128, 157

definisi 12, 68, 71, 73, 75, 78,

80, 81, 84, 86, 93, 94,

95, 96, 104, 105, 115,

117, 119, 120, 121, 122,

123, 124, 125, 126, 127,

128, 129, 130, 131, 132,

133, 134, 135, 136, 137,

138, 139, 140, 141, 143,

144, 145, 146, 147, 148,

149, 150, 151, 152, 153,

154, 155, 156, 157, 158,

159, 160, 161, 162, 163,

164, 165, 166, 167, 168,

P: 288

217, 218, 219, 220, 222,

223, 224, 225, 226, 236,

237, 238, 239, 240, 241,

242, 244, 258, 271, 272

218, 219, 220, 221, 222,

223, 224, 225, 226, 227,

229, 232, 233, 236, 240,

241, 246, 247, 250, 255,

257, 258, 267, 277

diskursif 21, 24, 25, 31, 32,

33, 34, 36, 38, 41, 43,

50, 51, 52, 53, 59, 65,

175, 197, 198, 264, 265,

266

dunia 13, 37, 42, 49, 106, 125,

153, 198, 199, 200, 201,

232, 237, 257, 262, 265

eksekusi 26, 48

eksplisit 19, 20, 21, 36, 38,

41, 53, 57, 67, 107, 111,

119, 121, 123, 145, 170,

177, 257, 264

ekspresi 12, 24, 38, 39, 44,

155, 174, 176

epistemologi 9, 10, 13, 15,

17, 18, 23, 31, 32, 39,

42, 48, 61, 68, 69, 78,

87. 91. 93. 97. 105. 107.

109, 112, 119, 125, 127,

148, 160, 164, 173, 184,

197, 199, 205, 206, 207,

208, 211, 216, 221, 224,

225, 228, 245, 246, 296

esensi 13, 42, 54, 95, 96, 131,

138, 139, 143, 144, 149,

150, 151, 152, 153, 156,

159, 161, 165, 166, 167,

168, 176, 180, 187, 188,

197, 199, 201, 202, 204,

208, 210, 211, 212, 216,

filsafat 9, 10, 11, 12, 14, 15,

17, 18, 19, 20, 21, 22,

23, 24, 25, 26, 27, 29,

30, 31, 32, 33, 34, 35,

36, 37, 38, 39, 40, 41,

42, 43, 44, 45, 46, 47,

48, 51, 52, 53, 54, 55,

57, 58, 59, 60, 61, 62,

64, 65, 67, 68, 69, 70,

72, 73, 74, 75, 76, 78,

84, 88, 89, 90, 93, 103,

104, 105, 106, 108, 109,

112, 115, 117, 119, 120,

122, 123, 124, 125, 126,

127, 128, 129, 130, 131,

132, 137, 138, 139, 140,

143, 146, 147, 149, 150,

154, 155, 157, 160, 162,

163, 164, 166, 172, 173,

174, 175, 176, 178, 183,

187, 192, 194, 197, 198,

205, 208, 217, 228, 234,

243, 247, 261, 263, 264,

265, 266, 267, 270, 275,

285, 295

filsafat diskursif 24, 25, 31,

32, 33, 34, 36, 42, 43,

52, 53, 59, 65, 197, 198,

264, 265, 266

filsafat intuitif 24, 25, 33, 43,

52, 53, 59

formal 71, 72, 74, 75, 77, 78,

P: 289

82, 84, 94, 97, 99, 101,

104, 105, 108, 112, 115,

121, 124, 125, 126, 130,

131, 132, 133, 134, 137,

142, 143, 148, 153, 166,

172, 173, 174, 175, 176,

182, 183, 193, 197, 199,

206, 207, 211, 212, 236,

249

formasi 50

formulasi 9, 24, 42, 142, 158,

160, 172

201, 202, 204, 237, 238,

270, 275, 276

Hikmah Al-Isyrāq xii, 12, 14,

15, 19, 20, 22, 25, 28,

30, 32, 33, 34, 35, 36,

37, 38, 41, 42, 43, 44,

45, 46, 47, 48, 49, 51,

52, 53, 54, 55, 57, 59,

62, 63, 67, 75, 76, 77,

80, 87, 88, 89, 90, 91,

93, 97, 100, 103, 104,

105, 107, 108, 111, 115,

119, 123, 142, 146, 153,

157, 158, 162, 172, 191,

192, 199, 208, 209, 214,

218, 220, 230, 234, 239,

240, 247, 256, 261, 262,

267, 269, 285

gaya 35, 54, 57, 82, 88, 167,

192

gelap 241, 263

genus 95, 120, 123, 125, 138,

139, 140, 144, 145, 146,

151, 152, 154, 158, 159,

168, 177, 180, 188, 229,

238, 248, 272, 273, 276

Guru 17, 26, 30, 59, 194, 215,

250, 264

hadd 71, 80, 100, 119, 120,

121, 141, 178, 187, 189,

225

hakikat 9, 31, 32, 39, 58, 67,

128, 130, 136, 137, 138,

139, 153, 170, 175, 181,

210, 216, 222

hakiki 13, 18, 50, 83, 96, 123,

126, 127, 130, 134, 138,

139, 145, 146, 153, 159,

165, 166, 167, 173, 176,

178, 181, 183, 188, 199,

Iluminasi vi, xi, xii, xiii, xiv, 9,

11, 12, 13, 14, 15, 17,

18, 19, 20, 21, 22, 23,

24, 25, 28, 29, 30, 32,

33, 34, 35, 36, 37, 38,

39, 40, 41, 42, 43, 44,

45, 46, 47, 48, 49, 51,

52, 53, 55, 59, 61, 62,

63, 64, 67, 68, 69, 70,

72, 74, 76, 78, 81, 84,

86, 88, 89, 90, 93, 94,

95, 97, 99, 100, 101,

103, 105, 107, 108, 109,

112, 115, 117, 120, 123,

125, 126, 128, 129, 131,

132, 137, 140, 142, 143,

145, 146, 148, 154, 155,

156, 157, 160, 162, 163,

P: 290

285, 295

jiwa 24, 32, 39, 41, 70, 86,

126, 152, 158, 166, 167,

193, 200, 213, 215, 216,

218, 219, 220, 222, 226,

227, 237, 239, 262, 267,

269, 271

164, 166, 167, 169, 171,

172, 173, 174, 175, 176,

177, 194, 197, 198, 200,

201, 202, 203, 204, 205,

206, 207, 208, 210, 211,

212, 213, 214, 215, 216,

217, 219, 220, 221, 222,

223, 224, 225, 226, 227,

228, 229, 230, 231, 232,

233, 234, 236, 237, 238,

240, 241, 246, 250, 253,

255, 258, 261, 266, 267,

271, 273, 275, 295

Iluminasionis xiii, 11, 30, 41,

54, 55, 61, 62, 63, 120,

127, 155, 208, 209, 210,

216, 266

indra 90, 102, 169, 203, 204,

210, 225, 227, 228, 232,

245, 256, 272, 275

intuisi 11, 24, 26, 29, 31, 32,

40, 48, 50, 61, 70, 71,

102, 107, 117, 131, 132,

161, 166, 167, 175, 176,

179, 193, 194, 197, 198,

207, 210, 212, 224, 225,

243, 244, 245, 247, 249,

262, 263

intuitif 21, 24, 25, 32, 33, 40,

43, 52, 53, 59, 61, 83,

102, 117, 128, 157, 175,

176, 198, 204, 205, 207,

220, 243, 244, 249

Islam 9, 10, 31, 32, 47, 56, 60,

61, 62, 106, 112, 114,

120, 123, 124, 125, 129,

140, 141, 154, 160, 172,

173, 178, 254, 280, 284,

kegelapan 13, 38

keraguan 266

keyakinan 83, 133, 184, 185,

197, 198, 263

komentator 10, 33, 35, 39, 46,

89, 112, 205, 209, 210

kontemporer 10, 88

kosmologi 13, 15, 222, 231,

237, 241, 246, 253, 254

logika 10, 14, 17, 18, 21, 22,

27, 36, 67, 68, 70, 71,

72, 73, 74, 75, 76, 77,

78, 79, 80, 81, 82, 84,

85, 86, 87, 88, 89, 92,

93, 94, 98, 99, 100, 101,

103, 104, 105, 106, 108,

109, 111, 113, 115, 118,

119, 120, 121, 122, 123,

124, 127, 134, 141, 142,

143, 144, 146, 147, 149,

155, 159, 162, 172, 176,

178, 179, 205, 275

logis 70, 72, 73, 86, 108, 148,

180, 207, 245

P: 291

Manthiq Al-Masyriqiyyin 146,

155, 179, 188, 282

metafisika 18, 21, 22, 30, 36, 38,

54, 57, 62, 79, 84, 87, 103,

126, 127, 192, 227, 230,

238, 249, 252

metode 9, 19, 20, 25, 31, 34, 36,

42, 43, 45, 54, 59, 61, 62,

71, 82, 86, 97, 102, 122,

125, 126, 129, 130, 131,

132. 133. 134. 137. 145.

154, 156, 159, 161, 167,

170, 173, 175, 179, 182,

183, 197, 198, 207, 208,

214, 247, 262, 263, 266,

272

metodologi 10, 11, 21, 23, 29,

30, 31, 33, 34, 35, 37, 42,

45, 48, 49, 52, 54, 59, 62,

70, 102, 105, 109, 123,

127, 131, 133, 139, 140,

143, 148, 155, 160, 173,

176, 199, 235

mimpi 32, 214, 215, 216, 250

mistis 9, 10, 18, 19, 39, 42, 50,

65, 121, 160, 198

monumental 9, 10

pemikiran 9, 11, 12, 17, 18, 21,

28, 53, 54, 55, 69, 70, 76,

90, 135, 146, 158, 161,

185, 229, 234, 245, 262,

263

pencerahan 70

pengalaman 19, 24, 32, 35, 36,

39, 40, 41, 42, 46, 47, 48,

49, 51, 54, 65, 111, 121,

132, 160, 175, 176, 177,

179, 197, 198, 211, 212,

213, 215, 219, 223, 227,

250

pengetahuan 11, 12, 13, 24, 30,

31, 32, 38, 42, 48, 49, 50,

52, 61, 68, 69, 70, 71, 72,

74, 78, 90, 91, 92, 93, 94,

95, 96, 102, 105, 107, 112,

122, 123, 124, 125, 126,

128, 129, 130, 132, 133,

134, 135, 136, 138, 140,

143, 145, 146, 152, 156,

157, 159, 160, 161, 162,

164, 165, 166, 167, 169,

170, 171, 173, 174, 175,

176, 179, 181, 184, 193,

194, 197, 198, 199, 200,

201, 202, 203, 204, 205,

206, 207, 208, 209, 210,

211, 212, 213, 214, 215,

216, 217, 218, 219, 220,

221, 223, 224, 225, 227,

230, 232, 241, 243, 244,

245, 246, 247, 248, 249,

263, 269, 272, 273

pengetahuan bawaan 68, 69, 71,

107, 164

Nasr 17, 18, 56, 57, 58, 61, 88,

283, 286, 296

observasi 50, 198

Organon 71, 79, 80, 81, 94, 97,

103, 104, 105, 141, 142

P: 292

pengetahuan diri 12, 32, 95,

167, 215, 216, 217, 218,

219, 220, 221, 223, 247

pengetahuan perolehan 68, 69,

71, 107, 207

Peripatetik xiii, 9, 12, 20, 21,

22, 24, 27, 28, 29, 30, 31,

33, 34, 36, 37, 38, 39, 42,

43, 44, 52, 54, 58, 59, 61,

62, 67, 70, 72, 73, 75, 76,

77, 78, 79, 80, 84, 86, 90,

91, 94, 95, 96, 99, 103,

104, 105, 106, 112, 113,

114, 117, 119, 120, 122,

123, 125, 127, 142, 143,

144, 145, 146, 147, 148,

149, 150, 151, 152, 153,

154, 155, 156, 159, 162,

166, 167, 168, 169, 170,

171, 172, 173, 174, 176,

179, 197, 199, 200, 201,

202, 203, 204, 205, 206,

207, 208, 209, 210, 211,

212, 213, 214, 215, 216,

219, 221, 222, 223, 224,

225, 239, 243, 244, 245,

246, 250, 253, 254, 262,

266, 270, 271, 272, 273

Peripatetisme 9

pikir 132

Plato xiii, 32, 52, 62, 123, 125,

129, 130, 131, 132, 133,

134, 135, 136, 137, 139,

140, 159, 160, 163, 164,

174, 180, 182, 183, 184,

185. 229. 232, 233, 234,

235, 246, 256, 259, 263,

264, 280, 283, 284

Posterior Analytics 50, 117, 124,

130, 135, 137, 138, 141,

148, 179, 180, 181, 182,

185, 186, 187, 188, 189,

191, 193, 194, 244, 254

proposisi 70, 71, 72, 73, 78, 80,

81, 82, 97, 98, 99, 100,

105, 111, 115, 116, 120,

121, 122, 123, 142, 148,

159, 178, 179, 180, 203,

204, 247

proposisi bersyarat 73, 97

proposisi eksistensial 204

proposisi modal 78, 99, 116

proposisi partikular 98, 116

proposisi penjelas 70, 71, 72, 80,

105, 120, 121, 122, 123,

148, 178, 179, 180

proposisi predikatif 73, 98, 99,

204

proposisi universal 98, 116

Puisi 79

ragu 76, 266

realis 108, 113, 123, 134, 180

sejarah 9, 14, 31, 45, 52, 60, 78,

101, 123, 124, 135, 154,

160, 172, 173, 229, 248,

285

Shalahuddin Al-Ayyubi 27, 47

siklus 12, 20, 24

sistematis 9, 10, 18, 19, 20, 24,

29, 42, 44, 67, 121, 141,

145, 150, 186, 198, 259

Socrates 63, 131, 132, 134, 135,

P: 293

183, 185, 264

spiritual 17, 47, 50, 52, 62, 64,

198, 216, 243, 266

utama 12, 19, 20, 22, 24, 29, 31,

substansi 118, 130, 138, 145,

34, 39, 40, 45, 73, 82, 101,

146, 200, 204, 214, 239,

112, 115, 129, 137, 143,

241, 243

149, 167, 176, 179, 181,

187, 203, 240, 267

valid 102, 125, 135, 146, 151,

152, 160, 161, 163, 165,

166, 170, 175, 179, 197,

202, 208, 210, 224, 243

visi 9, 32, 49, 51, 71, 107, 157,

174, 198, 202, 204, 207,

210, 214, 215, 216, 219,

225, 227, 228, 229, 230,

231, 236, 250, 255, 258,

263, 267

visi Iluminasi 219, 225, 228,

231, 250

tashawwur 68, 69, 72, 73, 75,

89, 106, 112, 122, 143,

198, 205, 206, 207, 208,

209, 210, 211, 247

tashdiq 68, 69, 71, 72, 73, 75,

89, 106, 112, 122, 143,

198, 205, 206, 207, 208,

209, 210, 211, 247

teologi 10, 26, 243

teori 12, 30, 48, 54, 58, 78, 79,

81, 90, 93, 94, 100, 101,

111, 112, 113, 114, 118,

122, 123, 124, 125, 127,

131, 132, 134, 137, 140,

141, 143, 147, 149, 150,

151, 152, 155, 156, 157,

160, 162, 169, 170, 171,

172, 173, 174, 176, 177,

183, 186, 188, 198, 199,

201, 206, 208, 209, 211,

212, 214, 216, 220, 221,

222, 224, 227, 228, 229,

230, 231, 232, 233, 237,

238, 240, 241, 245, 246,

259, 262, 266, 267, 275

teosofi 10, 53, 264, 265, 266

Timur v, vi, 7, 10, 25, 62, 154,

155, 160, 250, 263

wujud 13, 38, 39, 50, 70, 86, 90,

108, 109, 125, 127, 131,

135, 144, 165, 166, 176,

199, 200, 201, 202, 206,

217, 218, 221, 225, 226,

228, 232, 237, 238, 239,

240, 241, 242, 244, 246,

249, 259, 264

V

yakin 43, 113, 132, 185, 229,

266

zaman 9, 32, 123, 125, 155

P: 294

Biografi Penulis

Pria berkebangsaan Iran-Amerika ini mendapat gelar B.S. (Bachelor of Science) tahun 1967 tentang Matematika dan Fisika dari Universitas Yaler, dan gelar Ph.D di bidang Filsafat Islam dari Universitas Harvard tahun 1976. Ziai merupakan Profesor tetap di bidang Studi Islam dan Iran, dan sebagai direktur studi Iran di University of California Los Angeles (UCLA), universitas di mana dia mengajar sejak tahun 1988. Sebelum di UCLA, Ziai pernah mengajar di Universitas Tehran dan Universitas Sharif di Iran, Universitas Harvard, Universitas Brown, serta Oberlin College di USA.

Dalam kancah internasional, Ziai memangku beberapa jabatan penting, di antaranya pada Desember 2010 terpilih sebagai Presiden dalam Société Internationale d'Histoire des Sciences et de la Philosophie Arabes et Islamiques (S.I.H.S.P.A.I., Masyarakat Internasional untuk Sejarah Sains dan Filsafat Arab dan Islam), dan Anggota Kehormatan di La Société Internationale Pour l'étude de la Philosophie Médiévale (Masyarakat Internasional untuk Studi Filsafat Abad Pertengahan).

Ziai telah menerbitkan beberapa jilid buku dan sejumlah artikel tentang Filsafat Islam-khususnya tentang tradisi Filsafat Illuminasi Islam yang didirikan oleh Suhrawardi-dan dampak filsafat dalam puisi Persia yang dihubungkannya dengan

P: 295

epistemologi ilmu Hudhuri. Berikut beberapa karyanya, di antaranya: (1) Philosophy of Mathematics; (2) Anvāriyyeh (The Realm of Lights); (3) Knowledge and illumination: A Study of Suhrawardi Hikmah al-Ishrāq; (4) Shahrazūri's Sharh Hikmah al- Ishrāq, on Illuminationist Philosophy; (5) The Book of Radiance; (6) The Philosophy of illumination; (7) The Ball and Polo Stick; (8) Ibn Kammūna's Sharh Al-Talwihāt, on Natural Philosophy and Psychology Selain itu, dia juga berkontribusi dalam beberapa jilid buku, di antaranya: Beyond Philosophy dalam buku Myth and Philosophy, diedit oleh Frank Reynolds dan David Tracy; The Source and Nature of Authority dalam buku The Political Aspects of Islamic Philosophy, diedit oleh Charles Butterworth; tiga bab dari The Routledge History of Islamic Philosophy, diedit oleh Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman.

P: 296

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109